Viola tiba di rumah dan langsung mendapat sambutan dramatis dari sang mama. Di sana juga ada Steffan. Cowok itu tidak tega meninggalkan Bu Delia di rumahnya sendiri dalam suasana kecemasan. Apalagi Pak Brian sedang tidak ada di rumah.
"Ya ampun Vio... sayang... kamu tu kemana aja sih seharian iniii...? Dan kenapa kamu nonaktifin ponsel kamu...??? Kamu nggak tahu kita semua di sini khawatirin kamu? Mama tadi seharian di butik nungguin kamu sama Kak Steffan, Sassy dan Icha... kemana kamuuu???" cecar Bu Delia dengan wajah cemas dan terlihat sedikit menahan jengkel. Pun begitu, perasaannya juga lega karena akhirnya putri semata wayangnya itu pulang.
Viola menghela nafas panjang. Dengan wajah tak merasa berdosa, ia tersenyum sembari merengkuh bahu mamanya.
"Hehehe... Vio lagi pengen cari suasana baru aja mama. Yang penting kan Vio tetep balik ke rumah, dan...." Viola membentangkan tangan sekilas. "Vio baik-baik aja. Udah, mama
Suara ketukan pintu kamar yang beradu bersama dengan dering alarm membangunkan Viola dari tidur malamnya yang lelap. Tidur dengan mimpi yang membuat hatinya berbunga-bunga. Semalam sebelum memejamkan mata, Viola merenung, mengingat apa yang telah ia lakukan--saat ia memeluk cowok itu di depan ibu dan adiknya tanpa rasa canggung. Berani banget ya gue semalam?"Mmmmmhhhhh...." Viola menggeliat malas di atas tempat tidur. Perlahan ia membuka mata."Vio.... bangun nak... ini sudah jam berapa? Memangnya kamu nggak berangkat kuliah?" terdengar suara Bu Delia dari luar kamar disusul ketukan pintu beberapa kali."Yaaaaa Maaaa..... aku udah bangun kok..." sahut Viola dengan suara parau khas bangun tidur.Mendengar suara putrinya, Bu Delia menjauhkan tangan dari daun pintu dan tersenyum."Mama tunggu di meja makan ya sayang!" ujar Bu Delia sebelum meninggalkan kamar Viola.Namun tak ada jawaban. Bu Delia tak ambil p
"Sekian, dan sampai jumpa kembali di pertemuan selanjutnya," ucap sang dosen yang mengisi mata kuliah pagi di kelas Fashion--kelas Viola--sebelum meninggalkan kelas.Suara riuh terdengar begitu sang dosen keluar. Beberapa mahasiswa langsung bergabung dengan masing-masing circle mereka. Kecuali Sassy dan Icha yang terlihat bermalas-malasan. Bukan tanpa alasan. Keduanya badmood berat karena tak ada Viola."Gak ada kabar juga?" Icha mengecek ponselnya.Sassy menggeleng, "Kemana sih tu anak? Apa mungkin dia pergi sama......""Herga?!" Icha menyahut cepat dan Sassy langsung mengangguk. Mereka memiliki isi otak yang sama kali ini.Cuma entah kenapa, hal itu kemarin tak terpikirkan sama sekali.Baru saja mereka menyebut nama itu, seseorang muncul di ambang pintu kelas dan berdiri di sana. Matanya mengedarkan pandangan ke seantero kelas yang sibuk. Sassy dan Icha lan
Viola dan kedua sahabatnya sama-sama bernapas lega saat keluar kelas. Meskipun hari ini tidak ikut mata kuliah dari awal, tapi Viola merasa sangat letih. Mungkin karena semalam kurang tidur. Hari ini Viola juga nggak mood buat pergi ke butik. Jadi dia menyarankan supayaSassy dan Icha langsung pulang saja."Lo sendiri nggak pulang?" tanya Icha selagi mereka menyusuri koridor."Ya pulang lah. Emangnya lo pikir gue mau tidur dimana kalau nggak pulang?" sergah Viola."Maksud gue, sekarang lo mau kemana dulu?"Viola celingukan seperti mencari sesuatu."Mmmmm..... gue.... mau cari sesuatu dulu. Titipan mama," jawabnya asal."Yakin nggak mau kita temenin?" Sassy menyela.Viola menggeleng. "Udah nggak usah. Gue bisa sendiri kok.""Oke deh. Kalau gitu sampai ketemu besok. Daaaa...." Sassy dan Icha berlalu bersamaan.
Mereka berempat duduk di ruang tamu, di atas sofa usang yang sudah tidak empuk lagi. Nana di samping Bu Rasti, dan Viola di samping Bu Delia.Bu Rasti tampak malu dan sungkan melihat mamanya Viola yang baru saja gadis itu perkenalkan padanya. Usia mama Viola ini pasti hanya selisih beberapa tahun saja darinya, tapi penampilannya yang modis dan elegan membuatnya terlihat jauh lebih muda dari usianya. Yah, wajar saja."Nak Vio dan ibu mau minum apa?" Bu Rasti menawarkan.Bu Delia tersenyum. "Nggak usah repot-repot kak, kita kesini kan cuma mau main aja. Iya kan Vio?" liriknya ke Viola yang dibalas anggukan."Tapi bagi saya yang namanya tamu, ya harus dijamu," tepis Bu Rasti. "Nana, kamu bikin minum ya. Sekalian panggil kakak kamu," ia mencolek Nana.Nana mengangguk dan lantas berlalu ke belakang.Di kamarnya, Herga yang mendengar langkah Nana mendekati kamarnya
"Jangan ditunda-tunda Fan. Mungkin aja berakhirnya hubungan kamu sama Nessa itu merupakan sebuah takdir supaya kamu bisa bersama sama Viola. Lagian kenapa sih kamu itu kok nggak peka gitu? Coba untuk ungkapin perasaan kamu, nanti kalau dia sudah diambil orang, kamu nyeseeeel...."Steffan mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Ucapan mamanya itu terus terngiang-ngiang di telinganya, menghiasi isi kepalanya. Saat ini mungkin dia sudah merasakan sedikit penyesalan itu. Hhhhh, Steffan tersenyum kecut. Tapi memang kenyataannya perasaan itu baru muncul belum lama ini. Dari dulu Steffan benar-benar hanya menganggap Viola sebagai adik.Entahlah... hal-hal seperti ini memang penuh misteri.Steffan menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Malam ini perasaannya begitu hampa. Dia duduk dengan gelisah di atas tempat tidur di kamarnya menyatu dengan keheningan. Suasana yang hening namun tidak dengan isi kepalan
Steffan keluar dari ruangannya dengan tergesa-gesa. Dia bahkan hampir menabrak seorang OB yang sedang membawa ember berisi air keruh bekas untuk ngepel. Beruntung dia cukup sigap menghindar. OBnya juga ngelus dada merasa lega. Dia berdiri di tepi dinding dan mengamati langkah Steffan yang kian menjauh lalu menghilang saat memasuki lift."Lhoh, mau kemana Fan? Buru-buru banget?" seorang teman menyapa saat berpapasan di lobi."Iya, gue ada perlu sebentar," jawabnya. "Duluan ya," Steffan berlalu tanpa mempedulikan temannya yang masih mengamatinya itu sambil geleng-geleng kepala.Setelah berhasil keluar dari lapangan parkir yang cukup penuh, Steffan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan diatas sedang. Ya, siang ini dia ingin menemui Viola di kampusnya. Dia tahu sekarang sudah jamnya gadis itu pulang. Steffan tak mau buang-buang waktu lagi. Ia yakin saat ini belum terlambat untuk mengakui semuanya. Meskipun dalam
Kabar tentang Viola yang telah berpacaran dengan Herga, akhirnya sampai juga ke telinga Pak Brian. Saat itu beliau baru saja pulang dari UK dan menemui Steffan dua hari setelahnya. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan menyangkut hubungan kekeluargaan.Entah kenapa papa Viola itu tiba-tiba mengutarakan satu maksud, yakni ingin menjodohkan Steffan dan Viola dan meminta mereka untuk segera melakukan pertunangan. Steffan tentu senang mendengar kabar ini, namun ia tahu ia tidak bisa menyetujui karena posisi Viola saat ini.Dari situlah Pak Brian mengetahui semuanya. Pak Brian hanya bisa termenung mendengar penjelasan Steffan. Ia penasaran, siapa pria yang berhasil memenangkan hati putrinya itu sementara ia sendiri tahu bagaimana akrabnya Viola dan Steffan sejak kecil.Tak hanya tinggal diam, Pak Brian mencari tahu dengan bertanya ke istrinya. Karena selama dia di UK istrinya itu tidak jadi menyusul kesana dan m
"Jadi kamu kenal sama laki-laki yang dekat dengan Viola itu?" Pak Brian kembali mememui Steffan untuk menceritakan apa yang baru saja ia lakukan hampir seharian ini.Steffan menggeleng pelan. "Saya nggak kenal Om, hanya sekedar tahu. Saya... juga tidak pernah ngobrol khusus sama dia."Pak Brian manggut-manggut. Dia memijit pelipisnya perlahan. Kepalanya mendadak terasa sedikit pening. Dia meraih segelas air mineral yang terhidang di meja dan meneguknya."Om nggak pa-pa?" tanya Steffan khawatir."Hmmmmhh..... nggak tahu Fan. Saya kok ngerasa.... kurang setuju putri saya berhubungan dengan dia. Saya nggak yakin dia laki-laki yang baik. Pertama kali melihat penampilannya saja saya sudah bisa menilai dia laki-laki seperti apa."Steffan tersenyum simpul. "Om, Viola itu sudah dewasa. Dia pasti tahu mana yang baik dan nggak untuk dirinya. Lagipula... kita kan tidak bisa menilai sese