Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan.
"Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor 22 yang lumayan jauh dari tempat dia duduk saat ini, dia melihat Viola sedang makan malam berdua dengan seorang laki-laki. Mereka begitu akrab dan sesekali terlihat saling tertawa. Tapi yang bikin Herga heran, dia... bukannya laki-laki yang malam itu mengejar Viola dari butik? batin Herga. Laki-laki yang membuat Viola menangis karena kecemburuannya. "Ga, lo mau pesen apa?" Nando menepuk bahu Herga. "Oh... e.. anu..." Herga yang kaget jadi tergagap. Ketiga temannya saling tatap. "Anu... anu...!" timpal Irfan. "Lo mau makan nggak?" "Iya bentar dong," Herga membuka-buka buku menu. Pelayan yang sedari tadi berdiri di sebelah bangku mereka karena tinggal menunggu mencatat pesanan Herga, berusaha menahan tawa melihat kegugupan Herga. "Ini aja mbak," Herga menunjuk salah satu list dari buku menu. "Minumnya sama kaya yang lain," "Baik. Mohon ditunggu sebentar ya," ujar si pelayan kemudian berlalu. Saat ketiga temannya asyik ngobrol sambil menunggu pesanan datang, Herga tidak bisa fokus dengan obrolan tersebut dan justru diam-diam sering menoleh ke bangku tempat Viola duduk untuk bisa melihat gadis itu. Ada perasaan yang tak biasa merasuki hatinya manakala melihat keceriaan Viola dengan laki-laki itu. Hatinya seolah tidak rela melihatnya bersama orang lain. Viola tampak jauh lebih bahagia dari malam kemarin. Padahal jelas-jelas laki-laki itu kan alasan dia pergi dari butik? "Ga, lo makan nggak sih?" Nando lagi-lagi menepuk bahu Herga. Pesanan mereka telah datang. "Iya, heran deh. Lo mikir apa sih? Nggak fokus banget kayaknya," sela Irfan. "Ah, nggak kok," tepis Herga. "Fan, gantian tempat duduknya dong." "Hah?" Irfan mengangkat alis. "Maksud lo?" "Kita tukeran kursi. Lo duduk di sini, gue di situ." Irfan geleng-geleng kepala. Ada-ada aja ni bocah. Tidak mau ribet-ribet, Irfan pun berdiri dan mereka tukeran tempat duduk. Herga tersenyum lebar. Ketiga temannya itu tidak tahu alasan dia meminta tukar tempat duduk. Ya, supaya Herga tidak perlu nengok-nengok lagi kalau pengen lihat ke bangku Viola. Dan sepertinya ketiga temannya itu juga tidak menyadari kalau di restoran ini ada Viola yang mereka gadang-gadang sebagai anak konglo. Sambil menikmati makanan, Herga selalu mencuri pandang ke bangku Viola. Entah kenapa matanya seolah tidak ingin lepas dari senyum riang di wajah gadis itu. Sampai suatu ketika dia melihat seorang perempuan yang baru datang dan menghampiri bangku Viola lalu dengan mesra memeluk laki-laki yang saat ini bersama Viola dari belakang. "Maaf ya sayang nunggunya lama. Tadi pemotretannya ada yang mesti di take ulang," ucap perempuan itu yang sayup-sayup terdengar oleh telinga Herga. Dan saat itulah Herga melihat senyuman Viola lenyap. Gadis itu lantas berdiri dan hendak berlalu. Namun Steffan menahan langkah Viola. "Lho, Vi, kamu mau kemana?" tanya perempuan itu pada Viola. "Aku baru datang kok kamu malah mau pergi?" Viola menghentakkan tangan Steffan dengan kasar. Saat Steffan berusaha mengejar langkah Viola, perempuan yang baru datang itu justru mencekal tangannya. "Sayang, udah. Kamu mau kemana?" Steffan merasa serba salah. Di satu sisi Nessa adalah kekasihnya, tapi di sisi lain dia juga mengkhawatirkan Viola. Baru saja mereka mau baikan, udah kaya gini lagi aja. "Guys, gue cabut dulu ya!" Herga menyudahi makannya dan