Steffan keluar dari ruangannya dengan tergesa-gesa. Dia bahkan hampir menabrak seorang OB yang sedang membawa ember berisi air keruh bekas untuk ngepel. Beruntung dia cukup sigap menghindar. OBnya juga ngelus dada merasa lega. Dia berdiri di tepi dinding dan mengamati langkah Steffan yang kian menjauh lalu menghilang saat memasuki lift.
"Lhoh, mau kemana Fan? Buru-buru banget?" seorang teman menyapa saat berpapasan di lobi.
"Iya, gue ada perlu sebentar," jawabnya. "Duluan ya," Steffan berlalu tanpa mempedulikan temannya yang masih mengamatinya itu sambil geleng-geleng kepala.
Setelah berhasil keluar dari lapangan parkir yang cukup penuh, Steffan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan diatas sedang. Ya, siang ini dia ingin menemui Viola di kampusnya. Dia tahu sekarang sudah jamnya gadis itu pulang. Steffan tak mau buang-buang waktu lagi. Ia yakin saat ini belum terlambat untuk mengakui semuanya. Meskipun dalam
Kabar tentang Viola yang telah berpacaran dengan Herga, akhirnya sampai juga ke telinga Pak Brian. Saat itu beliau baru saja pulang dari UK dan menemui Steffan dua hari setelahnya. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan menyangkut hubungan kekeluargaan.Entah kenapa papa Viola itu tiba-tiba mengutarakan satu maksud, yakni ingin menjodohkan Steffan dan Viola dan meminta mereka untuk segera melakukan pertunangan. Steffan tentu senang mendengar kabar ini, namun ia tahu ia tidak bisa menyetujui karena posisi Viola saat ini.Dari situlah Pak Brian mengetahui semuanya. Pak Brian hanya bisa termenung mendengar penjelasan Steffan. Ia penasaran, siapa pria yang berhasil memenangkan hati putrinya itu sementara ia sendiri tahu bagaimana akrabnya Viola dan Steffan sejak kecil.Tak hanya tinggal diam, Pak Brian mencari tahu dengan bertanya ke istrinya. Karena selama dia di UK istrinya itu tidak jadi menyusul kesana dan m
"Jadi kamu kenal sama laki-laki yang dekat dengan Viola itu?" Pak Brian kembali mememui Steffan untuk menceritakan apa yang baru saja ia lakukan hampir seharian ini.Steffan menggeleng pelan. "Saya nggak kenal Om, hanya sekedar tahu. Saya... juga tidak pernah ngobrol khusus sama dia."Pak Brian manggut-manggut. Dia memijit pelipisnya perlahan. Kepalanya mendadak terasa sedikit pening. Dia meraih segelas air mineral yang terhidang di meja dan meneguknya."Om nggak pa-pa?" tanya Steffan khawatir."Hmmmmhh..... nggak tahu Fan. Saya kok ngerasa.... kurang setuju putri saya berhubungan dengan dia. Saya nggak yakin dia laki-laki yang baik. Pertama kali melihat penampilannya saja saya sudah bisa menilai dia laki-laki seperti apa."Steffan tersenyum simpul. "Om, Viola itu sudah dewasa. Dia pasti tahu mana yang baik dan nggak untuk dirinya. Lagipula... kita kan tidak bisa menilai sese
Viola dan kedua orang tuanya berjalan beriringan keluar rumah. Seperti biasa, mereka akan menjalani hari dengan tugas masing-masing. Viola pergi ke kampus, Pak Brian ke kantor, sementara Bu Delia melakukan pekerjaannya dari rumah. Dia juga berencana ingin mengunjungi butik Viola siang nanti."Pa, ada yang mau Vio tanyain ke papa," ucap Viola saat mereka bertiga tiba di ambang pintu utama.Serempak, ketiganya sama-sama berhenti. Viola yang berada di tengah-tengah, mendapat tatapan langsung dari kedua orang tuanya dari sisi kiri dan kanan."Nanya apa Vi?" tanya Pak Brian."Mmmm.... kemarin siang aku lihat mobil papa di seberang butik. Itu papa? Kok nggak mampir?"Pak Brian sedikit gelagapan. Tapi ia berusaha menyembunyikan rasa itu. Ia memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana."Kemarin? Enggak tuh..." ucapnya bohong. "Papa nggak ke sana."
Setelah berbincang cukup lama dengan Pak Brian, Steffan lantas keluar dengan perasaan tak menentu. Dia mendesah berat di luar ruangan dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Pikirannya berkecamuk berisi macam-macam pertanyaan.Kenapa papa Viola memintanya mencari tahu tentang Herga? Untuk apa? Kenapa dia tidak mencari tahu sendiri dengan bertanya langsung pada Viola?Steffan sebenarnya bisa saja memberitahu saat itu juga tentang Herga yang sebagian besar latar belakangnya telah ia ketahui. Tapi ia memilih untuk menjawab sebaliknya dan berjanji akan melakukan apa yang diminta Pak Brian. Setelah menghela nafas panjang, dengan langkah berat ia segera berlalu untuk kembali ke kantornya.Sementara itu di kampus, Viola dan Herga sedang menikmati makanan di kantin sambil ngobrol dan bercanda."Ga, kira-kira siapa ya temen dosen Kak Steffan di kampus ini? Aku penasaran deh. Soal
"Baru pulang, Ga?" sambut Bu Rasti yang saat itu membukakan pintu tepat setelah Herga memarkirkan motor. "Iya ni buk. Kok tumben Ibuk belum tidur?" Herga melirik jam tangannya. "Ini udah malem lho."Bu Rasti tersenyum tipis. Sorot matanya menunjukkan rasa lelah. "Ibu baru aja nyelesain pesanan Bu Widya buat besok. Tadinya sih mau langsung tidur, tapi ibu denger suara motor kamu dari kejauhan."Herga terkekeh. "Ibuk hafal banget ya sama suara motorku?""Bahkan napas kamu dari jarak 1 km aja, ibuk sudah mampu merasakan lho," canda Bu Rasti. "Itulah ikatan bathin," ia menunjuk dadanya. "Mmmm... ibuk sweet banget...." Herga meraih tangan kanan Bu Rasti dan mengecupnya. "Ya udah masuk yuk, ibuk harus istirahat."Bu Rasti mengangguk. Ia membalikkan tubuh dan berjalan memasuki rumah. Namun baru beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh karena merasa Herga tidak menyusulnya. Dilihatnya anak laki-lakinya itu sedang celingukan ke arah ja
Pak Brian masih terjaga di tempat tidur, sementara Bu Delia sudah terlelap di sampingnya. Pikiran dan perasaannya gelisah. Kesalahan yang telah ia lakukan 12 tahun lalu kembali menghantui.Peristiwa pahit yang selama ini berusaha ia lupakan dan tutupi dari keluarganya, kini hadir lagi dan membuatnya tak tenang.Masih teringat jelas dalam benaknya, saat ia menyaksikan tangis seorang anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun sembari berusaha menenangkan ibunya yang saat itu juga sedang menangis.Seorang ibu bersama dua orang anak, duduk di hadapan seorang polisi yang sedang berusaha menjelaskan tentang kronologi tabrak lari yang menimpa suaminya hingga membuat suaminya tewas."Kalau saja malam itu ada saksi, kita pasti bisa mengusut dan menemukan pelakunya, bu. Kami mohon maaf, selama beberapa hari ini tim kami sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tapi....""Baiklah pak polisi," potong perempuan itu dengan nada sayu. "Mungkin memang ini sudah menjadi takdir dan jalan hidup suami saya. Sa
Beberapa hari berlalu, perlahan Pak Brian mulai bisa melupakan tentang peristiwa pahit di masa lalunya tersebut. Kesibukan lah yang membuat persoalan itu mulai terkikis dari isi kepalanya. Hari ini, perusahaan armada miliknya yang ia namai Dewangga Trans menambah beberapa unit armada dan ia sendiri yang akan meresmikan.Ditemani Bu Delia dan Viola yang saat itu kebetulan kuliahnya libur, mereka menghadiri acara megah yang diselenggarakan di gedung serbaguna milik keluarga besar mereka. Satu hal yang membuat Pak Brian cukup merasa lega. Meski awalnya Viola menolak untuk datang, namun akhirnya putri semata wayangnya itu datang juga. Dan ia datang sendiri tanpa ditemani Herga, pacarnya yang selama ini masih belum ia kenalkan padanya.Pak Brian, Bu Delia dan Viola duduk di kursi paling depan, mendengarkan sambutan-sambutan dalam rangkaian acara tersebut. Di sebelah mereka keluarga Steffan juga turut hadir. Namun Steffan hanya datang bersama mamanya. Papanya sedang sibuk dengan urusan di l
Herga berjalan menghampiri Viola dan yang lain, lalu dengan hormat mengulurkan tangannya pada Pak Brian. Namun sayangnya Pak Brian tak kunjung membalas uluran tangan itu dan justru hanya melihat ke arah Herga dengan pandangan kosong. Hal itu tentu membuat semua yang ada di sana menatap Pak Brian heran."Papa... Pa...!" Viola yang tadinya berdiri di sebelah kiri Bu Delia, bergeser mendekati papanya dan menyodok lengan beliau.Pak Brian tersentak, gelagapan dan secara reflek membalas uluran tangan Herga."Selamat Om, semoga bisnis Om semakin sukses dan jaya," ucap Herga mantap. Ia meremas tangan Pak Brian.Bu Tamara yang masih bingung berbisik pada Steffan, menanyakan siapa pria yang baru datang ini. Steffan tak menjawab dengan pasti. Hanya menggelengkan kepala saja seraya buang muka."Terimakasih," balas Pak Brian. "Mmm... kalau boleh saya tahu, kamu siapa ya?"Herga menatap heran ke arah Viola. Jadi papa Viola belum tahu?Bu Delia tadinya mau menjawab pertanyaan suaminya itu, namun te
Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per
Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i
Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka
Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan
Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di
Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka
Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang