Mobil Steffan berada sekitar tiga meter dari pintu gerbang rumah Viola saat mobil Viola keluar. "Viola? Mau kemana dia?" gumamnya. Lalu tanpa pikir panjang dia pun mengikuti mobil tersebut. Steffan mengambil jarak cukup jauh supaya Viola tidak tahu kalau dia mengikutinya. Sejak pertemuan malam itu dan terjadi obrolan yang cukup intens antara mereka berdua, Steffan merasa sedih dan hampa karena Viola semakin menjauh dan menghindar darinya. Steffan menelfon atau mengirimkan pesan saja tidak digubrisnya oleh gadis itu. Dia tahu Viola tengah kecewa padanya. Tapi dia tidak mau ini terjadi berlarut-larut. Terlebih mamanya begitu dekat dengan Viola. Ya wajar sih, keluarga mereka memang sudah saling mengenal sejak lama. Kalau saja Bu Tamara tahu tentang perang dingin yang terjadi kali ini, dia pasti akan menyalahkan Steffan. Pasalnya, sebenarnya Bu Tamara punya harapan lebih atas hubungan keduanya. Biasalah... itu adalah obrolan yang sering dibahas di setiap ada acara keluarga. Namun s
"Gue penasaran, kenapa tiba-tiba malam ini lo datang ke rumah gue. Mana bawa banyak makanan lagi," ucap Herga. Setelah makan malam selesai, Herga dan Viola duduk di teras. Bu Rasti menghidangkan sepiring kacang rebus untuk menemani obrolan mereka. Viola masih enggan untuk segera pulang karena merasa nyaman berada di sini. "Emang kenapa? Lo nggak suka?" sanggah Viola. "Hmm, kalau gue nggak suka nggak bakal gue habisin makanannya," tutur Herga. Viola mengulum senyum. Dia lalu menunduk cukup lama, menatap kakinya sendiri. "Simpel aja sih. Gue cuma menepati janji gue sama Ibuk aja," seloroh Viola. Herga mencebik tidak percaya. "Berarti setelah ini, lo nggak bakal dateng ke sini lagi?" Viola menoleh dan tersenyum mencibir ke arah Herga. "Kenapa memangnya?" "Karena lo udah tepatin janji lo sama Ibu gue
Setelah ngobrol cukup lama dengan Herga, Viola pamit pulang. Waktu menunjukkan pukul 9 malam saat dia tiba di rumah. Viola langsung membawa mobilnya ke garasi dan mendapati mobil orang tuanya sudah ada di rumah.Menyusuri ruangan di rumahnya yang sebagian gelap, Viola sesekali tersenyum mengingat obrolannya dengan Herga malam ini. Ternyata cowok itu adalah orang yang cukup ramah dan hangat untuk menjadi teman bicara. Terbersit sebuah pikiran asing yang selama ini tidak pernah singgah di otaknya. Mulai sekarang, dia tidak perlu lagi merasa galau jika saat makan malam tiba dan orang tuanya tidak ada di rumah. Ada keluarga lain yang dengan tangan terbuka akan selalu menyambut kehadirannya."Kalau nak Viola mau makan malam bareng keluarga ibuk, datang aja. Nggak perlu repot-repot bawa makanan sendiri segala dari rumah."Ucapan Bu Rasti yang terdengar tulus tadi terngiang-ngiang di telinganya."Dari mana
Steffan baru saja keluar dari kamar mandi dan nyaris berteriak saat melihat Nessa sudah duduk di atas tempat tidurnya. Gadis itu melemparkan senyum menggoda ke arahnya yang hanya berbalut handuk pada setengah tubuh."Nessa? Kok kamu bisa ada di sini sih?" Steffan celingukan di kamarnya sendiri. Merasa risih karena ada seorang perempuan di kamarnya."Ck, kamu kok nanyanya gitu sih? Memangnya nggak boleh aku ada di kamar pacarku sendiri?" Nessa merajuk manja sembari mendekat ke arah Steffan yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi."Nessa, stop!" tahan Steffan sembari mengangkat kedua tangannya setinggi dada. "Kamu apa-apaan sih? Kalau mama atau papa aku lihat, nggak sopan tahu kamu kaya gini."Nessa berhenti dan terkikik lucu. Dia mengamati tubuh Steffan dari atas sampai bawah. Ufhh.... jantungnya terasa berdegup kencang melihat lekukan tubuh Steffan yang begitu maskulin dan macho."It
