Dari hasil penelusuran singkatnya, Steffan berhasil menemukan sedikit informasi tentang Herga. Setelah semalam mengintai dan tak membuahkan hasil, siang ini Steffan kembali datang ke komplek itu. ngobrol-ngobrol ringan sambil menikmati kopi dan gorengan di warteg yang tak jauh dari gang masuk menuju rumah Herga ditemani seorang hansip yang bertugas menjaga keamanan komplek tersebut.
"Memangnya Om ini baru kenal sama Herga ya?" tanya si hansip dengan lebel nama Karto di dadanya itu sambil mengunyah gorengan traktiran Steffan.
Panggilan Om dari si hansip yang ditujukan padanya membuat Steffan reflek mengangkat alis. Astaga, gue dipanggil Om? batinnya.
"Ada yang aneh?" Steffan balik tanya, menghindari rasa curiga yang ditampakkan oleh Pak Karto.
"Hehe, nggak juga sih Om," Pak Karto terkekeh. "Tapi memang baru sekali ini saya lihat Om ada di sini."
"Saya memang baru beberapa kali da
Setelah mengatakan semua itu, Steffan langsung berbalik dan berlari menuruni tangga. Perasaan dan pikirannya benar-benar sangat kacau. Tidak bisa dilukiskan bagaimana kacaunya. "Steffan! Tunggu!" Nessa mengejar dengan langkah terburu-buru di belakang. Dia bahkan hampir terjatuh karena kaitan tali baju tidurnya kurang terlilit sempurna. Beruntung tangannya masih bisa berpegangan dengan tepian tangga. Steffan tidak mempedulikan teriakan Nessa. Dia terus melangkah menyusuri ruangan demi ruangan untuk keluar dari rumah tersebut. Di ruang tamu dia berpapasan dengan Bi Diah yang cuma bisa menunduk melihat pertengkaran dua sejoli itu. Pembantu Nessa itu lantas buru-buru menyingkir saat melihat Nessa muncul dan terus mengejar Steffan. "Steffan stop!!" Nessa berhasil mendahului langkah Steffan dan menghadangnya. Kini mereka berdua sudah berada di teras. Beradu pandang dengan tatapan sama-sama tajam. "Apalagi Ne
Waktu telah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Viola masih terjaga. Dia baru saja menyelesaikan tugas kuliahnya dua jam yang lalu sehabis makan malam bersama papa dan mama. Semenjak pulang dari urusan pekerjaan kemarin, kedua orang tua Viola masih berada di rumah. Tapi kabarnya, lusa mereka akan bertolak ke Inggris. Tadi Viola tak sengaja mencuri dengar obrolan kedua orang tuanya di ruang tengah tentang rencana itu saat dia hendak mengambil minum di dapur. Viola sih sudah nggak kaget dengan perjalanan yang tiba-tiba begitu.Viola duduk bersandar di tempat tidurnya, merenung. Obrolan bersama kedua sahabatnya siang tadi terus mengusik isi kepalanya. Terutama soal ucapan Icha yang mengatakan dia bakalan move on dari Steffan karena kehadiran Herga. Apa benar seperti itu? Rasa-rasanya sudah beberapa hari setelah ungkapan malam itu, dirinya tak lagi ingin tahu tentang Steffan. Apa itu berarti...."Steffan," ucap Viola lirih. Tangannya meraba dadan
"Daaaa... aku berangkat dulu ya Buk, Kak," Nana berpamitan dengan Ibu dan kakaknya sebelum masuk ke mobil Mila."Hati-hati di jalan. Kalau udah sampai Bali, jangan lupa kasih kabar ke kakak kamu," pesan Bu Rasti."Siap!" ucap Nana sembari bergaya hormat."Jangan nakal di sana," Herga mengacak-acak rambut Nana.Nana cuma nyengir. Setelah mencium pipi ibu dan kakaknya, dia segera bergegas masuk ke mobil Mila."Kita berangkat ya Buk," ucap Mila ramah sebelum mobil melaju."Iya nak Mila. Hati-hati ya di jalan," pesan Bu Rasti lagi."Daaaaa...!!" Nana kembali melambaikan tangan dengan riang begitu mobil melaju.Saat mobil tak tampak lagi, Bu Rasti dan Herga kembali masuk rumah. Hari ini Bu Rasti akan melakukan aktifitasnya berjualan kue keliling. Beberapa kotak kue buatannya telah dia siapkan sejak pagi. Sebagian sudah dia antar-antarkan ke tem
Herga merasa bosan berada di rumah sendirian. Beberapa kali dia berpindah tempat untuk mengusir jenuh. Nonton TV acaranya cuma gosip dan senetron nggak mutu. Scroll sosial media lama-lama juga capek. Isi beritanya itu-itu aja kalau lagi ada yang viral. Setelah menjelajahi ruangan tak seberapa yang ada di rumahnya, dia akhirnya memilih untuk nongol di teras. Dia ingat kata-kata ibunya sebelum berangkat jualan tadi. Belajar jalan tanpa kruk.Herga melirik jam dinding usang di teras. Waktu menunjukkan pukul 10.30 siang. Cuaca di luar juga mulai terik. Dia jadi kepikiran ibunya. Dan kalau sudah begitu, keinginannya tentang lapak semakin menggebu-gebu."Ya Tuhan, semoga aja aku bisa dapat rejeki nomplok. Biar bisa sewain ibuk lapak buat jualan," lirihnya sembari menyandarkan kruk pada dinding.Perlahan, Herga mulai melatih diri dan keseimbangan kakinya untuk bisa berjalan lagi tanpa bantuan kruk. Susah memang, karena luka di ka
"Emang kalau gue kesini karena kangen sama lo, kenapa? Nggak boleh?" ujar Viola bernada menantang. Meski dalam hati dia merasa dag dig dug juga mengatakan seperti itu. Viola hanya berusaha mengimbangi candaan Herga supaya tidak terkesan kaku.Dan ternyata itu malah membuat Herga spontan terbahak-bahak. Dia tertawa begitu lepas seolah apa yang dikatakan Viola barusan adalah sesuatu yang sangat lucu."Iiihhhh apaan sih Ga?!" Viola memberengut."Hmmmppfffhhh...." Herga berusaha menghentikan tawanya. "Sorry.... bukan niat gue buat ketawain lo. Gue lebih ke.... apa ya? Ngetawain diri gue sendiri... hahahahah...""Kenapa emang?""Lucu aja orang kaya gue dikangenin sama cewek kaya lo.""Aaahh udah udah udah.... bosen gue sama jawaban lo yang itu-itu melulu," Viola menyilangkan kedua tangan dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Bibirnya masih cemberut. Sebenarnya antara seb
"Doanya saja yang terbaik untuk kami, tante," jawab Steffan lugas. Dia tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada hubungannya ke siapapun, meski dia tahu suatu saat nanti Bu Delia bakalan tahu dari mamanya. Mereka kan kadang suka kumpul bareng pas acara arisan atau apalah itu. "Pasti," Bu Delia mengacungkan jempol. Dia meneguk minumannya yang tinggal tersisa sedikit lalu bersiap untuk pergi. "Ya udah ya Fan, tante balik dulu. Maaf lho udah ganggu jam makan siang kamu." "Enggak lah tante. Malah dengan begini, saya jadi ada teman makan siang di kantor," Steffan berdiri saat Bu Delia juga berdiri. Tak lama Bu Delia pun pergi dari tempat makan, meninggalkan Steffan yang masih berdiri mengamati langkahnya hingga menghilang di balik pintu. "Sugar mommy nih?" sebuah celetukan dari belakang tubuh Steffan menyentakkan dirinya. Ternyata Darwin, si supervisor. So
Seperti yang telah direncanakan, Viola dan mamanya jalan-jalan bareng hari ini. Kebetulan Viola juga sedang free ngampus jadi dia punya banyak waktu untuk bersenang-senang dengan mamanya. Setelah mengantar papa ke bandara, pasangan anak ibu itu langsung bertolak ke mall.Viola dan mamanya sebenarnya adalah pasangan yang klop di dunia jalan-jalan dan belanja. Cuma sayangnya mereka tidak memiliki banyak waktu untuk melakukannya bersama-sama.Hampir dua jam sepasang ibu anak itu keluar masuk toko satu ke toko lain sambil membawa beberapa tas yang berisi hasil perburuan mereka. Wajah-wajah keduanya masih menunjukkan raut semangat dan sumringah. Bahkan sesekali terlihat mereka tertawa bersama, entah menertawakan apa."Mama udah nih belanjanya. Ini aja. Kamu?" tanya Bu Delia setelah mereka keluar dari toko sepatu."Sama," Viola mengangkat beberapa paper bag yang bergelantungan di lengannya. "Ka
Bu Rasti baru saja selesai mencuci piring dan gelas kotor bekas makan malam. Setelah beres, ia lalu menghampiri Herga yang sedang melatih kakinya untuk kembali bisa berjalan tanpa bantuan kruk di ruang tamu. Bu Rasti tersenyum lega karena putra sulungnya itu sudah menunjukkan perubahan yang lebih baik. Dia memperhatikan Herga dari ambang pintu. "Eh... ibuk?" Herga berhenti, menyandarkan tubuhnya di dinding. "Gimana? Udah bisa seimbang?" Bu Rasti mendekati Herga dan duduk di sofa. "Hhhh, lumayan sih buk. Tapi kadang masih nyeri kalau buat nahan terlalu lama." "Ya udah istirahat dulu sini. Jangan terlalu dipaksain. Yang penting kan kamu ada usaha. Duduk sini," Bu Rasti menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. Herga duduk di sebelah ibunya dan menyelonjorkan kaki ke atas meja. "Maaf ya buk, biar lurus kakinya. Hehehe," Bu Rasti tersenyum sembari membelai kepa