"Woeeey kabur kabur kabur!! Ada Polisiiii....!!!" teriakan salah seorang penonton balapan liar malam itu membuat semua orang yang ada di area balap liar menjadi kalang kabut.
Suara sirine mobil patroli Polisi terdengar semakin jelas. Para anak muda belingsatan dan kalang kabut kabur mencari aman untuk dirinya masing-masing. Tak terkecuali Herga. Untung saja malam ini tidak ada acara taruhan besar-besaran. Hanya judi kecil, intinya siapa yang bisa mengalahkan Herga di balapan liar sepanjang 300 meter (di jalan lurus) sampai garis finish dia berhak mendapatkan uang 100.000 dan sebaliknya. Setelah menyelesaikan balapan ke 6 dan berhasil mengantongi uang sebesar 600.000 rupiah, Herga langsung kabur meninggalkan area balapan. "Hahahahaha..... Huuuuuhhhh!!!" teriak Herga lega saat dia tahu tak ada satu pun Polisi yang berhasil mengejarnya di belakang. Maka dia pun mulai mengemudikan motornya dengan santai. *** Meninggalkan area balapan liar yang sedang di razia Polisi, suasana hening begitu terasa di sebuah bangunan semi kaca nan besar dan luas. Di dalam bangunan itu, seorang perempuan terlihat sedang berjalan dari satu manekin ke manekin lain dengan bibir yang menghadirkan senyum penuh kepuasan. Sesekali tangannya mengibaskan gaun yang membalut indah manekin-manekin tersebut. Biarpun manekin adalah sebuah benda mati, namun benda itu tampak hidup dengan balutan gaun yang menjuntai. Gadis itu bernama Viola. Malam ini dia merasa patut berbangga diri atas semua usaha yang telah dia lakukan beberapa hari di penghujung bulan untuk menyelesaikan sejumlah gaun-gaun ini. Semua itu hasil jahitannya sendiri, yang akan dipamerkan dalam acara pembukaan butik barunya besok. Butik yang dia namai Villegas Boutique. Viola menghela napas dan berdiri di depan manekin yang terpajang di dekat pintu masuk. Matanya melirik jam tangan mewah merek rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dan seketika mata cantik itu membelalak saat menyadari dirinya sudah ada di butik ini selama hampir 5 jam. Bunyi dering ponsel dari dalam sling bag mengagetkan Viola yang baru saja mengunci pintu. Saatnya pulang. "Halo Ma," telfon dari Mamanya. "Iya ini Vio udah mau pulang kok. Oh nggak usah dijemput.... Vio bisa pulang naik taksi. Ya... oke... sampai ketemu di rumah," dia mengakhiri panggilan. Seolah belum rela meninggalkan butik dan karya-karyanya,Viola berjalan mundur dengan mata yang terus menatap ke dalam sampai langkahnya tiba di pagar pembatas antara pelataran butik dan jalan raya. Dia benar-benar tidak sabar menunggu hari esok. Namun naas, saat dia baru saja berbalik dan berjalan beberapa langkah sambil sibuk memesan taksi melalui aplikasi di ponselnya, tiba-tiba saja sebuah motor dengan kecepatan tinggi melintas dan menyerempet tubuhnya tanpa ampun. Viola memang sempat sedikit menghindar, tapi tetap saja tubuh rampingnya itu terpelanting dan terjengkang ke tepi jalan. Ponselnya pun melayang dan jatuh tepat di rerumputan di samping tubuhnya. "Auuhhh!!!" teriak Viola. Pemotor yang menyerempetnya tadi berhenti tidak jauh dari posisi Viola dan celingukan. Matanya yang tersembunyi dari balik kaca helm, memandang Viola yang susah payah bangun dari jatuhnya. Khawatir terjadi sesuatu yang serius, pemotor tersebut langsung putar balik dan menghampiri Viola. "Kamu.... nggak pa-pa?" tanya pemotor itu yang tak lain adalah Herga. Dia turun dari motor, melepas helm kemudian membantu Viola berdiri. "Nggak pa-pa gundulmu!" semprot Viola sambil meringis menahan sakit. Dia baru berdiri beberapa detik namun kemudian duduk lagi di tepian trotoar. "Lihat nih kaki, siku, bahu gue lecet-lecet kaya gini! Hhhh! Bisa nggak sih bawa motor tuh pelan-pelan aja? Memangnya ini jalanan punya lo sendiri?!" omelnya. Kata 'gundulmu' reflek membuat Herga menyentuh kepalanya sekilas. Wajahnya sontak menciut mendengar omelan Viola. Namun, ini semua bukan atas dasar kesengajaan. Siapa sih yang mau dengan sengaja nabrak orang? Setelah lolos dari kejaran Polisi tadi Herga memang cukup bernapas lega dan bisa santai berkendara. Namun ternyata di salah satu gang, seorang Polisi sedang berjaga--dia bekerja sama dengan Polisi yang merazia area balapan sambil berbicara melalui sambungan walky talky-- dan saat melihat sosok Herga dari kejauhan, Polisi itu mulai bersiap untuk mengejar Herga. Tidak mau ditangkap dan motor kesayangannya disita, Herga pun langsung kembali tancap gas tak tentu arah. Saat menemukan perempatan, dia memutuskan untuk banting setir ke kiri yang merupakan jalan menuju butik. Lalu terjadilah kecelakaan ini. "Eee... maaf... sekali lagi gue minta maaf... maaf banget ya..." ucap Herga berulang-ulang. Jadi karena cewek itu menggunakan kata lo-gue, Herga yang tadinya pengen aku kamu pun jadi ngikut si cewek. Viola mendengus. Dia menyambar ponselnya dan semakin jengkel karena ponsel itu mati. Mungkin karena hantaman yang terlampau keras pada tanah kali ya? Mana dia belum pesan taksi lagi. Dan waktu semakin malam. Papa dan Mamanya di rumah pasti khawatir. "Eee... tunggu sini bentar ya, gue cari apotek dulu buat beli plester sama beta...." "Kelamaan!" serobot Viola kesal. Dia merogoh kunci dari dalam sling bag dan menyerahkan pada Herga. "Nih, buruan ambil kotak obat di butik gue. Bisa mati kesakitan kalau gue nunggu lo cari apotek. Di daerah sini gak ada apotek. Buruan!" Herga masih celingukan. Dia menatap bangunan semi kaca yang gelap--karena Viola memang sengaja mematikan lampunya di dalam--dan langsung membuat nyalinya menciut. Deretan manekin yang dipakaikan gaun itu terlihat seperti hantu. "Udah buruan sana ambilin! Perih semua nih badan gueee..." Viola menggaplok bahu Herga yang masih bengong. Herga terlonjak. "Oh... e... I-iya gue ambilin sekarang." Herga bergegas menuju butik. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa kotak obat. Di tempatnya Viola sudah meringis-ringis menahan sakit. Gara-gara dia kulit mulus Viola jadi penuh luka. Dengan telaten dan hati-hati, Herga membersihkan luka di lutut dan siku Viola menggunakan cairan pembersih luka. Sesekali Viola sedikit berjingkat karena perih. "Pelan-pelan aja dong!" bentak Viola. Dia sebenarnya tahu Herga sudah melakukannya dengan hati-hati. Tapi dia masih kesal aja sama tu anak. "Ini kan juga udah pelan-pelan," Herga membela diri. Viola mendengus. Dia merawat sendiri luka di bagian bahu. Setelah bersih, Herga mulai memasang plester pada lutut dan siku Viola. "Yang itu perlu dikasih plester nggak?" tanya Herga menunjuk bagian bahu. "Nggak!" mata Via melotot. "Biar gue pasang sendiri. Udah itu balikin lagi ke dalam. Jangan lupa dikunci lagi." Herga mengangguk menuruti. Kalau bukan karena merasa bersalah telah menyerempet gadis ini, dia pasti sudah meninggalkannya begitu saja. Herga nggak tahan dengan sikap judes dan cerewetnya. Mana kelihatannya sombong banget lagi. "Ingat! Jangan sekalipun lo sentuh gaun-gaun yang ada di manekin. Tangan lo kotor!" pesan Viola ketus saat Herga sudah berjalan beberapa langkah menuju butik. "Hmmm," gumam Herga singkat. Herga masuk dengan hati-hati ke dalam butik dan mengembalikan kotak obat ke tempatnya semula. Saat berbalik, jantungnya hampir copot melihat gaun yang melambai-lambai karena diterpa angin dari luar. "Hufh, sialan! Mimpi apa sih gue semalem bisa apes begini?!" gerutunya. Sebelum