Seolah mengabaikan Nessa, malam itu Steffan kembali secara diam-diam mendatangi rumah Herga. Lebih tepatnya mengintai. Namun sebenarnya bukan maksud Steffan melakukan semua itu untuk membuat Nessa kecewa karena dianggap telah mengabaikan kemauannya. Hanya saja dari dasar hatinya, Steffan merasa masih memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi Viola sebagai adik. Meski dia sadar telah membuat hati Viola kecewa. Tapi hal tersebut tidak bisa menghentikannya untuk tidak mencari tahu seperti halnya yang diminta oleh Bu Delia padanya.Steffan bahkan terpaksa menitipkan mobilnya di rumah salah satu temannya dan pergi ke komplek perumahan tempat yang didatangi Viola malam itu menggunakan taksi.Mobil taksi yang membawa Steffan berhenti lumayan jauh dari rumah Herga. Rumah itu tampak sepi malam ini. Cahaya lampu di dalam ruangan cukup redup dan tak terdengar percakapan apapun dari dalam rumah itu. Mungkin karena posisi Steffan yang cukup
Dari hasil penelusuran singkatnya, Steffan berhasil menemukan sedikit informasi tentang Herga. Setelah semalam mengintai dan tak membuahkan hasil, siang ini Steffan kembali datang ke komplek itu. ngobrol-ngobrol ringan sambil menikmati kopi dan gorengan di warteg yang tak jauh dari gang masuk menuju rumah Herga ditemani seorang hansip yang bertugas menjaga keamanan komplek tersebut. "Memangnya Om ini baru kenal sama Herga ya?" tanya si hansip dengan lebel nama Karto di dadanya itu sambil mengunyah gorengan traktiran Steffan. Panggilan Om dari si hansip yang ditujukan padanya membuat Steffan reflek mengangkat alis. Astaga, gue dipanggil Om? batinnya. "Ada yang aneh?" Steffan balik tanya, menghindari rasa curiga yang ditampakkan oleh Pak Karto. "Hehe, nggak juga sih Om," Pak Karto terkekeh. "Tapi memang baru sekali ini saya lihat Om ada di sini." "Saya memang baru beberapa kali da
Setelah mengatakan semua itu, Steffan langsung berbalik dan berlari menuruni tangga. Perasaan dan pikirannya benar-benar sangat kacau. Tidak bisa dilukiskan bagaimana kacaunya. "Steffan! Tunggu!" Nessa mengejar dengan langkah terburu-buru di belakang. Dia bahkan hampir terjatuh karena kaitan tali baju tidurnya kurang terlilit sempurna. Beruntung tangannya masih bisa berpegangan dengan tepian tangga. Steffan tidak mempedulikan teriakan Nessa. Dia terus melangkah menyusuri ruangan demi ruangan untuk keluar dari rumah tersebut. Di ruang tamu dia berpapasan dengan Bi Diah yang cuma bisa menunduk melihat pertengkaran dua sejoli itu. Pembantu Nessa itu lantas buru-buru menyingkir saat melihat Nessa muncul dan terus mengejar Steffan. "Steffan stop!!" Nessa berhasil mendahului langkah Steffan dan menghadangnya. Kini mereka berdua sudah berada di teras. Beradu pandang dengan tatapan sama-sama tajam. "Apalagi Ne
Waktu telah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Viola masih terjaga. Dia baru saja menyelesaikan tugas kuliahnya dua jam yang lalu sehabis makan malam bersama papa dan mama. Semenjak pulang dari urusan pekerjaan kemarin, kedua orang tua Viola masih berada di rumah. Tapi kabarnya, lusa mereka akan bertolak ke Inggris. Tadi Viola tak sengaja mencuri dengar obrolan kedua orang tuanya di ruang tengah tentang rencana itu saat dia hendak mengambil minum di dapur. Viola sih sudah nggak kaget dengan perjalanan yang tiba-tiba begitu.Viola duduk bersandar di tempat tidurnya, merenung. Obrolan bersama kedua sahabatnya siang tadi terus mengusik isi kepalanya. Terutama soal ucapan Icha yang mengatakan dia bakalan move on dari Steffan karena kehadiran Herga. Apa benar seperti itu? Rasa-rasanya sudah beberapa hari setelah ungkapan malam itu, dirinya tak lagi ingin tahu tentang Steffan. Apa itu berarti...."Steffan," ucap Viola lirih. Tangannya meraba dadan
Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per
Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i
Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka
Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan
Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di
Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka
Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang