Sakha menyadari tatapan Rabu yang berubah menajam. Dia kemudian dengan sengaja menahan tangan Katha yang masih ada di keningnya.
"Eh, masih panas, ya?" tanyanya pura-pura heran. Bahkan dia mengernyit.
Katha mengangguk. "Kamu kenapa emangnya?" Dia tanpa sadar masih membiarkan tangannya berada di bawah telapak tangan Sakha.
"Kecapekan kayaknya. Tadi aku pingsan di kantor, terus dibawa ke sini," jawab Sakha sambil melirik Rabu yang matanya fokus pada dirinya.
Dia tertawa tertahan, lalu melepaskan tangannya dari tangan Shae.
Menyadari Sakha menahan tawa, Katha kini merasa heran sekaligus jengkel. "Kamu tuh gimana, sih? Kabur, ya, padahal belum dikasih pulang sama dokter?" tanyanya curiga sambil menjauhkan tangannya dari dahi Sakha.
Sakha akhirnya tertawa. Dia mengangguk, lalu berbisik, "Katanya aku harus dirawat, dan harus cek lab. Takutnya tifus."
Katha tak bisa menahan diri dari memukul lengan Sakha. Hal yang selalu dia lakuk
Sudah beberapa hari sejak Shae bekerja di salah satu toko Rabu. Keadaannya jauh lebih baik dalam suasana baru itu. Bahkan sikap usil dan bar-barnya mulai muncul kembali. Dia juga sudah memantapkan hati untuk menjebloskan Theo ke penjara, agar kakaknya itu jera. Ya, meski prosesnya panjang dan rumit, Rabu meyakinkan Shae bahwa dia dan Katha akan saling membantu.Namun, lain halnya dengan Shae yang sudah membaik, justru Katha yang berulang kali gusar. Dia masih tidak bisa menerima sahabatnya keluar dari pekerjaan yang menurutnya baik dan menjanjikan. Apalagi posisi Shae sudah bisa dibilang stabil di perusahaan itu."Kayaknya dia mau protes lagi, deh, Bu," ujar Shae sambil menunjuk Katha yang tidak bisa menyembunyikan ekspresi penasarannya bila mereka bertiga berkumpul seperti hari ini.Sekarang memang sudah jam enam sore, jam di mana Katha benar sudah seharusnya di rumah, dan Rabu mengikuti. Sedangkan Shae sudah pulang sejak jam lima sore. Rabu sengaja membiarkann
Celetukan yang baru saja disampaikan Agung langsung menarik semua atensi orang yang ada di ruang makan. Sedangkan dua orang yang dijadikan objek, terbelalak, tidak menyangka akan diserang, bahkan sebelum—lebih tepatnya hendak—makan malam dimulai.Bahkan Dewi yang baru masuk ke ruang makan pun langsung heran dengan topik yang diangkat suaminya. Namun, dia berpikir bahwa apa yang diucapkan suaminya itu tidaklah salah.“Kalau Mama sih, setuju,” ujar Dewi akhirnya. Dia mengambil piring kosong, lalu mengisinya dengan nasi.Mendengar persetujuan mamanya, Kandara langsung protes. “Ma ….”“Nah, kan? Menurut Mama itu ide yang bagus, kan? Lagian kalian sama-sama nggak punya pasangan.” Agung berkata cerita. Dia kemudian menerima piring yang sudah diisi berbagai lauk.Katha yang menyadari itu, langsung berdiri dan mengisi piring Rabu sebelum diprotes papanya. Tanpa menanyakan lauk apa yang ingin dimakan Ra
Percakapan panas di meja makan akhirnya padam juga. Ternyata Dewi hanya pura-pura tahu siapa yang sedang dibicarakan Katha hanya agar Kandara mau jujur. Namun, strateginya tetap gagal, hingga akhirnya percakapan itu lewat begitu saja.Kini Shae dan Katha sudah masuk ke kamar. Mereka memang menginap malam ini, sedangkan Rabu memilih pulang. Tidak enak juga kalau keluarga Katha melihat Katha tidur dengan sahabatnya, sedangkan Rabu tidur di kamar tamu. Maka untuk menghindari itu, Rabu beralasan bahwa dia harus mempersiapkan materi untuk presentasi di depan klien besar besok.“Sha, gue mau ngomong hal serius deh sama lo. Kita pillow talk, yuk!” ajak Katha. Dia sudah berbaring di tempat tidur, dan baru saja meletakkan gawai di atas nakas.Shae yang tadinya duduk di depan meja rias mengoleskan beberapa krim perawatan diri, akhirnya bangkit dan berbaring di samping Katha.“Kasiha Rabu. Gara-gara gue dia nggak bisa tidur bareng lo,” gurau
Rasa-rasanya Katha ingin menusuk tatapan Kandara saat ini. Kakaknya itu menatapnya jahil, seperti kakak yang memergoki adiknya pacaran. “Kenapa lo liatin gue gitu?” tanya Katha kesal. “Gue mau natap Rabu gini, tapi dianya nggak bisa lihat gue. Ya, udah, nyalur lewat lo,” sahut Kandara. Dia kemudian duduk di kursi besi samping Katha. Cangkir kopinya diletakkan di sebelah gelas susu Katha yang berembun. Lantas, Katha baru teringat perihal obrolan mereka di meja makan. Namun, bukan tepat pada obrolan, tapi pada sosok yang mereka bicarakan tanpa menyebut nama. “Kan,” panggil Katha. “Itu Rabu manggil-manggil nggak dihirauin. Lupa lagi teleponan?” tukas Kandara. Katha terkesiap. Saking terkejutnya, dia sampai lupa kalau tadi sedang mengobrol dengan Rabu di telepon. “Eh, sorry, Bu. Lo tidur lagi aja. Maaf ganggu lo malam-malam,” ujar Katha. “It’s okay. You know you can call me anytime,” balas Rabu. “Ya udah gue
