"Jangan ditunda-tunda Fan. Mungkin aja berakhirnya hubungan kamu sama Nessa itu merupakan sebuah takdir supaya kamu bisa bersama sama Viola. Lagian kenapa sih kamu itu kok nggak peka gitu? Coba untuk ungkapin perasaan kamu, nanti kalau dia sudah diambil orang, kamu nyeseeeel...."
Steffan mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Ucapan mamanya itu terus terngiang-ngiang di telinganya, menghiasi isi kepalanya. Saat ini mungkin dia sudah merasakan sedikit penyesalan itu. Hhhhh, Steffan tersenyum kecut. Tapi memang kenyataannya perasaan itu baru muncul belum lama ini. Dari dulu Steffan benar-benar hanya menganggap Viola sebagai adik.
Entahlah... hal-hal seperti ini memang penuh misteri.
Steffan menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Malam ini perasaannya begitu hampa. Dia duduk dengan gelisah di atas tempat tidur di kamarnya menyatu dengan keheningan. Suasana yang hening namun tidak dengan isi kepalan
Steffan keluar dari ruangannya dengan tergesa-gesa. Dia bahkan hampir menabrak seorang OB yang sedang membawa ember berisi air keruh bekas untuk ngepel. Beruntung dia cukup sigap menghindar. OBnya juga ngelus dada merasa lega. Dia berdiri di tepi dinding dan mengamati langkah Steffan yang kian menjauh lalu menghilang saat memasuki lift."Lhoh, mau kemana Fan? Buru-buru banget?" seorang teman menyapa saat berpapasan di lobi."Iya, gue ada perlu sebentar," jawabnya. "Duluan ya," Steffan berlalu tanpa mempedulikan temannya yang masih mengamatinya itu sambil geleng-geleng kepala.Setelah berhasil keluar dari lapangan parkir yang cukup penuh, Steffan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan diatas sedang. Ya, siang ini dia ingin menemui Viola di kampusnya. Dia tahu sekarang sudah jamnya gadis itu pulang. Steffan tak mau buang-buang waktu lagi. Ia yakin saat ini belum terlambat untuk mengakui semuanya. Meskipun dalam
Kabar tentang Viola yang telah berpacaran dengan Herga, akhirnya sampai juga ke telinga Pak Brian. Saat itu beliau baru saja pulang dari UK dan menemui Steffan dua hari setelahnya. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan menyangkut hubungan kekeluargaan.Entah kenapa papa Viola itu tiba-tiba mengutarakan satu maksud, yakni ingin menjodohkan Steffan dan Viola dan meminta mereka untuk segera melakukan pertunangan. Steffan tentu senang mendengar kabar ini, namun ia tahu ia tidak bisa menyetujui karena posisi Viola saat ini.Dari situlah Pak Brian mengetahui semuanya. Pak Brian hanya bisa termenung mendengar penjelasan Steffan. Ia penasaran, siapa pria yang berhasil memenangkan hati putrinya itu sementara ia sendiri tahu bagaimana akrabnya Viola dan Steffan sejak kecil.Tak hanya tinggal diam, Pak Brian mencari tahu dengan bertanya ke istrinya. Karena selama dia di UK istrinya itu tidak jadi menyusul kesana dan m
"Jadi kamu kenal sama laki-laki yang dekat dengan Viola itu?" Pak Brian kembali mememui Steffan untuk menceritakan apa yang baru saja ia lakukan hampir seharian ini.Steffan menggeleng pelan. "Saya nggak kenal Om, hanya sekedar tahu. Saya... juga tidak pernah ngobrol khusus sama dia."Pak Brian manggut-manggut. Dia memijit pelipisnya perlahan. Kepalanya mendadak terasa sedikit pening. Dia meraih segelas air mineral yang terhidang di meja dan meneguknya."Om nggak pa-pa?" tanya Steffan khawatir."Hmmmmhh..... nggak tahu Fan. Saya kok ngerasa.... kurang setuju putri saya berhubungan dengan dia. Saya nggak yakin dia laki-laki yang baik. Pertama kali melihat penampilannya saja saya sudah bisa menilai dia laki-laki seperti apa."Steffan tersenyum simpul. "Om, Viola itu sudah dewasa. Dia pasti tahu mana yang baik dan nggak untuk dirinya. Lagipula... kita kan tidak bisa menilai sese
Viola dan kedua orang tuanya berjalan beriringan keluar rumah. Seperti biasa, mereka akan menjalani hari dengan tugas masing-masing. Viola pergi ke kampus, Pak Brian ke kantor, sementara Bu Delia melakukan pekerjaannya dari rumah. Dia juga berencana ingin mengunjungi butik Viola siang nanti."Pa, ada yang mau Vio tanyain ke papa," ucap Viola saat mereka bertiga tiba di ambang pintu utama.Serempak, ketiganya sama-sama berhenti. Viola yang berada di tengah-tengah, mendapat tatapan langsung dari kedua orang tuanya dari sisi kiri dan kanan."Nanya apa Vi?" tanya Pak Brian."Mmmm.... kemarin siang aku lihat mobil papa di seberang butik. Itu papa? Kok nggak mampir?"Pak Brian sedikit gelagapan. Tapi ia berusaha menyembunyikan rasa itu. Ia memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana."Kemarin? Enggak tuh..." ucapnya bohong. "Papa nggak ke sana."
Setelah berbincang cukup lama dengan Pak Brian, Steffan lantas keluar dengan perasaan tak menentu. Dia mendesah berat di luar ruangan dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Pikirannya berkecamuk berisi macam-macam pertanyaan.Kenapa papa Viola memintanya mencari tahu tentang Herga? Untuk apa? Kenapa dia tidak mencari tahu sendiri dengan bertanya langsung pada Viola?Steffan sebenarnya bisa saja memberitahu saat itu juga tentang Herga yang sebagian besar latar belakangnya telah ia ketahui. Tapi ia memilih untuk menjawab sebaliknya dan berjanji akan melakukan apa yang diminta Pak Brian. Setelah menghela nafas panjang, dengan langkah berat ia segera berlalu untuk kembali ke kantornya.Sementara itu di kampus, Viola dan Herga sedang menikmati makanan di kantin sambil ngobrol dan bercanda."Ga, kira-kira siapa ya temen dosen Kak Steffan di kampus ini? Aku penasaran deh. Soal
"Baru pulang, Ga?" sambut Bu Rasti yang saat itu membukakan pintu tepat setelah Herga memarkirkan motor. "Iya ni buk. Kok tumben Ibuk belum tidur?" Herga melirik jam tangannya. "Ini udah malem lho."Bu Rasti tersenyum tipis. Sorot matanya menunjukkan rasa lelah. "Ibu baru aja nyelesain pesanan Bu Widya buat besok. Tadinya sih mau langsung tidur, tapi ibu denger suara motor kamu dari kejauhan."Herga terkekeh. "Ibuk hafal banget ya sama suara motorku?""Bahkan napas kamu dari jarak 1 km aja, ibuk sudah mampu merasakan lho," canda Bu Rasti. "Itulah ikatan bathin," ia menunjuk dadanya. "Mmmm... ibuk sweet banget...." Herga meraih tangan kanan Bu Rasti dan mengecupnya. "Ya udah masuk yuk, ibuk harus istirahat."Bu Rasti mengangguk. Ia membalikkan tubuh dan berjalan memasuki rumah. Namun baru beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh karena merasa Herga tidak menyusulnya. Dilihatnya anak laki-lakinya itu sedang celingukan ke arah ja
Pak Brian masih terjaga di tempat tidur, sementara Bu Delia sudah terlelap di sampingnya. Pikiran dan perasaannya gelisah. Kesalahan yang telah ia lakukan 12 tahun lalu kembali menghantui.Peristiwa pahit yang selama ini berusaha ia lupakan dan tutupi dari keluarganya, kini hadir lagi dan membuatnya tak tenang.Masih teringat jelas dalam benaknya, saat ia menyaksikan tangis seorang anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun sembari berusaha menenangkan ibunya yang saat itu juga sedang menangis.Seorang ibu bersama dua orang anak, duduk di hadapan seorang polisi yang sedang berusaha menjelaskan tentang kronologi tabrak lari yang menimpa suaminya hingga membuat suaminya tewas."Kalau saja malam itu ada saksi, kita pasti bisa mengusut dan menemukan pelakunya, bu. Kami mohon maaf, selama beberapa hari ini tim kami sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tapi....""Baiklah pak polisi," potong perempuan itu dengan nada sayu. "Mungkin memang ini sudah menjadi takdir dan jalan hidup suami saya. Sa
Beberapa hari berlalu, perlahan Pak Brian mulai bisa melupakan tentang peristiwa pahit di masa lalunya tersebut. Kesibukan lah yang membuat persoalan itu mulai terkikis dari isi kepalanya. Hari ini, perusahaan armada miliknya yang ia namai Dewangga Trans menambah beberapa unit armada dan ia sendiri yang akan meresmikan.Ditemani Bu Delia dan Viola yang saat itu kebetulan kuliahnya libur, mereka menghadiri acara megah yang diselenggarakan di gedung serbaguna milik keluarga besar mereka. Satu hal yang membuat Pak Brian cukup merasa lega. Meski awalnya Viola menolak untuk datang, namun akhirnya putri semata wayangnya itu datang juga. Dan ia datang sendiri tanpa ditemani Herga, pacarnya yang selama ini masih belum ia kenalkan padanya.Pak Brian, Bu Delia dan Viola duduk di kursi paling depan, mendengarkan sambutan-sambutan dalam rangkaian acara tersebut. Di sebelah mereka keluarga Steffan juga turut hadir. Namun Steffan hanya datang bersama mamanya. Papanya sedang sibuk dengan urusan di l