"Hari ini Ibuk jadi kontrol?" Herga menghampiri Bu Rasti yang sedang duduk di kursi ruang tamu dengan langkah terpincang-pincang.
Sudah dua hari semenjak kecelakaan malam itu, Herga tidak masuk kuliah. Motornya pun masih di bengkel dan diperkirakan baru akan selesai diservis sekitar seminggu ke depan. Banyak sekali kerusakan yang terjadi pada motornya akibat insiden malam itu. Beruntung dia masih memiliki sisa uang untuk biaya servis. Lebih beruntung lagi nyawanya masih selamat.
"Harusnya sih iya. Tapi menurut Ibuk nggak kontrol juga nggak pa-pa kok Ga. Toh luka Ibuk juga udah kering. Dan soal jahitan nanti lama-lama juga bisa lepas sendiri kan?" ujar Bu Rasti.
"Lho, jangan gitu dong Buk," tukas Herga khawatir. "Kalau memang dokter menyarankan kontrol, Ibuk harus dateng."
"Tapi Ibuk beneran udah nggak pa-pa, Herga. Kaki Ibuk juga udah nggak sakit-sakit banget buat jalan. Udah, kamu nggak usah khawatir."
Di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah gedong dengan cat putih bersih, seorang laki-laki tampak duduk termenung di sebuah ruangan. Laki-laki itu adalah Steffan.Sejak pertemuannya malam itu dengan Viola, isi pikirannya seolah dipenuhi dengan perasaan menyesal sekaligus bersalah karena secara tidak langsung telah melakukan penolakan terhadap Viola. Alih-alih merasa lega karena berhasil mengutarakan apa yang selama ini dia pendam, ternyata justru sebaliknya. Dia tahu Viola begitu mencintai dirinya, dan dia juga tahu betapa pedihnya hati Viola malam itu."Kok kamu belum berangkat Fan?" Bu Tamara, mamanya Steffan muncul dari lantai dua. Penampilannya sudah necis nan elegan.Steffan melihat mamanya sekilas. Perempuan itu kemudian duduk di sebelah Steffan sembari meletakkan tas brandednya di atas meja."Mama mau kemana?" tanya Steffan."Ck, pertanyaan Mama belum kamu jawab, malah balik nanya,"
Viola mungkin tidak sepenuhnya menyadari apa yang dia lakukan sepanjang mengikuti mata kuliah pagi ini, namun kedua sahabatnya terus memperhatikan. Selama dosen memberi materi di depan kelas, gadis itu lebih banyak termenung dan sesekali tersenyum. Tentu saja hal itu membuat Sassy dan Icha heran dan bertanya-tanya dalam hati.Maka, begitu dosen meninggalkan kelas setelah hampir dua jam mengajar, Sassy dan Icha langsung menghambur bersamaan ke bangku Viola."Dihh apaan sih kalian? Bikin kaget aja!"gerutu Viola."Kaget ya?" celetuk Sassy."Lo kenapa sih Vi? Gue perhatiin dari awal masuk kelas tadi kayaknya hepi banget," Icha menimpali."Emangnya kenapa kalau gue hepi? Nggak suka lo?" ketus Viola."Ya elah, malah sewot," Icha mencebik. "Bukan nggak suka, tapi peeenisirin. So, lo harus cerita sama kita, what's going on?"Kini giliran Viola yang mencebik dan ke
Siangnya sepulang kuliah Viola langsung ke butik. Sassy dan Icha menyusul beberapa menit kemudian saat Viola sedang sibuk menggambar model gaun di iPadnya. Suasana yang tadinya hening, seketika jadi gaduh karena kedatangan mereka.Namun tak lama, mereka pamit pergi lagi. Katanya mau nonton. Ada film baru yang baru rilis. Diantara mereka bertiga, Sassy dan Icha memang lebih sering menghabiskan waktu bersama di luar jam kuliah. Mereka memiliki kegemaran yang sama. Begitu juga dengan genere film. Maka tak heran jika Icha dan Sassy lebih sering nonton film hanya berdua saja meski sebenarnya persahabatan mereka terjalin oleh tiga orang. Namun Viola tidak pernah ambil pusing dengan hal-hal semacam itu. Yang terpenting baginya, mereka bisa mengerti satu sama lain."Yakin lo nggak mau ikut Vi?" tanya Icha sebelum meninggalkan butik."Hmm hmm," Viola mengangguk."Ya udah. Kalau gitu kita pergi dulu ya Vi," timpal S
Mobil Steffan berada sekitar tiga meter dari pintu gerbang rumah Viola saat mobil Viola keluar. "Viola? Mau kemana dia?" gumamnya. Lalu tanpa pikir panjang dia pun mengikuti mobil tersebut. Steffan mengambil jarak cukup jauh supaya Viola tidak tahu kalau dia mengikutinya. Sejak pertemuan malam itu dan terjadi obrolan yang cukup intens antara mereka berdua, Steffan merasa sedih dan hampa karena Viola semakin menjauh dan menghindar darinya. Steffan menelfon atau mengirimkan pesan saja tidak digubrisnya oleh gadis itu. Steffan tahu Viola tengah kecewa padanya. Tapi dia tidak mau ini terjadi berlarut-larut. Terlebih mamanya begitu dekat dengan Viola. Ya wajar sih, keluarga mereka memang sudah saling mengenal sejak lama. Kalau saja Bu Tamara tahu tentang perang dingin yang terjadi kali ini, dia pasti akan menyalahkan Steffan. Pasalnya, sebenarnya Bu Tamara punya harapan lebih atas hubungan keduanya. Biasalah... itu adalah obrolan yang sering
"Gue penasaran, kenapa tiba-tiba malam ini lo datang ke rumah gue. Mana bawa banyak makanan lagi," ucap Herga. Setelah makan malam selesai, Herga dan Viola duduk di teras. Bu Rasti menghidangkan sepiring kacang rebus untuk menemani obrolan mereka. Viola masih enggan untuk segera pulang karena merasa nyaman berada di sini. "Emang kenapa? Lo nggak suka?" sanggah Viola. "Hmm, kalau gue nggak suka nggak bakal gue habisin makanannya," tutur Herga. Viola mengulum senyum. Dia lalu menunduk cukup lama, menatap kakinya sendiri. "Simpel aja sih. Gue cuma menepati janji gue sama Ibuk aja," seloroh Viola. Herga mencebik tidak percaya. "Berarti setelah ini, lo nggak bakal dateng ke sini lagi?" Viola menoleh dan tersenyum mencibir ke arah Herga. "Kenapa memangnya?" "Karena lo udah tepatin janji lo sama Ibu gue
Setelah ngobrol cukup lama dengan Herga, Viola pamit pulang. Waktu menunjukkan pukul 9 malam saat dia tiba di rumah. Viola langsung membawa mobilnya ke garasi dan mendapati mobil orang tuanya sudah ada di rumah.Menyusuri ruangan di rumahnya yang sebagian gelap, Viola sesekali tersenyum mengingat obrolannya dengan Herga malam ini. Ternyata cowok itu adalah orang yang cukup ramah dan hangat untuk menjadi teman bicara. Terbersit sebuah pikiran asing yang selama ini tidak pernah singgah di otaknya. Mulai sekarang, dia tidak perlu lagi merasa galau jika saat makan malam tiba dan orang tuanya tidak ada di rumah. Ada keluarga lain yang dengan tangan terbuka akan selalu menyambut kehadirannya."Kalau nak Viola mau makan malam bareng keluarga ibuk, datang aja. Nggak perlu repot-repot bawa makanan sendiri segala dari rumah."Ucapan Bu Rasti yang terdengar tulus tadi terngiang-ngiang di telinganya."Dari mana
Steffan baru saja keluar dari kamar mandi dan nyaris berteriak saat melihat Nessa sudah duduk di atas tempat tidurnya. Gadis itu melemparkan senyum menggoda ke arahnya yang hanya berbalut handuk pada setengah tubuh."Nessa? Kok kamu bisa ada di sini sih?" Steffan celingukan di kamarnya sendiri. Merasa risih karena ada seorang perempuan di kamarnya."Ck, kamu kok nanyanya gitu sih? Memangnya nggak boleh aku ada di kamar pacarku sendiri?" Nessa merajuk manja sembari mendekat ke arah Steffan yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi."Nessa, stop!" tahan Steffan sembari mengangkat kedua tangannya setinggi dada. "Kamu apa-apaan sih? Kalau mama atau papa aku lihat, nggak sopan tahu kamu kaya gini."Nessa berhenti dan terkikik lucu. Dia mengamati tubuh Steffan dari atas sampai bawah. Ufhh.... jantungnya terasa berdegup kencang melihat lekukan tubuh Steffan yang begitu maskulin dan macho."It
Seolah mengabaikan Nessa, malam itu Steffan kembali secara diam-diam mendatangi rumah Herga. Lebih tepatnya mengintai. Namun sebenarnya bukan maksud Steffan melakukan semua itu untuk membuat Nessa kecewa karena dianggap telah mengabaikan kemauannya. Hanya saja dari dasar hatinya, Steffan merasa masih memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi Viola sebagai adik. Meski dia sadar telah membuat hati Viola kecewa. Tapi hal tersebut tidak bisa menghentikannya untuk tidak mencari tahu seperti halnya yang diminta oleh Bu Delia padanya.Steffan bahkan terpaksa menitipkan mobilnya di rumah salah satu temannya dan pergi ke komplek perumahan tempat yang didatangi Viola malam itu menggunakan taksi.Mobil taksi yang membawa Steffan berhenti lumayan jauh dari rumah Herga. Rumah itu tampak sepi malam ini. Cahaya lampu di dalam ruangan cukup redup dan tak terdengar percakapan apapun dari dalam rumah itu. Mungkin karena posisi Steffan yang cukup