Katha masih tertegun lama. Dia memikirkan berbagai kemungkinan, sampai kemudian Rabu muncul dengan napas tersengal-sengal.
“Lo ngapain teriak maling, Tha?” tanya Rabu sambil memegangi perutnya. “Gue kira ada maling beneran. Eh, taunya lo lagi bengong.”
Tidak ada jawaban dari Katha. Perempuan itu masih menatap bekas tempat parkir mobil sosok aneh tadi.
“Heh!” Rabu mengguncangkan bahu Katha.
“Gue lihat maling beneran kayaknya,” sahut Katha akhirnya, tapi dengan mata nyalang.
“Ha? Ngigau?” tanya Rabu.
Mendengar respon Rabu, Katha akhirnya mendengkus. “Entah. Pokoknya tadi ada orang mencurigakan di samping rumah. Ya udah gue kejar,” sahut Katha. Dia sudah kembali dari keterkejutannya tadi, dan mulai menata pikiran yang lebih masuk akal. Ya, mungkin itu emang maling, tapi sengaja sewa mobil mahal biar nggak dicurigai orang.
“Eh, ngomong-ngomong, gue teriak kenceng gitu, kenapa nggak ada yang keluar, ya?” tanyanya sambil celingak-cel
Katha mengerang kesal ketika sadar bahwa dia sekarang sedang jadi korban tabrak lari. Apalagi dia mulai merasakan sakit yang lain, selain pusing dan sedikit nyeri pada kepalanya. Orang-orang tampak mendekati mobilnya. Wajah mereka terlihat terkejut dan panik. “Mbak, nggak apa-apa?” tanya seorang driver ojol yang lebih dulu sampai di tempatnya. Katha mengenali pekerjaan lelaki itu dari jaket khas yang dipakaianya. Ada logo dan nama perusahaan salah satu penyedia jasa transportasi di sana. “Saya nggak apa-apa,” sahut Katha sambil mencoba mengulas senyum. Dan dia baru meraskan lehernya sedikit tertarik ketika hendak menoleh ke belakang mobil. “Ah,” ringisnya pelan. Driver ojol dan orang-orang lainnya langsung bergerak membantunya. Mereka membuka pintu mobil, melepaskan seatbelt dan mencoba menuntun dia turun dari mobil. “Saya bisa jalan sendiri. Terima kasih, ya,” ujar Katha ketika sudah keluar mobil. Lengannya kini sedang dipegangi oleh
Katha tak bisa memungkiri bahwa pikirannya terus terarah pada hal negatif terkait kecelakaan yang dialaminya. Dia merasa bahwa kecelakaan itu disengaja. Tidak ada suara klakson sewaktu dia mendekati persimpangan jalan. Dia pun melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Namun, seperti telah menunggu, mobil itu tiba-tiba muncul dan menyerang dirinya, lantas menghilang. Polisi juga melakukan penyelidikan atas permintaan Rabu. Sayangnya orang-orang yang melihat kejadian itu terlalu terkejut, hingga tak ada satu pun yang sempat mencatat atau menghapalkan nomor plat mobil tersebut. “Mikir apa kamu?” tanya Rabu. “Lagi dinasihatin tuh dengerin, bukannya melamun” ujarnya. Katha memutar bola matanya malas. Rabu sekarang sedang dalam mode suami bawel, karena seluruh keluarnya sudah tiba di kamar rawatnya. Dan mereka semua bersatu untuk mengomeli Katha perihal insiden kecelakaan pagi tadi. “Iya, iya, aku dengerin, kok,” sahut Katha. “Papa tadi bilang apa?”
“Papa cerewetin lo, ya?” tanya Katha sambil berjalan sepanjang lorong rumah sakit. Lehernya kini sudah bebas dari collar neck, dan hasil CT Scan tidak memunculkan masalah serius. Jadilah dia hari ini bisa pulang. “Iyalah. Habisnya elo kenapa nggak mau dijemput Papa?” tanya Rabu. Lelaki itu berjalan di sebelah Katha sambil menenteng tas tangan berukuran sedang. Isinya ada tas tali rantai, pakaian, dan sedikit kebutuhan Katha. “Berisik entar, Bu. Capek tau,” sahut Katha tanpa merasa bersalah. “Gitu-gitu orang tua lo. Kalau beliau udah nggak ada, yakin lo bakal kangen sama omelannya,” tegur Rabu. Katha melirik Rabu, lalu menjawab, “Nggak usah lo kasih tau, gue sadar kok sebenarnya. Cuma, ya, lo tau sendiri ego seorang anak.” Rabu mengangguk-anggukkan kepala. Dia tidak ingin melanjutkan perbincangan soal ini lagi, karena takut memancing perdebatan tidak penting. Apalagi moodnya hari ini sudah sangat baik. Tidur bersama Katha tanpa jarak seperti se
“Lo kayak orang nggak guna tau, nggak, di sini,” ujar Shae sambil duduk di sebelah Katha. “Bosan banget, gue,” sahut Katha. Perempuan itu kini duduk di balik etalase, memperhatikan pelanggan-pelanggan yang tadi sedang ramai. Kini toko sudah kembali sepi, dan hanya dihuni oleh Katha, Shae, dan Diyah—karyawan toko yang baru bekerja satu minggu. Hari ini Kandara belum mengizinkannya bekerja, hingga dia bosan terus beristirahat di rumah. Maka di tempat kerja Shae inilah dia berakhir. Tangan Katha kemudian mengeluarkan keripik tales dari etalase, lalu membuka bungkusnya secara brutal. “Eh, kalian kalau mau makan apa pun, ambil aja. Ntar gue bayar,” ujarnya sambil mengunyah keripik talas. Diyah terbengong-bengong melihat kelakuan Katha. Dia merasa kedatangan sahabat Shae yang tiba-tiba itu aja sudah aneh, lalu perempuan itu kini malah duduk bagai bos sambil ngemil. “Mbak, itu nggak apa-apa?” bisik Diyah di telinga Shae. Dia menunjuk Katha de
“Kita ke rumah Mama-Papa dulu, ya,” ujar Rabu sambil mengeluarkan koper dari kamar menuju pintu depan. Katha yang sedang mengaduk gelas berisi cokelat panas menggeleng. “Nggak usah, kita langsung berangkat aja.” “Tapi kita kan harus pamit, Tha,” tegur Rabu. Katha menghampiri Rabu di pintu depan dengan gelas cokelat di tangan. “Pamit kan bisa lewat telepon. Percaya, deh, kalau kita ke sana, yang ada makin ribet.” Rabu menghela napas. Dia menerima gelas yang disodorkan Katha, lalu menghidu aroma cokelat yang khas. “Terima kasih,”ujar Rabu. “Gue udah pesan taksi online. Kita tunggu aja. Ntar gue yang telepon Papa, bilang kalau kita kesiangan, dan nggak sempat pamit langsung.” Katha beranjak lagi ke dapur, sementara Rabu menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak habis pikir dengan pemikiran aneh Katha. Perempuan itu kadang terlihat begitu mirip dengan Agung. Hanya saja, keduanya tidak mau mengakui kalau sifat mereka memang banyak yang
Setelah tujuh jam lebih berada di pesawat, Katha dan Rabu akhirnya sampai di Jepang. Mereka berjalan menuju pintu keluar sambil membawa koper masing-masing. Begitu melihat cahaya matahari sore dari dinding kaca, membuat Katha menghela napas lega. “Akhirnya sampe. Lama nggak bepergian, badan gue rasanya rontok,” ujar Katha. “Lo belum lama ini ngikutin gue ke Malang kalau lupa,” tukas Rabu. “Ke Jogja juga.” Katha terkekeh mendengar itu. Dia lupa bahwasannya dia memang beberapa kali ke luar kota. Dan ya, perjalana Jakarta-Malang lebih panjang jika ditempuh dengan kereta api. “Ya, maksudnya udah lama nggak ke luar negeri.” Katha nyengir lebar. “Langsung ke hotel?” tanya Rabu. Mendengar itu, tiba-tiba Katha menghentikan langkahnya. Dia menatap Rabu seolah baru mengingat sesuatu. “Kita ke lantai empat dulu, yuk! Ke Edo Alley.” Rabu mengernyit. Dia pikir mereka akan langsung ke hotel agar bisa merebahkan badan di tempat yang lebih nya
Tengah malam Rabu bangun karena haus. Di keremangan kamar, dia melihat Katha yang tertidur di sebelahnya dengan jarak yang begitu dekat. Tidak ada guling, karena memang mereka bukan di Indonesia. Jadilah mereka berdua tidur tanpa sekat.Rabu yang sebelumnya hendak minum jadi mengurungkan niatnya. Dia mantap Katha lamat-lamat.“Gue seneng banget ke sini sama lo,” ujar Rabu lirih. Dia tidak ingin suaranya membangunkan Katha.Perempuan yang sedang ditatap itu masih diam. Matanya terpejam dan tampak nyenyak.“Gue pengen setiap liburan, pergi sama lo,” lanjutnya bermonolog.Sakitnya kini sudah hilang sepenuhnya. Nyeri di kepala juga sudah lenyap. Bahkan dia sekarang membayangkan sedang berlibur dengan bahagia sembari terus menatap wajah Katha.“Ngomong-ngomong, terima kasih udah ngerawat gue.” Dia masih bermonolog dengan suara kecil yang lebih mirip bisikan.“Terima kasih, Tha,” ulangnya.
“Udah? Masih mau tambah?” tanya Rabu. Dia mengamati Katha yang menghabiskan kuah ramennya. Perempuan itu tadi berkata ingin tambah saat ramennya tersisa seperempat.Namun, kini Katha menggeleng. Dia menepuk-nepuk perutnya sendiri. “Kenyang,” kekehnya.Rabu menggeleng-gelengkan kepala. Pagi tadi saat mereka setuju untuk berangkat ke Kyoto, tiba-tiba Katha minta makan ramen di daerah Tokyo lebih dulu sebagai sarapan. Rabu sempat terheran-heran, pasalnya mereka butuh sarapan. Dan sampai saat ini baginya sarapan yang benar bukanlah mi, apalagi ramen.Ya, tapi Rabu hampir selalu tak berdaya bila berurusan dengan keinginan Katha yang tidak terlalu menyimpang itu. Mereka akhirnya menuju Kappsu Yama, salah satu tempat ramen yang memang sebelumnya menjadi tujuan mereka.“Gitu tadi lo bilang mau nambah,” goda Rabu.Katha menempelkan jari telunjuknya di depan bibir. “Shtt, jangan keras-keras.”“Lagi