“Ngomong-ngomong, tumben banget lo mau nyetir,” ujar Shae sambil masuk ke dalam mobil Katha yang terparkir di depan toko tempatnya bekerja. “Gue habis dari rumah Papa. Kasian ini mobil ntar jamuran di parkiran. Kan sayang. Mana gue beli sendiri lagi,” sahut Katha. Dia kemudian melajukan mobilnya membelah jalanan kota yang ramai. Maklum sekarang adalah jam pulang kerja untuk beberapa kantor. Jadilah sesekali mereka menemui macet. “Jadi kedepannya lo bakal nyetir sendiri? Nggak diantar Rabu?” “Siapa bilang? Selagi ada Rabu, ngapain gue harus susah-susah nyetir tiap hari?” Katha terkekeh. “Ya, mungkin nanti sesekali kalau Rabu sibuk, atau kalau gue lagi pengen nyetir kayak sekarang.” “Dasar lo!” Shae tertawa. “Lo kalau mau pakai, pakai aja. Bawa kerja.” Katha memutar kemudi ke kiri, menghindari mobil yang menyalipnya dengan posisi terlalu dekat dari arah kanan. “Ya, ya,” sahut Shae. “Eh, ngomong-ngomong kita dari dulu selalu makan
Kejadian gelas pecah berlalu cepat. Bening langusung mengucapkan maaf pada orang-orang yang ada di sana, sekaligus pada Langit, lalu dia berlalu menuju kitchen. Sementara tak lama kemudian seorang pelayan datang membereskan sepihan-serpihan kaca. Melihat keadaan Bening tadi, Katha semakin penasaran. Kenyataan yang disampaikan Kandara membuatnya ingin cepat bertanya pada Bening, tapi juga tak ingin membuat orang lain curiga. Kalau dia ngobrol empat mata dengan Bening sekarang, orang-orang yang semeja dengannya saat ini akan bertanya-tanya.. Perempuan itu juga terlihat menghindari tatapan matanya. Mungkin Bening menduga ka lau dia sudah tahu kebenarannya dari Kandara. Jadilah sampai pulang, Katha tak sempat berbicara dengan Bening. Hal itu membuatnya resah sendiri. “Lo kenapa? Shae udah tidur?” tanya Rabu sambil duduk di sebelah Katha. Perempuan itu sedang duduk di sebelah kolam koi, padahal malam sudah cukup larut. “Udah,” jawab Katha lemas. “K
Shae tidak jadi ngekos. Dia memilih untuk mengontrak rumah atas saran dan bantuan Rabu. Sebenarnya dia punya rumah. Rumah yang tempo hari jadi tempat perkara penyekapan dirinya oleh sang kakak, adalah milik mereka berdua. Namun, dia merasa tak bisa tinggal di sana lagi. Padahal Rabu sudah merenovasi bagian-bagian yang rusak akibat insiden mengerikan tempo hari. “Ini rumahnya yang ini? Beneran yang ini? Lo kok nggak nyariin yang bagus sih, Bu?” protes Katha. Mendengar itu Rabu mendengkus kesal. Dia hanya membantu menyuntik dana, bukannya terlibat langsung ke pemilik kontrakan. “Gue yang milih, Tha,” sahut Shae sambil tertawa. “Ini yang paling dekat sama toko, terus suasanya juga adem.” Rumah yang dikontrak Shae memang kecil dan tampak sangat sederhana dalam ukuran kacamata Katha yang kaya sejak lahir. Namun, lingkungan di sekitar rumah itu terlihat jauh lebih baik. Rumah-rumah tetangga ditumbuhi berbagai tanaman. Dan rumah yang dikontrak ini, t
Rabu menggeleng-gelengkan kepala usai Rendra pulang, sementara Katha masih tertawa-tawa. Dia kembali duduk di kursi dapur, menghadap jurnalnya yang tertutup. "Tega baget lo," celetuk Rabu. Dia sudah selesai menyiapkan semua makanan dan tinggal memindahhkannya ke meja makan. "Lucu banget tau nggak ekspresinya," sahut Katha. "Gue yang dengerin dari sini aja udah bisa bayangi gimana ekspresi dia." "Terus kenapa nggak keluar?" Katha mengernyit. "Eh, eh, makan sini aja, Bu. Nggak usah dibawa ke sana." Dia mencegah Rabu yang hendak memindahkan makanan ke meja makan. Rabu akhirnya berhenti. Dia meletakkan makanan itu di meja depan Katha, lalu memindahkan kursi berhadapan dengan perempuan itu. "Kalau gue keluar, ntar lo ngamuk lagi," ujar Rabu. Katha terkekeh. Dia paham maksud Rabu. Karena kalau lelaki itu keluar, pasti dia akan memberitahukan keberadaan Shae. "Paling ntar pas dia chat lo, lo bakal luluh juga," ejek Kath
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya