Viola dan kedua sahabatnya sama-sama bernapas lega saat keluar kelas. Meskipun hari ini tidak ikut mata kuliah dari awal, tapi Viola merasa sangat letih. Mungkin karena semalam kurang tidur. Hari ini Viola juga nggak mood buat pergi ke butik. Jadi dia menyarankan supaya Sassy dan Icha langsung pulang saja.
"Lo sendiri nggak pulang?" tanya Icha selagi mereka menyusuri koridor.
"Ya pulang lah. Emangnya lo pikir gue mau tidur dimana kalau nggak pulang?" sergah Viola.
"Maksud gue, sekarang lo mau kemana dulu?"
Viola celingukan seperti mencari sesuatu.
"Mmmmm..... gue.... mau cari sesuatu dulu. Titipan mama," jawabnya asal.
"Yakin nggak mau kita temenin?" Sassy menyela.
Viola menggeleng. "Udah nggak usah. Gue bisa sendiri kok."
"Oke deh. Kalau gitu sampai ketemu besok. Daaaa...." Sassy dan Icha berlalu bersamaan.
Mereka berempat duduk di ruang tamu, di atas sofa usang yang sudah tidak empuk lagi. Nana di samping Bu Rasti, dan Viola di samping Bu Delia.Bu Rasti tampak malu dan sungkan melihat mamanya Viola yang baru saja gadis itu perkenalkan padanya. Usia mama Viola ini pasti hanya selisih beberapa tahun saja darinya, tapi penampilannya yang modis dan elegan membuatnya terlihat jauh lebih muda dari usianya. Yah, wajar saja."Nak Vio dan ibu mau minum apa?" Bu Rasti menawarkan.Bu Delia tersenyum. "Nggak usah repot-repot kak, kita kesini kan cuma mau main aja. Iya kan Vio?" liriknya ke Viola yang dibalas anggukan."Tapi bagi saya yang namanya tamu, ya harus dijamu," tepis Bu Rasti. "Nana, kamu bikin minum ya. Sekalian panggil kakak kamu," ia mencolek Nana.Nana mengangguk dan lantas berlalu ke belakang.Di kamarnya, Herga yang mendengar langkah Nana mendekati kamarnya
"Jangan ditunda-tunda Fan. Mungkin aja berakhirnya hubungan kamu sama Nessa itu merupakan sebuah takdir supaya kamu bisa bersama sama Viola. Lagian kenapa sih kamu itu kok nggak peka gitu? Coba untuk ungkapin perasaan kamu, nanti kalau dia sudah diambil orang, kamu nyeseeeel...."Steffan mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Ucapan mamanya itu terus terngiang-ngiang di telinganya, menghiasi isi kepalanya. Saat ini mungkin dia sudah merasakan sedikit penyesalan itu. Hhhhh, Steffan tersenyum kecut. Tapi memang kenyataannya perasaan itu baru muncul belum lama ini. Dari dulu Steffan benar-benar hanya menganggap Viola sebagai adik.Entahlah... hal-hal seperti ini memang penuh misteri.Steffan menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Malam ini perasaannya begitu hampa. Dia duduk dengan gelisah di atas tempat tidur di kamarnya menyatu dengan keheningan. Suasana yang hening namun tidak dengan isi kepalan
Steffan keluar dari ruangannya dengan tergesa-gesa. Dia bahkan hampir menabrak seorang OB yang sedang membawa ember berisi air keruh bekas untuk ngepel. Beruntung dia cukup sigap menghindar. OBnya juga ngelus dada merasa lega. Dia berdiri di tepi dinding dan mengamati langkah Steffan yang kian menjauh lalu menghilang saat memasuki lift."Lhoh, mau kemana Fan? Buru-buru banget?" seorang teman menyapa saat berpapasan di lobi."Iya, gue ada perlu sebentar," jawabnya. "Duluan ya," Steffan berlalu tanpa mempedulikan temannya yang masih mengamatinya itu sambil geleng-geleng kepala.Setelah berhasil keluar dari lapangan parkir yang cukup penuh, Steffan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan diatas sedang. Ya, siang ini dia ingin menemui Viola di kampusnya. Dia tahu sekarang sudah jamnya gadis itu pulang. Steffan tak mau buang-buang waktu lagi. Ia yakin saat ini belum terlambat untuk mengakui semuanya. Meskipun dalam
Kabar tentang Viola yang telah berpacaran dengan Herga, akhirnya sampai juga ke telinga Pak Brian. Saat itu beliau baru saja pulang dari UK dan menemui Steffan dua hari setelahnya. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan menyangkut hubungan kekeluargaan.Entah kenapa papa Viola itu tiba-tiba mengutarakan satu maksud, yakni ingin menjodohkan Steffan dan Viola dan meminta mereka untuk segera melakukan pertunangan. Steffan tentu senang mendengar kabar ini, namun ia tahu ia tidak bisa menyetujui karena posisi Viola saat ini.Dari situlah Pak Brian mengetahui semuanya. Pak Brian hanya bisa termenung mendengar penjelasan Steffan. Ia penasaran, siapa pria yang berhasil memenangkan hati putrinya itu sementara ia sendiri tahu bagaimana akrabnya Viola dan Steffan sejak kecil.Tak hanya tinggal diam, Pak Brian mencari tahu dengan bertanya ke istrinya. Karena selama dia di UK istrinya itu tidak jadi menyusul kesana dan m
"Jadi kamu kenal sama laki-laki yang dekat dengan Viola itu?" Pak Brian kembali mememui Steffan untuk menceritakan apa yang baru saja ia lakukan hampir seharian ini.Steffan menggeleng pelan. "Saya nggak kenal Om, hanya sekedar tahu. Saya... juga tidak pernah ngobrol khusus sama dia."Pak Brian manggut-manggut. Dia memijit pelipisnya perlahan. Kepalanya mendadak terasa sedikit pening. Dia meraih segelas air mineral yang terhidang di meja dan meneguknya."Om nggak pa-pa?" tanya Steffan khawatir."Hmmmmhh..... nggak tahu Fan. Saya kok ngerasa.... kurang setuju putri saya berhubungan dengan dia. Saya nggak yakin dia laki-laki yang baik. Pertama kali melihat penampilannya saja saya sudah bisa menilai dia laki-laki seperti apa."Steffan tersenyum simpul. "Om, Viola itu sudah dewasa. Dia pasti tahu mana yang baik dan nggak untuk dirinya. Lagipula... kita kan tidak bisa menilai sese
Viola dan kedua orang tuanya berjalan beriringan keluar rumah. Seperti biasa, mereka akan menjalani hari dengan tugas masing-masing. Viola pergi ke kampus, Pak Brian ke kantor, sementara Bu Delia melakukan pekerjaannya dari rumah. Dia juga berencana ingin mengunjungi butik Viola siang nanti."Pa, ada yang mau Vio tanyain ke papa," ucap Viola saat mereka bertiga tiba di ambang pintu utama.Serempak, ketiganya sama-sama berhenti. Viola yang berada di tengah-tengah, mendapat tatapan langsung dari kedua orang tuanya dari sisi kiri dan kanan."Nanya apa Vi?" tanya Pak Brian."Mmmm.... kemarin siang aku lihat mobil papa di seberang butik. Itu papa? Kok nggak mampir?"Pak Brian sedikit gelagapan. Tapi ia berusaha menyembunyikan rasa itu. Ia memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana."Kemarin? Enggak tuh..." ucapnya bohong. "Papa nggak ke sana."
Setelah berbincang cukup lama dengan Pak Brian, Steffan lantas keluar dengan perasaan tak menentu. Dia mendesah berat di luar ruangan dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Pikirannya berkecamuk berisi macam-macam pertanyaan.Kenapa papa Viola memintanya mencari tahu tentang Herga? Untuk apa? Kenapa dia tidak mencari tahu sendiri dengan bertanya langsung pada Viola?Steffan sebenarnya bisa saja memberitahu saat itu juga tentang Herga yang sebagian besar latar belakangnya telah ia ketahui. Tapi ia memilih untuk menjawab sebaliknya dan berjanji akan melakukan apa yang diminta Pak Brian. Setelah menghela nafas panjang, dengan langkah berat ia segera berlalu untuk kembali ke kantornya.Sementara itu di kampus, Viola dan Herga sedang menikmati makanan di kantin sambil ngobrol dan bercanda."Ga, kira-kira siapa ya temen dosen Kak Steffan di kampus ini? Aku penasaran deh. Soal
"Baru pulang, Ga?" sambut Bu Rasti yang saat itu membukakan pintu tepat setelah Herga memarkirkan motor. "Iya ni buk. Kok tumben Ibuk belum tidur?" Herga melirik jam tangannya. "Ini udah malem lho."Bu Rasti tersenyum tipis. Sorot matanya menunjukkan rasa lelah. "Ibu baru aja nyelesain pesanan Bu Widya buat besok. Tadinya sih mau langsung tidur, tapi ibu denger suara motor kamu dari kejauhan."Herga terkekeh. "Ibuk hafal banget ya sama suara motorku?""Bahkan napas kamu dari jarak 1 km aja, ibuk sudah mampu merasakan lho," canda Bu Rasti. "Itulah ikatan bathin," ia menunjuk dadanya. "Mmmm... ibuk sweet banget...." Herga meraih tangan kanan Bu Rasti dan mengecupnya. "Ya udah masuk yuk, ibuk harus istirahat."Bu Rasti mengangguk. Ia membalikkan tubuh dan berjalan memasuki rumah. Namun baru beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh karena merasa Herga tidak menyusulnya. Dilihatnya anak laki-lakinya itu sedang celingukan ke arah ja