Kedatangan Herga di area balap disambut antusias oleh gengnya. Begitu Herga memarkirkan motor, mereka langsung berkerumun mengelilingi Herga untuk memberi semangat. Nama Herga seolah sudah menjadi ikon dalam balapan liar. Herga menatap lawan balapnya satu per satu dan mendapati mereka sebagian sudah pada ganti motor. Tentunya ke CC yang lebih besar dari biasanya. Dia heran, mereka seolah sudah pada tahu tentang balapan yang malam ini akan digelar, sementara dia baru mendapat kabar malam ini. Maklum, setelah razia tempo hari perkumpulan di area balap memang kosong. Sementara kabar-kabar tentang balapan biasanya dia dapat dari tongkrongan balap liar itu. "Kok gue bisa nggak tahu ada balapan hadiahnya sebesar itu?" tanya Herga pada Simon, teman yang mengiriminya pesan malam ini. "Ini udah untung diantara kita ada yang tahu," jawab Simon. "Kabarnya sih memang mendadak. Tadi gue nanya yang lain katanya juga pada baru dapat kabar kemarin," sela Fatih. "Ngomong-ngomong, siapa s
Surya memberikan waktu 20 menit untik para pembalap yang tersisa melakukan persiapan menyambut semi final. Di saat itulah, ponsel Herga berbunyi yang ternyata dari Nana. Dia celingukan mencari tempat yang aman untuk menerima telfon. Nana tidak boleh tahu kalau malam ini dia ikut balapan. Kalau Nana tahu, otomatis Ibunya juga akan tahu. Dan kenyataannya Herga sudah pernah berjanji pada Ibunya untuk tidak akan ikut balapan liar lagi sejak hari itu, saat dimana dia tertangkap razia dan Ibunya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus dia dan motornya. Sebenarnya Herga sendiri merasa amat sangat bersalah karena sudah ingkar. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Balapan liar seolah sudah menjadi ladang pencarian uangnya selain menjadi montir bengkel. Herga tidak sepenuhnya mampu jika harus meninggalkan 'pekerjaan' ini. Herga hanya berharap Ibunya tidak akan pernah tahu dia masih menetap di arena ini. Kalaupun akhirnya suatu hari nanti Ibunya harus tahu, dia hanya berharap sudah memi
Jarak 700 meter yang ditempuh oleh pembalap Herga dan Alex semakin terkikis oleh kecepatan motor masing-masing. Keduanya saling memacu semangat menarik gas untuk mencapai garis finish. Sorak soray para penonton pun terdengar semakin pelan di belakang mereka. Alex, salah satu orang yang lumayan sering ikut balapan liar, melirik posisi Herga dari balik kaca helmnya. Bibirnya tersenyum penuh arti. Apalagi dia sadar posisinya berada sedikit lebih di depan dari Herga. Sementara Herga tetap fokus dengan jalan di depannya. Jantungnya berdebar cepat membayangkan nominal uang yang bertambah yang akan diberikan oleh Surya. Dia bahkan sudah membayangkan senyum dan ekspresi bahagia Nala saat menerima uang itu darinya. Sorak soray tidak terdengar lagi karena jarak tempuh tinggal puluhan meter. Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Semangat Herga bertambah saat posisi Alex sedikit tertinggal di belakangnya. Garis finish sudah depan mata. Bersatu padu dengan senyum riang Nana yan
"Hari ini Ibuk jadi kontrol?" Herga menghampiri Bu Rasti yang sedang duduk di kursi ruang tamu dengan langkah terpincang-pincang. Sudah dua hari semenjak kecelakaan malam itu, Herga tidak masuk kuliah. Motornya pun masih di bengkel dan diperkirakan baru akan selesai diservis sekitar seminggu ke depan. Banyak sekali kerusakan yang terjadi pada motornya akibat insiden malam itu. Beruntung dia masih memiliki sisa uang untuk biaya servis. Lebih beruntung lagi nyawanya masih selamat. "Harusnya sih iya. Tapi menurut Ibuk nggak kontrol juga nggak pa-pa kok Ga. Toh luka Ibuk juga udah kering. Dan soal jahitan nanti lama-lama juga bisa lepas sendiri kan?" ujar Bu Rasti. "Lho, jangan gitu dong buk," tukas Herga khawatir. "Kalau memang dokter menyarankan kontrol, Ibuk harus dateng." "Tapi Ibuk beneran udah nggak pa-pa, Herga. Kaki Ibuk juga udah nggak sakit-sakit banget buat jalan. Udah, kamu nggak usah khawatir." "Tapi Buk...." Sedang sibuk berdebat, tiba-tiba terdengar suara d
Di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah gedong dengan cat putih bersih, seorang laki-laki tampak duduk termenung di sebuah ruangan. Laki-laki itu adalah Steffan. Sejak pertemuannya malam itu dengan Viola, isi pikirannya seolah dipenuhi dengan perasaan menyesal sekaligus bersalah karena secara tidak langsung telah melakukan penolakan terhadap Viola. Alih-alih merasa lega karena berhasil mengutarakan apa yang selama ini dia pendam, ternyata justru sebaliknya. Dia tahu Viola begitu mencintai dirinya, dan dia juga tahu betapa pedihnya hati Viola malam itu. "Kok kamu belum berangkat Fan?" Bu Tamara, mamanya Steffan muncul dari lantai dua. Penampilannya sudah necis nan elegan. Steffan melihat mamanya sekilas. Perempuan itu kemudian duduk di sebelah Steffan sembari meletakkan tas brandednya di atas meja. "Mama mau kemana?" tanya Steffan. "Ck, pertanyaan Mama belum kamu jawab, malah balik nanya," celetuk Bu Tamara. Steffan menghela napas. "Aku memang lagi males ke kantor har
Viola mungkin tidak sepenuhnya menyadari apa yang dia lakukan sepanjang mengikuti mata kuliah pagi ini, namun kedua sahabatnya terus memperhatikan. Selama dosen memberi materi di depan kelas, gadis itu lebih banyak termenung dan sesekali tersenyum. Tentu saja hal itu membuat Sassy dan Icha heran dan bertanya-tanya dalam hati. Maka, begitu dosen meninggalkan kelas setelah hampir dua jam mengajar, Sassy dan Icha langsung menghambur bersamaan ke bangku Viola. "Dihh apaan sih kalian? Bikin kaget aja!"gerutu Viola. "Kaget ya?" celetuk Sassy. "Lo kenapa sih Vi? Gue perhatiin dari awal masuk kelas tadi kayaknya hepi banget," Icha menimpali. "Emangnya kenapa kalau gue hepi? Nggak suka lo pada?" ketus Viola. "Ya elah, malah sewot," Icha mencebik. "Bukan nggak suka, tapi peeenisirin. So, lo harus cerita sama kita, what's going on?" Kini giliran Viola yang mencebik dan kemudian tersenyum tipis. Sembari memasukkan buku ke dalam tas, hati dan pikirannya menimbang-nimbang. Cerit
Siangnya sepulang kuliah Viola langsung ke butik. Sassy dan Icha menyusul beberapa menit kemudian saat Viola sedang sibuk menggambar model gaun di iPadnya. Suasana yang tadinya hening, seketika jadi gaduh karena kedatangan mereka. Namun tak lama, mereka pamit pergi lagi. Katanya mau nonton. Ada film baru yang baru rilis. Diantara mereka bertiga, Sassy dan Icha memang lebih sering menghabiskan waktu bersama di luar jam kuliah. Mereka memiliki kegemaran yang sama. Begitu juga dengan genere film. Maka tak heran jika Icha dan Sassy lebih sering nonton film hanya berdua saja meski sebenarnya persahabatan mereka terjalin oleh tiga orang. Namun Viola tidak pernah ambil pusing dengan hal-hal semacam itu. Yang terpenting baginya, mereka bisa mengerti satu sama lain. "Yakin Vi, lo nggak mau ikut?" tanya Icha sebelum meninggalkan butik. "Hmm hmm," Viola mengangguk. "Ya udah. Kalau gitu kita pergi dulu ya Vi," timpal Sassy. "Itu makanan jangan lupa dimakan. Jangan sibuk terus," tangann
Mobil Steffan berada sekitar tiga meter dari pintu gerbang rumah Viola saat mobil Viola keluar. "Viola? Mau kemana dia?" gumamnya. Lalu tanpa pikir panjang dia pun mengikuti mobil tersebut. Steffan mengambil jarak cukup jauh supaya Viola tidak tahu kalau dia mengikutinya. Sejak pertemuan malam itu dan terjadi obrolan yang cukup intens antara mereka berdua, Steffan merasa sedih dan hampa karena Viola semakin menjauh dan menghindar darinya. Steffan menelfon atau mengirimkan pesan saja tidak digubrisnya oleh gadis itu. Dia tahu Viola tengah kecewa padanya. Tapi dia tidak mau ini terjadi berlarut-larut. Terlebih mamanya begitu dekat dengan Viola. Ya wajar sih, keluarga mereka memang sudah saling mengenal sejak lama. Kalau saja Bu Tamara tahu tentang perang dingin yang terjadi kali ini, dia pasti akan menyalahkan Steffan. Pasalnya, sebenarnya Bu Tamara punya harapan lebih atas hubungan keduanya. Biasalah... itu adalah obrolan yang sering dibahas di setiap ada acara keluarga. Namun s
Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per
Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i
Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka
Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan
Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di
Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka
Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang