Home / Romansa / Rasa Tanpa Batas Waktu / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Rasa Tanpa Batas Waktu: Chapter 1 - Chapter 10

66 Chapters

Part 1

"Woeeey kabur kabur kabur!! Ada Polisiiii....!!!" teriakan salah seorang penonton balapan liar malam itu membuat semua orang yang ada di area balap liar menjadi kalang kabut. Suara sirine mobil patroli Polisi terdengar semakin jelas. Para anak muda belingsatan dan kalang kabut kabur mencari aman untuk dirinya masing-masing. Tak terkecuali Herga. Untung saja malam ini tidak ada acara taruhan besar-besaran. Hanya judi kecil, intinya siapa yang bisa mengalahkan Herga di balapan liar sepanjang 300 meter (di jalan lurus) sampai garis finish dia berhak mendapatkan uang 100.000 dan sebaliknya. Setelah menyelesaikan balapan ke 6 dan berhasil mengantongi uang sebesar 600.000 rupiah, Herga langsung kabur meninggalkan area balapan. "Hahahahaha..... Huuuuuhhhh!!!" teriak Herga lega saat dia tahu tak ada satu pun Polisi yang berhasil mengejarnya di belakang. Maka dia pun mulai mengemudikan motornya dengan santai. *** Meninggalkan area balapan liar yang sedang di razia Polisi, suas
Read more

Part 2

Setibanya di rumah, Viola langsung disambut dengan cemas oleh kedua orang tuanya. Tentu saja, apalagi mereka melihat banyak sekali luka di tubuh Viola. Namun Viola sedang tidak ingin menjelaskan banyak hal karena dia sudah sangat lelah dan ngantuk. Ditambah lagi rasa perih dan nyeri akibat luka itu kian terasa. Viola terpaksa berbohong kepada orang tuanya, bahwa yang menyebabkan luka itu adalah karena seorang pengemudi ojek online yang sudah berumur tidak sengaja menabraknya di jalan, saat dia sedang sibuk mengoperasikan ponsel untuk memesan taksi online. Hal itu Viola lakukan karena dia tidak mau Ayahnya tahu kalau si penabrak sebenarnya adalah pemuda arogan yang mengemudikan motor tanpa aturan. Ayahnya pasti tidak akan tinggal diam dan sudah pasti akan membawa kasusnya ke jalur hukum. Ah, bakalan runyam kan? Sementara menurut Viola tidak ada hal yang sangat serius terjadi pada dirinya setelah kecelakaan kecil itu. Jadi tidak perlu diperpanjang. "Iya Pa, Ma. Pokoknya kasihan ban
Read more

Part 3

>>9 tahun yang lalu
Read more

Part 4

Setibanya di kelas, dua sahabat Viola, Sassy dan Icha langsung menyambut dengan antusias dan menggiring Viola ke bangkunya. Mereka lantas mengintrogasi Viola tentang peristiwa semalam. Icha, sudah pasti anak itu tahu dari Sassy. Semalam kan Viola hanya cerita ke Sassy. Mereka juga menertawakan penampilan Viola yang begitu tertutup. "Nggak usah ketawa deh," ucap Viola ketus. Dua sahabatnya itu langsung kicep. "Jadi gimana? Lo bilang dia nganterin lo sampe rumah. Dia masih cowok apa udah bapak-bapak?" tanya Icha rempong. Gila. Berarti apa yang diceritakan Viola ke Sassy, di forward semua ke anak itu. Viola menggeleng. Dia tidak mau mengatakan kalau si penabrak itu adalah mahasiswa kampus ini juga yang ternyata cukup punya nama di sini. Iya kan? Buktinya fotonya menjadi ikon poster Fakultas Teknik. Sempat terbersit sedikit rasa heran di benak Viola, kenapa dia sama sekali tidak kenal dengan si ikon itu. Padahal kelas mereka atas bawah. "Udah bapak-bapak kok. Bapak muda sih," boh
Read more

Part 5

Hari yang dinanti Viola tiba. Kondisinya pun sudah fit untuk acara opening butiknya. Bahkan sejak pukul 5 sore tadi dia sudah ada di butik sementara acara baru akan dimulai pukul 7. Viola begitu antusias ditemani dua sahabatnya, Sassy dan Icha. Mereka bersolek di salah satu ruangan khusus di dalam butik untuk menyambut kedatangan para tamu undangan. Di momen inilah Viola melakukan persiapan ekstra. Dia ingin membuat Steffan terpesona dengan penampilannya. Dia tidak mau lagi Steffan menganggapnya anak kecil atau his sweet sister unyu-unyu seperti yang biasa dia katakan. "My sweet sister unyu-unyu," begitulah kalimat yang sering diucapkan Steffan untuk memuji dan menggoda Viola. Sebuah ungkapan pujian yang seharusnya membuat berbunga-bunga, tapi tidak. Viola tidak mau terus-terusan dianggap sebagai adik kecil. Viola mencintai Steffan lebih dari seorang adik kepada kakaknya. Viola menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum. "Sas, Cha, gimana make up gue? Nggak terlalu men
Read more

Part 6

Hampir 20 menit Herga dan Viola ada di tepi jalan itu. Setelah ngoceh panjang kali lebar dan meminta supaya Viola berhenti menangis namun tidak digubris, Herga akhirnya memilih menyingkir agak jauh. Dia berdiri menyandar di pagar pembatas jalan. "Tu cewek kalau nangis lama banget ya? Kenapa sih sebenernya? Haduuuh... udah dua kali ketemu dia malam-malam dapetnya apes mulu. Kemaren nabrak, sekarang nungguin dia nangis. Gini amat sih nasib gue?" gerutu Herga sambil menggaruk-garuk kepalanya frustasi. Untuk mengusir rasa suntuk, dia menyalakan rokok filternya yang tinggal satu-satunya dia miliki. Meski jengkel tapi ada rasa tidak tega juga kalau harus meninggalkannya di sini sendirian. Bagaimana kalau ada orang jahat yang lewat terus berbuat sesuatu yang buruk padanya? Apalagi tu cewek jelas cantik. Cantik fisiknya dan yang pasti juga..... cantik rekeningnya kan? Hahaha. Heh! Lo mikir apa sih Ga?! Sebuah suara dalam hatinya berseru. Ya kalau cuma dirampok. Uang pasti bukan per
Read more

Part 7

Viola memasuki rumah dengan langkah ringan. Meski malam ini hatinya sempat seperti wahana roller coaster, namun setelah curhat ke Herga tadi, roller coaster itu perlahan bisa dikendalikan. Saat dia baru menaiki tangga, Bi Noni berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Begitu dekat, kepalanya celingak-celinguk ke ruang depan. Viola menatap pembantunya itu heran. "Ada apa sih Bik?" "Non Viola baru pulang? Kok bibik nggak denger mobil Non masuk garasi?" Viola memutar bola matanya. Bi Noni adalah asisten rumah tangga paling sepuh bin senior di rumahnya. Beliau sudah bekerja di sini sejak usia Viola 4 tahun. Jadi bisa dipastikan dia tahu apapun tentang Viola. "Hmmmh... Iya. Aku memang nggak bawa pulang mobilku. Aku ngantuk, jadi takut mau nyetir. Mobilku dibawa Icha," Viola sengaja berbohong. Kening Bi Noni mengerut. Dia lalu melihat Viola dari atas sampai bawah, membuat Viola risih dan sedikit beringsut sambil menarik kain yang menutup bahunya. Saat itulah dia baru sadar kalau
Read more

Part 8

Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu? Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam? "Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman. "Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni. Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa d
Read more

Part 9

Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan. "Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor
Read more

Part 10

"Kak, empat hari lagi jatuh tempo pembayaran iuran study tour aku." Ucapan lirih Nana esok tadi terus terngiang di telinga Herga. Sampai saat ini Bu Rasti belum mengetahui tentang hal itu karena Nana tidak berani mengutarakan. Apalagi Pak Hendro juga baru saja menagih uang kontrakan rumah yang harus dibayar paling lambat hari ini. Herga dengar tadi rencananya ibunya itu akan menjual salah satu cincin kawin yang dia miliki hari ini. Yang bikin tambah Herga sedih lagi, ibunya itu tidak mau menerima uang darinya. "Kamu simpan saja uang kamu, Ga. Kamu itu kan anak muda. Kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan sendiri gimana?" begitu tolak Bu Rasti. Herga dan temannya sedang berkumpul di ruang kelas. Namun ketika teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal, Herga tidak ikut nimbrung karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Otaknya berputar memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk bayar study tour Nana, sekaligus membayar kontrakan. Karena sejujurnya Herga begitu berat hat
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status