"Woeeey kabur kabur kabur!! Ada Polisiiii....!!!" teriakan salah seorang penonton balapan liar malam itu membuat semua orang yang ada di area balap liar menjadi kalang kabut.
Suara sirine mobil patroli Polisi terdengar semakin jelas. Para anak muda belingsatan dan kalang kabut kabur mencari aman untuk dirinya masing-masing. Tak terkecuali Herga. Untung saja malam ini tidak ada acara taruhan besar-besaran. Hanya judi kecil, intinya siapa yang bisa mengalahkan Herga di balapan liar sepanjang 300 meter (di jalan lurus) sampai garis finish dia berhak mendapatkan uang 100.000 dan sebaliknya. Setelah menyelesaikan balapan ke 6 dan berhasil mengantongi uang sebesar 600.000 rupiah, Herga langsung kabur meninggalkan area balapan. "Hahahahaha..... Huuuuuhhhh!!!" teriak Herga lega saat dia tahu tak ada satu pun Polisi yang berhasil mengejarnya di belakang. Maka dia pun mulai mengemudikan motornya dengan santai. *** Meninggalkan area balapan liar yang sedang di razia Polisi, suasana hening begitu terasa di sebuah bangunan semi kaca nan besar dan luas. Di dalam bangunan itu, seorang perempuan terlihat sedang berjalan dari satu manekin ke manekin lain dengan bibir yang menghadirkan senyum penuh kepuasan. Sesekali tangannya mengibaskan gaun yang membalut indah manekin-manekin tersebut. Biarpun manekin adalah sebuah benda mati, namun benda itu tampak hidup dengan balutan gaun yang menjuntai. Gadis itu bernama Viola. Malam ini dia merasa patut berbangga diri atas semua usaha yang telah dia lakukan beberapa hari di penghujung bulan untuk menyelesaikan sejumlah gaun-gaun ini. Semua itu hasil jahitannya sendiri, yang akan dipamerkan dalam acara pembukaan butik barunya besok. Butik yang dia namai Villegas Boutique. Viola menghela napas dan berdiri di depan manekin yang terpajang di dekat pintu masuk. Matanya melirik jam tangan mewah merek rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dan seketika mata cantik itu membelalak saat menyadari dirinya sudah ada di butik ini selama hampir 5 jam. Bunyi dering ponsel dari dalam sling bag mengagetkan Viola yang baru saja mengunci pintu. Saatnya pulang. "Halo Ma," telfon dari Mamanya. "Iya ini Vio udah mau pulang kok. Oh nggak usah dijemput.... Vio bisa pulang naik taksi. Ya... oke... sampai ketemu di rumah," dia mengakhiri panggilan. Seolah belum rela meninggalkan butik dan karya-karyanya,Viola berjalan mundur dengan mata yang terus menatap ke dalam sampai langkahnya tiba di pagar pembatas antara pelataran butik dan jalan raya. Dia benar-benar tidak sabar menunggu hari esok. Namun naas, saat dia baru saja berbalik dan berjalan beberapa langkah sambil sibuk memesan taksi melalui aplikasi di ponselnya, tiba-tiba saja sebuah motor dengan kecepatan tinggi melintas dan menyerempet tubuhnya tanpa ampun. Viola memang sempat sedikit menghindar, tapi tetap saja tubuh rampingnya itu terpelanting dan terjengkang ke tepi jalan. Ponselnya pun melayang dan jatuh tepat di rerumputan di samping tubuhnya. "Auuhhh!!!" teriak Viola. Pemotor yang menyerempetnya tadi berhenti tidak jauh dari posisi Viola dan celingukan. Matanya yang tersembunyi dari balik kaca helm, memandang Viola yang susah payah bangun dari jatuhnya. Khawatir terjadi sesuatu yang serius, pemotor tersebut langsung putar balik dan menghampiri Viola. "Kamu.... nggak pa-pa?" tanya pemotor itu yang tak lain adalah Herga. Dia turun dari motor, melepas helm kemudian membantu Viola berdiri. "Nggak pa-pa gundulmu!" semprot Viola sambil meringis menahan sakit. Dia baru berdiri beberapa detik namun kemudian duduk lagi di tepian trotoar. "Lihat nih kaki, siku, bahu gue lecet-lecet kaya gini! Hhhh! Bisa nggak sih bawa motor tuh pelan-pelan aja? Memangnya ini jalanan punya lo sendiri?!" omelnya. Kata 'gundulmu' reflek membuat Herga menyentuh kepalanya sekilas. Wajahnya sontak menciut mendengar omelan Viola. Namun, ini semua bukan atas dasar kesengajaan. Siapa sih yang mau dengan sengaja nabrak orang? Setelah lolos dari kejaran Polisi tadi Herga memang cukup bernapas lega dan bisa santai berkendara. Namun ternyata di salah satu gang, seorang Polisi sedang berjaga--dia bekerja sama dengan Polisi yang merazia area balapan sambil berbicara melalui sambungan walky talky-- dan saat melihat sosok Herga dari kejauhan, Polisi itu mulai bersiap untuk mengejar Herga. Tidak mau ditangkap dan motor kesayangannya disita, Herga pun langsung kembali tancap gas tak tentu arah. Saat menemukan perempatan, dia memutuskan untuk banting setir ke kiri yang merupakan jalan menuju butik. Lalu terjadilah kecelakaan ini. "Eee... maaf... sekali lagi gue minta maaf... maaf banget ya..." ucap Herga berulang-ulang. Jadi karena cewek itu menggunakan kata lo-gue, Herga yang tadinya pengen aku kamu pun jadi ngikut si cewek. Viola mendengus. Dia menyambar ponselnya dan semakin jengkel karena ponsel itu mati. Mungkin karena hantaman yang terlampau keras pada tanah kali ya? Mana dia belum pesan taksi lagi. Dan waktu semakin malam. Papa dan Mamanya di rumah pasti khawatir. "Eee... tunggu sini bentar ya, gue cari apotek dulu buat beli plester sama beta...." "Kelamaan!" serobot Viola kesal. Dia merogoh kunci dari dalam sling bag dan menyerahkan pada Herga. "Nih, buruan ambil kotak obat di butik gue. Bisa mati kesakitan kalau gue nunggu lo cari apotek. Di daerah sini gak ada apotek. Buruan!" Herga masih celingukan. Dia menatap bangunan semi kaca yang gelap--karena Viola memang sengaja mematikan lampunya di dalam--dan langsung membuat nyalinya menciut. Deretan manekin yang dipakaikan gaun itu terlihat seperti hantu. "Udah buruan sana ambilin! Perih semua nih badan gueee..." Viola menggaplok bahu Herga yang masih bengong. Herga terlonjak. "Oh... e... I-iya gue ambilin sekarang." Herga bergegas menuju butik. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa kotak obat. Di tempatnya Viola sudah meringis-ringis menahan sakit. Gara-gara dia kulit mulus Viola jadi penuh luka. Dengan telaten dan hati-hati, Herga membersihkan luka di lutut dan siku Viola menggunakan cairan pembersih luka. Sesekali Viola sedikit berjingkat karena perih. "Pelan-pelan aja dong!" bentak Viola. Dia sebenarnya tahu Herga sudah melakukannya dengan hati-hati. Tapi dia masih kesal aja sama tu anak. "Ini kan juga udah pelan-pelan," Herga membela diri. Viola mendengus. Dia merawat sendiri luka di bagian bahu. Setelah bersih, Herga mulai memasang plester pada lutut dan siku Viola. "Yang itu perlu dikasih plester nggak?" tanya Herga menunjuk bagian bahu. "Nggak!" mata Via melotot. "Biar gue pasang sendiri. Udah itu balikin lagi ke dalam. Jangan lupa dikunci lagi." Herga mengangguk menuruti. Kalau bukan karena merasa bersalah telah menyerempet gadis ini, dia pasti sudah meninggalkannya begitu saja. Herga nggak tahan dengan sikap judes dan cerewetnya. Mana kelihatannya sombong banget lagi. "Ingat! Jangan sekalipun lo sentuh gaun-gaun yang ada di manekin. Tangan lo kotor!" pesan Viola ketus saat Herga sudah berjalan beberapa langkah menuju butik. "Hmmm," gumam Herga singkat. Herga masuk dengan hati-hati ke dalam butik dan mengembalikan kotak obat ke tempatnya semula. Saat berbalik, jantungnya hampir copot melihat gaun yang melambai-lambai karena diterpa angin dari luar. "Hufh, sialan! Mimpi apa sih gue semalem bisa apes begini?!" gerutunya. Sebelum keluar, Herga berhenti sejenak di depan manekin yang dekat dengan pintu. Dia mengamati lekat-lekat gaun yang dikenakan pada manekin tersebut dan tersenyum penuh kekaguman. Meskipun dia seorang laki-laki urakan yang hobinya balapan liar, dia tetaplah seorang manusia yang juga memiliki sisi kelembutan. Herga kagum dengan keanggunan dan kemewahan gaun di hadapannya. Sebuah gaun pengantin berwarna putih bersih itu menjuntai ke bawah. Dalam benaknya dia jadi membayangkan, suatu hari nanti jika dia menikah, dia akan melihat calon istrinya mengenakan gaun ini. Ah, pasti cantik sekali. Pikirnya. Tanpa sadar, tangan Herga terulur hendak menyentuh gaun itu. "Sudah gue bilang jangan dipegang! Tangan lo kotor!" sebuah teriakan yang sangat dia kenal--meski dia baru malam ini mendengar suara itu--mengagetkan Herga dan reflek membuatnya kembali menarik tangannya. Herga menatap keluar dan melihat Viola sudah berdiri tak jauh dari pintu butik. Rupanya Viola begitu penasaran kenapa Herga lama sekali di dalam butik hanya untuk mengembalikan kotak obat. Jadi meski dengan susah payah berjalan, dia pun menghampiri ke sana. Dan ternyata cowok itu sedang berdiri mematung di depan hasil kerjaannya. Herga cuma nyengir kuda kemudian keluar dan mengunci pintu. "Itu semua gaun rancangan lo?" Herga menyerahkan kunci pada Viola. "Bagus-bagus semua." Viola tersenyum sinis kemudian melasakkan kunci tersebut ke dalam tas. "Lo ngomong gitu mau ambil simpati gue? Sorry ya, gue nggak tertarik. Tanpa lo akui, udah banyak yang bilang kalau gaun-gaun buatan gue itu memang bagus," jawab Viola ketus dan angkuh. Herga menelan ludah. Lagi-lagi dia harus menahan diri dan lebih bersabar menghadapi makhluk di depannya ini. "Ya udah kalau begitu, urusan kita sudah selesai kan?" tukas Herga. "Gue pulang dulu ya," dia berlalu melewati Viola. "Eeeehhh... nggak bisa gitu dong!" tubuh Viola reflek berputar dan tangannya mencekal tangan Herga. Herga berhenti dan berbalik. Matanya menatap tangan mulus gadis yang tengah mencekal tangannya itu dan seketika ada sesuatu yang berdesir di dalam hatinya. Sadar tengah diamati, Viola pun buru-buru melepaskan cekalannya. "Apa lagi?" tanya Herga. "Lo harus anterin gue pulang," Viola menyilangkan kedua tangannya di dada. "Gara-gara lo, ponsel gue mati dan gue jadi nggak bisa pesen taksi online!" Herga menahan senyum. Serius ni cewek nyuruh dia nganterin pulang? "Kenapa lo senyum-senyum? Lo suka karena gue nyuruh lo nganterin gue?" Herga menghela napas panjang. Ternyata ni orang selain cerewet, judes tapi over PD juga ya? Untung sih dia cewek. Kalau bukan, udah gue ajak baku hantam deh! Batinnya kesal. Viola berlalu mendahului Herga dengan langkah tertatih. "Udah ayok buruan!" ucapnya tanpa sedikitpun mempedulikan Herga yang masih menahan geram. Herga mengepalkan tangannya menahan emosi, lalu dengan langkah berat mulai melangkahkan kaki mengikuti Viola. Dia mengantarkan gadis itu pulang dengan selamat sampai di depan pintu gerbang rumahnya. Perjalanan dari butik ke rumah Viola memang tidak jauh. Tapi karena saat itu Herga membonceng Viola yang duduk menyamping--karena Viola mengenakan dress seatas lutut--jadi dia harus membawa motornya pelan-pelan. "Makasih ya," ucap Viola begitu turun dari motor. "Nggak perlu. Ini sudah jadi bagian dari tanggung jawab gue juga sih harusnya," jawan Herga datar. Viola mencibir. "Ya udah. Gue masuk dulu. Bye," dia berjalan mendekati pintu gerbang. Melihat cara jalan Viola yang masih tertatih-tatih, sisi kemanusiaan Herga muncul. Orang tua gadis itu pasti kaget melihat anaknya pulang dengan banyak luka seperti ini. Apa yang akan dikatakan gadis itu nantinya kalau orang tuanya bertanya? "Eh tunggu!" Herga turun dari motor dan berlari menghampiri Viola yang sudah hampir mendorong pintu gerbang. "Kenapa lagi?" "Perlu gue anter ke dalam?" "Hah? Nggak perlu lah," Viola geleng-geleng kepala. Untuk ke sekian kalinya dia melihat penampilan Herga dari atas sampai bawah. Jaket jeans lusuh, celana rombel, telinga di piercing, kalung rantai, rambut kusut. Hiiihhh.... Apa yang bakal dipikirkan kedua orang tuanya nanti melihat anak semata wayangnya pulang bersama pria semacam ini? "Biar gue jelasin ke orang tua lo kalau malam ini...." "Nggak... nggak... nggak...!" potong Viola tegas. "Lo nggak perlu jelasin apa-apa ke orang tua gue. Gue punya jawaban yang udah gue pikir sepanjang jalan tadi buat mereka kenapa gue pulang telat dan kaya gini," dia mengibaskan kedua tangannya menunjukkan luka-luka itu. Herga memandang Viola beberapa saat. Gadis itu akan berbohong kepada orang tuanya yang otomatis juga melindungi dirinya. "Ya udah, lo pulang sono. Gue juga capek dan ngantuk," Viola masuk dan kembali menutup pintu gerbang besar itu. Untuk ke sekian kalinya Herga menghela napas pelaaaaan dan panjaaaaang. Semoga aja gue nggak ketemu sama cewek itu lagi, batinnya berharap. Tu cewek memang cantik sih dan lagi dia juga nggak minta ganti rugi dari kejadian ini, tapi judesnya itu beneran bikin naik darah! Hiiihhh! Herga bergidig. Tak mau berlama-lama berada di depan rumah gedong itu, Herga pun segera memacu motornya dan pulang.Setibanya di rumah, Viola langsung disambut dengan cemas oleh kedua orang tuanya. Tentu saja, apalagi mereka melihat banyak sekali luka di tubuh Viola. Namun Viola sedang tidak ingin menjelaskan banyak hal karena dia sudah sangat lelah dan ngantuk. Ditambah lagi rasa perih dan nyeri akibat luka itu kian terasa. Viola terpaksa berbohong kepada orang tuanya, bahwa yang menyebabkan luka itu adalah karena seorang pengemudi ojek online yang sudah berumur tidak sengaja menabraknya di jalan, saat dia sedang sibuk mengoperasikan ponsel untuk memesan taksi online. Hal itu Viola lakukan karena dia tidak mau Ayahnya tahu kalau si penabrak sebenarnya adalah pemuda arogan yang mengemudikan motor tanpa aturan. Ayahnya pasti tidak akan tinggal diam dan sudah pasti akan membawa kasusnya ke jalur hukum. Ah, bakalan runyam kan? Sementara menurut Viola tidak ada hal yang sangat serius terjadi pada dirinya setelah kecelakaan kecil itu. Jadi tidak perlu diperpanjang. "Iya Pa, Ma. Pokoknya kasihan ban
>>9 tahun yang lalu
Setibanya di kelas, dua sahabat Viola, Sassy dan Icha langsung menyambut dengan antusias dan menggiring Viola ke bangkunya. Mereka lantas mengintrogasi Viola tentang peristiwa semalam. Icha, sudah pasti anak itu tahu dari Sassy. Semalam kan Viola hanya cerita ke Sassy. Mereka juga menertawakan penampilan Viola yang begitu tertutup. "Nggak usah ketawa deh," ucap Viola ketus. Dua sahabatnya itu langsung kicep. "Jadi gimana? Lo bilang dia nganterin lo sampe rumah. Dia masih cowok apa udah bapak-bapak?" tanya Icha rempong. Gila. Berarti apa yang diceritakan Viola ke Sassy, di forward semua ke anak itu. Viola menggeleng. Dia tidak mau mengatakan kalau si penabrak itu adalah mahasiswa kampus ini juga yang ternyata cukup punya nama di sini. Iya kan? Buktinya fotonya menjadi ikon poster Fakultas Teknik. Sempat terbersit sedikit rasa heran di benak Viola, kenapa dia sama sekali tidak kenal dengan si ikon itu. Padahal kelas mereka atas bawah. "Udah bapak-bapak kok. Bapak muda sih," boh