keluar, Herga berhenti sejenak di depan manekin yang dekat dengan pintu. Dia mengamati lekat-lekat gaun yang dikenakan pada manekin tersebut dan tersenyum penuh kekaguman. Meskipun dia seorang laki-laki urakan yang hobinya balapan liar, dia tetaplah seorang manusia yang juga memiliki sisi kelembutan. Herga kagum dengan keanggunan dan kemewahan gaun di hadapannya. Sebuah gaun pengantin berwarna putih bersih itu menjuntai ke bawah. Dalam benaknya dia jadi membayangkan, suatu hari nanti jika dia menikah, dia akan melihat calon istrinya mengenakan gaun ini. Ah, pasti cantik sekali. Pikirnya. Tanpa sadar, tangan Herga terulur hendak menyentuh gaun itu. "Sudah gue bilang jangan dipegang! Tangan lo kotor!" sebuah teriakan yang sangat dia kenal--meski dia baru malam ini mendengar suara itu--mengagetkan Herga dan reflek membuatnya kembali menarik tangannya. Herga menatap keluar dan melihat Viola sudah berdiri tak jauh dari pintu butik. Rupanya Viola begitu penasaran kenapa Herga lama sekali di dalam butik hanya untuk mengembalikan kotak obat. Jadi meski dengan susah payah berjalan, dia pun menghampiri ke sana. Dan ternyata cowok itu sedang berdiri mematung di depan hasil kerjaannya. Herga cuma nyengir kuda kemudian keluar dan mengunci pintu. "Itu semua gaun rancangan lo?" Herga menyerahkan kunci pada Viola. "Bagus-bagus semua." Viola tersenyum sinis kemudian melasakkan kunci tersebut ke dalam tas. "Lo ngomong gitu mau ambil simpati gue? Sorry ya, gue nggak tertarik. Tanpa lo akui, udah banyak yang bilang kalau gaun-gaun buatan gue itu memang bagus," jawab Viola ketus dan angkuh. Herga menelan ludah. Lagi-lagi dia harus menahan diri dan lebih bersabar menghadapi makhluk di depannya ini. "Ya udah kalau begitu, urusan kita sudah selesai kan?" tukas Herga. "Gue pulang dulu ya," dia berlalu melewati Viola. "Eeeehhh... nggak bisa gitu dong!" tubuh Viola reflek berputar dan tangannya mencekal tangan Herga. Herga berhenti dan berbalik. Matanya menatap tangan mulus gadis yang tengah mencekal tangannya itu dan seketika ada sesuatu yang berdesir di dalam hatinya. Sadar tengah diamati, Viola pun buru-buru melepaskan cekalannya. "Apa lagi?" tanya Herga. "Lo harus anterin gue pulang," Viola menyilangkan kedua tangannya di dada. "Gara-gara lo, ponsel gue mati dan gue jadi nggak bisa pesen taksi online!" Herga menahan senyum. Serius ni cewek nyuruh dia nganterin pulang? "Kenapa lo senyum-senyum? Lo suka karena gue nyuruh lo nganterin gue?" Herga menghela napas panjang. Ternyata ni orang selain cerewet, judes tapi over PD juga ya? Untung sih dia cewek. Kalau bukan, udah gue ajak baku hantam deh! Batinnya kesal. Viola berlalu mendahului Herga dengan langkah tertatih. "Udah ayok buruan!" ucapnya tanpa sedikitpun mempedulikan Herga yang masih menahan geram. Herga mengepalkan tangannya menahan emosi, lalu dengan langkah berat mulai melangkahkan kaki mengikuti Viola. Dia mengantarkan gadis itu pulang dengan selamat sampai di depan pintu gerbang rumahnya. Perjalanan dari butik ke rumah Viola memang tidak jauh. Tapi karena saat itu Herga membonceng Viola yang duduk menyamping--karena Viola mengenakan dress seatas lutut--jadi dia harus membawa motornya pelan-pelan. "Makasih ya," ucap Viola begitu turun dari motor. "Nggak perlu. Ini sudah jadi bagian dari tanggung jawab gue juga sih harusnya," jawan Herga datar. Viola mencibir. "Ya udah. Gue masuk dulu. Bye," dia berjalan mendekati pintu gerbang. Melihat cara jalan Viola yang masih tertatih-tatih, sisi kemanusiaan Herga muncul. Orang tua gadis itu pasti kaget melihat anaknya pulang dengan banyak luka seperti ini. Apa yang akan dikatakan gadis itu nantinya kalau orang tuanya bertanya? "Eh tunggu!" Herga turun dari motor dan berlari menghampiri Viola yang sudah hampir mendorong pintu gerbang. "Kenapa lagi?" "Perlu gue anter ke dalam?" "Hah? Nggak perlu lah," Viola geleng-geleng kepala. Untuk ke sekian kalinya dia melihat penampilan Herga dari atas sampai bawah. Jaket jeans lusuh, celana rombel, telinga di piercing, kalung rantai, rambut kusut. Hiiihhh.... Apa yang bakal dipikirkan kedua orang tuanya nanti melihat anak semata wayangnya pulang bersama pria semacam ini? "Biar gue jelasin ke orang tua lo kalau malam ini...." "Nggak... nggak... nggak...!" potong Viola tegas. "Lo nggak perlu jelasin apa-apa ke orang tua gue. Gue punya jawaban yang udah gue pikir sepanjang jalan tadi buat mereka kenapa gue pulang telat dan kaya gini," dia mengibaskan kedua tangannya menunjukkan luka-luka itu. Herga memandang Viola beberapa saat. Gadis itu akan berbohong kepada orang tuanya yang otomatis juga melindungi dirinya. "Ya udah, lo pulang sono. Gue juga capek dan ngantuk," Viola masuk dan kembali menutup pintu gerbang besar itu. Untuk ke sekian kalinya Herga menghela napas pelaaaaan dan panjaaaaang. Semoga aja gue nggak ketemu sama cewek itu lagi, batinnya berharap. Tu cewek memang cantik sih dan lagi dia juga nggak minta ganti rugi dari kejadian ini, tapi judesnya itu beneran bikin naik darah! Hiiihhh! Herga bergidig. Tak mau berlama-lama berada di depan rumah gedong itu, Herga pun segera memacu motornya dan pulang.Setibanya di rumah, Viola langsung disambut dengan cemas oleh kedua orang tuanya. Tentu saja, apalagi mereka melihat banyak sekali luka di tubuh Viola. Namun Viola sedang tidak ingin menjelaskan banyak hal karena dia sudah sangat lelah dan ngantuk. Ditambah lagi rasa perih dan nyeri akibat luka itu kian terasa. Viola terpaksa berbohong kepada orang tuanya, bahwa yang menyebabkan luka itu adalah karena seorang pengemudi ojek online yang sudah berumur tidak sengaja menabraknya di jalan, saat dia sedang sibuk mengoperasikan ponsel untuk memesan taksi online. Hal itu Viola lakukan karena dia tidak mau Ayahnya tahu kalau si penabrak sebenarnya adalah pemuda arogan yang mengemudikan motor tanpa aturan. Ayahnya pasti tidak akan tinggal diam dan sudah pasti akan membawa kasusnya ke jalur hukum. Ah, bakalan runyam kan? Sementara menurut Viola tidak ada hal yang sangat serius terjadi pada dirinya setelah kecelakaan kecil itu. Jadi tidak perlu diperpanjang. "Iya Pa, Ma. Pokoknya kasihan ban
>>9 tahun yang lalu
Setibanya di kelas, dua sahabat Viola, Sassy dan Icha langsung menyambut dengan antusias dan menggiring Viola ke bangkunya. Mereka lantas mengintrogasi Viola tentang peristiwa semalam. Icha, sudah pasti anak itu tahu dari Sassy. Semalam kan Viola hanya cerita ke Sassy. Mereka juga menertawakan penampilan Viola yang begitu tertutup. "Nggak usah ketawa deh," ucap Viola ketus. Dua sahabatnya itu langsung kicep. "Jadi gimana? Lo bilang dia nganterin lo sampe rumah. Dia masih cowok apa udah bapak-bapak?" tanya Icha rempong. Gila. Berarti apa yang diceritakan Viola ke Sassy, di forward semua ke anak itu. Viola menggeleng. Dia tidak mau mengatakan kalau si penabrak itu adalah mahasiswa kampus ini juga yang ternyata cukup punya nama di sini. Iya kan? Buktinya fotonya menjadi ikon poster Fakultas Teknik. Sempat terbersit sedikit rasa heran di benak Viola, kenapa dia sama sekali tidak kenal dengan si ikon itu. Padahal kelas mereka atas bawah. "Udah bapak-bapak kok. Bapak muda sih," boh
Hari yang dinanti Viola tiba. Kondisinya pun sudah fit untuk acara opening butiknya. Bahkan sejak pukul 5 sore tadi dia sudah ada di butik sementara acara baru akan dimulai pukul 7. Viola begitu antusias ditemani dua sahabatnya, Sassy dan Icha. Mereka bersolek di salah satu ruangan khusus di dalam butik untuk menyambut kedatangan para tamu undangan. Di momen inilah Viola melakukan persiapan ekstra. Dia ingin membuat Steffan terpesona dengan penampilannya. Dia tidak mau lagi Steffan menganggapnya anak kecil atau his sweet sister unyu-unyu seperti yang biasa dia katakan. "My sweet sister unyu-unyu," begitulah kalimat yang sering diucapkan Steffan untuk memuji dan menggoda Viola. Sebuah ungkapan pujian yang seharusnya membuat berbunga-bunga, tapi tidak. Viola tidak mau terus-terusan dianggap sebagai adik kecil. Viola mencintai Steffan lebih dari seorang adik kepada kakaknya. Viola menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum. "Sas, Cha, gimana make up gue? Nggak terlalu men
Hampir 20 menit Herga dan Viola ada di tepi jalan itu. Setelah ngoceh panjang kali lebar dan meminta supaya Viola berhenti menangis namun tidak digubris, Herga akhirnya memilih menyingkir agak jauh. Dia berdiri menyandar di pagar pembatas jalan. "Tu cewek kalau nangis lama banget ya? Kenapa sih sebenernya? Haduuuh... udah dua kali ketemu dia malam-malam dapetnya apes mulu. Kemaren nabrak, sekarang nungguin dia nangis. Gini amat sih nasib gue?" gerutu Herga sambil menggaruk-garuk kepalanya frustasi. Untuk mengusir rasa suntuk, dia menyalakan rokok filternya yang tinggal satu-satunya dia miliki. Meski jengkel tapi ada rasa tidak tega juga kalau harus meninggalkannya di sini sendirian. Bagaimana kalau ada orang jahat yang lewat terus berbuat sesuatu yang buruk padanya? Apalagi tu cewek jelas cantik. Cantik fisiknya dan yang pasti juga..... cantik rekeningnya kan? Hahaha. Heh! Lo mikir apa sih Ga?! Sebuah suara dalam hatinya berseru. Ya kalau cuma dirampok. Uang pasti bukan per
Viola memasuki rumah dengan langkah ringan. Meski malam ini hatinya sempat seperti wahana roller coaster, namun setelah curhat ke Herga tadi, roller coaster itu perlahan bisa dikendalikan. Saat dia baru menaiki tangga, Bi Noni berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Begitu dekat, kepalanya celingak-celinguk ke ruang depan. Viola menatap pembantunya itu heran. "Ada apa sih Bik?" "Non Viola baru pulang? Kok bibik nggak denger mobil Non masuk garasi?" Viola memutar bola matanya. Bi Noni adalah asisten rumah tangga paling sepuh bin senior di rumahnya. Beliau sudah bekerja di sini sejak usia Viola 4 tahun. Jadi bisa dipastikan dia tahu apapun tentang Viola. "Hmmmh... Iya. Aku memang nggak bawa pulang mobilku. Aku ngantuk, jadi takut mau nyetir. Mobilku dibawa Icha," Viola sengaja berbohong. Kening Bi Noni mengerut. Dia lalu melihat Viola dari atas sampai bawah, membuat Viola risih dan sedikit beringsut sambil menarik kain yang menutup bahunya. Saat itulah dia baru sadar kalau
Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu? Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam? "Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman. "Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni. Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa d
Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan. "Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor
Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per
Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i
Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka
Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan
Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di
Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka
Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang