Dean yang masih belum pulih, bisa terluka oleh Elang. Atau, Dean yang masih belum bisa mengontrol penuh kekuatannya, bisa saja melukai Elang.
Yang lebih menakutkan dari itu, adalah dampak dari benturan energi kedua pria kuat tersebut. Entah akan memakan korban jiwa sebanyak apa.
Jika sampai sesosok ‘Lazuardi’ muncul dan menciptakan kubah pelindung tersebut, artinya, dampak yang dihasilkan dari pertarungan Dean dan Elang, mungkin bisa menghancurkan seluruh kota tempat mereka berada!
Sesungguhnya Aliya telah merasakan bahwa ada campur tangan dari pihak yang kuat, ketika Aliya pertama kali masuk kubah yang muncul dan mengurung Dean serta teman-teman lain paska duel antara Dean dan Elang sebelum ini.
“Apakah Anda juga Tuan, yang menciptakan medan energi di sekelilingku? Dan… Elang?”
Sosok itu tidak menjawab, Aliya kemudian paham, bahwa hal tersebut mungkin belum waktunya untuk dibuka pada dirinya.
Entah dari mana p
Aliya membuka matanya dan melihat Dean telah berdiri beberapa langkah darinya. Aliya berlari menghambur ke arahnya.Dean merentangkan tangannya dan segera memeluk Aliya begitu Aliya sampai padanya.Bukannya balas memeluk suaminya, tangan Aliya meraih kedua sisi kerah hem Dean, menariknya hingga membungkuk.“Aliy--”Belum sempat Dean menyebut nama Aliya, Aliya telah menempelkan bibirnya pada bibir Dean dan menciumnya penuh gairah.Matanya terpejam dan kedua pipinya merona merah.Ia tak melepaskan dirinya dari mencium Dean beberapa saat.Meskipun Dean sempat terkejut dengan gerakan tiba-tiba Aliya, ia pun tak urung memejamkan mata dan menikmati bibir Aliya yang hangat dan manis itu.Aliya melepaskan ciumannya. Matanya terbuka perlahan lalu menatap bola mata hazel di hadapannya yang kini juga terbuka.“Ajari aku french kiss, my French hubbie…” kedua mata Aliya mengerjap. Bulu matanya bergerak-
Tak lagi terasa keraguan dalam udara yang terhirup oleh keduanya.Tak lagi ada rasa tak aman untuk memiliki sepenuhnya.Aliya tahu sekarang kebutuhannya terhadap seorang Dean. Bukan sekadar pelindung yang pernah membuatnya galau waktu dulu.Namun kebutuhan akan seseorang yang akan menjadi imam dan di makmumi oleh dirinya, seterusnya.Dean pun kini tahu, bahwa ia bisa terlepas dari rasa tak yakin pada dirinya sendiri.Dia bisa mulai meletakkan harapan dan kepercayaannya pada wanita yang bertahun-tahun ia impikan dan kini menjadi isterinya secara sukma itu.Hati kedua insan tersebut menghangat dan saling menaruh harapan pada masa depan. Meskipun mungkin akan ada kesulitan yang datang menerpa, mereka yakin akan dapat saling menguatkan.* * *“Ah, Dean…” rintih Aliya diantara desah panjang yang beruntun terlontar dari bibirnya.Kedua tangannya mencengkeram headboardranjang besar yang sedari
“Aduh…”“Maaf. Habis gemes,” kata Aliya sambil merengut. Jari-jarinya lalu mengusap-usap bekas gigitannya di dada Dean. “Sakit ya?”“Ngga, Sayang…” jawab Dean lalu mengecup pucuk kepala Aliya. “Maafin kenapa, tadi?” tanyanya kembali ke topik awal.“Emmhh….” Aliya menarik napas. “Tadi siang. Di dalam dome itu. Aku berkata kasar dan memperlakukanmu dengan ketus dan cuek …..”“Oh, itu ...” sahut Dean tenang.“Maaf aku terpaksa melakukannya. Aku berlagak tegas begitu padamu, hanya karena di depan Elang. Aku hanya tidak ingin memancingnya cemburu jika terlalu kentara membelamu di depannya. Aku… emm…. aku….” Kalimat Aliya terputus.“Aku tahu, Sayang.”“Itu bukan karena aku masih memiliki… emm.. hati untuk Elang…”“Ya, Al. Tidak perlu dipikirkan. Aku paham situasinya saat itu. Kita sama-sama ingin menyadarkan dia,” tutur Dean pelan. “Justru aku yang minta maaf padamu.”“Minta maaf padaku? Kenapa?”“Karena aku tau, ini sangat berat untukmu. Menyadarkan Einhard yang pernah menjadi bagian sanga
Desa Suntenjaya yang berada di wilayah Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat menawarkan pesona alam yang menenangkan jiwa.Terletak di kaki Gunung Bukit Tunggul, desa ini dikelilingi oleh hamparan hijau yang subur dengan perbukitan yang bergelombang, menciptakan panorama indah yang memanjakan mata.Udaranya begitu segar, sejuk, dan bersih, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Kabut tipis sering kali menyelimuti desa ini di pagi hari, memberikan kesan mistis dan menambah keindahan alamnya.Pepohonan pinus menjulang tinggi di sepanjang jalan desa, sementara ladang-ladang sayuran dan kebun teh terhampar luas, diolah oleh para petani dengan penuh dedikasi.Sungai-sungai kecil dengan air yang jernih mengalir di antara lembah-lembah, memberikan kehidupan pada flora dan fauna di sekitarnya.Di kejauhan, Gunung Tangkuban Perahu tampak berdiri megah, menjadi latar belakang yang sempurna untuk desa yang damai ini.Di dalam satu bangunan vila besar da