Hari yang dinanti Viola tiba. Kondisinya pun sudah fit untuk acara opening butiknya. Bahkan sejak pukul 5 sore tadi dia sudah ada di butik sementara acara baru akan dimulai pukul 7. Viola begitu antusias ditemani dua sahabatnya, Sassy dan Icha. Mereka bersolek di salah satu ruangan khusus di dalam butik untuk menyambut kedatangan para tamu undangan. Di momen inilah Viola melakukan persiapan ekstra. Dia ingin membuat Steffan terpesona dengan penampilannya. Dia tidak mau lagi Steffan menganggapnya anak kecil atau his sweet sister unyu-unyu seperti yang biasa dia katakan. "My sweet sister unyu-unyu," begitulah kalimat yang sering diucapkan Steffan untuk memuji dan menggoda Viola. Sebuah ungkapan pujian yang seharusnya membuat berbunga-bunga, tapi tidak. Viola tidak mau terus-terusan dianggap sebagai adik kecil. Viola mencintai Steffan lebih dari seorang adik kepada kakaknya. Viola menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum. "Sas, Cha, gimana make up gue? Nggak terlalu men
Hampir 20 menit Herga dan Viola ada di tepi jalan itu. Setelah ngoceh panjang kali lebar dan meminta supaya Viola berhenti menangis namun tidak digubris, Herga akhirnya memilih menyingkir agak jauh. Dia berdiri menyandar di pagar pembatas jalan. "Tu cewek kalau nangis lama banget ya? Kenapa sih sebenernya? Haduuuh... udah dua kali ketemu dia malam-malam dapetnya apes mulu. Kemaren nabrak, sekarang nungguin dia nangis. Gini amat sih nasib gue?" gerutu Herga sambil menggaruk-garuk kepalanya frustasi. Untuk mengusir rasa suntuk, dia menyalakan rokok filternya yang tinggal satu-satunya dia miliki. Meski jengkel tapi ada rasa tidak tega juga kalau harus meninggalkannya di sini sendirian. Bagaimana kalau ada orang jahat yang lewat terus berbuat sesuatu yang buruk padanya? Apalagi tu cewek jelas cantik. Cantik fisiknya dan yang pasti juga..... cantik rekeningnya kan? Hahaha. Heh! Lo mikir apa sih Ga?! Sebuah suara dalam hatinya berseru. Ya kalau cuma dirampok. Uang pasti bukan per
Viola memasuki rumah dengan langkah ringan. Meski malam ini hatinya sempat seperti wahana roller coaster, namun setelah curhat ke Herga tadi, roller coaster itu perlahan bisa dikendalikan. Saat dia baru menaiki tangga, Bi Noni berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Begitu dekat, kepalanya celingak-celinguk ke ruang depan. Viola menatap pembantunya itu heran. "Ada apa sih Bik?" "Non Viola baru pulang? Kok bibik nggak denger mobil Non masuk garasi?" Viola memutar bola matanya. Bi Noni adalah asisten rumah tangga paling sepuh bin senior di rumahnya. Beliau sudah bekerja di sini sejak usia Viola 4 tahun. Jadi bisa dipastikan dia tahu apapun tentang Viola. "Hmmmh... Iya. Aku memang nggak bawa pulang mobilku. Aku ngantuk, jadi takut mau nyetir. Mobilku dibawa Icha," Viola sengaja berbohong. Kening Bi Noni mengerut. Dia lalu melihat Viola dari atas sampai bawah, membuat Viola risih dan sedikit beringsut sambil menarik kain yang menutup bahunya. Saat itulah dia baru sadar kalau
Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu? Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam? "Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman. "Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni. Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa d
Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan. "Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor