Surya memberikan waktu para pembalap yang tersisa di babak semi final selama 20 menit untuk melakukan persiapan.
Di saat itulah, ponsel Herga berbunyi yang ternyata dari Nana. Dia celingukan mencari tempat yang aman untuk menerima telfon. Nana tidak boleh tahu kalau malam ini dia ikut balapan. Kalau Nana tahu, otomatis Ibunya juga akan tahu. Dan kenyataannya Herga sudah pernah berjanji pada Ibunya untuk tidak akan ikut balapan liar lagi sejak hari itu, saat dimana dia tertangkap razia dan Ibunya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus dia dan motornya. Sebenarnya Herga sendiri merasa amat sangat bersalah karena sudah ingkar. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Balapan liar seolah sudah menjadi ladang pencarian uangnya selain menjadi montir bengkel.
Herga tidak sepenuhnya mampu jika harus meninggalkan 'pekerjaan' ini. Herga hanya berharap Ibunya tidak akan pernah tahu dia masih menetap di arena ini. Kalaupun akhirnya suatu hari nant
Jarak 1000 meter yang ditempuh oleh pembalap Herga dan Alex semakin terkikis oleh kecepatan motor masing-masing. Keduanya saling memacu semangat menarik gas untuk mencapai garis finish. Sorak soray para penonton pun terdengar semakin pelan di belakang mereka. Alex, salah satu orang yang lumayan sering ikut balapan liar, melirik posisi Herga dari balik kaca helmnya. Bibirnya tersenyum penuh arti. Apalagi dia sadar posisinya berada sedikit lebih di depan dari Herga. Sementara Herga tetap fokus dengan jalan di depannya. Jantungnya berdebar cepat membayangkan nominal uang yang bertambah yang akan diberikan oleh si penyelenggara balapan malam ini. Dia bahkan sudah membayangkan senyum dan ekspresi bahagia Nala saat menerima uang itu darinya. Sorak soray tidak terdengar lagi karena jarak tempuh tinggal puluhan meter. Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Semangat Herga bertambah saat posi
"Hari ini Ibuk jadi kontrol?" Herga menghampiri Bu Rasti yang sedang duduk di kursi ruang tamu dengan langkah terpincang-pincang.Sudah dua hari semenjak kecelakaan malam itu, Herga tidak masuk kuliah. Motornya pun masih di bengkel dan diperkirakan baru akan selesai diservis sekitar seminggu ke depan. Banyak sekali kerusakan yang terjadi pada motornya akibat insiden malam itu. Beruntung dia masih memiliki sisa uang untuk biaya servis. Lebih beruntung lagi nyawanya masih selamat."Harusnya sih iya. Tapi menurut Ibuk nggak kontrol juga nggak pa-pa kok Ga. Toh luka Ibuk juga udah kering. Dan soal jahitan nanti lama-lama juga bisa lepas sendiri kan?" ujar Bu Rasti."Lho, jangan gitu dong Buk," tukas Herga khawatir. "Kalau memang dokter menyarankan kontrol, Ibuk harus dateng.""Tapi Ibuk beneran udah nggak pa-pa, Herga. Kaki Ibuk juga udah nggak sakit-sakit banget buat jalan. Udah, kamu nggak usah khawatir."
Di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah gedong dengan cat putih bersih, seorang laki-laki tampak duduk termenung di sebuah ruangan. Laki-laki itu adalah Steffan.Sejak pertemuannya malam itu dengan Viola, isi pikirannya seolah dipenuhi dengan perasaan menyesal sekaligus bersalah karena secara tidak langsung telah melakukan penolakan terhadap Viola. Alih-alih merasa lega karena berhasil mengutarakan apa yang selama ini dia pendam, ternyata justru sebaliknya. Dia tahu Viola begitu mencintai dirinya, dan dia juga tahu betapa pedihnya hati Viola malam itu."Kok kamu belum berangkat Fan?" Bu Tamara, mamanya Steffan muncul dari lantai dua. Penampilannya sudah necis nan elegan.Steffan melihat mamanya sekilas. Perempuan itu kemudian duduk di sebelah Steffan sembari meletakkan tas brandednya di atas meja."Mama mau kemana?" tanya Steffan."Ck, pertanyaan Mama belum kamu jawab, malah balik nanya,"
Viola mungkin tidak sepenuhnya menyadari apa yang dia lakukan sepanjang mengikuti mata kuliah pagi ini, namun kedua sahabatnya terus memperhatikan. Selama dosen memberi materi di depan kelas, gadis itu lebih banyak termenung dan sesekali tersenyum. Tentu saja hal itu membuat Sassy dan Icha heran dan bertanya-tanya dalam hati.Maka, begitu dosen meninggalkan kelas setelah hampir dua jam mengajar, Sassy dan Icha langsung menghambur bersamaan ke bangku Viola."Dihh apaan sih kalian? Bikin kaget aja!"gerutu Viola."Kaget ya?" celetuk Sassy."Lo kenapa sih Vi? Gue perhatiin dari awal masuk kelas tadi kayaknya hepi banget," Icha menimpali."Emangnya kenapa kalau gue hepi? Nggak suka lo?" ketus Viola."Ya elah, malah sewot," Icha mencebik. "Bukan nggak suka, tapi peeenisirin. So, lo harus cerita sama kita, what's going on?"Kini giliran Viola yang mencebik dan ke
Siangnya sepulang kuliah Viola langsung ke butik. Sassy dan Icha menyusul beberapa menit kemudian saat Viola sedang sibuk menggambar model gaun di iPadnya. Suasana yang tadinya hening, seketika jadi gaduh karena kedatangan mereka.Namun tak lama, mereka pamit pergi lagi. Katanya mau nonton. Ada film baru yang baru rilis. Diantara mereka bertiga, Sassy dan Icha memang lebih sering menghabiskan waktu bersama di luar jam kuliah. Mereka memiliki kegemaran yang sama. Begitu juga dengan genere film. Maka tak heran jika Icha dan Sassy lebih sering nonton film hanya berdua saja meski sebenarnya persahabatan mereka terjalin oleh tiga orang. Namun Viola tidak pernah ambil pusing dengan hal-hal semacam itu. Yang terpenting baginya, mereka bisa mengerti satu sama lain."Yakin lo nggak mau ikut Vi?" tanya Icha sebelum meninggalkan butik."Hmm hmm," Viola mengangguk."Ya udah. Kalau gitu kita pergi dulu ya Vi," timpal S
Mobil Steffan berada sekitar tiga meter dari pintu gerbang rumah Viola saat mobil Viola keluar. "Viola? Mau kemana dia?" gumamnya. Lalu tanpa pikir panjang dia pun mengikuti mobil tersebut. Steffan mengambil jarak cukup jauh supaya Viola tidak tahu kalau dia mengikutinya. Sejak pertemuan malam itu dan terjadi obrolan yang cukup intens antara mereka berdua, Steffan merasa sedih dan hampa karena Viola semakin menjauh dan menghindar darinya. Steffan menelfon atau mengirimkan pesan saja tidak digubrisnya oleh gadis itu. Steffan tahu Viola tengah kecewa padanya. Tapi dia tidak mau ini terjadi berlarut-larut. Terlebih mamanya begitu dekat dengan Viola. Ya wajar sih, keluarga mereka memang sudah saling mengenal sejak lama. Kalau saja Bu Tamara tahu tentang perang dingin yang terjadi kali ini, dia pasti akan menyalahkan Steffan. Pasalnya, sebenarnya Bu Tamara punya harapan lebih atas hubungan keduanya. Biasalah... itu adalah obrolan yang sering
"Gue penasaran, kenapa tiba-tiba malam ini lo datang ke rumah gue. Mana bawa banyak makanan lagi," ucap Herga. Setelah makan malam selesai, Herga dan Viola duduk di teras. Bu Rasti menghidangkan sepiring kacang rebus untuk menemani obrolan mereka. Viola masih enggan untuk segera pulang karena merasa nyaman berada di sini. "Emang kenapa? Lo nggak suka?" sanggah Viola. "Hmm, kalau gue nggak suka nggak bakal gue habisin makanannya," tutur Herga. Viola mengulum senyum. Dia lalu menunduk cukup lama, menatap kakinya sendiri. "Simpel aja sih. Gue cuma menepati janji gue sama Ibuk aja," seloroh Viola. Herga mencebik tidak percaya. "Berarti setelah ini, lo nggak bakal dateng ke sini lagi?" Viola menoleh dan tersenyum mencibir ke arah Herga. "Kenapa memangnya?" "Karena lo udah tepatin janji lo sama Ibu gue
Setelah ngobrol cukup lama dengan Herga, Viola pamit pulang. Waktu menunjukkan pukul 9 malam saat dia tiba di rumah. Viola langsung membawa mobilnya ke garasi dan mendapati mobil orang tuanya sudah ada di rumah.Menyusuri ruangan di rumahnya yang sebagian gelap, Viola sesekali tersenyum mengingat obrolannya dengan Herga malam ini. Ternyata cowok itu adalah orang yang cukup ramah dan hangat untuk menjadi teman bicara. Terbersit sebuah pikiran asing yang selama ini tidak pernah singgah di otaknya. Mulai sekarang, dia tidak perlu lagi merasa galau jika saat makan malam tiba dan orang tuanya tidak ada di rumah. Ada keluarga lain yang dengan tangan terbuka akan selalu menyambut kehadirannya."Kalau nak Viola mau makan malam bareng keluarga ibuk, datang aja. Nggak perlu repot-repot bawa makanan sendiri segala dari rumah."Ucapan Bu Rasti yang terdengar tulus tadi terngiang-ngiang di telinganya."Dari mana