Hampir 20 menit Herga dan Viola ada di tepi jalan itu. Setelah ngoceh panjang kali lebar dan meminta supaya Viola berhenti menangis namun tidak digubris, Herga akhirnya memilih menyingkir agak jauh. Dia berdiri menyandar di pagar pembatas jalan.
"Tu cewek kalau nangis lama banget ya? Kenapa sih sebenernya? Haduuuh... udah dua kali ketemu dia malam-malam dapetnya apes mulu. Kemaren nabrak, sekarang nungguin dia nangis. Gini amat sih nasib gue?" gerutu Herga sambil menggaruk-garuk kepalanya frustasi. Untuk mengusir rasa suntuk, dia menyalakan rokok filternya yang tinggal satu-satunya dia miliki. Meski jengkel tapi ada rasa tidak tega juga kalau harus meninggalkannya di sini sendirian. Bagaimana kalau ada orang jahat yang lewat terus berbuat sesuatu yang buruk padanya? Apalagi tu cewek jelas cantik. Cantik fisiknya dan yang pasti juga..... cantik rekeningnya kan? Hahaha. Heh! Lo mikir apa sih Ga?! Sebuah suara dalam hatinya berseru. Ya kalau cuma dirampok. Uang pasti bukan perkara sulit buat dia dan keluarganya. Tapi gimana kalau sampai dia yang diapa-apain. Diperkosa misalnya, terus dibunuh dan mayatnya ditinggakan begitu saja di tepi jalan. Otomatis polisi bakal usut tuntas kan kronologinya? Paling tidak orang yang terakhir kali bersama Viola akan dimintai keterangan dan bla bla bla.... Hiihhhhh!! Herga bergidig ngeri dengan bayangannya sendiri. Kenapa juga bisa kepikiran sampai sejauh itu. Nggak nggak nggak. Gue nggak boleh tinggalin dia di sini sendirian. Biarin deh gue tunggu sampai nangisnya berhenti. Mau sampai besok juga gue jabanin. Gimana lagi? Gue nggak punya pilihan. "Ga," sebuah suara anggun dan lembut menyentakkan Herga yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Herga menoleh dan reflek melempar rokoknya yang tinggal setengah. Di dekatnya, Viola sudah berdiri dan menatapnya sayu dengan mata sembab. Namun meski begitu wajah cantik gadis itu seolah tidak memudar. Herga menegakkan tubuh. Sejak kapan ni cewek berhenti menangis? "Udah?" kata itu keluar begitu saja dari mulut Herga. Tapi sedetik kemudian dia menepuk-nepuk mulutnya sendiri--sadar bahwa itu tidak etis. "Gue mau nanya sama lo," tutur Viola pelan. "Apa?" "Menurut lo, gue cantik nggak sih?" What? Herga terperangah. Cewek sesempurna ini menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi padanya. Apa dia nggak punya kaca? Ups, maksudnya... "Gue nanya sama lo karena lo cowok. Mata kita dalam menilai lawan jenis pasti beda. Gue mau jawaban yang jujur," lanjut Viola tanpa mempedulikan ekspresi kaget di wajah Herga atas pertanyaannya. Herga terkekeh. "Lo nanya aneh-aneh aja sih? Ya jelas cantik lah. Lo cewek, ya kali ganteng?" Viola memberengut. "Iihhh!! Gue serius! Lo lurus kan?" "Haishh! Gue lurus lah. Gue juga serius. Lagian lo kenapa sih nanya kaya gitu segala? Gue rasa lo sebenarnya sadar kalau lo itu cantik dan jadi primadona di kampus. Apalagi lo anak fashion," ujar Herga. Ada perasaan lega di relung hati Viola mendengar pernyataan Herga, namun tetap saja itu semua tidak bisa menghapus kekecewaan hatinya malam ini. Viola sadar kok dia cukup famous di kalangan kampus. Tapi entah kenapa hatinya hanya menetap pada satu nama. Steffan. Menjadi primadona belum cukup membuatnya bahagia kalau Steffan belum menjadi miliknya. Miliknya dalam artian jadi pacar atau tunangan. Secara mereka sudah saling kenal begitu lama. Viola melangkah dan turut bersandar di tepi pagar pembatas. Herga menggeser posisinya sedikit. Dengan ekor matanya, dia melihat Viola yang menatap lurus ke arah jalan. Gila, ni cewek ternyata emang cantik bener. Batin Herga. Siluetnya dari samping tampak begitu sempurna. "Tadi kenapa lo ada di depan butik gue?" tanya Viola sembari menyibakkan rambut dan menyelipkan di belakang telinga. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan supaya tidak terus-menerus ingat tentang kejadian tadi. Herga tersenyum. "Kan tadi gue udah jawab, kalau gue lagi nostalgia." "Ck, gue serius!" Viola menatap Herga tajam. Herga tergelak sebentar. "Hahaha... jangan terlalu serius lah. Nggak... gue tadi cuma penasaran aja pas lewat sana terus lihat ada rame-rame. Acara apa sih?" bohongnya. Padahal sebenarnya dia sudah tahu. Dia cuma tidak mau Viola menganggap dirinya menguntit. "Itu acara opening butik gue," jawab Viola pelan sembari menunduk. Lagi-lagi bayangan Steffan bersama perempuan itu berkelebat di benaknya. Herga manggut-manggut. "Terus... kenapa lo malah kabur? Ngajakin gue lagi kaburnya," candanya. Viola tidak bisa menyembunyikan senyum. Iya juga ya. Dia baru sadar, bisa-bisanya pergi dari butik dan malah sama cowok ini. "Lo kalau senyum tambah cantik sumpah," Herga menelengkan wajah melihat ke arah wajah Viola yang menunduk. Viola melengos dan mencibir. "Nggak usah gombal. Udah nggak jaman." "Astaga, serius!" Herga mengacungkan dua jari. "Lagian kenapa sih lo pakek acara kabur, nangis kaya gitu. Padahal ini harusnya jadi hari yang indah buat lo." Viola menghela nafas panjang dan menggeleng lesu. Emosi karena cemburu yang besar itulah yang menuntunnya ke tempat ini. Atau mungkin menuntun ke tempat lain kalau dia tidak bertemu Herga tadi. Ponsel dari dalam tas Viola berdering. Ini sudah yang entah ke berapa kalinya dan memang sengaja diabaikan oleh Viola. "Angkat dong. Kali aja dari temen lo atau..... siapa tadi? Gue kayaknya ngelihat seorang cowok yang ngejar lo pas..." "Stop!" Viola menekankan telapak tangannya di depan wajah Herga. "Banyak omong lo," dia lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan menatap layarnya lama. •••Kak Steffan Calling... 📞••• Lagi-lagi Viola mendengus dan mengabaikan panggilan itu dengan menggesek gambar telfon warna merah. Di sana juga ada beberapa missed call dari Sassy dan Icha. Viola kemudian mengetik pesan untuk dikirim ke Sassy. [Kunci aja butiknya. Dan bawa dulu kuncinya sama lo. Suruh Icha bawa mobil gue] Pesan terkirim dan suasana hening beberapa saat. Herga mengatupkan bibirnya, kicep saat melihat apa yang Viola lakukan--mereject panggilan tersebut. Saat Viola menoleh ke arahnya, dia langsung melengos menatap ke arah lain. Suasana hening beberapa saat. Herga memilih diam karena tidak tahu lagi mau ngobrol dengan topik seperti apa. "Kenapa lo diem?" tanya Viola memecah keheningan. "Daripada dikatain banyak omong," jawab Herga enteng. Bola mata Viola berputar dan tangannya mengepal menahan geram. Eerrrghhh! Ni cowok kenapa songong sih?! Tapi... coba kalau tadi nggak ada dia, nggak tahu lagi deh gue mau kemana. Angin berhembus semakin kencang membuat Viola merapatkan diri menahan dingin yang menerpa tubuhnya yang hanya memakai dress tanpa lengan. Sementara itu Herga masih asyik dengan diamnya sambil menikmati pemandangan sekeliling yang kian temaram. Dia sih enak, pakek jaket, celana panjang, bersepatu. "Ga..." bisik Viola lirih. "Hmm," sahut Herga datar tanpa sedikitpun melihat ke arah Viola yang berusaha menahan dingin. "Lo... bisa anterin gue pulang nggak?" Herga menoleh. Dan saat itu dia baru sadar gadis itu tengah kedinginan. Lagi-lagi rasa iba itu muncul. Meski cerewet dan judes, ni cewek kalau ngomongnya kalem enak juga didengar. "Lo mau pulang sekarang?" tanya Herga bernada peduli. Viola mengangguk. "Ya udah ayok. Lagian ini juga udah malem. Nggak baik anak gadis jam segini masih di luar." Viola berjalan mendahului Herga mendekati motor. Dengan langkah santai Herga mengikuti di belakang sembari melihat Viola yang terus berusaha mendekap tubuhnya sendiri. "Lo pakek ini ya, biar nggak dingin," Herga melepas jaketnya dan menutupkan di tubuh Viola. Viola tersentak saat jaket itu menutupi sebagian tubuhnya. Ini Jaket yang juga dikenakan Herga di pertemuan pertama mereka. Kelihatannya lusuh tapi jaket ini wangi banget. Herga menegakkan motor dan mulai menstarter. "Buruan naik," perintah Herga saat mendapati Viola yang masih tertegun. "Oh.. e... i-iya," Viola mendadak gugup. *** Setelah dari butik dan mendapat amukan dari Viola yang tidak terima dengan keterlambatannya, Steffan memutuskan untuk langsung cabut. Namun dia tidak langsung pulang melainkan mampir dulu ke rumah Viola. Dan sayangnya Viola justru tidak ada di rumah. Kata Bi Noni, salah satu asisten rumah tangga di rumah besar itu, Viola memang belum pulang. "Bibik yakin?" tanya Steffan cemas. "Iya mas. Saya yakin. Buktinya mobilnya non Viola nggak ada di garasi," jawab Bi Noni. Aduuh! Iya, tadi Viola pergi meninggalkan butik sekaligus juga mobilnya! Steffan baru ingat. "Om Brian sama tante Delia kemana?" "Mereka ada urusan di luar. Tadi cuma pulang sebentar, terus pergi lagi mas." Wajah Steffan gusar. Dia memijat-mijat pelipisnya. Kemarahan Viola tadi terbayang-bayang di benaknya. Belum pernah Viola semarah itu padanya selama ini. "Jangan cemas gitu dong sayang," Nessa, perempuan yang bersama Steffan sejak di butik mencoba menenangkan. "Paling dia keluar buat nenangin diri. Dia marah banget pasti karena kamu datang ke acara pentingnya telat." Bi Noni kaget mendengar perempuan itu memanggil Steffan dengan sebutan sayang. Dia berpikir, jangan-jangan ini yang membuat non Viola marah dan bukan karena Mas Steffan yang datang telat ke butik. Non Viola kan suka banget sama Mas Steffan. Bi Noni tahu itu karena Viola pernah cerita soal perasaannya ke Steffan padanya. Tapi itu sudah dulu banget sih. "Aku coba telfon juga nggak diangkat Nes," Steffan mencoba menghubungi nomor Viola lagi. "Tuh, malah nggak aktif sekarang. Aduuuh kemana sih dia? Mana keluarnya sama orang nggak jelas lagi. Tadi dia sama siapa itu keluarnya ya?" "Lho, non Viola keluarnya nggak sama mbak Sassy dan mbak Icha, mas?" sahut Bi Noni. Steffan menggeleng putus asa. "Nes, kita cari Viola lagi," Steffan meraih tangan Nessa. "Tapi ini udah malem sayang, kita mau cari kemana?" Nessa mulai jengkel dengan kecemasan dan kepedulian Steffan yang berlebihan pada Viola. "Udah pokoknya ayo kita cari," Steffan menarik tangan Nessa mengajaknya keluar dari rumah Viola. Bi Noni hanya bisa geleng-geleng kepala mengamati Steffan dan Nessa yang berjalan terburu-buru. *** Tepat saat mobil Steffan berlalu meninggalkan rumah Viola, motor Herga meluncur perlahan di belakang mobil tersebut dan berhenti di depan rumah Viola. Jadi saat masuk ke komplek perumahan tempat Viola tinggal, semua orang akan masuk dan keluar melalui gerbang yang berbeda. Herga melihat mobil itu, tapi tidak dengan Viola. Gadis itu masih asyik mencurahkan isi hatinya tentang Steffan pada Herga. Dengan terbuka, Viola menceritakan betapa dia sangat mencintai Steffan sejak dia masih kecil. Itulah kenapa Herga mengendarai motornya dengan kecepatan minimal supaya bisa mendengarkan apa yang Viola katakan. Baru kali ini dia tertarik mendengarkan orang ngomong sambil naik motor. "Makasih ya Ga, lo udah mau anterin dan dengerin curhatan gue," Viola turun. "Sama-sama. Lo kalau mau curhat ke gue, curhat aja. Nggak usah sungkan," Herga menaik-naikkan alis. Viola tersipu. "Tapi nggak usah pakek acara nangis-nangis kaya tadi. Gue takut tau." "Ya... abis gimana? Orang hati gue sakit," bibir Viola mengerucut. "Ya udah. Udah malem nih. Buruan masuk sana. Nanti bokap sama nyokap lo nyariin." Viola terkeleh. "Bokap sama nyokap gue keluar. Udah biasa sih. Lo nggak mau mampir?" "Nggak lah. Gue juga mau langsung pulang. Ngantuk," Herga pura-pura menguap. Sebenarnya dia masih ingin mampir ke tongkrongan di teras bengkel tempatnya bekerja. Karena biasanya setelah ada razia, area balapan liar akan sepi sampai beberapa malam. "Lo hati-hati di jalan. Gue masuk dulu ya. Bye!" Viola berlalu meninggalkan Herga. Herga menatap punggung Viola yang semakin menjauh. Setelah pintu gerbang besar itu tertutup dari dalam dan Viola tak terlihat lagi, Herga baru sadar jaketnya masih ada pada gadis itu. Dia tepok jidat. Untuk beberapa menit dia menunggu Viola keluar lagi. Tapi nihil. Mungkinkah Viola juga tidak sadar telah membawa jaketnya masuk? Tapi kok nggak enak banget kalau mau pencet bel dan panggil dia keluar cuma mau minta jaket itu dibalikin. Ah, besok juga ketemu di kampus. Pikir Herga kemudian dan segera cabut. BERSAMBUNG...Viola memasuki rumah dengan langkah ringan. Meski malam ini hatinya sempat seperti wahana roller coaster, namun setelah curhat ke Herga tadi, roller coaster itu perlahan bisa dikendalikan. Saat dia baru menaiki tangga, Bi Noni berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Begitu dekat, kepalanya celingak-celinguk ke ruang depan. Viola menatap pembantunya itu heran. "Ada apa sih Bik?" "Non Viola baru pulang? Kok bibik nggak denger mobil Non masuk garasi?" Viola memutar bola matanya. Bi Noni adalah asisten rumah tangga paling sepuh bin senior di rumahnya. Beliau sudah bekerja di sini sejak usia Viola 4 tahun. Jadi bisa dipastikan dia tahu apapun tentang Viola. "Hmmmh... Iya. Aku memang nggak bawa pulang mobilku. Aku ngantuk, jadi takut mau nyetir. Mobilku dibawa Icha," Viola sengaja berbohong. Kening Bi Noni mengerut. Dia lalu melihat Viola dari atas sampai bawah, membuat Viola risih dan sedikit beringsut sambil menarik kain yang menutup bahunya. Saat itulah dia baru sadar kalau
Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu? Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam? "Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman. "Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni. Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa d
Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan. "Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor
"Kak, empat hari lagi jatuh tempo pembayaran iuran study tour aku." Ucapan lirih Nana esok tadi terus terngiang di telinga Herga. Sampai saat ini Bu Rasti belum mengetahui tentang hal itu karena Nana tidak berani mengutarakan. Apalagi Pak Hendro juga baru saja menagih uang kontrakan rumah yang harus dibayar paling lambat hari ini. Herga dengar tadi rencananya ibunya itu akan menjual salah satu cincin kawin yang dia miliki hari ini. Yang bikin tambah Herga sedih lagi, ibunya itu tidak mau menerima uang darinya. "Kamu simpan saja uang kamu, Ga. Kamu itu kan anak muda. Kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan sendiri gimana?" begitu tolak Bu Rasti. Herga dan temannya sedang berkumpul di ruang kelas. Namun ketika teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal, Herga tidak ikut nimbrung karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Otaknya berputar memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk bayar study tour Nana, sekaligus membayar kontrakan. Karena sejujurnya Herga begitu berat hat
Beberapa orang mulai berlarian menghampiri mobil Viola. Sebagian langsung menolong perempuan paruh baya yang baru saja ditabrak, sedangkan ada dua orang mengetuk-ngetuk kaca mobil Viola memintanya keluar. Viola menatap ngeri ke luar kaca. Bukannya tidak mau bertanggung jawab, dia hanya sedang syok dengan apa yang baru saja terjadi. "Keluar mbak! Jangan sampai kamu lari!" bentak laki-laki bertubuh tinggi besar dan brewokan. "Saya sudah foto nomor plat mobilnya. Ayo keluar mbak!" sahut yang lain. "Atau mau kita bawa mbak ke kantor polisi?" Kantor polisi? Mata Viola membelalak. Oh tidak. Tidak pernah ada dalam bayangannya dia harus berurusan dengan polisi karena sebuah kasus. Viola menghela napas untuk mengatur jantungnya yang masih terus berdegup cepat. Lalu dengan sisa keberanian yang dimiliki, dia pun keluar. "Bapak-bapak, saya bukannya mau lari atau nggak tanggung jawab. Saya akan tanggung jawab kok, saya cuma masih syok aja tadi..." tutur Viola setengah ketakutan. "
Herga menyusuri jalan pulang dengan berbagai macam pikiran di benaknya. Tentang iuran study tour Nana, tentang uang sewa kontrakan yang jatuhnya hari ini. Bagaimana ya? Apa Ibunya telah menjual cincinnya? Ah, kalau mengingat tentang benda berharga itu, Herga selalu merasa menyayangkan ketika akhirnya benda itu harus terjual untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka. "Assalamualaikum," ucap Herga setelah memarkir motor di halaman. Seperti biasa, dia harus segera ke bengkel sepulang kuliah untuk bekerja. "Ya ampun Ibuk?!" wajah letih Herga saat memasuki rumah berubah kaget saat melihat Ibunya duduk di sofa sembari menyelonjorkan kaki. "Kaki Ibuk kenapa ini?" Dia bersimpuh tepat di depan kaki Ibunya yang diperban. "Tadi katanya Ibuk ditabrak orang di jalan," Nana muncul dari dapur membawa segelas teh hangat dan meletakkanya di atas meja. "Ini buk tehnya." "Terimakasih ya Na. Oh ya, tolong sekalian siapin makan siang buat kakak kamu, nak," perintah Bu Rasti. Nana mengangguk l
Kedatangan Herga di area balap disambut antusias oleh gengnya. Begitu Herga memarkirkan motor, mereka langsung berkerumun mengelilingi Herga untuk memberi semangat. Nama Herga seolah sudah menjadi ikon dalam balapan liar. Herga menatap lawan balapnya satu per satu dan mendapati mereka sebagian sudah pada ganti motor. Tentunya ke CC yang lebih besar dari biasanya. Dia heran, mereka seolah sudah pada tahu tentang balapan yang malam ini akan digelar, sementara dia baru mendapat kabar malam ini. Maklum, setelah razia tempo hari perkumpulan di area balap memang kosong. Sementara kabar-kabar tentang balapan biasanya dia dapat dari tongkrongan balap liar itu. "Kok gue bisa nggak tahu ada balapan hadiahnya sebesar itu?" tanya Herga pada Simon, teman yang mengiriminya pesan malam ini. "Ini udah untung diantara kita ada yang tahu," jawab Simon. "Kabarnya sih memang mendadak. Tadi gue nanya yang lain katanya juga pada baru dapat kabar kemarin," sela Fatih. "Ngomong-ngomong, siapa s
Surya memberikan waktu 20 menit untik para pembalap yang tersisa melakukan persiapan menyambut semi final. Di saat itulah, ponsel Herga berbunyi yang ternyata dari Nana. Dia celingukan mencari tempat yang aman untuk menerima telfon. Nana tidak boleh tahu kalau malam ini dia ikut balapan. Kalau Nana tahu, otomatis Ibunya juga akan tahu. Dan kenyataannya Herga sudah pernah berjanji pada Ibunya untuk tidak akan ikut balapan liar lagi sejak hari itu, saat dimana dia tertangkap razia dan Ibunya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus dia dan motornya. Sebenarnya Herga sendiri merasa amat sangat bersalah karena sudah ingkar. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Balapan liar seolah sudah menjadi ladang pencarian uangnya selain menjadi montir bengkel. Herga tidak sepenuhnya mampu jika harus meninggalkan 'pekerjaan' ini. Herga hanya berharap Ibunya tidak akan pernah tahu dia masih menetap di arena ini. Kalaupun akhirnya suatu hari nanti Ibunya harus tahu, dia hanya berharap sudah memi
Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per
Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i
Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka
Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan
Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di
Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka
Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang