Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu?
Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam? "Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman. "Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni. Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa dia memutuskan untuk membangun butik dan menjadikan butik itu usaha sekaligus bisnis perdananya. Dengan begitu, saat sedang tidak ada jadwal kuliah dia akan memiliki kesibukan dan tidak harus menyepi di rumah. Viola lantas menelfon mamanya untuk memastikan apakah dia perlu menunggu kedua orang tuanya itu atau tidak. Karena siapa tahu kan pagi ini mereka pulang dan bisa sarapan bersama. "Ya? Oh begitu. Ya udah deh, Papa sama Mama hati-hati ya..." Viola mengakhiri obrolan dengan lesu. Kedua orang tuanya itu ternyata masih sibuk dan belum bisa pulang hari ini. Bi Yeni yang mencuri dengar obrolan majikan mudanya yang tengah menelfon turut merasa iba. Bagaimanapun dia juga seorang ibu muda yang meninggalkan anaknya di kampung. Dia jadi berfikir, mungkin perasaan anaknya juga sama seperti Viola saat bertanya kapan kepulangannya ke kampung dan dia belum bisa memastikan. Viola sarapan sendiri. Kilat saja. Dia cuma makan dua lembar roti tawar dengan selai kacang. Setelahnya dia kembali ke kamar. Saat mengecek ponsel ada banyak sekali pesan dari Sassy dan Icha yang bertanya kemana dirinya hari ini. Kenapa nggak masuk kuliah dan bla bla bla. [Gue lagi nggak mood kuliah. Lagi pengen istirahat. Besok deh gue berangkat] Viola mengirimkan pesan tersebut pada Sassy. *** Di kampus, Sassy yang baru saja mendapat pesan balasan dari Viola menunjukkannya pada Icha. Icha cuma geleng-geleng kepala. Dia masih ingat bagaimana reaksi kemarahan Viola semalam saat menyambut kedatangan Steffan yang bersama perempuan. "Masa iya sih, Viola sudah semarah itu kak Steffan nggak peka juga?" ujar Icha. "Mungkin karena status adik itu sudah mendarah daging di kak Steffan," Sassy mengangkat bahu. "Kasian ya Vio. Cintanya bertepuk sebelah tangan selama bertahun-tahun." "Salah Vio juga sih. Kenapa juga dia tu mengharap lebih ke kak Steffan." Sassy cuma mencebik dan geleng-geleng kepala. Entahlah, dia tidak mau memikirkan soalan asmara orang lain. Dia sendiri saja yang menaruh hati pada Nando sejak tahun pertama kuliah nggak pernah dapat respon. Dari awal dia menjadi mahasiswa di kampus ini, Sassy sudah jatuh hati pada anak fakultas teknik itu. Beberapa kali mereka pernah bertemu di kantin dan kadang perpustakaan. Tapi menurut Sassy, sikap Nando dingin banget. Padahal kalau pas melihat Nando ngobrol sama teman-temannya, tu anak kelihatan rame dan friendly. *** Herga mengendarai motornya memasuki pelataran kampus dan langsung menuju parkiran. Sebenarnya hari ini dia sedang tidak ingin berangkat kuliah. Dia khawatir sewaktu-waktu Pak Hendro datang ke rumah dan memaki-maki ibunya untuk meminta uang sewa. Tapi ibunya itu terus memaksa Herga pergi kuliah. "Kamu nggak usah terlalu khawatir, Nak. Kita masih punya batas waktu sampai besok kok. Jadi nggak mungkin Pak Hendro memaksa sekarang," begitu kata Bu Rasti saat Herga merasa berat meninggalkan rumah. Setelah memarkirkan motornya, Herga berhenti sejenak. Entah apa yang membuat kepalanya celingukan ke deretan mobil yang terparkir di depannya. Tapi memang nama itu tidak pernah lagi pergi dari hatinya sejak semalam. Viola. Nama itu seolah terus bersemayam di dalam relung hati Herga. Dan juga, dia ingin memastikan keadaan gadis itu baik-baik saja setelah apa yang terjadi semalam. Namun sayangnya Herga tidak melihat mobil Viola di sana. Masa sih gadis itu belum datang? Herga melirik jam tangannya. Nggak mungkin. Ini sudah hampir pukul 8 dan sebentar lagi kelas akan di mulai. Dengan langkah ringan tapi hati penasaran, Herga menyusuri koridor. Setibanya di tangga yang menghubungkan ke lantai dua, langkahnya terhenti. Dia menoleh dan menatap tempat dimana dia pernah melihat Viola berhenti dan menatap poster fakultas teknik di papan buletin kampus. Kemungkinan itulah kali pertamanya bertemu gadis itu di kampus. Hal itu membuatnya membenarkan celetukan teman-temannya tempo hari. Tentang dia yang katanya terlalu fokus dengan kuliah sampak-sampai tidak memperhatikan hal lain di sini. Bibir Herga tersenyum tipis dan seketika dia merasa gede kepala saat hatinya yakin pasti saat itu Viola sedang melihat fotonya di poster tersebut. Tapi, kemana dia sekarang? Kok gue ngerasa pengen banget lihat dia ya? Apa dia baik-baik saja setelah peristiwa semalam? Herga menghela nafas kemudian mulai melangkahkan kaki menaiki tangga tersebut. Di lantai dua dia disambut oleh beberapa anak dari kelas fashion dengan berbagai macam ekspresi senyum. Tapi Herga cuek dan terus melangkah sampai di depan kelas Viola. Dari ambang pintu kelas Viola, dia melihat ke dalam dan mendapati Sassy dan Icha, kedua sahabat Viola berada di bangkunya. Mereka hanya berdua. Berarti Viola nggak masuk. Sassy dan Icha yang menyadari ada orang asing datang ke kelas mereka, menoleh. Baru saja mereka akan melambaikan tangan, Herga justru cabut duluan. "Eh itu tadi Herga kan?" tanya Icha. "Iya. Ngapain dia ke kelas kita?" sambung Sassy. "Tau. Dia punya cewek anak kelas kita ini kah?" Sassy dan Icha sama-sama menoleh ke arah Mona yang sedang sibuk bersolek di bangkunya. Lalu keduanya sama-sama mengangkat bahu. Mereka berpikir Herga dan Mona ada sesuatu. Dulu mereka sering melihat Mona dan Herga berada di kantin bareng. Tapi udah dulu sih. *** Seharian di rumah dan tidak melakukan apa-apa ternyata malah membuat Viola bosan setengah mati. Pengen ke butik, mobilnya masih dibawa Icha. Nonton lakorn, jenuh juga lama-lama. Barusan dapat telfon dari papa, mereka (mama dan papa Viola) masih mau ke Surabaya untuk meninjau cabang perusahaan transportasi yang ada di sana yang katanya ada sedikit masalah. Tambah sepi deeeeh di rumah. Viola berjalan mendekati jendela kaca besar kamarnya dan menyibakkan tirai. Di luar terlihat Pak Min dan Mang Eko sedang memotong rumput dan mengatur taman sambil ngobrol dan sesekali bergurau. Terbersit keinginan Viola untuk bergabung dengan mereka. Kayaknya asyik daripada jenuh di kamar. Namun baru saja Viola hendak berbalik, ekor matanya menangkap sebuah mobil yang sangat dia kenal, perlahan mendekati pintu gerbang rumahnya. Saat mobil itu mengklakson, Pak Budi (satpam pribadi rumah Viola) langsung berlari untuk membukakan gerbang. "Ngapain kak Steffan ke sini? Bukannya ini masih jam ngantor ya?" pikir Viola. Dia belum beranjak dari tepi jendela dan terus mengamati mobil bmw seri 7 berwarna putih yang terus bergerak memasuki halaman rumahnya. Di dalam mobil tersebut tidak ada orang lain kecuali Steffan. Tak lama setelah itu Viola mendengar gaduh-gaduh di bawah yang berasal dari suara Bi Noni tengah menyambut Steffan. "Ada mas. Non Viola memang nggak pergi kuliah hari ini," itu suara Bi Noni. Viola bisa mendengar dengan jelas karena dia sekarang sudah berada di ujung tangga, sedang mengamati dua manusia beda zaman tersebut. Seolah menyadari ada seseorang, Steffan dan Bi Noni sama-sama menoleh ke arah tangga. Saat melihat Viola, Steffan tersenyum lebar. Dia merasa lega bisa kembali melihat Viola setelah sekian jam tidak mendapat kabar dari anak itu. Saat Steffan berjalan menaiki tangga, Bi Noni segera pergi ke belakang untuk melanjutkan tugas hariannya. Viola menghela nafas dan melangkah turun. Lalu mereka sama-sama berhenti di tengah-tengah tangga. "Ada apa?" tanya Viola datar. "Duuh," Steffan mencubit pipi Viola gemas. Viola agak memundurkan kepalanya menghindari cubitan itu. "Masih marah ya? Ditelfon nggak diangkat, di WA nggak dibalas." "Nggak kerja?" "Gimana bisa kerja kalau pikirannya nggak fokus. Kakak tuh cemas mikirin kamu semalam kemana aja, terus perginya juga sama siapa? Mana om Brian sama tante Delia lagi nggak di rumah. Semalam kamu kemana? Pulang jam berapa?" tanya Steffan beruntun. Nadanya sih masih terdengar peduli, tapi Viola tetap saja masih jengkel. Sosok perempuan itu rasanya melekat erat banget sekarang di kepalanya setiap kali dia melihat Steffan. Viola melengos membuat Steffan semakin gemas dengan ekspresi wajah imutnya. "Oke, gimana kalau nanti kita makan malam bareng di tempat kesukaan kamu. Untuk menebus kesalahan kakak karena datang terlambat ke acara opening butik kamu." Mata Viola berbinar. Dinner? Sound nice! Bibirnya menarik senyum manis. "Nah gitu dong, senyuuuum," goda Steffan lega melihat Viola tersenyum. "Dinner?" Steffan mengangguk. "In your favourite place." "Berdua aja?" Steffan mengangguk lagi. Kali ini baru Viola tersenyum lebar. Oh, mungkinkah pujaan hatinya ini sudah menyadari tentang peristiwa semalam? Syukurlah. *** Malamnya Viola sudah siap dengan penampilan yang dibuat semaksimal mungkin. Ah, rasanya dia seperti mau melayang membayangkan akan dinner bersama Steffan. Memang sih ini bukan kali pertamanya dia jalan bareng Steffan. Tapi entah kenapa malam ini rasanya begitu istimewa. Steffan mengajaknya dinner untuk menebus kesalahannya karena datang telat di opening butik kemarin malam. Semenyesal itu kah dia? Aw! Tepat pukul 7 malam, Steffan datang menjemput Viola. Sebelum masuk ke mobilnya, Viola memastikan dulu ke dalam bahwa tidak ada penumpang lain di sana. Dan benar saja, mereka hanya akan pergi berdua saja malam ini. Viola tersenyum maniiiis sekali. Let's go! Tak lama mereka tiba di restoran sea food kesukaan Viola. Steffan membebaskan Viola memesan apapun yang dia inginkan. "Kepiting saos padang, cumi pedas manis, kakap bakar.... udah itu aja," Viola menutup buku menu. Sementara seorang pelayan yang berdiri di sebelah mejanya mencatat pesanannya. "Beneran udah cukup?" sergah Steffan. "Hmm," Viola mengangguk. "Oke mbak. Itu aja. Sama minumnya aku lemon squash satu, kamu?" Steffan menunjuk Viola. "Sama. Lemon squash juga." Setelah mencatat semua pesanan mereka, pelayan itu kemudian pergi ke belakang. Lalu tak sampai 10 menit dia kembali lagi dengan membawa semua pesanan mereka. Suasana restoran yang temaram ditambah hembusan angin dari luar membuat suasana jadi terkesan romantis. Restoran itu tempatnya terbuka. Dindingnya hanya separuh, setinggi pinggang orang dewasa kemudian di atasnya ada potongan bambu yang disusun vertical dengan jarak masing-masing sekitar 10 cm. Jadi sambil makan, pengunjung juga bisa menikmati suasana luar yang langsung terhubung dengan pemandangan danau buatan yang airnya membiaskan cahaya lampu dari jalan dan restoran tersebut. Viola dan Steffan menikmati makan malam sambil ngobrol. Asyik banget, sampai-sampai membuat Viola lupa dengan kejadian semalam. "Eh tunggu," Viola mencabut tisu dari kotak kemudian mengulurkannya ke tepian bibir Steffan yang sedikit cemong. "Kaya anak kecil aja sih, makan aja sampai cemong-cemong kaya gini?" Steffan memegang lengan Viola yang terulur. "Masa sih? Alaaah orang kamu aja juga kok," dia mengulurkan tangan mengusap bibir Viola. "Haisshhh..." Viola terkekeh. Dia tahu Steffan hanya menggodanya. Mereka sama-sama tergelak. "Lanjut makan tuh. Masih banyak lho," Steffan menunjuk makanan di depan mereka. "Atau kamu mau nambah lagi?" Viola menggeleng. "Nggak perlu." "Ya udah habisin." "Bareng dong. Masa aku semua yang harus ngabisin?" "Oke sini," Steffan menarik piring berisi kepiting saos padang, mencuilnya sedikit dan menyuapkan ke Viola. "Aaa..." Viola mengerling mendapat perlakuan seperti itu. "Kok malah gitu sih ngelihatnya? Mau nggak nih?" Viola masih tersenyum dan tidak membuka mulut. "Hmmm," Steffan mencibir. "Kalau nggak mau ya udah, aku makan sendiri." "Eeeeiitt iya iya iya... mau!" Viola menahan tangan Steffan yang hendak menyuapkan makanan itu ke mulutnya sendiri dan hap! Suapan Steffan masuk ke mulutnya. Malam ini suasana hati Viola jauh lebih baik. BERSAMBUNG...Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan. "Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor
"Kak, empat hari lagi jatuh tempo pembayaran iuran study tour aku." Ucapan lirih Nana esok tadi terus terngiang di telinga Herga. Sampai saat ini Bu Rasti belum mengetahui tentang hal itu karena Nana tidak berani mengutarakan. Apalagi Pak Hendro juga baru saja menagih uang kontrakan rumah yang harus dibayar paling lambat hari ini. Herga dengar tadi rencananya ibunya itu akan menjual salah satu cincin kawin yang dia miliki hari ini. Yang bikin tambah Herga sedih lagi, ibunya itu tidak mau menerima uang darinya. "Kamu simpan saja uang kamu, Ga. Kamu itu kan anak muda. Kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan sendiri gimana?" begitu tolak Bu Rasti. Herga dan temannya sedang berkumpul di ruang kelas. Namun ketika teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal, Herga tidak ikut nimbrung karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Otaknya berputar memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk bayar study tour Nana, sekaligus membayar kontrakan. Karena sejujurnya Herga begitu berat hat
Beberapa orang mulai berlarian menghampiri mobil Viola. Sebagian langsung menolong perempuan paruh baya yang baru saja ditabrak, sedangkan ada dua orang mengetuk-ngetuk kaca mobil Viola memintanya keluar. Viola menatap ngeri ke luar kaca. Bukannya tidak mau bertanggung jawab, dia hanya sedang syok dengan apa yang baru saja terjadi. "Keluar mbak! Jangan sampai kamu lari!" bentak laki-laki bertubuh tinggi besar dan brewokan. "Saya sudah foto nomor plat mobilnya. Ayo keluar mbak!" sahut yang lain. "Atau mau kita bawa mbak ke kantor polisi?" Kantor polisi? Mata Viola membelalak. Oh tidak. Tidak pernah ada dalam bayangannya dia harus berurusan dengan polisi karena sebuah kasus. Viola menghela napas untuk mengatur jantungnya yang masih terus berdegup cepat. Lalu dengan sisa keberanian yang dimiliki, dia pun keluar. "Bapak-bapak, saya bukannya mau lari atau nggak tanggung jawab. Saya akan tanggung jawab kok, saya cuma masih syok aja tadi..." tutur Viola setengah ketakutan. "
Herga menyusuri jalan pulang dengan berbagai macam pikiran di benaknya. Tentang iuran study tour Nana, tentang uang sewa kontrakan yang jatuhnya hari ini. Bagaimana ya? Apa Ibunya telah menjual cincinnya? Ah, kalau mengingat tentang benda berharga itu, Herga selalu merasa menyayangkan ketika akhirnya benda itu harus terjual untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka. "Assalamualaikum," ucap Herga setelah memarkir motor di halaman. Seperti biasa, dia harus segera ke bengkel sepulang kuliah untuk bekerja. "Ya ampun Ibuk?!" wajah letih Herga saat memasuki rumah berubah kaget saat melihat Ibunya duduk di sofa sembari menyelonjorkan kaki. "Kaki Ibuk kenapa ini?" Dia bersimpuh tepat di depan kaki Ibunya yang diperban. "Tadi katanya Ibuk ditabrak orang di jalan," Nana muncul dari dapur membawa segelas teh hangat dan meletakkanya di atas meja. "Ini buk tehnya." "Terimakasih ya Na. Oh ya, tolong sekalian siapin makan siang buat kakak kamu, nak," perintah Bu Rasti. Nana mengangguk l
Kedatangan Herga di area balap disambut antusias oleh gengnya. Begitu Herga memarkirkan motor, mereka langsung berkerumun mengelilingi Herga untuk memberi semangat. Nama Herga seolah sudah menjadi ikon dalam balapan liar. Herga menatap lawan balapnya satu per satu dan mendapati mereka sebagian sudah pada ganti motor. Tentunya ke CC yang lebih besar dari biasanya. Dia heran, mereka seolah sudah pada tahu tentang balapan yang malam ini akan digelar, sementara dia baru mendapat kabar malam ini. Maklum, setelah razia tempo hari perkumpulan di area balap memang kosong. Sementara kabar-kabar tentang balapan biasanya dia dapat dari tongkrongan balap liar itu. "Kok gue bisa nggak tahu ada balapan hadiahnya sebesar itu?" tanya Herga pada Simon, teman yang mengiriminya pesan malam ini. "Ini udah untung diantara kita ada yang tahu," jawab Simon. "Kabarnya sih memang mendadak. Tadi gue nanya yang lain katanya juga pada baru dapat kabar kemarin," sela Fatih. "Ngomong-ngomong, siapa s
Surya memberikan waktu 20 menit untik para pembalap yang tersisa melakukan persiapan menyambut semi final. Di saat itulah, ponsel Herga berbunyi yang ternyata dari Nana. Dia celingukan mencari tempat yang aman untuk menerima telfon. Nana tidak boleh tahu kalau malam ini dia ikut balapan. Kalau Nana tahu, otomatis Ibunya juga akan tahu. Dan kenyataannya Herga sudah pernah berjanji pada Ibunya untuk tidak akan ikut balapan liar lagi sejak hari itu, saat dimana dia tertangkap razia dan Ibunya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus dia dan motornya. Sebenarnya Herga sendiri merasa amat sangat bersalah karena sudah ingkar. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Balapan liar seolah sudah menjadi ladang pencarian uangnya selain menjadi montir bengkel. Herga tidak sepenuhnya mampu jika harus meninggalkan 'pekerjaan' ini. Herga hanya berharap Ibunya tidak akan pernah tahu dia masih menetap di arena ini. Kalaupun akhirnya suatu hari nanti Ibunya harus tahu, dia hanya berharap sudah memi
Jarak 700 meter yang ditempuh oleh pembalap Herga dan Alex semakin terkikis oleh kecepatan motor masing-masing. Keduanya saling memacu semangat menarik gas untuk mencapai garis finish. Sorak soray para penonton pun terdengar semakin pelan di belakang mereka. Alex, salah satu orang yang lumayan sering ikut balapan liar, melirik posisi Herga dari balik kaca helmnya. Bibirnya tersenyum penuh arti. Apalagi dia sadar posisinya berada sedikit lebih di depan dari Herga. Sementara Herga tetap fokus dengan jalan di depannya. Jantungnya berdebar cepat membayangkan nominal uang yang bertambah yang akan diberikan oleh Surya. Dia bahkan sudah membayangkan senyum dan ekspresi bahagia Nala saat menerima uang itu darinya. Sorak soray tidak terdengar lagi karena jarak tempuh tinggal puluhan meter. Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Semangat Herga bertambah saat posisi Alex sedikit tertinggal di belakangnya. Garis finish sudah depan mata. Bersatu padu dengan senyum riang Nana yan
"Hari ini Ibuk jadi kontrol?" Herga menghampiri Bu Rasti yang sedang duduk di kursi ruang tamu dengan langkah terpincang-pincang. Sudah dua hari semenjak kecelakaan malam itu, Herga tidak masuk kuliah. Motornya pun masih di bengkel dan diperkirakan baru akan selesai diservis sekitar seminggu ke depan. Banyak sekali kerusakan yang terjadi pada motornya akibat insiden malam itu. Beruntung dia masih memiliki sisa uang untuk biaya servis. Lebih beruntung lagi nyawanya masih selamat. "Harusnya sih iya. Tapi menurut Ibuk nggak kontrol juga nggak pa-pa kok Ga. Toh luka Ibuk juga udah kering. Dan soal jahitan nanti lama-lama juga bisa lepas sendiri kan?" ujar Bu Rasti. "Lho, jangan gitu dong buk," tukas Herga khawatir. "Kalau memang dokter menyarankan kontrol, Ibuk harus dateng." "Tapi Ibuk beneran udah nggak pa-pa, Herga. Kaki Ibuk juga udah nggak sakit-sakit banget buat jalan. Udah, kamu nggak usah khawatir." "Tapi Buk...." Sedang sibuk berdebat, tiba-tiba terdengar suara d
Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per
Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i
Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka
Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan
Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di
Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka
Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang