Steffan baru saja keluar dari kamar mandi dan nyaris berteriak saat melihat Nessa sudah duduk di atas tempat tidurnya. Gadis itu melemparkan senyum menggoda ke arahnya yang hanya berbalut handuk pada setengah tubuh.
"Nessa? Kok kamu bisa ada di sini sih?" Steffan celingukan di kamarnya sendiri. Merasa risih karena ada seorang perempuan di kamarnya.
"Ck, kamu kok nanyanya gitu sih? Memangnya nggak boleh aku ada di kamar pacarku sendiri?" Nessa merajuk manja sembari mendekat ke arah Steffan yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Nessa, stop!" tahan Steffan sembari mengangkat kedua tangannya setinggi dada. "Kamu apa-apaan sih? Kalau mama atau papa aku lihat, nggak sopan tahu kamu kaya gini."
Nessa berhenti dan terkikik lucu. Dia mengamati tubuh Steffan dari atas sampai bawah. Ufhh.... jantungnya terasa berdegup kencang melihat lekukan tubuh Steffan yang begitu maskulin dan macho.
"It
Seolah mengabaikan Nessa, malam itu Steffan kembali secara diam-diam mendatangi rumah Herga. Lebih tepatnya mengintai. Namun sebenarnya bukan maksud Steffan melakukan semua itu untuk membuat Nessa kecewa karena dianggap telah mengabaikan kemauannya. Hanya saja dari dasar hatinya, Steffan merasa masih memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi Viola sebagai adik. Meski dia sadar telah membuat hati Viola kecewa. Tapi hal tersebut tidak bisa menghentikannya untuk tidak mencari tahu seperti halnya yang diminta oleh Bu Delia padanya.Steffan bahkan terpaksa menitipkan mobilnya di rumah salah satu temannya dan pergi ke komplek perumahan tempat yang didatangi Viola malam itu menggunakan taksi.Mobil taksi yang membawa Steffan berhenti lumayan jauh dari rumah Herga. Rumah itu tampak sepi malam ini. Cahaya lampu di dalam ruangan cukup redup dan tak terdengar percakapan apapun dari dalam rumah itu. Mungkin karena posisi Steffan yang cukup
Dari hasil penelusuran singkatnya, Steffan berhasil menemukan sedikit informasi tentang Herga. Setelah semalam mengintai dan tak membuahkan hasil, siang ini Steffan kembali datang ke komplek itu. ngobrol-ngobrol ringan sambil menikmati kopi dan gorengan di warteg yang tak jauh dari gang masuk menuju rumah Herga ditemani seorang hansip yang bertugas menjaga keamanan komplek tersebut. "Memangnya Om ini baru kenal sama Herga ya?" tanya si hansip dengan lebel nama Karto di dadanya itu sambil mengunyah gorengan traktiran Steffan. Panggilan Om dari si hansip yang ditujukan padanya membuat Steffan reflek mengangkat alis. Astaga, gue dipanggil Om? batinnya. "Ada yang aneh?" Steffan balik tanya, menghindari rasa curiga yang ditampakkan oleh Pak Karto. "Hehe, nggak juga sih Om," Pak Karto terkekeh. "Tapi memang baru sekali ini saya lihat Om ada di sini." "Saya memang baru beberapa kali da
Setelah mengatakan semua itu, Steffan langsung berbalik dan berlari menuruni tangga. Perasaan dan pikirannya benar-benar sangat kacau. Tidak bisa dilukiskan bagaimana kacaunya. "Steffan! Tunggu!" Nessa mengejar dengan langkah terburu-buru di belakang. Dia bahkan hampir terjatuh karena kaitan tali baju tidurnya kurang terlilit sempurna. Beruntung tangannya masih bisa berpegangan dengan tepian tangga. Steffan tidak mempedulikan teriakan Nessa. Dia terus melangkah menyusuri ruangan demi ruangan untuk keluar dari rumah tersebut. Di ruang tamu dia berpapasan dengan Bi Diah yang cuma bisa menunduk melihat pertengkaran dua sejoli itu. Pembantu Nessa itu lantas buru-buru menyingkir saat melihat Nessa muncul dan terus mengejar Steffan. "Steffan stop!!" Nessa berhasil mendahului langkah Steffan dan menghadangnya. Kini mereka berdua sudah berada di teras. Beradu pandang dengan tatapan sama-sama tajam. "Apalagi Ne
Waktu telah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Viola masih terjaga. Dia baru saja menyelesaikan tugas kuliahnya dua jam yang lalu sehabis makan malam bersama papa dan mama. Semenjak pulang dari urusan pekerjaan kemarin, kedua orang tua Viola masih berada di rumah. Tapi kabarnya, lusa mereka akan bertolak ke Inggris. Tadi Viola tak sengaja mencuri dengar obrolan kedua orang tuanya di ruang tengah tentang rencana itu saat dia hendak mengambil minum di dapur. Viola sih sudah nggak kaget dengan perjalanan yang tiba-tiba begitu.Viola duduk bersandar di tempat tidurnya, merenung. Obrolan bersama kedua sahabatnya siang tadi terus mengusik isi kepalanya. Terutama soal ucapan Icha yang mengatakan dia bakalan move on dari Steffan karena kehadiran Herga. Apa benar seperti itu? Rasa-rasanya sudah beberapa hari setelah ungkapan malam itu, dirinya tak lagi ingin tahu tentang Steffan. Apa itu berarti...."Steffan," ucap Viola lirih. Tangannya meraba dadan
"Daaaa... aku berangkat dulu ya Buk, Kak," Nana berpamitan dengan Ibu dan kakaknya sebelum masuk ke mobil Mila."Hati-hati di jalan. Kalau udah sampai Bali, jangan lupa kasih kabar ke kakak kamu," pesan Bu Rasti."Siap!" ucap Nana sembari bergaya hormat."Jangan nakal di sana," Herga mengacak-acak rambut Nana.Nana cuma nyengir. Setelah mencium pipi ibu dan kakaknya, dia segera bergegas masuk ke mobil Mila."Kita berangkat ya Buk," ucap Mila ramah sebelum mobil melaju."Iya nak Mila. Hati-hati ya di jalan," pesan Bu Rasti lagi."Daaaaa...!!" Nana kembali melambaikan tangan dengan riang begitu mobil melaju.Saat mobil tak tampak lagi, Bu Rasti dan Herga kembali masuk rumah. Hari ini Bu Rasti akan melakukan aktifitasnya berjualan kue keliling. Beberapa kotak kue buatannya telah dia siapkan sejak pagi. Sebagian sudah dia antar-antarkan ke tem
Herga merasa bosan berada di rumah sendirian. Beberapa kali dia berpindah tempat untuk mengusir jenuh. Nonton TV acaranya cuma gosip dan senetron nggak mutu. Scroll sosial media lama-lama juga capek. Isi beritanya itu-itu aja kalau lagi ada yang viral. Setelah menjelajahi ruangan tak seberapa yang ada di rumahnya, dia akhirnya memilih untuk nongol di teras. Dia ingat kata-kata ibunya sebelum berangkat jualan tadi. Belajar jalan tanpa kruk.Herga melirik jam dinding usang di teras. Waktu menunjukkan pukul 10.30 siang. Cuaca di luar juga mulai terik. Dia jadi kepikiran ibunya. Dan kalau sudah begitu, keinginannya tentang lapak semakin menggebu-gebu."Ya Tuhan, semoga aja aku bisa dapat rejeki nomplok. Biar bisa sewain ibuk lapak buat jualan," lirihnya sembari menyandarkan kruk pada dinding.Perlahan, Herga mulai melatih diri dan keseimbangan kakinya untuk bisa berjalan lagi tanpa bantuan kruk. Susah memang, karena luka di ka
"Emang kalau gue kesini karena kangen sama lo, kenapa? Nggak boleh?" ujar Viola bernada menantang. Meski dalam hati dia merasa dag dig dug juga mengatakan seperti itu. Viola hanya berusaha mengimbangi candaan Herga supaya tidak terkesan kaku.Dan ternyata itu malah membuat Herga spontan terbahak-bahak. Dia tertawa begitu lepas seolah apa yang dikatakan Viola barusan adalah sesuatu yang sangat lucu."Iiihhhh apaan sih Ga?!" Viola memberengut."Hmmmppfffhhh...." Herga berusaha menghentikan tawanya. "Sorry.... bukan niat gue buat ketawain lo. Gue lebih ke.... apa ya? Ngetawain diri gue sendiri... hahahahah...""Kenapa emang?""Lucu aja orang kaya gue dikangenin sama cewek kaya lo.""Aaahh udah udah udah.... bosen gue sama jawaban lo yang itu-itu melulu," Viola menyilangkan kedua tangan dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Bibirnya masih cemberut. Sebenarnya antara seb
"Doanya saja yang terbaik untuk kami, tante," jawab Steffan lugas. Dia tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada hubungannya ke siapapun, meski dia tahu suatu saat nanti Bu Delia bakalan tahu dari mamanya. Mereka kan kadang suka kumpul bareng pas acara arisan atau apalah itu. "Pasti," Bu Delia mengacungkan jempol. Dia meneguk minumannya yang tinggal tersisa sedikit lalu bersiap untuk pergi. "Ya udah ya Fan, tante balik dulu. Maaf lho udah ganggu jam makan siang kamu." "Enggak lah tante. Malah dengan begini, saya jadi ada teman makan siang di kantor," Steffan berdiri saat Bu Delia juga berdiri. Tak lama Bu Delia pun pergi dari tempat makan, meninggalkan Steffan yang masih berdiri mengamati langkahnya hingga menghilang di balik pintu. "Sugar mommy nih?" sebuah celetukan dari belakang tubuh Steffan menyentakkan dirinya. Ternyata Darwin, si supervisor. So