Pak Brian masih terjaga di tempat tidur, sementara Bu Delia sudah terlelap di sampingnya. Pikiran dan perasaannya gelisah. Kesalahan yang telah ia lakukan 12 tahun lalu kembali menghantui.Peristiwa pahit yang selama ini berusaha ia lupakan dan tutupi dari keluarganya, kini hadir lagi dan membuatnya tak tenang.Masih teringat jelas dalam benaknya, saat ia menyaksikan tangis seorang anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun sembari berusaha menenangkan ibunya yang saat itu juga sedang menangis.Seorang ibu bersama dua orang anak, duduk di hadapan seorang polisi yang sedang berusaha menjelaskan tentang kronologi tabrak lari yang menimpa suaminya hingga membuat suaminya tewas."Kalau saja malam itu ada saksi, kita pasti bisa mengusut dan menemukan pelakunya, bu. Kami mohon maaf, selama beberapa hari ini tim kami sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tapi....""Baiklah pak polisi," potong perempuan itu dengan nada sayu. "Mungkin memang ini sudah menjadi takdir dan jalan hidup suami saya. Sa
Beberapa hari berlalu, perlahan Pak Brian mulai bisa melupakan tentang peristiwa pahit di masa lalunya tersebut. Kesibukan lah yang membuat persoalan itu mulai terkikis dari isi kepalanya. Hari ini, perusahaan armada miliknya yang ia namai Dewangga Trans menambah beberapa unit armada dan ia sendiri yang akan meresmikan.Ditemani Bu Delia dan Viola yang saat itu kebetulan kuliahnya libur, mereka menghadiri acara megah yang diselenggarakan di gedung serbaguna milik keluarga besar mereka. Satu hal yang membuat Pak Brian cukup merasa lega. Meski awalnya Viola menolak untuk datang, namun akhirnya putri semata wayangnya itu datang juga. Dan ia datang sendiri tanpa ditemani Herga, pacarnya yang selama ini masih belum ia kenalkan padanya.Pak Brian, Bu Delia dan Viola duduk di kursi paling depan, mendengarkan sambutan-sambutan dalam rangkaian acara tersebut. Di sebelah mereka keluarga Steffan juga turut hadir. Namun Steffan hanya datang bersama mamanya. Papanya sedang sibuk dengan urusan di l
Herga berjalan menghampiri Viola dan yang lain, lalu dengan hormat mengulurkan tangannya pada Pak Brian. Namun sayangnya Pak Brian tak kunjung membalas uluran tangan itu dan justru hanya melihat ke arah Herga dengan pandangan kosong. Hal itu tentu membuat semua yang ada di sana menatap Pak Brian heran."Papa... Pa...!" Viola yang tadinya berdiri di sebelah kiri Bu Delia, bergeser mendekati papanya dan menyodok lengan beliau.Pak Brian tersentak, gelagapan dan secara reflek membalas uluran tangan Herga."Selamat Om, semoga bisnis Om semakin sukses dan jaya," ucap Herga mantap. Ia meremas tangan Pak Brian.Bu Tamara yang masih bingung berbisik pada Steffan, menanyakan siapa pria yang baru datang ini. Steffan tak menjawab dengan pasti. Hanya menggelengkan kepala saja seraya buang muka."Terimakasih," balas Pak Brian. "Mmm... kalau boleh saya tahu, kamu siapa ya?"Herga menatap heran ke arah Viola. Jadi papa Viola belum tahu?Bu Delia tadinya mau menjawab pertanyaan suaminya itu, namun te
Tiga hari setelah pertemuan itu, Pak Brian berubah menjadi sosok yang lebih dekat dan banyak meluangkan waktu untuk keluarga. Namun perubahan ini tidak disadari oleh Viola dan Bu Delia sebagai sesuatu yang aneh. Mereka justru senang akan hal itu.Ya, dengan alasan ingin menebus waktu yang selama ini hilang dengan putri semata wayangnya, Pak Brian selalu menawarkan diri untuk mengantar dan menjemput Viola ke kampus. Bahkan ia juga sering stay di butik meski hanya beberapa saat. Dan karena hal itulah, akhirnya ia juga bisa lebih dekat dengan Herga dan mulai sedikit akrab. Menurutnya, Herga jauh sekali dari apa yang ia bayangkan selama ini. Pak Brian sudah tahu latar belakang Herga yang pernah tergabung dalam klub geng motor dan sering mengikuti balapan liar. Tapi ia juga cukup lega karena sekarang dunia itu sudah mulai ia tinggalkan. Herga, adalah sosok yang tepat untuk putrinya. Namun tidak dengan hal yang beberapa saat terakhir ini mengusik ketenangannya. Pak Brian merestui hubungan
Sehari setelah perbincangan tentang Italia, Viola menceritakannya pada Herga. Dan benar saja, seperti yang ia duga, kekasihnya itu memberikan dukungan penuh bahkan menyarankan Viola supaya mengambil tawaran yang diberikan ayahnya tersebut."Itu kesempatan bagus Vi. Kamu nggak boleh menyia-nyiakannya," ucapnya antusias."Kok kamu ngomongnya gitu sih? Jadi kamu seneng kalau kita jauhan? Italia itu jauh banget lho. Kita mungkin bakalan setahun sekali aja ketemu..." kerongkongan Viola seperti tercekat saat mengatakan hal tersebut. Ia tidak yakin bisa menjalani hubungan jarak jauh dengan jarak sejauh itu.Herga menunduk sembari tersenyum. Ia merapatkan tubuhnya ke Viola dan merangkul pundak kekasihnya yang tengah berwajah sendu. Siang itu, mereka duduk di atas rumput taman kampus yang letaknya cukup jauh dari kelas mereka masing-masing."Kenapa?? Kamu takut aku selingkuh?" Herga terkikik. "Look at me," tangannya membimbing dagu Viola agar melihat ke arahnya.Viola menoleh dan menatap Herga
Berhari-hari Viola mempertimbangkan tawaran papanya. Ia sudah menceritakan pada kedua sahabatnya dan seperti halnya sang kekasih, mereka mendukung penuh. Sassy dan Icha bahkan berjanji akan mengelola butik dengan baik selama Viola berada di Italia. "Lo nggak usah khawatir, Vi. Dua tahun itu nggak lama kok. Gue yakin, entar lo balik ke Indonesia, butik lo udah rame dan banyak pelanggannya," ujar Sassy antusias. Viola reflek menoyor kepala Sassy. "2 tahun lo bilang nggak lama?" bibirnya memberut. "Gimana coba sama hubungan gue sama Herga? Apa bisaaa gue LDR-an? Mana hubungan baru seumur jagung!" gerutu Viola sembari merapatkan kedua tangan dan menyandarkan punggungnya di kursi dengan kasar. Sassy dan Icha saling lirik dan bertukar senyum geli. Viola lagi bucin, batin mereka. "Emang Herga keberata lo mau ke Italia?" tanya Sassy dan Viola menggeleng. "Terus?""Dia dukung penuh, dia nggak mau gue mundur hanya karena berat di dia. Tapi kan....." Viola tak melanjutkan kata-katanya. Ia men
Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang
Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka