“Ngomong-ngomong, tumben banget lo mau nyetir,” ujar Shae sambil masuk ke dalam mobil Katha yang terparkir di depan toko tempatnya bekerja.
“Gue habis dari rumah Papa. Kasian ini mobil ntar jamuran di parkiran. Kan sayang. Mana gue beli sendiri lagi,” sahut Katha.
Dia kemudian melajukan mobilnya membelah jalanan kota yang ramai. Maklum sekarang adalah jam pulang kerja untuk beberapa kantor. Jadilah sesekali mereka menemui macet.
“Jadi kedepannya lo bakal nyetir sendiri? Nggak diantar Rabu?”
“Siapa bilang? Selagi ada Rabu, ngapain gue harus susah-susah nyetir tiap hari?” Katha terkekeh. “Ya, mungkin nanti sesekali kalau Rabu sibuk, atau kalau gue lagi pengen nyetir kayak sekarang.”
“Dasar lo!” Shae tertawa.
“Lo kalau mau pakai, pakai aja. Bawa kerja.” Katha memutar kemudi ke kiri, menghindari mobil yang menyalipnya dengan posisi terlalu dekat dari arah kanan.
“Ya, ya,” sahut Shae. “Eh, ngomong-ngomong kita dari dulu selalu makan
Kejadian gelas pecah berlalu cepat. Bening langusung mengucapkan maaf pada orang-orang yang ada di sana, sekaligus pada Langit, lalu dia berlalu menuju kitchen. Sementara tak lama kemudian seorang pelayan datang membereskan sepihan-serpihan kaca. Melihat keadaan Bening tadi, Katha semakin penasaran. Kenyataan yang disampaikan Kandara membuatnya ingin cepat bertanya pada Bening, tapi juga tak ingin membuat orang lain curiga. Kalau dia ngobrol empat mata dengan Bening sekarang, orang-orang yang semeja dengannya saat ini akan bertanya-tanya.. Perempuan itu juga terlihat menghindari tatapan matanya. Mungkin Bening menduga ka lau dia sudah tahu kebenarannya dari Kandara. Jadilah sampai pulang, Katha tak sempat berbicara dengan Bening. Hal itu membuatnya resah sendiri. “Lo kenapa? Shae udah tidur?” tanya Rabu sambil duduk di sebelah Katha. Perempuan itu sedang duduk di sebelah kolam koi, padahal malam sudah cukup larut. “Udah,” jawab Katha lemas. “K
Shae tidak jadi ngekos. Dia memilih untuk mengontrak rumah atas saran dan bantuan Rabu. Sebenarnya dia punya rumah. Rumah yang tempo hari jadi tempat perkara penyekapan dirinya oleh sang kakak, adalah milik mereka berdua. Namun, dia merasa tak bisa tinggal di sana lagi. Padahal Rabu sudah merenovasi bagian-bagian yang rusak akibat insiden mengerikan tempo hari. “Ini rumahnya yang ini? Beneran yang ini? Lo kok nggak nyariin yang bagus sih, Bu?” protes Katha. Mendengar itu Rabu mendengkus kesal. Dia hanya membantu menyuntik dana, bukannya terlibat langsung ke pemilik kontrakan. “Gue yang milih, Tha,” sahut Shae sambil tertawa. “Ini yang paling dekat sama toko, terus suasanya juga adem.” Rumah yang dikontrak Shae memang kecil dan tampak sangat sederhana dalam ukuran kacamata Katha yang kaya sejak lahir. Namun, lingkungan di sekitar rumah itu terlihat jauh lebih baik. Rumah-rumah tetangga ditumbuhi berbagai tanaman. Dan rumah yang dikontrak ini, t
Rabu menggeleng-gelengkan kepala usai Rendra pulang, sementara Katha masih tertawa-tawa. Dia kembali duduk di kursi dapur, menghadap jurnalnya yang tertutup. "Tega baget lo," celetuk Rabu. Dia sudah selesai menyiapkan semua makanan dan tinggal memindahhkannya ke meja makan. "Lucu banget tau nggak ekspresinya," sahut Katha. "Gue yang dengerin dari sini aja udah bisa bayangi gimana ekspresi dia." "Terus kenapa nggak keluar?" Katha mengernyit. "Eh, eh, makan sini aja, Bu. Nggak usah dibawa ke sana." Dia mencegah Rabu yang hendak memindahkan makanan ke meja makan. Rabu akhirnya berhenti. Dia meletakkan makanan itu di meja depan Katha, lalu memindahkan kursi berhadapan dengan perempuan itu. "Kalau gue keluar, ntar lo ngamuk lagi," ujar Rabu. Katha terkekeh. Dia paham maksud Rabu. Karena kalau lelaki itu keluar, pasti dia akan memberitahukan keberadaan Shae. "Paling ntar pas dia chat lo, lo bakal luluh juga," ejek Kath
Perdebatan tentang pergi ke luar atau dalam negeri semalam tidak berlanjut. Katha kehilangan minatnya dalam membujuk dan mendebat Rabu karena telepon masuk dari Felysia. Akibatnya, rasa tak nyaman bercokol di dadanya, bahkan sampai saat ini. Katha melirik jam yang masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Karena rasa tak nyaman yang belum hilang itu, dia sampai tidak bersemangat kerja. Akhirnya untuk mengembalikan kesadaran, dia berinisiatif ke pantry lantai bawah untuk membuat kopi sendiri. Ya, sekalian jalan-jalan di jam kerja. “Eh, Bu Katha,” sapa Enrico—manager produksi di perusahaan ini. Lelaki berusia awal tiga puluhan itu masuk ke dalam pantry dan berdiri di depan meja, berseberangan dengan Katha. “Oh, halo Pak Rico,” sapa Katha balik. Dia berusaha mengulas senyum sambil menuangkan gula pada gelasnya yang sudah berisi kopi panas. “Kopi?” tanyanya. Enrico menggeleng. Dia kini berjalan menuju kulkas dan mengeluarkan botol bening berisi cairan hijau.
“Jepang pilihan negara yang bagus untuk sekarang, Tha,” ujar Sakha dari seberang telepon.“Itu kenapa aku hubungi kamu yang sering ke sana.”Katha mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas sambil mengapit gawai dengan bahu dan telinganya.Sakha tertawa setelah mendengar jawaban Katha. “Aku bisa merekomendasikan banyak tempat untuk kalian,” ujarnya.“Wow, nice. Tapi aku harus tanya Rabu. You know? Dia mau liburan di dalam negeri aja katanya. Ya, bagus juga sih. Tapi aku lagi mau ganti suasana dengan cuaca beda.” Katha memakai high heels yang biasa dia lepas di bawah meja kalau duduk di balik kursi kerja.“Dalam negeri oke juga. But, ya, terserah kalian. Diskusiin tempat yang kira-kira bisa disetujui berdua,” pesan Sakha.“Sure. By the way, thanks ya.” Katha kini sudah berdiri dari kursi. Dia melangkah menuju ke ruangan Kandara untuk pamit.“Udah mau pula
Katha masih tertegun lama. Dia memikirkan berbagai kemungkinan, sampai kemudian Rabu muncul dengan napas tersengal-sengal. “Lo ngapain teriak maling, Tha?” tanya Rabu sambil memegangi perutnya. “Gue kira ada maling beneran. Eh, taunya lo lagi bengong.” Tidak ada jawaban dari Katha. Perempuan itu masih menatap bekas tempat parkir mobil sosok aneh tadi. “Heh!” Rabu mengguncangkan bahu Katha. “Gue lihat maling beneran kayaknya,” sahut Katha akhirnya, tapi dengan mata nyalang. “Ha? Ngigau?” tanya Rabu. Mendengar respon Rabu, Katha akhirnya mendengkus. “Entah. Pokoknya tadi ada orang mencurigakan di samping rumah. Ya udah gue kejar,” sahut Katha. Dia sudah kembali dari keterkejutannya tadi, dan mulai menata pikiran yang lebih masuk akal. Ya, mungkin itu emang maling, tapi sengaja sewa mobil mahal biar nggak dicurigai orang. “Eh, ngomong-ngomong, gue teriak kenceng gitu, kenapa nggak ada yang keluar, ya?” tanyanya sambil celingak-cel
Katha mengerang kesal ketika sadar bahwa dia sekarang sedang jadi korban tabrak lari. Apalagi dia mulai merasakan sakit yang lain, selain pusing dan sedikit nyeri pada kepalanya. Orang-orang tampak mendekati mobilnya. Wajah mereka terlihat terkejut dan panik. “Mbak, nggak apa-apa?” tanya seorang driver ojol yang lebih dulu sampai di tempatnya. Katha mengenali pekerjaan lelaki itu dari jaket khas yang dipakaianya. Ada logo dan nama perusahaan salah satu penyedia jasa transportasi di sana. “Saya nggak apa-apa,” sahut Katha sambil mencoba mengulas senyum. Dan dia baru meraskan lehernya sedikit tertarik ketika hendak menoleh ke belakang mobil. “Ah,” ringisnya pelan. Driver ojol dan orang-orang lainnya langsung bergerak membantunya. Mereka membuka pintu mobil, melepaskan seatbelt dan mencoba menuntun dia turun dari mobil. “Saya bisa jalan sendiri. Terima kasih, ya,” ujar Katha ketika sudah keluar mobil. Lengannya kini sedang dipegangi oleh
Katha tak bisa memungkiri bahwa pikirannya terus terarah pada hal negatif terkait kecelakaan yang dialaminya. Dia merasa bahwa kecelakaan itu disengaja. Tidak ada suara klakson sewaktu dia mendekati persimpangan jalan. Dia pun melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Namun, seperti telah menunggu, mobil itu tiba-tiba muncul dan menyerang dirinya, lantas menghilang. Polisi juga melakukan penyelidikan atas permintaan Rabu. Sayangnya orang-orang yang melihat kejadian itu terlalu terkejut, hingga tak ada satu pun yang sempat mencatat atau menghapalkan nomor plat mobil tersebut. “Mikir apa kamu?” tanya Rabu. “Lagi dinasihatin tuh dengerin, bukannya melamun” ujarnya. Katha memutar bola matanya malas. Rabu sekarang sedang dalam mode suami bawel, karena seluruh keluarnya sudah tiba di kamar rawatnya. Dan mereka semua bersatu untuk mengomeli Katha perihal insiden kecelakaan pagi tadi. “Iya, iya, aku dengerin, kok,” sahut Katha. “Papa tadi bilang apa?”