Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan.
"Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor 22 yang lumayan jauh dari tempat dia duduk saat ini, dia melihat Viola sedang makan malam berdua dengan seorang laki-laki. Mereka begitu akrab dan sesekali terlihat saling tertawa. Tapi yang bikin Herga heran, dia... bukannya laki-laki yang malam itu mengejar Viola dari butik? batin Herga. Laki-laki yang membuat Viola menangis karena kecemburuannya. "Ga, lo mau pesen apa?" Nando menepuk bahu Herga. "Oh... e.. anu..." Herga yang kaget jadi tergagap. Ketiga temannya saling tatap. "Anu... anu...!" timpal Irfan. "Lo mau makan nggak?" "Iya bentar dong," Herga membuka-buka buku menu. Pelayan yang sedari tadi berdiri di sebelah bangku mereka karena tinggal menunggu mencatat pesanan Herga, berusaha menahan tawa melihat kegugupan Herga. "Ini aja mbak," Herga menunjuk salah satu list dari buku menu. "Minumnya sama kaya yang lain," "Baik. Mohon ditunggu sebentar ya," ujar si pelayan kemudian berlalu. Saat ketiga temannya asyik ngobrol sambil menunggu pesanan datang, Herga tidak bisa fokus dengan obrolan tersebut dan justru diam-diam sering menoleh ke bangku tempat Viola duduk untuk bisa melihat gadis itu. Ada perasaan yang tak biasa merasuki hatinya manakala melihat keceriaan Viola dengan laki-laki itu. Hatinya seolah tidak rela melihatnya bersama orang lain. Viola tampak jauh lebih bahagia dari malam kemarin. Padahal jelas-jelas laki-laki itu kan alasan dia pergi dari butik? "Ga, lo makan nggak sih?" Nando lagi-lagi menepuk bahu Herga. Pesanan mereka telah datang. "Iya, heran deh. Lo mikir apa sih? Nggak fokus banget kayaknya," sela Irfan. "Ah, nggak kok," tepis Herga. "Fan, gantian tempat duduknya dong." "Hah?" Irfan mengangkat alis. "Maksud lo?" "Kita tukeran kursi. Lo duduk di sini, gue di situ." Irfan geleng-geleng kepala. Ada-ada aja ni bocah. Tidak mau ribet-ribet, Irfan pun berdiri dan mereka tukeran tempat duduk. Herga tersenyum lebar. Ketiga temannya itu tidak tahu alasan dia meminta tukar tempat duduk. Ya, supaya Herga tidak perlu nengok-nengok lagi kalau pengen lihat ke bangku Viola. Dan sepertinya ketiga temannya itu juga tidak menyadari kalau di restoran ini ada Viola yang mereka gadang-gadang sebagai anak konglo. Sambil menikmati makanan, Herga selalu mencuri pandang ke bangku Viola. Entah kenapa matanya seolah tidak ingin lepas dari senyum riang di wajah gadis itu. Sampai suatu ketika dia melihat seorang perempuan yang baru datang dan menghampiri bangku Viola lalu dengan mesra memeluk laki-laki yang saat ini bersama Viola dari belakang. "Maaf ya sayang nunggunya lama. Tadi pemotretannya ada yang mesti di take ulang," ucap perempuan itu yang sayup-sayup terdengar oleh telinga Herga. Dan saat itulah Herga melihat senyuman Viola lenyap. Gadis itu lantas berdiri dan hendak berlalu. Namun Steffan menahan langkah Viola. "Lho, Vi, kamu mau kemana?" tanya perempuan itu pada Viola. "Aku baru datang kok kamu malah mau pergi?" Viola menghentakkan tangan Steffan dengan kasar. Saat Steffan berusaha mengejar langkah Viola, perempuan yang baru datang itu justru mencekal tangannya. "Sayang, udah. Kamu mau kemana?" Steffan merasa serba salah. Di satu sisi Nessa adalah kekasihnya, tapi di sisi lain dia juga mengkhawatirkan Viola. Baru saja mereka mau baikan, udah kaya gini lagi aja. "Guys, gue cabut dulu ya!" Herga menyudahi makannya dan berdiri. Ketiga temannya menatap Herga bingung. "Lho, lo mau kemana Ga?" tanya Rifky. "Makanan lo belum habis, Ga," sambung Irfan. "Sorry ya, soriiiii banget," Herga menangkupkan kedua tangan memohon. "Gue ada perlu mendadak. Thanks ya buat traktirannya," ucapnya dan segera cabut. Ketiga temannya lagi-lagi dibuat heran dan cuma bisa saling pandang. Mereka sama-sama tidak tahu apa yang membuat anak itu begitu terburu-buru. Padahal setahu mereka malam ini tidak ada balapan. *** Herga menyayangkan sikap Steffan yang membiarkan Viola pergi sendirian. Laki-laki itu justru kembali duduk bersama perempuan yang baru saja datang. Bisa-bisanya sih dia seperti itu? Setibanya di luar restoran, Herga celingukan mencari-cari sosok Viola. Tak butuh waktu lama, matanya mendapatkan sosok gadis yang sudah berjalan setengah berlari sampai di tepi jalan. Secepat kilat, Herga berlari mengejar Viola. "Vi!" panggil Herga. Langkah Viola terhenti. "Vi... " Herga mendekati Viola. Viola menoleh. Dia menatap Herga dengan tatapan bingung. Dia lagi? Saat itu air mata Viola sudah bercucuran. Lebih parah dari pada malam kemarin. Dan yang membuat Herga kaget, Viola langsung menghambur ke pelukannya tanpa mempedulikan keadaan sekeliling. Gadis itu menumpahkan semua air mata kekecewaannya di pelukan Herga. Tentu saja hal itu membuat Herga semakin bingung harus bersikap seperti apa. Dia celingukan, takut kalau mereka menjadi pusat perhatian pengunjung restoran. Namun untungnya tidak begitu banyak orang di sekitar mereka. Ditambah, pelataran restoran itu luas sekali. Jadi posisi mereka cukup jauh dari area resto yang dipenuhi pengunjung. "Vi," Herga melepas pelukan Viola. "Lo tunggu sini, gue ambil motor dulu." Viola cuma bisa pasrah saat Herga berlari meninggalkan dirinya ke parkiran. *** "Udah. Berhenti di sini aja Ga," ucap Viola lirih. Mereka sudah menyusuri jalanan jauh sekali meninggalkan restoran. Dan saat ini keduanya berada di tempat yang sama seperti kemarin malam. Setelah Herga menghentikan motornya, Viola turun dan menyandarkan tubuhnya di tepian pagar pembatas jalan. "Vi, ada apa lagi?" tanya Herga. "Kenapa kamu lari-larian kaya tadi?" "Ternyata dia emang nggak peka sama perasaan gue, Ga." Herga tahu siapa yang Viola maksud. Kasihan juga dia melihat gadis secantik Viola yang tampak merana karena cintanya bertepuk sebelah tangan. "Kalau begitu kenapa lo harus maksain diri sih? Hobby banget siksa hati sendiri?" Herga menyeloroh. Viola menoleh sewot mendengar respon Herga. "Kalau lo nggak pernah ngerasain jatuh cinta, suka sama orang yang bahkan hanya melihatnya saja sudah bikin lo bahagia mending lo diem!" ketus Viola. Herga terkekeh. "Siapa bilang gue nggak tahu? Lo pikir gue nggak normal? Lo dengerin gue ya, cinta itu saling bukan hanya. Dan cinta yang lo miliki itu adanya cuma di hati lo sendiri, bukan di hatinya siapa itu namanya?" Viola mendesis. Malas sekali mulutnya mengucapkan nama Steffan. Dalam hati dia membenarkan ucapan Herga. Selama ini dia sudah mencintai Steffan secara sepihak. Sejak dia berusia 13 tahun sampai sekarang 21 tahun, dia mencintai Steffan tapi tidak pernah mendapat balasan. Selama delapan tahun dia merelakan hatinya diambil oleh seseorang yang tidak bisa memberikan feedback untuk perasaannya. Viola mencintai sendirian. Selama ini Steffan memang peduli padanya. Menyayanginya. Tapi semua itu bukan atas dasar perasaan dari laki-laki ke perempuan. Melainkan kakak ke seorang adik perempuannya. "Vi, kenapa sih lo masih nekat melakukan itu? Padahal lo tahu akhirnya akan seperti apa." "Mungkin karena perasaan gue udah terlanjur dalam ke dia..." "Sampai nggak bisa diselamatkan?" "Gue nggak tahu Ga," Viola menggeleng. "Yang gue tahu di hati gue tu cuma ada dia... dia... dan dia. Gue nggak tahu caranya ngehapus dia dari kepala gue tuh gimana, ngehilangin dia dari hati gue tuh gimana. Pasti butuh waktu kan?" Herga tersenyum getir. Sebegitu besarnya gadis ini mencintai seseorang. Andai saja laki-laki beruntung itu adalah.... aku. Hahaha, jangan mimpi Herga! Bangun! "Butuh bantuan?" tanya Herga kemudian. Viola menelengkan kepala. "Maksudnya?" Dengan gerakan konyol Herga meniup puncak kepala Viola beberapa kali, bak seorang dukun mengobati pasien dan tentu membuat Viola bingung. Lalu setelahnya dia memperagakan sebuah gunting yang sedang memotong sesuatu dengan tangannya di depan dada Viola. Mau tak mau Viola pun tertawa. Dia menampik tangan Herga yang masih mondar-mandir di depan dadanya memperagakan gerakan gunting. "Ih apaan sih? Aneh banget lo." "Gue lagi bantuin buat ngehapus dia dari kepala lo, sama mutusin jaringan-jaringan cinta dari hati lo buat dia. Kasihan kan nggak pernah nemu ujungnya, jadi lontang-lantung nggak jelas," ledek Herga santai. "Hahaha," Viola terbahak. "Apaan sih? Lo ada-ada aja deh. Nggak jelas banget." "Tapi jelas bisa bikin lo ketawa kan?" Viola mengatupkan bibir menahan tawa yang masih ingin meledak dan menunduk. "Kok malah diem?" Herga membungkuk dan menelengkan kepala untuk bisa melihat wajah Viola. "Ketawa jangan ditahan," godanya. Viola menepuk pipi Herga. "Ck, apaan sih?" "Naaah gitu dong senyum. Kan tambah cantik," puji Herga. Viola mencibir. "Makasih ya. Lo tu.... kaya jin tahu nggak sih?" Tubuh Herga seketika menegak. Bisa-bisanya Viola ngatain dia sepeti jin. "Kok jin sih?" "Ya habisnya lo bisa tiba-tiba muncul di dekat gue..." "Eiittt no no no..." potong Herga sembari menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan wajah Viola. "Gue bukan jin kali." "Terus apa?" "Band aid. Plester penyembuh luka. Eh... penutup luka ding," jawab Herga asal. "Haaah???" "Nggak mau ngakuin kalau peran gue seperti itu?" dengan santai Herga merangkul pundak Viola dan merapatkan tubuh ramping itu ke tubuhnya. Deg! Viola melirik tangan kekar Herga dan seketika merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ya Tuhan... perasaan apa ini? Gue takut Herga denger detak jantung gueeeee. "Pertama, iya, gue emang salah waktu itu gara-gara nyerempet lo dan bikin tubuh lo ada luka-luka. Gue kan yang kasih plester?" Herga sepertinya tidak menyadari sikap Viola yang mendadak salting. "Apa-apaan?" Viola menyangkal. "Tunggu duluuuu. Masih ada lagi lhooo... Kedua, malam itu lo ngapain kabur dari butik trus nangis-nangis sampe bikin gue takut? Tapi... setidaknya lo aman karena malam itu lo kaburnya sama gue. Coba kalau sama cowok lain, mana pakaian lo terbuka kaya gitu. Ah..." "Apa??!!" Viola melotot. "Udah nggak usah marah. Nih yang ketiga. Dan semoga aja jadi yang terakhir gue lihat lo kaya gini. Tapi sebelumnya gue mau nanya dulu..." Viola tak bersuara dan hanya menatap Herga. "Lo.... Kenapa tiba-tiba ninggalin orang yang lagi dinner sama lo?" Viola mendengus dan melengos. Dia menyilangkan kedua tangannya di dada. Berat rasanya untuk bersuara dan menjawab pertanyaan Herga. Herga mengulum senyum melihat ekspresi wajah Viola yang tampak lucu di matanya. "Oke deh kalau lo nggak mau jawab. Biar gue tebak aja." "Apaan sih?!" Viola sewot. "Cinta lo bertepuk sebelah tangan ya sama cowok tadi?" sahut Herga enteng. "Makanya pas ceweknya si cowok tadi dateng, lo langsung kabur karena cemburu. Iya kan?" "Iiih lo apa-apaan sih? Nggak jelas banget?!" "Hmmm.... tinggal jawab iya aja apa susahnya sih? Lo cemburu kan? Jadi lo kabur tanpa tujuan kaya tadi. Tapi lo harusnya beruntung karena ketemu sama gue..." "Lo yang sengaja ngejar gue. Bukan kebetulan ketemu," sahut Viola mengoreksi. "Hmmmm... iya deh," Herga ngalah. "Tapi lo seneng kan karena lo nggak sendirian? Bilang lo seneng, gue aja seneng kok liatnya," tuntutnya kemudian. "Ya... setidaknya setiap lo lagi sedih, lo nggak sendirian..." Viola menghela nafas. Perlahan dia melepaskan diri dari rangkulan Herga. Dia menatap lurus wajah Herga dan pandangan mereka bertemu. Lama dan sedikit intens. Apa yang dikatakan Herga ada benarnya. Tanpa sadar dan tanpa diminta, Herga selalu hadir untuk menutup luka-lukanya. "Vi," bisik Herga lirih saat tatapan mereka sudah beradu cukup lama. "He?" Viola mengerjap-ngerjapkan mata. "Sorry, apa?" "Jaket gue mana?" tanya Herga sembari mengangkat sebelah alisnya. Astaga! Viola memutar bola matanya. "Canda Vi, serius banget. Nggak dibalikin juga nggak pa-pa kok. Jaket gue masih banyak," terang Herga kemudian. "Pulang yuk, gue anter." Viola menunduk menahan senyum. "Jaket khas bad boy ya?" kini giliran Viola meledek. "Tenang aja, besok gue balikin." "Hah? Bad boy lo bilang?" tubuh Herga menegak sempurna dan matanya membelalak demi mendengar sebutan itu keluar dari bibir Viola. "Udah nggak usah marah," Viola mengibaskan tangannya di depan wajah Herga. "Katanya mau anterin gue pulang?" BERSAMBUNG..."Kak, empat hari lagi jatuh tempo pembayaran iuran study tour aku." Ucapan lirih Nana esok tadi terus terngiang di telinga Herga. Sampai saat ini Bu Rasti belum mengetahui tentang hal itu karena Nana tidak berani mengutarakan. Apalagi Pak Hendro juga baru saja menagih uang kontrakan rumah yang harus dibayar paling lambat hari ini. Herga dengar tadi rencananya ibunya itu akan menjual salah satu cincin kawin yang dia miliki hari ini. Yang bikin tambah Herga sedih lagi, ibunya itu tidak mau menerima uang darinya. "Kamu simpan saja uang kamu, Ga. Kamu itu kan anak muda. Kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan sendiri gimana?" begitu tolak Bu Rasti. Herga dan temannya sedang berkumpul di ruang kelas. Namun ketika teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal, Herga tidak ikut nimbrung karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Otaknya berputar memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk bayar study tour Nana, sekaligus membayar kontrakan. Karena sejujurnya Herga begitu berat hat
Beberapa orang mulai berlarian menghampiri mobil Viola. Sebagian langsung menolong perempuan paruh baya yang baru saja ditabrak, sedangkan ada dua orang mengetuk-ngetuk kaca mobil Viola memintanya keluar. Viola menatap ngeri ke luar kaca. Bukannya tidak mau bertanggung jawab, dia hanya sedang syok dengan apa yang baru saja terjadi. "Keluar mbak! Jangan sampai kamu lari!" bentak laki-laki bertubuh tinggi besar dan brewokan. "Saya sudah foto nomor plat mobilnya. Ayo keluar mbak!" sahut yang lain. "Atau mau kita bawa mbak ke kantor polisi?" Kantor polisi? Mata Viola membelalak. Oh tidak. Tidak pernah ada dalam bayangannya dia harus berurusan dengan polisi karena sebuah kasus. Viola menghela nafas untuk mengatur jantungnya yang masih terus berdegup cepat. Lalu dengan sisa keberanian yang dimiliki, dia pun keluar. "Bapak-bapak, saya bukannya mau lari atau nggak tanggung jawab. Saya akan ta
Herga menyusuri jalan pulang dengan berbagai macam pikiran di benaknya. Tentang iuran study tour Nana, tentang uang sewa kontrakan yang jatuhnya hari ini. Bagaimana ya? Apa Ibunya telah menjual cincinnya? Ah, kalau mengingat tentang benda berharga itu, Herga selalu merasa menyayangkan ketika akhirnya benda itu harus terjual untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka. "Assalamualaikum," ucap Herga setelah memarkir motor di halaman. Seperti biasa, dia harus segera ke bengkel sepulang kuliah untuk bekerja. "Ya ampun Ibuk?!" wajah letih Herga saat memasuki rumah berubah kaget saat melihat Ibunya duduk di sofa sembari menyelonjorkan kaki. "Kaki Ibuk kenapa ini?" Dia bersimpuh tepat di depan kaki Ibunya yang diperban. "Tadi katanya Ibuk ditabrak orang di jalan," Nana muncul dari dapur membawa segelas teh hangat. "Ini buk tehnya," dia meletakkan teh itu di atas meja. "Terimakasih ya Na. Oh ya, tolong sekalian
Bab 12 udah aku revisi ya mentemen. Bisa kalian baca dulu sebelum baca part ini. Tks 🙏🏻 💜💚💛 Kedatangan Herga di area balap disambut antusias oleh gengnya. Begitu Herga memarkirkan motor, mereka langsung berkerumun mengelilingi Herga untuk memberi semangat. Nama Herga seolah sudah menjadi ikon dalam balapan liar. Herga menatap lawan balapnya satu per satu dan mendapati mereka sebagian sudah pada ganti motor. Tentunya ke CC yang lebih besar dari biasanya. Dia heran, mereka seolah sudah pada tahu tentang balapan yang malam ini akan digelar, sementara dia baru mendapat kabar malam ini. Maklum, setelah razia tempo hari perkumpulan di area balap memang kosong. Sementara kabar-kabar tentang balapan biasanya dia dapat dari tongkrongan balap liar itu. "Kok gue bisa nggak tahu ada balapan hadiahnya sebesar itu?" tanya Herga
Surya memberikan waktu para pembalap yang tersisa di babak semi final selama 20 menit untuk melakukan persiapan. Di saat itulah, ponsel Herga berbunyi yang ternyata dari Nana. Dia celingukan mencari tempat yang aman untuk menerima telfon. Nana tidak boleh tahu kalau malam ini dia ikut balapan. Kalau Nana tahu, otomatis Ibunya juga akan tahu. Dan kenyataannya Herga sudah pernah berjanji pada Ibunya untuk tidak akan ikut balapan liar lagi sejak hari itu, saat dimana dia tertangkap razia dan Ibunya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus dia dan motornya. Sebenarnya Herga sendiri merasa amat sangat bersalah karena sudah ingkar. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Balapan liar seolah sudah menjadi ladang pencarian uangnya selain menjadi montir bengkel. Herga tidak sepenuhnya mampu jika harus meninggalkan 'pekerjaan' ini. Herga hanya berharap Ibunya tidak akan pernah tahu dia masih menetap di arena ini. Kalaupun akhirnya suatu hari nant
Jarak 1000 meter yang ditempuh oleh pembalap Herga dan Alex semakin terkikis oleh kecepatan motor masing-masing. Keduanya saling memacu semangat menarik gas untuk mencapai garis finish. Sorak soray para penonton pun terdengar semakin pelan di belakang mereka. Alex, salah satu orang yang lumayan sering ikut balapan liar, melirik posisi Herga dari balik kaca helmnya. Bibirnya tersenyum penuh arti. Apalagi dia sadar posisinya berada sedikit lebih di depan dari Herga. Sementara Herga tetap fokus dengan jalan di depannya. Jantungnya berdebar cepat membayangkan nominal uang yang bertambah yang akan diberikan oleh si penyelenggara balapan malam ini. Dia bahkan sudah membayangkan senyum dan ekspresi bahagia Nala saat menerima uang itu darinya. Sorak soray tidak terdengar lagi karena jarak tempuh tinggal puluhan meter. Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Semangat Herga bertambah saat posi
"Hari ini Ibuk jadi kontrol?" Herga menghampiri Bu Rasti yang sedang duduk di kursi ruang tamu dengan langkah terpincang-pincang.Sudah dua hari semenjak kecelakaan malam itu, Herga tidak masuk kuliah. Motornya pun masih di bengkel dan diperkirakan baru akan selesai diservis sekitar seminggu ke depan. Banyak sekali kerusakan yang terjadi pada motornya akibat insiden malam itu. Beruntung dia masih memiliki sisa uang untuk biaya servis. Lebih beruntung lagi nyawanya masih selamat."Harusnya sih iya. Tapi menurut Ibuk nggak kontrol juga nggak pa-pa kok Ga. Toh luka Ibuk juga udah kering. Dan soal jahitan nanti lama-lama juga bisa lepas sendiri kan?" ujar Bu Rasti."Lho, jangan gitu dong Buk," tukas Herga khawatir. "Kalau memang dokter menyarankan kontrol, Ibuk harus dateng.""Tapi Ibuk beneran udah nggak pa-pa, Herga. Kaki Ibuk juga udah nggak sakit-sakit banget buat jalan. Udah, kamu nggak usah khawatir."
Di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah gedong dengan cat putih bersih, seorang laki-laki tampak duduk termenung di sebuah ruangan. Laki-laki itu adalah Steffan.Sejak pertemuannya malam itu dengan Viola, isi pikirannya seolah dipenuhi dengan perasaan menyesal sekaligus bersalah karena secara tidak langsung telah melakukan penolakan terhadap Viola. Alih-alih merasa lega karena berhasil mengutarakan apa yang selama ini dia pendam, ternyata justru sebaliknya. Dia tahu Viola begitu mencintai dirinya, dan dia juga tahu betapa pedihnya hati Viola malam itu."Kok kamu belum berangkat Fan?" Bu Tamara, mamanya Steffan muncul dari lantai dua. Penampilannya sudah necis nan elegan.Steffan melihat mamanya sekilas. Perempuan itu kemudian duduk di sebelah Steffan sembari meletakkan tas brandednya di atas meja."Mama mau kemana?" tanya Steffan."Ck, pertanyaan Mama belum kamu jawab, malah balik nanya,"