Sudah beberapa hari sejak Shae bekerja di salah satu toko Rabu. Keadaannya jauh lebih baik dalam suasana baru itu. Bahkan sikap usil dan bar-barnya mulai muncul kembali. Dia juga sudah memantapkan hati untuk menjebloskan Theo ke penjara, agar kakaknya itu jera. Ya, meski prosesnya panjang dan rumit, Rabu meyakinkan Shae bahwa dia dan Katha akan saling membantu.
Namun, lain halnya dengan Shae yang sudah membaik, justru Katha yang berulang kali gusar. Dia masih tidak bisa menerima sahabatnya keluar dari pekerjaan yang menurutnya baik dan menjanjikan. Apalagi posisi Shae sudah bisa dibilang stabil di perusahaan itu.
"Kayaknya dia mau protes lagi, deh, Bu," ujar Shae sambil menunjuk Katha yang tidak bisa menyembunyikan ekspresi penasarannya bila mereka bertiga berkumpul seperti hari ini.
Sekarang memang sudah jam enam sore, jam di mana Katha benar sudah seharusnya di rumah, dan Rabu mengikuti. Sedangkan Shae sudah pulang sejak jam lima sore. Rabu sengaja membiarkann
Celetukan yang baru saja disampaikan Agung langsung menarik semua atensi orang yang ada di ruang makan. Sedangkan dua orang yang dijadikan objek, terbelalak, tidak menyangka akan diserang, bahkan sebelum—lebih tepatnya hendak—makan malam dimulai.Bahkan Dewi yang baru masuk ke ruang makan pun langsung heran dengan topik yang diangkat suaminya. Namun, dia berpikir bahwa apa yang diucapkan suaminya itu tidaklah salah.“Kalau Mama sih, setuju,” ujar Dewi akhirnya. Dia mengambil piring kosong, lalu mengisinya dengan nasi.Mendengar persetujuan mamanya, Kandara langsung protes. “Ma ….”“Nah, kan? Menurut Mama itu ide yang bagus, kan? Lagian kalian sama-sama nggak punya pasangan.” Agung berkata cerita. Dia kemudian menerima piring yang sudah diisi berbagai lauk.Katha yang menyadari itu, langsung berdiri dan mengisi piring Rabu sebelum diprotes papanya. Tanpa menanyakan lauk apa yang ingin dimakan Ra
Percakapan panas di meja makan akhirnya padam juga. Ternyata Dewi hanya pura-pura tahu siapa yang sedang dibicarakan Katha hanya agar Kandara mau jujur. Namun, strateginya tetap gagal, hingga akhirnya percakapan itu lewat begitu saja.Kini Shae dan Katha sudah masuk ke kamar. Mereka memang menginap malam ini, sedangkan Rabu memilih pulang. Tidak enak juga kalau keluarga Katha melihat Katha tidur dengan sahabatnya, sedangkan Rabu tidur di kamar tamu. Maka untuk menghindari itu, Rabu beralasan bahwa dia harus mempersiapkan materi untuk presentasi di depan klien besar besok.“Sha, gue mau ngomong hal serius deh sama lo. Kita pillow talk, yuk!” ajak Katha. Dia sudah berbaring di tempat tidur, dan baru saja meletakkan gawai di atas nakas.Shae yang tadinya duduk di depan meja rias mengoleskan beberapa krim perawatan diri, akhirnya bangkit dan berbaring di samping Katha.“Kasiha Rabu. Gara-gara gue dia nggak bisa tidur bareng lo,” gurau
Rasa-rasanya Katha ingin menusuk tatapan Kandara saat ini. Kakaknya itu menatapnya jahil, seperti kakak yang memergoki adiknya pacaran. “Kenapa lo liatin gue gitu?” tanya Katha kesal. “Gue mau natap Rabu gini, tapi dianya nggak bisa lihat gue. Ya, udah, nyalur lewat lo,” sahut Kandara. Dia kemudian duduk di kursi besi samping Katha. Cangkir kopinya diletakkan di sebelah gelas susu Katha yang berembun. Lantas, Katha baru teringat perihal obrolan mereka di meja makan. Namun, bukan tepat pada obrolan, tapi pada sosok yang mereka bicarakan tanpa menyebut nama. “Kan,” panggil Katha. “Itu Rabu manggil-manggil nggak dihirauin. Lupa lagi teleponan?” tukas Kandara. Katha terkesiap. Saking terkejutnya, dia sampai lupa kalau tadi sedang mengobrol dengan Rabu di telepon. “Eh, sorry, Bu. Lo tidur lagi aja. Maaf ganggu lo malam-malam,” ujar Katha. “It’s okay. You know you can call me anytime,” balas Rabu. “Ya udah gue
“Ngomong-ngomong, tumben banget lo mau nyetir,” ujar Shae sambil masuk ke dalam mobil Katha yang terparkir di depan toko tempatnya bekerja. “Gue habis dari rumah Papa. Kasian ini mobil ntar jamuran di parkiran. Kan sayang. Mana gue beli sendiri lagi,” sahut Katha. Dia kemudian melajukan mobilnya membelah jalanan kota yang ramai. Maklum sekarang adalah jam pulang kerja untuk beberapa kantor. Jadilah sesekali mereka menemui macet. “Jadi kedepannya lo bakal nyetir sendiri? Nggak diantar Rabu?” “Siapa bilang? Selagi ada Rabu, ngapain gue harus susah-susah nyetir tiap hari?” Katha terkekeh. “Ya, mungkin nanti sesekali kalau Rabu sibuk, atau kalau gue lagi pengen nyetir kayak sekarang.” “Dasar lo!” Shae tertawa. “Lo kalau mau pakai, pakai aja. Bawa kerja.” Katha memutar kemudi ke kiri, menghindari mobil yang menyalipnya dengan posisi terlalu dekat dari arah kanan. “Ya, ya,” sahut Shae. “Eh, ngomong-ngomong kita dari dulu selalu makan
Kejadian gelas pecah berlalu cepat. Bening langusung mengucapkan maaf pada orang-orang yang ada di sana, sekaligus pada Langit, lalu dia berlalu menuju kitchen. Sementara tak lama kemudian seorang pelayan datang membereskan sepihan-serpihan kaca. Melihat keadaan Bening tadi, Katha semakin penasaran. Kenyataan yang disampaikan Kandara membuatnya ingin cepat bertanya pada Bening, tapi juga tak ingin membuat orang lain curiga. Kalau dia ngobrol empat mata dengan Bening sekarang, orang-orang yang semeja dengannya saat ini akan bertanya-tanya.. Perempuan itu juga terlihat menghindari tatapan matanya. Mungkin Bening menduga ka lau dia sudah tahu kebenarannya dari Kandara. Jadilah sampai pulang, Katha tak sempat berbicara dengan Bening. Hal itu membuatnya resah sendiri. “Lo kenapa? Shae udah tidur?” tanya Rabu sambil duduk di sebelah Katha. Perempuan itu sedang duduk di sebelah kolam koi, padahal malam sudah cukup larut. “Udah,” jawab Katha lemas. “K
Shae tidak jadi ngekos. Dia memilih untuk mengontrak rumah atas saran dan bantuan Rabu. Sebenarnya dia punya rumah. Rumah yang tempo hari jadi tempat perkara penyekapan dirinya oleh sang kakak, adalah milik mereka berdua. Namun, dia merasa tak bisa tinggal di sana lagi. Padahal Rabu sudah merenovasi bagian-bagian yang rusak akibat insiden mengerikan tempo hari. “Ini rumahnya yang ini? Beneran yang ini? Lo kok nggak nyariin yang bagus sih, Bu?” protes Katha. Mendengar itu Rabu mendengkus kesal. Dia hanya membantu menyuntik dana, bukannya terlibat langsung ke pemilik kontrakan. “Gue yang milih, Tha,” sahut Shae sambil tertawa. “Ini yang paling dekat sama toko, terus suasanya juga adem.” Rumah yang dikontrak Shae memang kecil dan tampak sangat sederhana dalam ukuran kacamata Katha yang kaya sejak lahir. Namun, lingkungan di sekitar rumah itu terlihat jauh lebih baik. Rumah-rumah tetangga ditumbuhi berbagai tanaman. Dan rumah yang dikontrak ini, t
Rabu menggeleng-gelengkan kepala usai Rendra pulang, sementara Katha masih tertawa-tawa. Dia kembali duduk di kursi dapur, menghadap jurnalnya yang tertutup. "Tega baget lo," celetuk Rabu. Dia sudah selesai menyiapkan semua makanan dan tinggal memindahhkannya ke meja makan. "Lucu banget tau nggak ekspresinya," sahut Katha. "Gue yang dengerin dari sini aja udah bisa bayangi gimana ekspresi dia." "Terus kenapa nggak keluar?" Katha mengernyit. "Eh, eh, makan sini aja, Bu. Nggak usah dibawa ke sana." Dia mencegah Rabu yang hendak memindahkan makanan ke meja makan. Rabu akhirnya berhenti. Dia meletakkan makanan itu di meja depan Katha, lalu memindahkan kursi berhadapan dengan perempuan itu. "Kalau gue keluar, ntar lo ngamuk lagi," ujar Rabu. Katha terkekeh. Dia paham maksud Rabu. Karena kalau lelaki itu keluar, pasti dia akan memberitahukan keberadaan Shae. "Paling ntar pas dia chat lo, lo bakal luluh juga," ejek Kath
Perdebatan tentang pergi ke luar atau dalam negeri semalam tidak berlanjut. Katha kehilangan minatnya dalam membujuk dan mendebat Rabu karena telepon masuk dari Felysia. Akibatnya, rasa tak nyaman bercokol di dadanya, bahkan sampai saat ini. Katha melirik jam yang masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Karena rasa tak nyaman yang belum hilang itu, dia sampai tidak bersemangat kerja. Akhirnya untuk mengembalikan kesadaran, dia berinisiatif ke pantry lantai bawah untuk membuat kopi sendiri. Ya, sekalian jalan-jalan di jam kerja. “Eh, Bu Katha,” sapa Enrico—manager produksi di perusahaan ini. Lelaki berusia awal tiga puluhan itu masuk ke dalam pantry dan berdiri di depan meja, berseberangan dengan Katha. “Oh, halo Pak Rico,” sapa Katha balik. Dia berusaha mengulas senyum sambil menuangkan gula pada gelasnya yang sudah berisi kopi panas. “Kopi?” tanyanya. Enrico menggeleng. Dia kini berjalan menuju kulkas dan mengeluarkan botol bening berisi cairan hijau.