Viola dan kedua orang tuanya berjalan beriringan keluar rumah. Seperti biasa, mereka akan menjalani hari dengan tugas masing-masing. Viola pergi ke kampus, Pak Brian ke kantor, sementara Bu Delia melakukan pekerjaannya dari rumah. Dia juga berencana ingin mengunjungi butik Viola siang nanti.
"Pa, ada yang mau Vio tanyain ke papa," ucap Viola saat mereka bertiga tiba di ambang pintu utama.
Serempak, ketiganya sama-sama berhenti. Viola yang berada di tengah-tengah, mendapat tatapan langsung dari kedua orang tuanya dari sisi kiri dan kanan.
"Nanya apa Vi?" tanya Pak Brian.
"Mmmm.... kemarin siang aku lihat mobil papa di seberang butik. Itu papa? Kok nggak mampir?"
Pak Brian sedikit gelagapan. Tapi ia berusaha menyembunyikan rasa itu. Ia memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana.
"Kemarin? Enggak tuh..." ucapnya bohong. "Papa nggak ke sana."
Setelah berbincang cukup lama dengan Pak Brian, Steffan lantas keluar dengan perasaan tak menentu. Dia mendesah berat di luar ruangan dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Pikirannya berkecamuk berisi macam-macam pertanyaan.Kenapa papa Viola memintanya mencari tahu tentang Herga? Untuk apa? Kenapa dia tidak mencari tahu sendiri dengan bertanya langsung pada Viola?Steffan sebenarnya bisa saja memberitahu saat itu juga tentang Herga yang sebagian besar latar belakangnya telah ia ketahui. Tapi ia memilih untuk menjawab sebaliknya dan berjanji akan melakukan apa yang diminta Pak Brian. Setelah menghela nafas panjang, dengan langkah berat ia segera berlalu untuk kembali ke kantornya.Sementara itu di kampus, Viola dan Herga sedang menikmati makanan di kantin sambil ngobrol dan bercanda."Ga, kira-kira siapa ya temen dosen Kak Steffan di kampus ini? Aku penasaran deh. Soal
"Baru pulang, Ga?" sambut Bu Rasti yang saat itu membukakan pintu tepat setelah Herga memarkirkan motor. "Iya ni buk. Kok tumben Ibuk belum tidur?" Herga melirik jam tangannya. "Ini udah malem lho."Bu Rasti tersenyum tipis. Sorot matanya menunjukkan rasa lelah. "Ibu baru aja nyelesain pesanan Bu Widya buat besok. Tadinya sih mau langsung tidur, tapi ibu denger suara motor kamu dari kejauhan."Herga terkekeh. "Ibuk hafal banget ya sama suara motorku?""Bahkan napas kamu dari jarak 1 km aja, ibuk sudah mampu merasakan lho," canda Bu Rasti. "Itulah ikatan bathin," ia menunjuk dadanya. "Mmmm... ibuk sweet banget...." Herga meraih tangan kanan Bu Rasti dan mengecupnya. "Ya udah masuk yuk, ibuk harus istirahat."Bu Rasti mengangguk. Ia membalikkan tubuh dan berjalan memasuki rumah. Namun baru beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh karena merasa Herga tidak menyusulnya. Dilihatnya anak laki-lakinya itu sedang celingukan ke arah ja
Pak Brian masih terjaga di tempat tidur, sementara Bu Delia sudah terlelap di sampingnya. Pikiran dan perasaannya gelisah. Kesalahan yang telah ia lakukan 12 tahun lalu kembali menghantui.Peristiwa pahit yang selama ini berusaha ia lupakan dan tutupi dari keluarganya, kini hadir lagi dan membuatnya tak tenang.Masih teringat jelas dalam benaknya, saat ia menyaksikan tangis seorang anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun sembari berusaha menenangkan ibunya yang saat itu juga sedang menangis.Seorang ibu bersama dua orang anak, duduk di hadapan seorang polisi yang sedang berusaha menjelaskan tentang kronologi tabrak lari yang menimpa suaminya hingga membuat suaminya tewas."Kalau saja malam itu ada saksi, kita pasti bisa mengusut dan menemukan pelakunya, bu. Kami mohon maaf, selama beberapa hari ini tim kami sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tapi....""Baiklah pak polisi," potong perempuan itu dengan nada sayu. "Mungkin memang ini sudah menjadi takdir dan jalan hidup suami saya. Sa
Beberapa hari berlalu, perlahan Pak Brian mulai bisa melupakan tentang peristiwa pahit di masa lalunya tersebut. Kesibukan lah yang membuat persoalan itu mulai terkikis dari isi kepalanya. Hari ini, perusahaan armada miliknya yang ia namai Dewangga Trans menambah beberapa unit armada dan ia sendiri yang akan meresmikan.Ditemani Bu Delia dan Viola yang saat itu kebetulan kuliahnya libur, mereka menghadiri acara megah yang diselenggarakan di gedung serbaguna milik keluarga besar mereka. Satu hal yang membuat Pak Brian cukup merasa lega. Meski awalnya Viola menolak untuk datang, namun akhirnya putri semata wayangnya itu datang juga. Dan ia datang sendiri tanpa ditemani Herga, pacarnya yang selama ini masih belum ia kenalkan padanya.Pak Brian, Bu Delia dan Viola duduk di kursi paling depan, mendengarkan sambutan-sambutan dalam rangkaian acara tersebut. Di sebelah mereka keluarga Steffan juga turut hadir. Namun Steffan hanya datang bersama mamanya. Papanya sedang sibuk dengan urusan di l
Herga berjalan menghampiri Viola dan yang lain, lalu dengan hormat mengulurkan tangannya pada Pak Brian. Namun sayangnya Pak Brian tak kunjung membalas uluran tangan itu dan justru hanya melihat ke arah Herga dengan pandangan kosong. Hal itu tentu membuat semua yang ada di sana menatap Pak Brian heran."Papa... Pa...!" Viola yang tadinya berdiri di sebelah kiri Bu Delia, bergeser mendekati papanya dan menyodok lengan beliau.Pak Brian tersentak, gelagapan dan secara reflek membalas uluran tangan Herga."Selamat Om, semoga bisnis Om semakin sukses dan jaya," ucap Herga mantap. Ia meremas tangan Pak Brian.Bu Tamara yang masih bingung berbisik pada Steffan, menanyakan siapa pria yang baru datang ini. Steffan tak menjawab dengan pasti. Hanya menggelengkan kepala saja seraya buang muka."Terimakasih," balas Pak Brian. "Mmm... kalau boleh saya tahu, kamu siapa ya?"Herga menatap heran ke arah Viola. Jadi papa Viola belum tahu?Bu Delia tadinya mau menjawab pertanyaan suaminya itu, namun te
Tiga hari setelah pertemuan itu, Pak Brian berubah menjadi sosok yang lebih dekat dan banyak meluangkan waktu untuk keluarga. Namun perubahan ini tidak disadari oleh Viola dan Bu Delia sebagai sesuatu yang aneh. Mereka justru senang akan hal itu.Ya, dengan alasan ingin menebus waktu yang selama ini hilang dengan putri semata wayangnya, Pak Brian selalu menawarkan diri untuk mengantar dan menjemput Viola ke kampus. Bahkan ia juga sering stay di butik meski hanya beberapa saat. Dan karena hal itulah, akhirnya ia juga bisa lebih dekat dengan Herga dan mulai sedikit akrab. Menurutnya, Herga jauh sekali dari apa yang ia bayangkan selama ini. Pak Brian sudah tahu latar belakang Herga yang pernah tergabung dalam klub geng motor dan sering mengikuti balapan liar. Tapi ia juga cukup lega karena sekarang dunia itu sudah mulai ia tinggalkan. Herga, adalah sosok yang tepat untuk putrinya. Namun tidak dengan hal yang beberapa saat terakhir ini mengusik ketenangannya. Pak Brian merestui hubungan
Sehari setelah perbincangan tentang Italia, Viola menceritakannya pada Herga. Dan benar saja, seperti yang ia duga, kekasihnya itu memberikan dukungan penuh bahkan menyarankan Viola supaya mengambil tawaran yang diberikan ayahnya tersebut."Itu kesempatan bagus Vi. Kamu nggak boleh menyia-nyiakannya," ucapnya antusias."Kok kamu ngomongnya gitu sih? Jadi kamu seneng kalau kita jauhan? Italia itu jauh banget lho. Kita mungkin bakalan setahun sekali aja ketemu..." kerongkongan Viola seperti tercekat saat mengatakan hal tersebut. Ia tidak yakin bisa menjalani hubungan jarak jauh dengan jarak sejauh itu.Herga menunduk sembari tersenyum. Ia merapatkan tubuhnya ke Viola dan merangkul pundak kekasihnya yang tengah berwajah sendu. Siang itu, mereka duduk di atas rumput taman kampus yang letaknya cukup jauh dari kelas mereka masing-masing."Kenapa?? Kamu takut aku selingkuh?" Herga terkikik. "Look at me," tangannya membimbing dagu Viola agar melihat ke arahnya.Viola menoleh dan menatap Herga
Berhari-hari Viola mempertimbangkan tawaran papanya. Ia sudah menceritakan pada kedua sahabatnya dan seperti halnya sang kekasih, mereka mendukung penuh. Sassy dan Icha bahkan berjanji akan mengelola butik dengan baik selama Viola berada di Italia. "Lo nggak usah khawatir, Vi. Dua tahun itu nggak lama kok. Gue yakin, entar lo balik ke Indonesia, butik lo udah rame dan banyak pelanggannya," ujar Sassy antusias. Viola reflek menoyor kepala Sassy. "2 tahun lo bilang nggak lama?" bibirnya memberut. "Gimana coba sama hubungan gue sama Herga? Apa bisaaa gue LDR-an? Mana hubungan baru seumur jagung!" gerutu Viola sembari merapatkan kedua tangan dan menyandarkan punggungnya di kursi dengan kasar. Sassy dan Icha saling lirik dan bertukar senyum geli. Viola lagi bucin, batin mereka. "Emang Herga keberata lo mau ke Italia?" tanya Sassy dan Viola menggeleng. "Terus?""Dia dukung penuh, dia nggak mau gue mundur hanya karena berat di dia. Tapi kan....." Viola tak melanjutkan kata-katanya. Ia men