Tiga hari setelah pertemuan itu, Pak Brian berubah menjadi sosok yang lebih dekat dan banyak meluangkan waktu untuk keluarga. Namun perubahan ini tidak disadari oleh Viola dan Bu Delia sebagai sesuatu yang aneh. Mereka justru senang akan hal itu.Ya, dengan alasan ingin menebus waktu yang selama ini hilang dengan putri semata wayangnya, Pak Brian selalu menawarkan diri untuk mengantar dan menjemput Viola ke kampus. Bahkan ia juga sering stay di butik meski hanya beberapa saat. Dan karena hal itulah, akhirnya ia juga bisa lebih dekat dengan Herga dan mulai sedikit akrab. Menurutnya, Herga jauh sekali dari apa yang ia bayangkan selama ini. Pak Brian sudah tahu latar belakang Herga yang pernah tergabung dalam klub geng motor dan sering mengikuti balapan liar. Tapi ia juga cukup lega karena sekarang dunia itu sudah mulai ia tinggalkan. Herga, adalah sosok yang tepat untuk putrinya. Namun tidak dengan hal yang beberapa saat terakhir ini mengusik ketenangannya. Pak Brian merestui hubungan
Sehari setelah perbincangan tentang Italia, Viola menceritakannya pada Herga. Dan benar saja, seperti yang ia duga, kekasihnya itu memberikan dukungan penuh bahkan menyarankan Viola supaya mengambil tawaran yang diberikan ayahnya tersebut."Itu kesempatan bagus Vi. Kamu nggak boleh menyia-nyiakannya," ucapnya antusias."Kok kamu ngomongnya gitu sih? Jadi kamu seneng kalau kita jauhan? Italia itu jauh banget lho. Kita mungkin bakalan setahun sekali aja ketemu..." kerongkongan Viola seperti tercekat saat mengatakan hal tersebut. Ia tidak yakin bisa menjalani hubungan jarak jauh dengan jarak sejauh itu.Herga menunduk sembari tersenyum. Ia merapatkan tubuhnya ke Viola dan merangkul pundak kekasihnya yang tengah berwajah sendu. Siang itu, mereka duduk di atas rumput taman kampus yang letaknya cukup jauh dari kelas mereka masing-masing."Kenapa?? Kamu takut aku selingkuh?" Herga terkikik. "Look at me," tangannya membimbing dagu Viola agar melihat ke arahnya.Viola menoleh dan menatap Herga
Berhari-hari Viola mempertimbangkan tawaran papanya. Ia sudah menceritakan pada kedua sahabatnya dan seperti halnya sang kekasih, mereka mendukung penuh. Sassy dan Icha bahkan berjanji akan mengelola butik dengan baik selama Viola berada di Italia. "Lo nggak usah khawatir, Vi. Dua tahun itu nggak lama kok. Gue yakin, entar lo balik ke Indonesia, butik lo udah rame dan banyak pelanggannya," ujar Sassy antusias. Viola reflek menoyor kepala Sassy. "2 tahun lo bilang nggak lama?" bibirnya memberut. "Gimana coba sama hubungan gue sama Herga? Apa bisaaa gue LDR-an? Mana hubungan baru seumur jagung!" gerutu Viola sembari merapatkan kedua tangan dan menyandarkan punggungnya di kursi dengan kasar. Sassy dan Icha saling lirik dan bertukar senyum geli. Viola lagi bucin, batin mereka. "Emang Herga keberata lo mau ke Italia?" tanya Sassy dan Viola menggeleng. "Terus?""Dia dukung penuh, dia nggak mau gue mundur hanya karena berat di dia. Tapi kan....." Viola tak melanjutkan kata-katanya. Ia men
Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang
Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka
Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de