Rabu menggeleng-gelengkan kepala usai Rendra pulang, sementara Katha masih tertawa-tawa. Dia kembali duduk di kursi dapur, menghadap jurnalnya yang tertutup.
"Tega baget lo," celetuk Rabu. Dia sudah selesai menyiapkan semua makanan dan tinggal memindahhkannya ke meja makan.
"Lucu banget tau nggak ekspresinya," sahut Katha.
"Gue yang dengerin dari sini aja udah bisa bayangi gimana ekspresi dia."
"Terus kenapa nggak keluar?" Katha mengernyit. "Eh, eh, makan sini aja, Bu. Nggak usah dibawa ke sana." Dia mencegah Rabu yang hendak memindahkan makanan ke meja makan.
Rabu akhirnya berhenti. Dia meletakkan makanan itu di meja depan Katha, lalu memindahkan kursi berhadapan dengan perempuan itu.
"Kalau gue keluar, ntar lo ngamuk lagi," ujar Rabu.
Katha terkekeh. Dia paham maksud Rabu. Karena kalau lelaki itu keluar, pasti dia akan memberitahukan keberadaan Shae.
"Paling ntar pas dia chat lo, lo bakal luluh juga," ejek Kath
Perdebatan tentang pergi ke luar atau dalam negeri semalam tidak berlanjut. Katha kehilangan minatnya dalam membujuk dan mendebat Rabu karena telepon masuk dari Felysia. Akibatnya, rasa tak nyaman bercokol di dadanya, bahkan sampai saat ini. Katha melirik jam yang masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Karena rasa tak nyaman yang belum hilang itu, dia sampai tidak bersemangat kerja. Akhirnya untuk mengembalikan kesadaran, dia berinisiatif ke pantry lantai bawah untuk membuat kopi sendiri. Ya, sekalian jalan-jalan di jam kerja. “Eh, Bu Katha,” sapa Enrico—manager produksi di perusahaan ini. Lelaki berusia awal tiga puluhan itu masuk ke dalam pantry dan berdiri di depan meja, berseberangan dengan Katha. “Oh, halo Pak Rico,” sapa Katha balik. Dia berusaha mengulas senyum sambil menuangkan gula pada gelasnya yang sudah berisi kopi panas. “Kopi?” tanyanya. Enrico menggeleng. Dia kini berjalan menuju kulkas dan mengeluarkan botol bening berisi cairan hijau.
“Jepang pilihan negara yang bagus untuk sekarang, Tha,” ujar Sakha dari seberang telepon.“Itu kenapa aku hubungi kamu yang sering ke sana.”Katha mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas sambil mengapit gawai dengan bahu dan telinganya.Sakha tertawa setelah mendengar jawaban Katha. “Aku bisa merekomendasikan banyak tempat untuk kalian,” ujarnya.“Wow, nice. Tapi aku harus tanya Rabu. You know? Dia mau liburan di dalam negeri aja katanya. Ya, bagus juga sih. Tapi aku lagi mau ganti suasana dengan cuaca beda.” Katha memakai high heels yang biasa dia lepas di bawah meja kalau duduk di balik kursi kerja.“Dalam negeri oke juga. But, ya, terserah kalian. Diskusiin tempat yang kira-kira bisa disetujui berdua,” pesan Sakha.“Sure. By the way, thanks ya.” Katha kini sudah berdiri dari kursi. Dia melangkah menuju ke ruangan Kandara untuk pamit.“Udah mau pula
Katha masih tertegun lama. Dia memikirkan berbagai kemungkinan, sampai kemudian Rabu muncul dengan napas tersengal-sengal. “Lo ngapain teriak maling, Tha?” tanya Rabu sambil memegangi perutnya. “Gue kira ada maling beneran. Eh, taunya lo lagi bengong.” Tidak ada jawaban dari Katha. Perempuan itu masih menatap bekas tempat parkir mobil sosok aneh tadi. “Heh!” Rabu mengguncangkan bahu Katha. “Gue lihat maling beneran kayaknya,” sahut Katha akhirnya, tapi dengan mata nyalang. “Ha? Ngigau?” tanya Rabu. Mendengar respon Rabu, Katha akhirnya mendengkus. “Entah. Pokoknya tadi ada orang mencurigakan di samping rumah. Ya udah gue kejar,” sahut Katha. Dia sudah kembali dari keterkejutannya tadi, dan mulai menata pikiran yang lebih masuk akal. Ya, mungkin itu emang maling, tapi sengaja sewa mobil mahal biar nggak dicurigai orang. “Eh, ngomong-ngomong, gue teriak kenceng gitu, kenapa nggak ada yang keluar, ya?” tanyanya sambil celingak-cel
Katha mengerang kesal ketika sadar bahwa dia sekarang sedang jadi korban tabrak lari. Apalagi dia mulai merasakan sakit yang lain, selain pusing dan sedikit nyeri pada kepalanya. Orang-orang tampak mendekati mobilnya. Wajah mereka terlihat terkejut dan panik. “Mbak, nggak apa-apa?” tanya seorang driver ojol yang lebih dulu sampai di tempatnya. Katha mengenali pekerjaan lelaki itu dari jaket khas yang dipakaianya. Ada logo dan nama perusahaan salah satu penyedia jasa transportasi di sana. “Saya nggak apa-apa,” sahut Katha sambil mencoba mengulas senyum. Dan dia baru meraskan lehernya sedikit tertarik ketika hendak menoleh ke belakang mobil. “Ah,” ringisnya pelan. Driver ojol dan orang-orang lainnya langsung bergerak membantunya. Mereka membuka pintu mobil, melepaskan seatbelt dan mencoba menuntun dia turun dari mobil. “Saya bisa jalan sendiri. Terima kasih, ya,” ujar Katha ketika sudah keluar mobil. Lengannya kini sedang dipegangi oleh
Katha tak bisa memungkiri bahwa pikirannya terus terarah pada hal negatif terkait kecelakaan yang dialaminya. Dia merasa bahwa kecelakaan itu disengaja. Tidak ada suara klakson sewaktu dia mendekati persimpangan jalan. Dia pun melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Namun, seperti telah menunggu, mobil itu tiba-tiba muncul dan menyerang dirinya, lantas menghilang. Polisi juga melakukan penyelidikan atas permintaan Rabu. Sayangnya orang-orang yang melihat kejadian itu terlalu terkejut, hingga tak ada satu pun yang sempat mencatat atau menghapalkan nomor plat mobil tersebut. “Mikir apa kamu?” tanya Rabu. “Lagi dinasihatin tuh dengerin, bukannya melamun” ujarnya. Katha memutar bola matanya malas. Rabu sekarang sedang dalam mode suami bawel, karena seluruh keluarnya sudah tiba di kamar rawatnya. Dan mereka semua bersatu untuk mengomeli Katha perihal insiden kecelakaan pagi tadi. “Iya, iya, aku dengerin, kok,” sahut Katha. “Papa tadi bilang apa?”
“Papa cerewetin lo, ya?” tanya Katha sambil berjalan sepanjang lorong rumah sakit. Lehernya kini sudah bebas dari collar neck, dan hasil CT Scan tidak memunculkan masalah serius. Jadilah dia hari ini bisa pulang. “Iyalah. Habisnya elo kenapa nggak mau dijemput Papa?” tanya Rabu. Lelaki itu berjalan di sebelah Katha sambil menenteng tas tangan berukuran sedang. Isinya ada tas tali rantai, pakaian, dan sedikit kebutuhan Katha. “Berisik entar, Bu. Capek tau,” sahut Katha tanpa merasa bersalah. “Gitu-gitu orang tua lo. Kalau beliau udah nggak ada, yakin lo bakal kangen sama omelannya,” tegur Rabu. Katha melirik Rabu, lalu menjawab, “Nggak usah lo kasih tau, gue sadar kok sebenarnya. Cuma, ya, lo tau sendiri ego seorang anak.” Rabu mengangguk-anggukkan kepala. Dia tidak ingin melanjutkan perbincangan soal ini lagi, karena takut memancing perdebatan tidak penting. Apalagi moodnya hari ini sudah sangat baik. Tidur bersama Katha tanpa jarak seperti se
“Lo kayak orang nggak guna tau, nggak, di sini,” ujar Shae sambil duduk di sebelah Katha. “Bosan banget, gue,” sahut Katha. Perempuan itu kini duduk di balik etalase, memperhatikan pelanggan-pelanggan yang tadi sedang ramai. Kini toko sudah kembali sepi, dan hanya dihuni oleh Katha, Shae, dan Diyah—karyawan toko yang baru bekerja satu minggu. Hari ini Kandara belum mengizinkannya bekerja, hingga dia bosan terus beristirahat di rumah. Maka di tempat kerja Shae inilah dia berakhir. Tangan Katha kemudian mengeluarkan keripik tales dari etalase, lalu membuka bungkusnya secara brutal. “Eh, kalian kalau mau makan apa pun, ambil aja. Ntar gue bayar,” ujarnya sambil mengunyah keripik talas. Diyah terbengong-bengong melihat kelakuan Katha. Dia merasa kedatangan sahabat Shae yang tiba-tiba itu aja sudah aneh, lalu perempuan itu kini malah duduk bagai bos sambil ngemil. “Mbak, itu nggak apa-apa?” bisik Diyah di telinga Shae. Dia menunjuk Katha de
“Kita ke rumah Mama-Papa dulu, ya,” ujar Rabu sambil mengeluarkan koper dari kamar menuju pintu depan. Katha yang sedang mengaduk gelas berisi cokelat panas menggeleng. “Nggak usah, kita langsung berangkat aja.” “Tapi kita kan harus pamit, Tha,” tegur Rabu. Katha menghampiri Rabu di pintu depan dengan gelas cokelat di tangan. “Pamit kan bisa lewat telepon. Percaya, deh, kalau kita ke sana, yang ada makin ribet.” Rabu menghela napas. Dia menerima gelas yang disodorkan Katha, lalu menghidu aroma cokelat yang khas. “Terima kasih,”ujar Rabu. “Gue udah pesan taksi online. Kita tunggu aja. Ntar gue yang telepon Papa, bilang kalau kita kesiangan, dan nggak sempat pamit langsung.” Katha beranjak lagi ke dapur, sementara Rabu menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak habis pikir dengan pemikiran aneh Katha. Perempuan itu kadang terlihat begitu mirip dengan Agung. Hanya saja, keduanya tidak mau mengakui kalau sifat mereka memang banyak yang
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya