Bu Rasti baru saja selesai mencuci piring dan gelas kotor bekas makan malam. Setelah beres, ia lalu menghampiri Herga yang sedang melatih kakinya untuk kembali bisa berjalan tanpa bantuan kruk di ruang tamu. Bu Rasti tersenyum lega karena putra sulungnya itu sudah menunjukkan perubahan yang lebih baik. Dia memperhatikan Herga dari ambang pintu.
"Eh... ibuk?" Herga berhenti, menyandarkan tubuhnya di dinding.
"Gimana? Udah bisa seimbang?" Bu Rasti mendekati Herga dan duduk di sofa.
"Hhhh, lumayan sih buk. Tapi kadang masih nyeri kalau buat nahan terlalu lama."
"Ya udah istirahat dulu sini. Jangan terlalu dipaksain. Yang penting kan kamu ada usaha. Duduk sini," Bu Rasti menepuk-nepuk sofa di sebelahnya.
Herga duduk di sebelah ibunya dan menyelonjorkan kaki ke atas meja.
"Maaf ya buk, biar lurus kakinya. Hehehe,"
Bu Rasti tersenyum sembari membelai kepa
Suara dering ponsel membangunkan Herga yang masih tertidur pulas. Perlahan dia membuka mata, meraba-raba bufet kecil yang ada di samping tempat tidurnya untuk mengambil ponsel yang masih terus berdering nyaring. Itu bukan dering alarm, melainkan panggilan masuk."Hufffhhhh.... siapa sih pagi-pagi? Ganggu orang masih ngantuk aja," gerutunya.Setelah berhasil mendapatkan ponselnya, tanpa melihat ke arah layar, jarinya menggesek ikon warna hijau ke atas."Halooo...." sapa Herga malas."Herga."Suara itu otomatis membuat Herga membuka mata begitu sempurna. Ia hafal betul itu suara siapa. Itu adalah suara Pak Fikri. Pemilik bengkel tempat Herga mencari uang. Herga pun bangkit dan menyandarkan punggung di dinding."P-pak Fikri? Maaf pak, ada apa ya?" Herga terbata.Pak Fikri menelfon Herga dan memintanya untuk datang ke bengkel hari ini. Herga pun mengiyak
"Eh, gimana kabar Herga, Vi? Dia udah lama banget lho kayaknya nggak masuk kuliah. Emang kakinya belum sembuh? Apa dia nggak kontrol ke dokter? Lo bilang tempo hari pas lo dateng ke rumah dia, dia lagi belajar jalan tanpa kruk kan?" tiba-tiba Sassy menyeletuk sekaligus memberondong pertanyaan pada Viola di saat mereka bertiga (Sassy, Viola dan Icha) sedang menikmati sarapan di kantin.Viola yang saat itu sedang menyuap sesendok nasi goreng hampir tersedak saking kagetnya. Kok tumben Sassy nanyain soal Herga sedetail itu. Ia dan Icha saling lirik. Namun sepertinya Icha sedang lebih asyik menikmati sarapannya ketimbang obrolan dan pertanyaan Sassy barusan. Jadi, dia cuek aja dan melanjutkan sarapannya. Dengan jahil dia justru mencomot krupuk di piring Viola yang langsung mendapat tampikan."Dihhh... ngrampas aja lo," gerutu Viola."Satu doang..." Icha tak menggubris dan terus melahap sekeping krupuk hasil rampasannya.
Berita tentang Herga yang diberhentikan dari pekerjaannya di bengkel akhirnya sampai juga di telinga Bu Rasti. Herga sudah terlanjur bingung dan merasa tidak bisa untuk menyembunyikannya dari ibunya. Sedih? Tentu. Namun karena Bu Rasti juga tahu bagaimana kondisi bengkel itu sekarang, dia pun bersikap legowo. Sudah hampir satu bulan, bengkel Pak Fikri sepi tidak seperti biasanya. Hal itu dikarenakan sekitar beberapa meter tak jauh dari sana, ada bengkel baru yang lebih besar dan lebih lengkap fasilitas serta alat-alat servisnya."Ya udah lah nak. Itu berarti rejeki kamu dari bengkel Pak Fikri cuma sampai di sini," ujar Bu Rasti legowo. "Kamu nggak usah banyak pikiran. Lagipula, kuliah kamu itu kan sudah hampir akhir, jadi mungkin saja dengan begini kamu bisa lebih fokus sama kuliah kamu.""Tapi buk, kita kan butuh biaya juga untuk kehidupan sehari-hari. Bukannya aku meremehkan kemampuan ibuk. Aku cuma nggak mau ibuk terlalu capek bekerja.