berdiri. Ketiga temannya menatap Herga bingung. "Lho, lo mau kemana Ga?" tanya Rifky. "Makanan lo belum habis, Ga," sambung Irfan. "Sorry ya, soriiiii banget," Herga menangkupkan kedua tangan memohon. "Gue ada perlu mendadak. Thanks ya buat traktirannya," ucapnya dan segera cabut. Ketiga temannya lagi-lagi dibuat heran dan cuma bisa saling pandang. Mereka sama-sama tidak tahu apa yang membuat anak itu begitu terburu-buru. Padahal setahu mereka malam ini tidak ada balapan. *** Herga menyayangkan sikap Steffan yang membiarkan Viola pergi sendirian. Laki-laki itu justru kembali duduk bersama perempuan yang baru saja datang. Bisa-bisanya sih dia seperti itu? Setibanya di luar restoran, Herga celingukan mencari-cari sosok Viola. Tak butuh waktu lama, matanya mendapatkan sosok gadis yang sudah berjalan setengah berlari sampai di tepi jalan. Secepat kilat, Herga berlari mengejar Viola. "Vi!" panggil Herga. Langkah Viola terhenti. "Vi... " Herga mendekati Viola. Viola menoleh. Dia menatap Herga dengan tatapan bingung. Dia lagi? Saat itu air mata Viola sudah bercucuran. Lebih parah dari pada malam kemarin. Dan yang membuat Herga kaget, Viola langsung menghambur ke pelukannya tanpa mempedulikan keadaan sekeliling. Gadis itu menumpahkan semua air mata kekecewaannya di pelukan Herga. Tentu saja hal itu membuat Herga semakin bingung harus bersikap seperti apa. Dia celingukan, takut kalau mereka menjadi pusat perhatian pengunjung restoran. Namun untungnya tidak begitu banyak orang di sekitar mereka. Ditambah, pelataran restoran itu luas sekali. Jadi posisi mereka cukup jauh dari area resto yang dipenuhi pengunjung. "Vi," Herga melepas pelukan Viola. "Lo tunggu sini, gue ambil motor dulu." Viola cuma bisa pasrah saat Herga berlari meninggalkan dirinya ke parkiran. *** "Udah. Berhenti di sini aja Ga," ucap Viola lirih. Mereka sudah menyusuri jalanan jauh sekali meninggalkan restoran. Dan saat ini keduanya berada di tempat yang sama seperti kemarin malam. Setelah Herga menghentikan motornya, Viola turun dan menyandarkan tubuhnya di tepian pagar pembatas jalan. "Vi, ada apa lagi?" tanya Herga. "Kenapa kamu lari-larian kaya tadi?" "Ternyata dia emang nggak peka sama perasaan gue, Ga." Herga tahu siapa yang Viola maksud. Kasihan juga dia melihat gadis secantik Viola yang tampak merana karena cintanya bertepuk sebelah tangan. "Kalau begitu kenapa lo harus maksain diri sih? Hobby banget siksa hati sendiri?" Herga menyeloroh. Viola menoleh sewot mendengar respon Herga. "Kalau lo nggak pernah ngerasain jatuh cinta, suka sama orang yang bahkan hanya melihatnya saja sudah bikin lo bahagia mending lo diem!" ketus Viola. Herga terkekeh. "Siapa bilang gue nggak tahu? Lo pikir gue nggak normal? Lo dengerin gue ya, cinta itu saling bukan hanya. Dan cinta yang lo miliki itu adanya cuma di hati lo sendiri, bukan di hatinya siapa itu namanya?" Viola mendesis. Malas sekali mulutnya mengucapkan nama Steffan. Dalam hati dia membenarkan ucapan Herga. Selama ini dia sudah mencintai Steffan secara sepihak. Sejak dia berusia 13 tahun sampai sekarang 21 tahun, dia mencintai Steffan tapi tidak pernah mendapat balasan. Selama delapan tahun dia merelakan hatinya diambil oleh seseorang yang tidak bisa memberikan feedback untuk perasaannya. Viola mencintai sendirian. Selama ini Steffan memang peduli padanya. Menyayanginya. Tapi semua itu bukan atas dasar perasaan dari laki-laki ke perempuan. Melainkan kakak ke seorang adik perempuannya. "Vi, kenapa sih lo masih nekat melakukan itu? Padahal lo tahu akhirnya akan seperti apa." "Mungkin karena perasaan gue udah terlanjur dalam ke dia..." "Sampai nggak bisa diselamatkan?" "Gue nggak tahu Ga," Viola menggeleng. "Yang gue tahu di hati gue tu cuma ada dia... dia... dan dia. Gue nggak tahu caranya ngehapus dia dari kepala gue tuh gimana, ngehilangin dia dari hati gue tuh gimana. Pasti butuh waktu kan?" Herga tersenyum getir. Sebegitu besarnya gadis ini mencintai seseorang. Andai saja laki-laki beruntung itu adalah.... aku. Hahaha, jangan mimpi Herga! Bangun! "Butuh bantuan?" tanya Herga kemudian. Viola menelengkan kepala. "Maksudnya?" Dengan gerakan konyol Herga meniup puncak kepala Viola beberapa kali, bak seorang dukun mengobati pasien dan tentu membuat Viola bingung. Lalu setelahnya dia memperagakan sebuah gunting yang sedang memotong sesuatu dengan tangannya di depan dada Viola. Mau tak mau Viola pun tertawa. Dia menampik tangan Herga yang masih mondar-mandir di depan dadanya memperagakan gerakan gunting. "Ih apaan sih? Aneh banget lo." "Gue lagi bantuin buat ngehapus dia dari kepala lo, sama mutusin jaringan-jaringan cinta dari hati lo buat dia. Kasihan kan nggak pernah nemu ujungnya, jadi lontang-lantung nggak jelas," ledek Herga santai. "Hahaha," Viola terbahak. "Apaan sih? Lo ada-ada aja deh. Nggak jelas banget." "Tapi jelas bisa bikin lo ketawa kan?" Viola mengatupkan bibir menahan tawa yang masih ingin meledak dan menunduk. "Kok malah diem?" Herga membungkuk dan menelengkan kepala untuk bisa melihat wajah Viola. "Ketawa jangan ditahan," godanya. Viola menepuk pipi Herga. "Ck, apaan sih?" "Naaah gitu dong senyum. Kan tambah cantik," puji Herga. Viola mencibir. "Makasih ya. Lo tu.... kaya jin tahu nggak sih?" Tubuh Herga seketika menegak. Bisa-bisanya Viola ngatain dia sepeti jin. "Kok jin sih?" "Ya habisnya lo bisa tiba-tiba muncul di dekat gue..." "Eiittt no no no..." potong Herga sembari menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan wajah Viola. "Gue bukan jin kali." "Terus apa?" "Band aid. Plester penyembuh luka. Eh... penutup luka ding," jawab Herga asal. "Haaah???" "Nggak mau ngakuin kalau peran gue seperti itu?" dengan santai Herga merangkul pundak Viola dan merapatkan tubuh ramping itu ke tubuhnya. Deg! Viola melirik tangan kekar Herga dan seketika merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ya Tuhan... perasaan apa ini? Gue takut Herga denger detak jantung gueeeee. "Pertama, iya, gue emang salah waktu itu gara-gara nyerempet lo dan bikin tubuh lo ada luka-luka. Gue kan yang kasih plester?" Herga sepertinya tidak menyadari sikap Viola yang mendadak salting. "Apa-apaan?" Viola menyangkal. "Tunggu duluuuu. Masih ada lagi lhooo... Kedua, malam itu lo ngapain kabur dari butik trus nangis-nangis sampe bikin gue takut? Tapi... setidaknya lo aman karena malam itu lo kaburnya sama gue. Coba kalau sama cowok lain, mana pakaian lo terbuka kaya gitu. Ah..." "Apa??!!" Viola melotot. "Udah nggak usah marah. Nih yang ketiga. Dan semoga aja jadi yang terakhir gue lihat lo kaya gini. Tapi sebelumnya gue mau nanya dulu..." Viola tak bersuara dan hanya menatap Herga. "Lo.... Kenapa tiba-tiba ninggalin orang yang lagi dinner sama lo?" Viola mendengus dan melengos. Dia menyilangkan kedua tangannya di dada. Berat rasanya untuk bersuara dan menjawab pertanyaan Herga. Herga mengulum senyum melihat ekspresi wajah Viola yang tampak lucu di matanya. "Oke deh kalau lo nggak mau jawab. Biar gue tebak aja." "Apaan sih?!" Viola sewot. "Cinta lo bertepuk sebelah tangan ya sama cowok tadi?" sahut Herga enteng. "Makanya pas ceweknya si cowok tadi dateng, lo langsung kabur karena cemburu. Iya kan?" "Iiih lo apa-apaan sih? Nggak jelas banget?!" "Hmmm.... tinggal jawab iya aja apa susahnya sih? Lo cemburu kan? Jadi lo kabur tanpa tujuan kaya tadi. Tapi lo harusnya beruntung karena ketemu sama gue..." "Lo yang sengaja ngejar gue. Bukan kebetulan ketemu," sahut Viola mengoreksi. "Hmmmm... iya deh," Herga ngalah. "Tapi lo seneng kan karena lo nggak sendirian? Bilang lo seneng, gue aja seneng kok liatnya," tuntutnya kemudian. "Ya... setidaknya setiap lo lagi sedih, lo nggak sendirian..." Viola menghela nafas. Perlahan dia melepaskan diri dari rangkulan Herga. Dia menatap lurus wajah Herga dan pandangan mereka bertemu. Lama dan sedikit intens. Apa yang dikatakan Herga ada benarnya. Tanpa sadar dan tanpa diminta, Herga selalu hadir untuk menutup luka-lukanya. "Vi," bisik Herga lirih saat tatapan mereka sudah beradu cukup lama. "He?" Viola mengerjap-ngerjapkan mata. "Sorry, apa?" "Jaket gue mana?" tanya Herga sembari mengangkat sebelah alisnya. Astaga! Viola memutar bola matanya. "Canda Vi, serius banget. Nggak dibalikin juga nggak pa-pa kok. Jaket gue masih banyak," terang Herga kemudian. "Pulang yuk, gue anter." Viola menunduk menahan senyum. "Jaket khas bad boy ya?" kini giliran Viola meledek. "Tenang aja, besok gue balikin." "Hah? Bad boy lo bilang?" tubuh Herga menegak sempurna dan matanya membelalak demi mendengar sebutan itu keluar dari bibir Viola. "Udah nggak usah marah," Viola mengibaskan tangannya di depan wajah Herga. "Katanya mau anterin gue pulang?" BERSAMBUNG..."Kak, empat hari lagi jatuh tempo pembayaran iuran study tour aku." Ucapan lirih Nana esok tadi terus terngiang di telinga Herga. Sampai saat ini Bu Rasti belum mengetahui tentang hal itu karena Nana tidak berani mengutarakan. Apalagi Pak Hendro juga baru saja menagih uang kontrakan rumah yang harus dibayar paling lambat hari ini. Herga dengar tadi rencananya ibunya itu akan menjual salah satu cincin kawin yang dia miliki hari ini. Yang bikin tambah Herga sedih lagi, ibunya itu tidak mau menerima uang darinya. "Kamu simpan saja uang kamu, Ga. Kamu itu kan anak muda. Kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan sendiri gimana?" begitu tolak Bu Rasti. Herga dan temannya sedang berkumpul di ruang kelas. Namun ketika teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal, Herga tidak ikut nimbrung karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Otaknya berputar memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk bayar study tour Nana, sekaligus membayar kontrakan. Karena sejujurnya Herga begitu berat hat
Beberapa orang mulai berlarian menghampiri mobil Viola. Sebagian langsung menolong perempuan paruh baya yang baru saja ditabrak, sedangkan ada dua orang mengetuk-ngetuk kaca mobil Viola memintanya keluar. Viola menatap ngeri ke luar kaca. Bukannya tidak mau bertanggung jawab, dia hanya sedang syok dengan apa yang baru saja terjadi. "Keluar mbak! Jangan sampai kamu lari!" bentak laki-laki bertubuh tinggi besar dan brewokan. "Saya sudah foto nomor plat mobilnya. Ayo keluar mbak!" sahut yang lain. "Atau mau kita bawa mbak ke kantor polisi?" Kantor polisi? Mata Viola membelalak. Oh tidak. Tidak pernah ada dalam bayangannya dia harus berurusan dengan polisi karena sebuah kasus. Viola menghela napas untuk mengatur jantungnya yang masih terus berdegup cepat. Lalu dengan sisa keberanian yang dimiliki, dia pun keluar. "Bapak-bapak, saya bukannya mau lari atau nggak tanggung jawab. Saya akan tanggung jawab kok, saya cuma masih syok aja tadi..." tutur Viola setengah ketakutan. "
