Tengah malam Rabu bangun karena haus. Di keremangan kamar, dia melihat Katha yang tertidur di sebelahnya dengan jarak yang begitu dekat. Tidak ada guling, karena memang mereka bukan di Indonesia. Jadilah mereka berdua tidur tanpa sekat.
Rabu yang sebelumnya hendak minum jadi mengurungkan niatnya. Dia mantap Katha lamat-lamat.
“Gue seneng banget ke sini sama lo,” ujar Rabu lirih. Dia tidak ingin suaranya membangunkan Katha.
Perempuan yang sedang ditatap itu masih diam. Matanya terpejam dan tampak nyenyak.
“Gue pengen setiap liburan, pergi sama lo,” lanjutnya bermonolog.
Sakitnya kini sudah hilang sepenuhnya. Nyeri di kepala juga sudah lenyap. Bahkan dia sekarang membayangkan sedang berlibur dengan bahagia sembari terus menatap wajah Katha.
“Ngomong-ngomong, terima kasih udah ngerawat gue.” Dia masih bermonolog dengan suara kecil yang lebih mirip bisikan.
“Terima kasih, Tha,” ulangnya.
“Udah? Masih mau tambah?” tanya Rabu. Dia mengamati Katha yang menghabiskan kuah ramennya. Perempuan itu tadi berkata ingin tambah saat ramennya tersisa seperempat.Namun, kini Katha menggeleng. Dia menepuk-nepuk perutnya sendiri. “Kenyang,” kekehnya.Rabu menggeleng-gelengkan kepala. Pagi tadi saat mereka setuju untuk berangkat ke Kyoto, tiba-tiba Katha minta makan ramen di daerah Tokyo lebih dulu sebagai sarapan. Rabu sempat terheran-heran, pasalnya mereka butuh sarapan. Dan sampai saat ini baginya sarapan yang benar bukanlah mi, apalagi ramen.Ya, tapi Rabu hampir selalu tak berdaya bila berurusan dengan keinginan Katha yang tidak terlalu menyimpang itu. Mereka akhirnya menuju Kappsu Yama, salah satu tempat ramen yang memang sebelumnya menjadi tujuan mereka.“Gitu tadi lo bilang mau nambah,” goda Rabu.Katha menempelkan jari telunjuknya di depan bibir. “Shtt, jangan keras-keras.”“Lagi
“Anak tadi lucu banget, tahu, Bu,” ujar Katha saat keduanya sudah keluar stasiun. Sejak tadi, Katha tidak berhenti membicarakan anak kecil yang menghampiri mereka. Apalagi sewaktu hendak menuntaskan niatnya memangku anak itu, ibu si anak tiba-tiba bangun dan membawa kembali anaknya ke kursi depan. Dia sempat kecewa, dan hal itu membuat Rabu kembali menggodanya. Namun, hal itu tidak membuatnya berhenti membicarakan anak perempuan lucu tadi. “Emang lucu. Cantik dia,” ujar Rabu. Tapi matanya malah terfokus pada Rabu, sementara Katha kini sudah teralihkan. “Ya, ampun, Bu!” serunya. “Bunga sakuranya cantik banget.” Dia menunjuk beberapa pohon sakura yang tumbuh di pinggir jalan. “Kayaknya kita harus cari taman bunga sakura, terus piknik ala-ala orang lokal sini, deh. Bekalnya beli di minimarket aja.” Katha tiba-tiba saja membuat rencana. Rabu tersenyum. Rencana yang baru saja diutarakan Katha sebetulnya sudah muncul di kepalanya sejak dia m
“Lo yakin kita mau naik ini?” tanya Katha heran. Dia agak geli mendengar nama Romantic Train. Ya, meski bisa dia lihat di sekeliling bahwa orang-orang yang hendak naik bukan hanya pasangan, malah kebanyakan keluarga. Rabu mengangguk yakin. “Ini pasti menyenangkan, Tha. Bukan perjalanan panjang, hanya sekitar dua puluh menit, berarti pemandangan yang disuguhkan cukup bagus.” Katha membenarkan dalam hati. Dia kemudian membenahi jaket denim yang dipakainya, lalu melipat lengan di depan parut. Ya, sudah terlambat kalau mau membatalkan perjalanan dengan Romatic Train ini. Mereka sudah membeli tiket, dan hanya tinggal satu menit sebelum kereta berjalan. Hari masih pagi. Orang-orang tampak bersemangat memasuki kereta. Begitu juga dengan Rabu yang tanpa canggung menggandeng Katha agar berjalan bersamanya. “Lo boleh deh, duduk dekat jendela,” ujar Rabu. “Wah,” gumam Katha takjub. Dia tidak tahu bahwa Romantic Train bisa seunik ini. Kursi kayu yang digu
"Ada apaan, Bu?" tanya Katha. Rabu terperanjat. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menatap Katha yang sedang melihatnya kebingungan. "Kenapa, Bu? Ada apaan di rambut gue?" tanya Katha lagi. Dia mengangkat tangan hendak mmenyentuh rambutnya. Namun, Rabu yang akhirnya tersadar langsung menghentikan gerakan Katha dengan mengulurkan tangannya sendiri. Dia mengambil kelopak bunga sakura yang tersangkut di rambut perempuan itu. "Ada ini," ujarnya sambil menunjukkan kelopak bunga pada Katha. Katha tertawa melihat itu. "Harusnya biarin aja. Kan bagus, Bu, kayak hiasan rambut gitu." Sayangnya Rabu sudah tidak bisa ikut tertawa. Jantungnya kini sudah nyaris meledak akibat hayalan yang tadi dia alami. Ketika akhirnya Katha berbalik badan dan lanjut berjalan, Rabu akhirnya mendesah dan mengusap wajahnya. "Astaga," gumamnya. Dia mengggeleng-gelengkan kepala berulang kali, mencoba mengusir bayangan bibir Katha yang sukar hilang.
Hari ini Katha dan Rabu sudah berada di Tokyo kembali setelah tiga hari bersenang-senang di Kyoto. Sebenarnya Rabu masih ingin lebih lama di Kyoto. Dia suka di kota itu, sebab tidak seramai Tokyo. Rasanya lebih damai. Hal itu membuatnya teringat Malang, ya, meski tidak sama persis. Malang lebih ramah.Akan tetapi, karena obsesi Katha yang ingin mendatangi Tokyo Tower, maka hati ini mereka kembali ke Tokyo.“Kita makan dulu, baru ke tempat yang lo mau,” ujar Rabu sambil melepaskan jaket dan melemparnya ke sofa.Katha sendiri langsung berbaring di tempat tidur. Dia menghela napas panjang sambil memejamkan mata.“Kenapa nggak langsung aja?” tanya Katha.Berbeda dengan Rabu yang sedikit lelah meski perjalanan dari Kyoto ke Tokyo hanya memerlukan waktu dua jam dengan shinkansen, Katha masih sangat bersemangat layaknya orang yang baru sarapan pagi.“Lo belum makan dari pagi,”sahut Rabu. Dia menurunkan ra
Selesai makan, Rabu dan Katha akhirnya pergi ke Tokyo Tower. Sayangya, harapan Rabu untuk bisa berduaan dengan Katha harus kandas, karena Sakha dan Rakha ikut bersama mereka atas ajakan Katha.Dia benar-benar tidak habis pikir dengan dua lelaki yang mengiyakan ajakan Katha. Harusnya mereka sadar bahwa dirinya dan Katha sekarang sedang dalam perjalanan bulan madu. Tentu kencan berdua adalah salah satu hal yang harus dilakukan dalam top list perjalanan itu.Namun, Sakha dan Rakha mengabaikan fakta itu. Rabu yakin kalau dua bersaudara itu tahu kondisi emosinya sekarang, tapi memilih untuk mengabaikan.“Bagus, ya, di sini,” ujar Katha sambil menyusuri jalan masuk menuju Tokyo Tower. Dinding lorongnya dihias dengan bunga dan daun sintetis, berwarna cerah.“Mau kufoto?” tawar Sakha. Dia bahkan sudah mengeluarkan gawai dari saku jaket denimnya.Katha mengangguk antusias. Dia segera memposisikan diri di tengah-tengah lorong yang keb
Katha sudah berbelanja beberapa oleh-oleh di lantai tiga Tokyo Tower. Dia membebankan paper-paper bag itu kepada Rabu dalam perjalan pulang. Tapi ketika mereka hendak masuk ke pintu hotel, Rabu tiba-tiba menarik tangan perempuan itu.“Tha, jalan-jalan sebentar, yuk. Kayaknya sayang banget kalau kita langsung masuk kamar,” ujarnya.Alis Katha terangkat. “Lo nggak capek?”Rabu menggeleng. Dia menunggu persetujuan Katha, hingga akhirnya perempuan itu mengangguk.“Mau jalan-jalan ke mana lagi?” tanya Katha.“Di sekitar hotel aja. Taman-taman di sini kelihatannya bagus,” jawab Rabu. Dia kemudian mulai berjalan ke arah kanan hotel, diikuti Katha di belakangnya. Langkahnya diperlambat agar Katha bisa jalan sejajar dengan dirinya.“Bu, lo ngomong-ngomong lo ngapain tadi di Tokyo Tower?” tanya Katha sambil mendongak menatap langit tak berbintang.Kenyitan muncul di dahi Rabu. “N
Mendengar ucapan Ratu, Rabu langsung kalang kabut. Dia terburu-buru bangkit dari posisi berlututnya, hingga terjerembab dan nyaris jatuh kalau Katha tak menarik lengannya. “Tenang, Bu,” ujar perempuan itu. Rabu menggumamkan terima kasih, tapi dia tidak benar-benar mendengarkan. Fokusnya sekarang sepenuhnya berpindah ke lain tempat. “Terus kondisi Ibu gimana?” tanyanya pada Ratu. “Lagi mau dioperasi. Mas jangan telepon Ibu, soalnya sama Ibu aku dilarang ngasih tahu Mas,” sahut Ratu dari seberang. Volume gawai yang besar memungkinkan Katha mendengar percakapan adik-kakak itu. “Dioperas? Ha? Seberapa parah?” tanya Rabu sambil menyugar rambut frustrasi. Dia berjalan menuju kopernya yang terbuka. Ada beberapa barang oleh-oleh milik Katha di sana yang belum tertata. “Patah lengan kanannya, Mas. Kan jatuh ke arah kanan motornya, jadi Ibu nahan. Terus sama banyak lecet di sana-sini,” jawab Ratu. “Eh, Mas, aku tutup, ya. Ibu nyari aku katanya.”