Steffan mondar-mandir dengan gelisah di ruang kerjanya. Pikiran dan perasaannya saling berbenturan dengan apa yang kini tengah ia rasakan. Apa iya aku mulai menyukai Viola?Pertanyaan itu yang sedari semalam terus berputar di kepalanya.Sedang melamun sembari menatap keluar melalui jendela kaca besar, suara pintu yang terbuka dari luar membuatnya tersentak. Steffan memutar tubuhnya dan seketika langsung menghela nafas berat saat melihat siapa yang datang.Nessa, perempuan tersenyum manis ke arahnya sebelum kembali berjalan mendekat. Steffan melengos saat Nessa berdiri tepat di seberang meja besarnya."Hai Fan," sapa Nessa ringan. Steffan melengos membuat Nessa tersenyum kecut. Dia menyadari kesalahannya namun tidak ingin lagi berdebat. "Aku datang ke sini bukan untuk mencari gaduh kok," tuturnya.Steffan hanya merespon dengan hembusan nafas berat.Begitu juga dengan Nessa.
"Kamu nggak bikin masalah sama dia kan, Ga?" cecar Bu Rasti khawatir."Enggak buk," Herga menggeleng. "Aku pertama dan terakhir ketemu sama tu orang juga malam itu aja.""Terus..... kenapa dia nyari-nyari kamu ya? Kok perasaan ibuk nggak enak sih, Ga...""Sssshhhh.... udah udah udah... ibuk tenang ya," Herga menenangkan ibunya yang terlihat menampilkan wajah cemas. "Nanti aku minta Simon, Fatih atau Denis deh buat temenin aku ketemu orang itu.""Pokoknya kamu jangan sendirian kalau ke sana."***Malamnya, Herga menghubungi teman-teman nongkrongnya untuk kapan bisa menemani ia menemui Surya. Namun sayang, baik Simon, Fatih maupun Denis tidak bisa saat itu juga. Mereka ada kesibukan masing-masing dengan keluarganya. Alhasil, malam itu Herga tidur dengan gelisah. Beberapa kali terba
Tanpa pikir panjang Viola langsung meninggalkan tempat bersamaan dengan masuknya Herga ke dalam mobil mewah bersama dua orang tersebut. Perasaan Viola nggak karuan. Dia bingung dan tidak tahu harus menghubungi siapa. Dia tidak memiliki kontak orang-orang terdekat Herga. Bahkan kontak Herga pun Viola tidak punya.Kini yang terlintas di benak Viola hanyalah dia harus ke rumah Herga, menemui Bu Rasti dan menceritakan apa yang terjadi.Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Herga dengan cara mengemudi yang membabi buta. Nana yang saat Viola datang dia juga baru pulang dari sekolah dan melepas sepatu di depan pintu, kaget demi mendengar suara rem mobil yang begitu kasar.Nana sudah pulang dari Bali 2 hari yang lalu."Na... ibuk ada?" tanya Viola terburu-buru dengan wajah cemas begitu keluar dari mobil."Mungkin di dalam kak. Aku juga baru pulang sekolah. Ada apa kak?""Yuk
Viola tiba di rumah dan langsung mendapat sambutan dramatis dari sang mama. Di sana juga ada Steffan. Cowok itu tidak tega meninggalkan Bu Delia di rumahnya sendiri dalam suasana kecemasan. Apalagi Pak Brian sedang tidak ada di rumah."Ya ampun Vio... sayang... kamu tu kemana aja sih seharian iniii...? Dan kenapa kamu nonaktifin ponsel kamu...??? Kamu nggak tahu kita semua di sini khawatirin kamu? Mama tadi seharian di butik nungguin kamu sama Kak Steffan, Sassy dan Icha... kemana kamuuu???" cecar Bu Delia dengan wajah cemas dan terlihat sedikit menahan jengkel. Pun begitu, perasaannya juga lega karena akhirnya putri semata wayangnya itu pulang.Viola menghela nafas panjang. Dengan wajah tak merasa berdosa, ia tersenyum sembari merengkuh bahu mamanya."Hehehe... Vio lagi pengen cari suasana baru aja mama. Yang penting kan Vio tetep balik ke rumah, dan...." Viola membentangkan tangan sekilas. "Vio baik-baik aja. Udah, mama
Suara ketukan pintu kamar yang beradu bersama dengan dering alarm membangunkan Viola dari tidur malamnya yang lelap. Tidur dengan mimpi yang membuat hatinya berbunga-bunga. Semalam sebelum memejamkan mata, Viola merenung, mengingat apa yang telah ia lakukan--saat ia memeluk cowok itu di depan ibu dan adiknya tanpa rasa canggung. Berani banget ya gue semalam?"Mmmmmhhhhh...." Viola menggeliat malas di atas tempat tidur. Perlahan ia membuka mata."Vio.... bangun nak... ini sudah jam berapa? Memangnya kamu nggak berangkat kuliah?" terdengar suara Bu Delia dari luar kamar disusul ketukan pintu beberapa kali."Yaaaaa Maaaa..... aku udah bangun kok..." sahut Viola dengan suara parau khas bangun tidur.Mendengar suara putrinya, Bu Delia menjauhkan tangan dari daun pintu dan tersenyum."Mama tunggu di meja makan ya sayang!" ujar Bu Delia sebelum meninggalkan kamar Viola.Namun tak ada jawaban. Bu Delia tak ambil p