Herga menyusuri jalan pulang dengan berbagai macam pikiran di benaknya. Tentang iuran study tour Nana, tentang uang sewa kontrakan yang jatuhnya hari ini. Bagaimana ya? Apa Ibunya telah menjual cincinnya? Ah, kalau mengingat tentang benda berharga itu, Herga selalu merasa menyayangkan ketika akhirnya benda itu harus terjual untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka. "Assalamualaikum," ucap Herga setelah memarkir motor di halaman. Seperti biasa, dia harus segera ke bengkel sepulang kuliah untuk bekerja. "Ya ampun Ibuk?!" wajah letih Herga saat memasuki rumah berubah kaget saat melihat Ibunya duduk di sofa sembari menyelonjorkan kaki. "Kaki Ibuk kenapa ini?" Dia bersimpuh tepat di depan kaki Ibunya yang diperban. "Tadi katanya Ibuk ditabrak orang di jalan," Nana muncul dari dapur membawa segelas teh hangat dan meletakkanya di atas meja. "Ini buk tehnya." "Terimakasih ya Na. Oh ya, tolong sekalian siapin makan siang buat kakak kamu, nak," perintah Bu Rasti. Nana mengangguk l
Kedatangan Herga di area balap disambut antusias oleh gengnya. Begitu Herga memarkirkan motor, mereka langsung berkerumun mengelilingi Herga untuk memberi semangat. Nama Herga seolah sudah menjadi ikon dalam balapan liar. Herga menatap lawan balapnya satu per satu dan mendapati mereka sebagian sudah pada ganti motor. Tentunya ke CC yang lebih besar dari biasanya. Dia heran, mereka seolah sudah pada tahu tentang balapan yang malam ini akan digelar, sementara dia baru mendapat kabar malam ini. Maklum, setelah razia tempo hari perkumpulan di area balap memang kosong. Sementara kabar-kabar tentang balapan biasanya dia dapat dari tongkrongan balap liar itu. "Kok gue bisa nggak tahu ada balapan hadiahnya sebesar itu?" tanya Herga pada Simon, teman yang mengiriminya pesan malam ini. "Ini udah untung diantara kita ada yang tahu," jawab Simon. "Kabarnya sih memang mendadak. Tadi gue nanya yang lain katanya juga pada baru dapat kabar kemarin," sela Fatih. "Ngomong-ngomong, siapa s
Surya memberikan waktu 20 menit untik para pembalap yang tersisa melakukan persiapan menyambut semi final. Di saat itulah, ponsel Herga berbunyi yang ternyata dari Nana. Dia celingukan mencari tempat yang aman untuk menerima telfon. Nana tidak boleh tahu kalau malam ini dia ikut balapan. Kalau Nana tahu, otomatis Ibunya juga akan tahu. Dan kenyataannya Herga sudah pernah berjanji pada Ibunya untuk tidak akan ikut balapan liar lagi sejak hari itu, saat dimana dia tertangkap razia dan Ibunya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus dia dan motornya. Sebenarnya Herga sendiri merasa amat sangat bersalah karena sudah ingkar. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Balapan liar seolah sudah menjadi ladang pencarian uangnya selain menjadi montir bengkel. Herga tidak sepenuhnya mampu jika harus meninggalkan 'pekerjaan' ini. Herga hanya berharap Ibunya tidak akan pernah tahu dia masih menetap di arena ini. Kalaupun akhirnya suatu hari nanti Ibunya harus tahu, dia hanya berharap sudah memi
Jarak 700 meter yang ditempuh oleh pembalap Herga dan Alex semakin terkikis oleh kecepatan motor masing-masing. Keduanya saling memacu semangat menarik gas untuk mencapai garis finish. Sorak soray para penonton pun terdengar semakin pelan di belakang mereka. Alex, salah satu orang yang lumayan sering ikut balapan liar, melirik posisi Herga dari balik kaca helmnya. Bibirnya tersenyum penuh arti. Apalagi dia sadar posisinya berada sedikit lebih di depan dari Herga. Sementara Herga tetap fokus dengan jalan di depannya. Jantungnya berdebar cepat membayangkan nominal uang yang bertambah yang akan diberikan oleh Surya. Dia bahkan sudah membayangkan senyum dan ekspresi bahagia Nala saat menerima uang itu darinya. Sorak soray tidak terdengar lagi karena jarak tempuh tinggal puluhan meter. Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Semangat Herga bertambah saat posisi Alex sedikit tertinggal di belakangnya. Garis finish sudah depan mata. Bersatu padu dengan senyum riang Nana yan
"Hari ini Ibuk jadi kontrol?" Herga menghampiri Bu Rasti yang sedang duduk di kursi ruang tamu dengan langkah terpincang-pincang. Sudah dua hari semenjak kecelakaan malam itu, Herga tidak masuk kuliah. Motornya pun masih di bengkel dan diperkirakan baru akan selesai diservis sekitar seminggu ke depan. Banyak sekali kerusakan yang terjadi pada motornya akibat insiden malam itu. Beruntung dia masih memiliki sisa uang untuk biaya servis. Lebih beruntung lagi nyawanya masih selamat. "Harusnya sih iya. Tapi menurut Ibuk nggak kontrol juga nggak pa-pa kok Ga. Toh luka Ibuk juga udah kering. Dan soal jahitan nanti lama-lama juga bisa lepas sendiri kan?" ujar Bu Rasti. "Lho, jangan gitu dong buk," tukas Herga khawatir. "Kalau memang dokter menyarankan kontrol, Ibuk harus dateng." "Tapi Ibuk beneran udah nggak pa-pa, Herga. Kaki Ibuk juga udah nggak sakit-sakit banget buat jalan. Udah, kamu nggak usah khawatir." "Tapi Buk...." Sedang sibuk berdebat, tiba-tiba terdengar suara d
Di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah gedong dengan cat putih bersih, seorang laki-laki tampak duduk termenung di sebuah ruangan. Laki-laki itu adalah Steffan. Sejak pertemuannya malam itu dengan Viola, isi pikirannya seolah dipenuhi dengan perasaan menyesal sekaligus bersalah karena secara tidak langsung telah melakukan penolakan terhadap Viola. Alih-alih merasa lega karena berhasil mengutarakan apa yang selama ini dia pendam, ternyata justru sebaliknya. Dia tahu Viola begitu mencintai dirinya, dan dia juga tahu betapa pedihnya hati Viola malam itu. "Kok kamu belum berangkat Fan?" Bu Tamara, mamanya Steffan muncul dari lantai dua. Penampilannya sudah necis nan elegan. Steffan melihat mamanya sekilas. Perempuan itu kemudian duduk di sebelah Steffan sembari meletakkan tas brandednya di atas meja. "Mama mau kemana?" tanya Steffan. "Ck, pertanyaan Mama belum kamu jawab, malah balik nanya," celetuk Bu Tamara. Steffan menghela napas. "Aku memang lagi males ke kantor har
Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per
Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i
Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka
Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan
Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di
Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka
Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang