Setelah tujuh jam lebih berada di pesawat, Katha dan Rabu akhirnya sampai di Jepang. Mereka berjalan menuju pintu keluar sambil membawa koper masing-masing. Begitu melihat cahaya matahari sore dari dinding kaca, membuat Katha menghela napas lega.
“Akhirnya sampe. Lama nggak bepergian, badan gue rasanya rontok,” ujar Katha.
“Lo belum lama ini ngikutin gue ke Malang kalau lupa,” tukas Rabu. “Ke Jogja juga.”
Katha terkekeh mendengar itu. Dia lupa bahwasannya dia memang beberapa kali ke luar kota. Dan ya, perjalana Jakarta-Malang lebih panjang jika ditempuh dengan kereta api.
“Ya, maksudnya udah lama nggak ke luar negeri.” Katha nyengir lebar.
“Langsung ke hotel?” tanya Rabu.
Mendengar itu, tiba-tiba Katha menghentikan langkahnya. Dia menatap Rabu seolah baru mengingat sesuatu. “Kita ke lantai empat dulu, yuk! Ke Edo Alley.”
Rabu mengernyit. Dia pikir mereka akan langsung ke hotel agar bisa merebahkan badan di tempat yang lebih nya
Tengah malam Rabu bangun karena haus. Di keremangan kamar, dia melihat Katha yang tertidur di sebelahnya dengan jarak yang begitu dekat. Tidak ada guling, karena memang mereka bukan di Indonesia. Jadilah mereka berdua tidur tanpa sekat.Rabu yang sebelumnya hendak minum jadi mengurungkan niatnya. Dia mantap Katha lamat-lamat.“Gue seneng banget ke sini sama lo,” ujar Rabu lirih. Dia tidak ingin suaranya membangunkan Katha.Perempuan yang sedang ditatap itu masih diam. Matanya terpejam dan tampak nyenyak.“Gue pengen setiap liburan, pergi sama lo,” lanjutnya bermonolog.Sakitnya kini sudah hilang sepenuhnya. Nyeri di kepala juga sudah lenyap. Bahkan dia sekarang membayangkan sedang berlibur dengan bahagia sembari terus menatap wajah Katha.“Ngomong-ngomong, terima kasih udah ngerawat gue.” Dia masih bermonolog dengan suara kecil yang lebih mirip bisikan.“Terima kasih, Tha,” ulangnya.
“Udah? Masih mau tambah?” tanya Rabu. Dia mengamati Katha yang menghabiskan kuah ramennya. Perempuan itu tadi berkata ingin tambah saat ramennya tersisa seperempat.Namun, kini Katha menggeleng. Dia menepuk-nepuk perutnya sendiri. “Kenyang,” kekehnya.Rabu menggeleng-gelengkan kepala. Pagi tadi saat mereka setuju untuk berangkat ke Kyoto, tiba-tiba Katha minta makan ramen di daerah Tokyo lebih dulu sebagai sarapan. Rabu sempat terheran-heran, pasalnya mereka butuh sarapan. Dan sampai saat ini baginya sarapan yang benar bukanlah mi, apalagi ramen.Ya, tapi Rabu hampir selalu tak berdaya bila berurusan dengan keinginan Katha yang tidak terlalu menyimpang itu. Mereka akhirnya menuju Kappsu Yama, salah satu tempat ramen yang memang sebelumnya menjadi tujuan mereka.“Gitu tadi lo bilang mau nambah,” goda Rabu.Katha menempelkan jari telunjuknya di depan bibir. “Shtt, jangan keras-keras.”“Lagi
“Anak tadi lucu banget, tahu, Bu,” ujar Katha saat keduanya sudah keluar stasiun. Sejak tadi, Katha tidak berhenti membicarakan anak kecil yang menghampiri mereka. Apalagi sewaktu hendak menuntaskan niatnya memangku anak itu, ibu si anak tiba-tiba bangun dan membawa kembali anaknya ke kursi depan. Dia sempat kecewa, dan hal itu membuat Rabu kembali menggodanya. Namun, hal itu tidak membuatnya berhenti membicarakan anak perempuan lucu tadi. “Emang lucu. Cantik dia,” ujar Rabu. Tapi matanya malah terfokus pada Rabu, sementara Katha kini sudah teralihkan. “Ya, ampun, Bu!” serunya. “Bunga sakuranya cantik banget.” Dia menunjuk beberapa pohon sakura yang tumbuh di pinggir jalan. “Kayaknya kita harus cari taman bunga sakura, terus piknik ala-ala orang lokal sini, deh. Bekalnya beli di minimarket aja.” Katha tiba-tiba saja membuat rencana. Rabu tersenyum. Rencana yang baru saja diutarakan Katha sebetulnya sudah muncul di kepalanya sejak dia m
“Lo yakin kita mau naik ini?” tanya Katha heran. Dia agak geli mendengar nama Romantic Train. Ya, meski bisa dia lihat di sekeliling bahwa orang-orang yang hendak naik bukan hanya pasangan, malah kebanyakan keluarga. Rabu mengangguk yakin. “Ini pasti menyenangkan, Tha. Bukan perjalanan panjang, hanya sekitar dua puluh menit, berarti pemandangan yang disuguhkan cukup bagus.” Katha membenarkan dalam hati. Dia kemudian membenahi jaket denim yang dipakainya, lalu melipat lengan di depan parut. Ya, sudah terlambat kalau mau membatalkan perjalanan dengan Romatic Train ini. Mereka sudah membeli tiket, dan hanya tinggal satu menit sebelum kereta berjalan. Hari masih pagi. Orang-orang tampak bersemangat memasuki kereta. Begitu juga dengan Rabu yang tanpa canggung menggandeng Katha agar berjalan bersamanya. “Lo boleh deh, duduk dekat jendela,” ujar Rabu. “Wah,” gumam Katha takjub. Dia tidak tahu bahwa Romantic Train bisa seunik ini. Kursi kayu yang digu
"Ada apaan, Bu?" tanya Katha. Rabu terperanjat. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menatap Katha yang sedang melihatnya kebingungan. "Kenapa, Bu? Ada apaan di rambut gue?" tanya Katha lagi. Dia mengangkat tangan hendak mmenyentuh rambutnya. Namun, Rabu yang akhirnya tersadar langsung menghentikan gerakan Katha dengan mengulurkan tangannya sendiri. Dia mengambil kelopak bunga sakura yang tersangkut di rambut perempuan itu. "Ada ini," ujarnya sambil menunjukkan kelopak bunga pada Katha. Katha tertawa melihat itu. "Harusnya biarin aja. Kan bagus, Bu, kayak hiasan rambut gitu." Sayangnya Rabu sudah tidak bisa ikut tertawa. Jantungnya kini sudah nyaris meledak akibat hayalan yang tadi dia alami. Ketika akhirnya Katha berbalik badan dan lanjut berjalan, Rabu akhirnya mendesah dan mengusap wajahnya. "Astaga," gumamnya. Dia mengggeleng-gelengkan kepala berulang kali, mencoba mengusir bayangan bibir Katha yang sukar hilang.
Hari ini Katha dan Rabu sudah berada di Tokyo kembali setelah tiga hari bersenang-senang di Kyoto. Sebenarnya Rabu masih ingin lebih lama di Kyoto. Dia suka di kota itu, sebab tidak seramai Tokyo. Rasanya lebih damai. Hal itu membuatnya teringat Malang, ya, meski tidak sama persis. Malang lebih ramah.Akan tetapi, karena obsesi Katha yang ingin mendatangi Tokyo Tower, maka hati ini mereka kembali ke Tokyo.“Kita makan dulu, baru ke tempat yang lo mau,” ujar Rabu sambil melepaskan jaket dan melemparnya ke sofa.Katha sendiri langsung berbaring di tempat tidur. Dia menghela napas panjang sambil memejamkan mata.“Kenapa nggak langsung aja?” tanya Katha.Berbeda dengan Rabu yang sedikit lelah meski perjalanan dari Kyoto ke Tokyo hanya memerlukan waktu dua jam dengan shinkansen, Katha masih sangat bersemangat layaknya orang yang baru sarapan pagi.“Lo belum makan dari pagi,”sahut Rabu. Dia menurunkan ra
Selesai makan, Rabu dan Katha akhirnya pergi ke Tokyo Tower. Sayangya, harapan Rabu untuk bisa berduaan dengan Katha harus kandas, karena Sakha dan Rakha ikut bersama mereka atas ajakan Katha.Dia benar-benar tidak habis pikir dengan dua lelaki yang mengiyakan ajakan Katha. Harusnya mereka sadar bahwa dirinya dan Katha sekarang sedang dalam perjalanan bulan madu. Tentu kencan berdua adalah salah satu hal yang harus dilakukan dalam top list perjalanan itu.Namun, Sakha dan Rakha mengabaikan fakta itu. Rabu yakin kalau dua bersaudara itu tahu kondisi emosinya sekarang, tapi memilih untuk mengabaikan.“Bagus, ya, di sini,” ujar Katha sambil menyusuri jalan masuk menuju Tokyo Tower. Dinding lorongnya dihias dengan bunga dan daun sintetis, berwarna cerah.“Mau kufoto?” tawar Sakha. Dia bahkan sudah mengeluarkan gawai dari saku jaket denimnya.Katha mengangguk antusias. Dia segera memposisikan diri di tengah-tengah lorong yang keb
Katha sudah berbelanja beberapa oleh-oleh di lantai tiga Tokyo Tower. Dia membebankan paper-paper bag itu kepada Rabu dalam perjalan pulang. Tapi ketika mereka hendak masuk ke pintu hotel, Rabu tiba-tiba menarik tangan perempuan itu.“Tha, jalan-jalan sebentar, yuk. Kayaknya sayang banget kalau kita langsung masuk kamar,” ujarnya.Alis Katha terangkat. “Lo nggak capek?”Rabu menggeleng. Dia menunggu persetujuan Katha, hingga akhirnya perempuan itu mengangguk.“Mau jalan-jalan ke mana lagi?” tanya Katha.“Di sekitar hotel aja. Taman-taman di sini kelihatannya bagus,” jawab Rabu. Dia kemudian mulai berjalan ke arah kanan hotel, diikuti Katha di belakangnya. Langkahnya diperlambat agar Katha bisa jalan sejajar dengan dirinya.“Bu, lo ngomong-ngomong lo ngapain tadi di Tokyo Tower?” tanya Katha sambil mendongak menatap langit tak berbintang.Kenyitan muncul di dahi Rabu. “N
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya