Share

Part 8

Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu?

Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam?

"Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman.

"Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni.

Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa dia memutuskan untuk membangun butik dan menjadikan butik itu usaha sekaligus bisnis perdananya. Dengan begitu, saat sedang tidak ada jadwal kuliah dia akan memiliki kesibukan dan tidak harus menyepi di rumah.

Viola lantas menelfon mamanya untuk memastikan apakah dia perlu menunggu kedua orang tuanya itu atau tidak. Karena siapa tahu kan pagi ini mereka pulang dan bisa sarapan bersama.

"Ya? Oh begitu. Ya udah deh, Papa sama Mama hati-hati ya..." Viola mengakhiri obrolan dengan lesu. Kedua orang tuanya itu ternyata masih sibuk dan belum bisa pulang hari ini.

Bi Yeni yang mencuri dengar obrolan majikan mudanya yang tengah menelfon turut merasa iba. Bagaimanapun dia juga seorang ibu muda yang meninggalkan anaknya di kampung. Dia jadi berfikir, mungkin perasaan anaknya juga sama seperti Viola saat bertanya kapan kepulangannya ke kampung dan dia belum bisa memastikan.

Viola sarapan sendiri. Kilat saja. Dia cuma makan dua lembar roti tawar dengan selai kacang. Setelahnya dia kembali ke kamar. Saat mengecek ponsel ada banyak sekali pesan dari Sassy dan Icha yang bertanya kemana dirinya hari ini. Kenapa nggak masuk kuliah dan bla bla bla.

[Gue lagi nggak mood kuliah. Lagi pengen istirahat. Besok deh gue berangkat]

Viola mengirimkan pesan tersebut pada Sassy.

***

Di kampus, Sassy yang baru saja mendapat pesan balasan dari Viola menunjukkannya pada Icha.

Icha cuma geleng-geleng kepala. Dia masih ingat bagaimana reaksi kemarahan Viola semalam saat menyambut kedatangan Steffan yang bersama perempuan.

"Masa iya sih, Viola sudah semarah itu kak Steffan nggak peka juga?" ujar Icha.

"Mungkin karena status adik itu sudah mendarah daging di kak Steffan," Sassy mengangkat bahu. "Kasian ya Vio. Cintanya bertepuk sebelah tangan selama bertahun-tahun."

"Salah Vio juga sih. Kenapa juga dia tu mengharap lebih ke kak Steffan."

Sassy cuma mencebik dan geleng-geleng kepala. Entahlah, dia tidak mau memikirkan soalan asmara orang lain. Dia sendiri saja yang menaruh hati pada Nando sejak tahun pertama kuliah nggak pernah dapat respon.

Dari awal dia menjadi mahasiswa di kampus ini, Sassy sudah jatuh hati pada anak fakultas teknik itu. Beberapa kali mereka pernah bertemu di kantin dan kadang perpustakaan. Tapi menurut Sassy, sikap Nando dingin banget. Padahal kalau pas melihat Nando ngobrol sama teman-temannya, tu anak kelihatan rame dan friendly.

***

Herga mengendarai motornya memasuki pelataran kampus dan langsung menuju parkiran. Sebenarnya hari ini dia sedang tidak ingin berangkat kuliah. Dia khawatir sewaktu-waktu Pak Hendro datang ke rumah dan memaki-maki ibunya untuk meminta uang sewa. Tapi ibunya itu terus memaksa Herga pergi kuliah.

"Kamu nggak usah terlalu khawatir, Nak. Kita masih punya batas waktu sampai besok kok. Jadi nggak mungkin Pak Hendro memaksa sekarang," begitu kata Bu Rasti saat Herga merasa berat meninggalkan rumah.

Setelah memarkirkan motornya, Herga berhenti sejenak. Entah apa yang membuat kepalanya celingukan ke deretan mobil yang terparkir di depannya. Tapi memang nama itu tidak pernah lagi pergi dari hatinya sejak semalam.

Viola. Nama itu seolah terus bersemayam di dalam relung hati Herga. Dan juga, dia ingin memastikan keadaan gadis itu baik-baik saja setelah apa yang terjadi semalam. Namun sayangnya Herga tidak melihat mobil Viola di sana. Masa sih gadis itu belum datang?

Herga melirik jam tangannya. Nggak mungkin. Ini sudah hampir pukul 8 dan sebentar lagi kelas akan di mulai.

Dengan langkah ringan tapi hati penasaran, Herga menyusuri koridor. Setibanya di tangga yang menghubungkan ke lantai dua, langkahnya terhenti. Dia menoleh dan menatap tempat dimana dia pernah melihat Viola berhenti dan menatap poster fakultas teknik di papan buletin kampus. Kemungkinan itulah kali pertamanya bertemu gadis itu di kampus. Hal itu membuatnya membenarkan celetukan teman-temannya tempo hari. Tentang dia yang katanya terlalu fokus dengan kuliah sampak-sampai tidak memperhatikan hal lain di sini.

Bibir Herga tersenyum tipis dan seketika dia merasa gede kepala saat hatinya yakin pasti saat itu Viola sedang melihat fotonya di poster tersebut.

Tapi, kemana dia sekarang? Kok gue ngerasa pengen banget lihat dia ya? Apa dia baik-baik saja setelah peristiwa semalam?

Herga menghela nafas kemudian mulai melangkahkan kaki menaiki tangga tersebut. Di lantai dua dia disambut oleh beberapa anak dari kelas fashion dengan berbagai macam ekspresi senyum. Tapi Herga cuek dan terus melangkah sampai di depan kelas Viola.

Dari ambang pintu kelas Viola, dia melihat ke dalam dan mendapati Sassy dan Icha, kedua sahabat Viola berada di bangkunya. Mereka hanya berdua. Berarti Viola nggak masuk. Sassy dan Icha yang menyadari ada orang asing datang ke kelas mereka, menoleh. Baru saja mereka akan melambaikan tangan, Herga justru cabut duluan.

"Eh itu tadi Herga kan?" tanya Icha.

"Iya. Ngapain dia ke kelas kita?" sambung Sassy.

"Tau. Dia punya cewek anak kelas kita ini kah?"

Sassy dan Icha sama-sama menoleh ke arah Mona yang sedang sibuk bersolek di bangkunya. Lalu keduanya sama-sama mengangkat bahu. Mereka berpikir Herga dan Mona ada sesuatu. Dulu mereka sering melihat Mona dan Herga berada di kantin bareng. Tapi udah dulu sih.

***

Seharian di rumah dan tidak melakukan apa-apa ternyata malah membuat Viola bosan setengah mati. Pengen ke butik, mobilnya masih dibawa Icha. Nonton lakorn, jenuh juga lama-lama.

Barusan dapat telfon dari papa, mereka (mama dan papa Viola) masih mau ke Surabaya untuk meninjau cabang perusahaan transportasi yang ada di sana yang katanya ada sedikit masalah. Tambah sepi deeeeh di rumah.

Viola berjalan mendekati jendela kaca besar kamarnya dan menyibakkan tirai. Di luar terlihat Pak Min dan Mang Eko sedang memotong rumput dan mengatur taman sambil ngobrol dan sesekali bergurau. Terbersit keinginan Viola untuk bergabung dengan mereka. Kayaknya asyik daripada jenuh di kamar. Namun baru saja Viola hendak berbalik, ekor matanya menangkap sebuah mobil yang sangat dia kenal, perlahan mendekati pintu gerbang rumahnya. Saat mobil itu mengklakson, Pak Budi (satpam pribadi rumah Viola) langsung berlari untuk membukakan gerbang.

"Ngapain kak Steffan ke sini? Bukannya ini masih jam ngantor ya?" pikir Viola. Dia belum beranjak dari tepi jendela dan terus mengamati mobil bmw seri 7 berwarna putih yang terus bergerak memasuki halaman rumahnya. Di dalam mobil tersebut tidak ada orang lain kecuali Steffan.

Tak lama setelah itu Viola mendengar gaduh-gaduh di bawah yang berasal dari suara Bi Noni tengah menyambut Steffan.

"Ada mas. Non Viola memang nggak pergi kuliah hari ini," itu suara Bi Noni.

Viola bisa mendengar dengan jelas karena dia sekarang sudah berada di ujung tangga, sedang mengamati dua manusia beda zaman tersebut.

Seolah menyadari ada seseorang, Steffan dan Bi Noni sama-sama menoleh ke arah tangga. Saat melihat Viola, Steffan tersenyum lebar. Dia merasa lega bisa kembali melihat Viola setelah sekian jam tidak mendapat kabar dari anak itu.

Saat Steffan berjalan menaiki tangga, Bi Noni segera pergi ke belakang untuk melanjutkan tugas hariannya.

Viola menghela nafas dan melangkah turun. Lalu mereka sama-sama berhenti di tengah-tengah tangga.

"Ada apa?" tanya Viola datar.

"Duuh," Steffan mencubit pipi Viola gemas. Viola agak memundurkan kepalanya menghindari cubitan itu. "Masih marah ya? Ditelfon nggak diangkat, di WA nggak dibalas."

"Nggak kerja?"

"Gimana bisa kerja kalau pikirannya nggak fokus. Kakak tuh cemas mikirin kamu semalam kemana aja, terus perginya juga sama siapa? Mana om Brian sama tante Delia lagi nggak di rumah. Semalam kamu kemana? Pulang jam berapa?" tanya Steffan beruntun. Nadanya sih masih terdengar peduli, tapi Viola tetap saja masih jengkel. Sosok perempuan itu rasanya melekat erat banget sekarang di kepalanya setiap kali dia melihat Steffan.

Viola melengos membuat Steffan semakin gemas dengan ekspresi wajah imutnya.

"Oke, gimana kalau nanti kita makan malam bareng di tempat kesukaan kamu. Untuk menebus kesalahan kakak karena datang terlambat ke acara opening butik kamu."

Mata Viola berbinar. Dinner? Sound nice! Bibirnya menarik senyum manis.

"Nah gitu dong, senyuuuum," goda Steffan lega melihat Viola tersenyum.

"Dinner?"

Steffan mengangguk. "In your favourite place."

"Berdua aja?"

Steffan mengangguk lagi.

Kali ini baru Viola tersenyum lebar. Oh, mungkinkah pujaan hatinya ini sudah menyadari tentang peristiwa semalam? Syukurlah.

***

Malamnya Viola sudah siap dengan penampilan yang dibuat semaksimal mungkin. Ah, rasanya dia seperti mau melayang membayangkan akan dinner bersama Steffan. Memang sih ini bukan kali pertamanya dia jalan bareng Steffan. Tapi entah kenapa malam ini rasanya begitu istimewa. Steffan mengajaknya dinner untuk menebus kesalahannya karena datang telat di opening butik kemarin malam. Semenyesal itu kah dia? Aw!

Tepat pukul 7 malam, Steffan datang menjemput Viola. Sebelum masuk ke mobilnya, Viola memastikan dulu ke dalam bahwa tidak ada penumpang lain di sana. Dan benar saja, mereka hanya akan pergi berdua saja malam ini. Viola tersenyum maniiiis sekali. Let's go!

Tak lama mereka tiba di restoran sea food kesukaan Viola. Steffan membebaskan Viola memesan apapun yang dia inginkan.

"Kepiting saos padang, cumi pedas manis, kakap bakar.... udah itu aja," Viola menutup buku menu. Sementara seorang pelayan yang berdiri di sebelah mejanya mencatat pesanannya.

"Beneran udah cukup?" sergah Steffan.

"Hmm," Viola mengangguk.

"Oke mbak. Itu aja. Sama minumnya aku lemon squash satu, kamu?" Steffan menunjuk Viola.

"Sama. Lemon squash juga."

Setelah mencatat semua pesanan mereka, pelayan itu kemudian pergi ke belakang. Lalu tak sampai 10 menit dia kembali lagi dengan membawa semua pesanan mereka.

Suasana restoran yang temaram ditambah hembusan angin dari luar membuat suasana jadi terkesan romantis. Restoran itu tempatnya terbuka. Dindingnya hanya separuh, setinggi pinggang orang dewasa kemudian di atasnya ada potongan bambu yang disusun vertical dengan jarak masing-masing sekitar 10 cm. Jadi sambil makan, pengunjung juga bisa menikmati suasana luar yang langsung terhubung dengan pemandangan danau buatan yang airnya membiaskan cahaya lampu dari jalan dan restoran tersebut.

Viola dan Steffan menikmati makan malam sambil ngobrol. Asyik banget, sampai-sampai membuat Viola lupa dengan kejadian semalam.

"Eh tunggu," Viola mencabut tisu dari kotak kemudian mengulurkannya ke tepian bibir Steffan yang sedikit cemong. "Kaya anak kecil aja sih, makan aja sampai cemong-cemong kaya gini?"

Steffan memegang lengan Viola yang terulur. "Masa sih? Alaaah orang kamu aja juga kok," dia mengulurkan tangan mengusap bibir Viola.

"Haisshhh..." Viola terkekeh. Dia tahu Steffan hanya menggodanya.

Mereka sama-sama tergelak.

"Lanjut makan tuh. Masih banyak lho," Steffan menunjuk makanan di depan mereka. "Atau kamu mau nambah lagi?"

Viola menggeleng. "Nggak perlu."

"Ya udah habisin."

"Bareng dong. Masa aku semua yang harus ngabisin?"

"Oke sini," Steffan menarik piring berisi kepiting saos padang, mencuilnya sedikit dan menyuapkan ke Viola. "Aaa..."

Viola mengerling mendapat perlakuan seperti itu.

"Kok malah gitu sih ngelihatnya? Mau nggak nih?"

Viola masih tersenyum dan tidak membuka mulut.

"Hmmm," Steffan mencibir. "Kalau nggak mau ya udah, aku makan sendiri."

"Eeeeiitt iya iya iya... mau!" Viola menahan tangan Steffan yang hendak menyuapkan makanan itu ke mulutnya sendiri dan hap! Suapan Steffan masuk ke mulutnya.

Malam ini suasana hati Viola jauh lebih baik.

BERSAMBUNG...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status