Malam itu hanya ada Dean dan Nawidi.Kedua pria dengan level tinggi tersebut berdiam, bergeming dengan pikiran yang mendalam.“Kapan Anda menyadarinya?” tanya Nawidi.“Lebih tepatnya saat menghadapi ular berkepala sembilan itu. Saya mulai merasakannya, namun belum terlalu yakin,” jawab Dean pelan.“Ini--” Nawidi terhenti, nyaris seperti kehilangan kata-kata --suatu hal yang tidak pernah terjadi pada seorang dari Realm Air ini. “Ini luar biasa, sekaligus bisa menjadi malapetaka,” imbuhnya lagi.“Saya tahu.”Mereka berdua kembali sama-sama terdiam.Dalam benak mereka, tersimpan satu kekhawatiran. Baik Dean maupun Nawidi, menyadari sesuatu. Suatu perubahan yang terjadi pada diri Dean.Pria tampan suami sukma Aliya itu, terdeteksi memiliki energi jauh lebih besar dari yang dimiliki oleh seorang Level Satu.Dengan dalam, mereka sama-sama memiliki pemikiran itu.Bahwa Dean, mengalami kultivasi ke tingkat yang lebih tinggi dari Level Satu.Level mengerikan yang tak pernah bisa dibayangkan ole
Selasa, 13 DesemberJam 09.19Suntenjaya. Di sebuah rumah kecil di atas sebuah bukit.Saat itu Nawidi masih tengah membaca buku, ketika tiba-tiba pintu rumah terbuka dan pusaran angin kecil masuk lalu beberapa detik kemudian menghilang.Nawidi menutup bukunya pelan.Ia lalu bangun dari tempat duduknya di ruang tengah menuju sebuah kamar di samping ruang tersebut.Tangannya membuka pintu kamar dan duduk bersila di dekat Dean yang juga tengah duduk bersila menghadap Timur.Nawidi menunggu dengan tenang.Tak lama Dean membuka matanya dan langsung menatap Nawidi.“Ada apa? Anda belum selesai, bukan?” tanya Nawidi langsung pada Dean.“Aliya,” ujar Dean lalu mengernyitkan keningnya. “Dia pergi.”“Anda coba cari dulu. Saya akan segera kembali ke rumah,” tukas Nawidi cepat yang disambut anggukan pelan Dean.Dean kembali memejamkan matanya. Sejurus kemudian, Nawidi kembali bangkit dan dengan langkah cepat keluar dari rumah kecil itu.* * *“Bang, kok jam segini balik?” Agni yang pertama menyamb
“Ah.” Agung kehilangan kata. Ia menundukkan kepala dengan kedua tangan menopang dagunya.“Halim udah lama ga beroperasi untuk penerbangan private jet. Udah lama dipindahin ke terminal 1 Soekarno Hatta,” jelas Agni menganalisa sendiri. “Abang sengaja take off dari Halim agar ga keliatan kita.”“Liya… apakah mungkin kesana juga?” gumam Agung lirih.“Who knows. Gua harap ini ga ada kaitannya sama abang. Tapi kita berdua tau, ini mengarah kemana, Gung,” ujar Agni pelan.Agung tak menjawab Agni.Jauh di dasar hatinya, ia ingin tidak memercayai semua perubahan ini.Seorang Einhard yang telah lama menjadi panutan bagi dirinya dan selalu ia ikuti semua bimbingannya dengan sukarela dan penuh kebanggaan, kini seolah berada di tengah-tengah jalan mereka.Menghalangi mereka dalam melaksanakan apa yang dulu Einhard sebut sebagai ‘bakti pada-Nya’.“Udah, cup cup…” Agni menepuk pundak Agung pelan. “Ntar pasti abang balik kaya dulu lagi. Moony sedang berusaha dan Moony mastiin itu harus terjadi, Gung.
Selasa, 13 Desember03.34 PM, Rusia.Aliya menggeliat dan merentangkan kedua tangannya. Ia perlahan membuka matanya.‘Hm?Empuk sekali bantal dan kasurnya?’Aliya mengerjapkan mata beberapa kali. Kini matanya menangkap jelas apa yang ada di hadapannya.“Hah?!”Badannya sampai terlonjak duduk. Kepalanya menengok kanan dan kiri.Ini bukanlah suasana dalam kamarnya.Terbentang di depannya ruangan berluas sekitar 50 atau 60 meter persegi, dengan arsitektur bergaya victorian.Ranjang yang ia tempati-pun berukuran dua kali lipat dari ranjang di rumahnya.Seprai putih dengan lis berenda berwarna emas, lalu belasan bantal dengan berbagai ukuran tertata rapi di sekitar headboardranjang yang berlapis emas.Kasur ini begitu luas dan empuk, seolah bisa menenggelamkan tubuh Aliya.“Di-dimana ini?” Aliya tergagap bingung. Ia lalu melih