Viola memasuki rumah dengan langkah ringan. Meski malam ini hatinya sempat seperti wahana roller coaster, namun setelah curhat ke Herga tadi, roller coaster itu perlahan bisa dikendalikan.
Saat dia baru menaiki tangga, Bi Noni berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Begitu dekat, kepalanya celingak-celinguk ke ruang depan. Viola menatap pembantunya itu heran. "Ada apa sih Bik?" "Non Viola baru pulang? Kok bibik nggak denger mobil Non masuk garasi?" Viola memutar bola matanya. Bi Noni adalah asisten rumah tangga paling sepuh bin senior di rumahnya. Beliau sudah bekerja di sini sejak usia Viola 4 tahun. Jadi bisa dipastikan dia tahu apapun tentang Viola. "Hmmmh... Iya. Aku memang nggak bawa pulang mobilku. Aku ngantuk, jadi takut mau nyetir. Mobilku dibawa Icha," Viola sengaja berbohong. Kening Bi Noni mengerut. Dia lalu melihat Viola dari atas sampai bawah, membuat Viola risih dan sedikit beringsut sambil menarik kain yang menutup bahunya. Saat itulah dia baru sadar kalau ternyata jaket Herga masih ada padanya. Viola menggigit bibir. Bi Noni pasti memperhatikan jaket ini deh. "Itu.... jaketnya siapa Non?" Bi Noni menunjuk Viola. Tuh kan bener? "Eee.... ini jaketnya temen aku. Udah ya bik, aku mau ke kamar dulu. Ngantuk," Viola buru-buru menaiki tangga. Tadi mas Steffan bilang Non Viola pergi karena marah-marah. Dan dia juga bilang, Non Viola pergi sama seseorang. Apa dia? Apa jaket itu... "Tadi mas Steffan kesini lho Non!" teriak Bi Noni dan saat itu Viola sudah sampai di ujung tangga paling atas. Langkah Viola terhenti. Steffan ke sini? Bibir Viola tersenyum sinis. "Apa bik?" Viola melongok ke tepian melihat ke bawah. "Tadi mas Steffan ke sini. Dia cemas nyariin Non. Katanya Non Viola pergi dari butik sambil marah-marah." Viola mengerucutkan bibir. Steffan masih peduli padanya? "Terus dia ngomong apa lagi?" "Dia bingung nyariin Non. Apalagi pas nelfon Non dan nomor Non Viola nggak aktif. Dia langsung pergi, katanya mau cariin Non Viola gitu." Hah? Sampai segitunya? Memang sih setelah mengirim pesan pada Sassy tadi Viola langsung menonaktifkan ponselnya. "Memangnya ada apa sih Non? Non tadi pergi kemana?" tanya Bi Noni. Ah, Bi Noni kadang memang suka kepo. Viola menggeleng. Dalam hatinya dia merasakan ada beberapa bunga yang bermekaran dan dia tersenyum penuh kepuasan. Ternyata Steffan mengkhawatirkannya sampai sedemikian rupa. Kira-kira dia nyari gue kemana ya? Terus dia mencoba menghubungi gue berapa kali? Hihihi, Viola tidak bisa menahan senyum. "Tapi tadi.... mas Steffan kesini sama perempuan Non," ucap Bi Noni kemudian. Srepp! Senyuman di bibir Viola menghilang. Bunga-bunga di dalam hatinya yang barusan bermekaran seketika kembali mengatup. Viola menatap ke arah Bi Noni lurus. "Perempuan?" tanya Viola. "I-iya..." Viola mendengus. Lalu tanpa permisi dia kembali menaiki tangga, menghentak-hentakkan kakinya dengan kasar menuju kamar. *** Herga tiba di teras bengkel dan suasana cukup sepi. Hanya ada beberapa anak yang iseng mengutak-atik motor. Merasa bosan, Herga memutuskan untuk putar balik dan langsung pulang. Setibanya di rumah, ruang tamu rumahnya masih tampak terang. Pasti Ibuk belum tidur. Jadi setelah memarkir motor di garasi, Herga masuk rumah melalui pintu depan. Dan benar saja, pintunya belum terkunci. Di dalam, Nana dan Ibunya sedang nonton TV di ruang tengah. "Kok tumben pada belum tidur?" Herga melirik jam dinding yang ada di ruangan tersebut. Pukul 10.45 menit. Nana dan Bu Rasti sama-sama menoleh. Herga kemudian bergabung dengan mereka. Dia duduk di sebelah Nana, membuat adiknya itu berada di tengah-tengah. Suasana hening beberapa saat. Hanya ada suara TV yang sedang menampilkan iklan yang berubah-ubah. "Ini kok pada diem kenapa sih?" celetuk Herga kemudian. Terdengar Bu Rasti menghela nafas pelan. Dia lalu mengecilkan volume TV dari remote control di tangannya. "Ga," Bu Rasti membuka suara. Nana melirik Herga sekilas. Wajahnya begitu sendu. Ini ada apa sih sebenarnya? Herga beringsut menghadap ke Nana dan Ibunya. Sebelah kakinya diangkat dan ditekuk di atas sofa. "Ada apa sih buk?" tanya Herga lirih. "Na? Ada apa sih?" "Tadi Pak Hendro kesini," ucap Bu Rasti lirih. Herga terdiam. Pak Hendro adalah pemilik rumah yang sekarang dia tinggali bersama keluarganya. Kedatangannya kemari pasti untuk menagih uang sewa yang sudah tiga bulan belum mereka bayar, alias nunggak. "Terus.... dia bilang apa?" "Kalau kita nggak bisa bayar besok atau paling telat lusa, kita nggak bisa tinggal di sini lagi, Ga," Nana menunduk. Tak lama terdengar dia terisak. Herga merangkul pundak Nana dan memeluknya. "Na... kamu kenapa nangis?" ucap Herga. "Maafin Nana Kak, Buk. Nana sama sekali belum bisa bantuin kalian." "Ssssst... Na, kamu jangan ngomong begitu," Bu Rasti membelai kepala Nana. "Iya Na. Kamu nggak usah mikir soal itu. Tugas kamu tu fokus aja sekolah. Ini biar jadi urusan kakak ya." Nana semakin terisak. Dia tahu bagaimana perjuangan kakaknya dalam membantu menopang ekonomi keluarga semenjak ayah mereka meninggal. Bahkan saat SMP dulu, Herga sudah biasa membawa makanan buatan ibunya ke sekolah untuk dititipkan di kantin. "Udah kamu nggak usah nangis sayang. Sekarang lebih baik kamu tidur. Pokoknya kamu nggak usah mikir soal ini," tutur Bu Rasti. "Ibuk benar Na," Herga melepas pelukannya. "Lebih baik, kamu sekarang tidur. Besok kamu harus sekolah." "Kak, Buk," Nana menoleh ke Herga dan Bu Rasti bergantian. "Nana janji, Nana bakalan sekolah yang bener, yang rajin. Nana janji suatu hari nanti, Nana bakal bikin ibuk dan kakak bahagia," sebutir air mata menitik di pipinya. Herga tersenyum haru dan mengangguk. Tangannya mengusap air mata itu. Setelahnya Nana berdiri dan berjalan menuju kamarnya. "Ga," ucap Bu Rasti lirih setelah Nana masuk kamar dan menutup pintu. "Ibuk cuma punya uang segini," dia menunjukkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan dari tangannya. Uang yang sedari tadi dia sembunyikan di bawah bantal sofa. Herga menghitung. Uang itu berjumlah 800.000 rupiah. Herga sendiri masih memiliki 600.000 rupiah di kotak penyimpanan uangnya. Kalau digabung mereka baru memiliki uang 1.400.000 saja. Sementara uang yang harus dibayar untuk membayar kontrak adalah 2.400.000. "Masih kurang satu juta lagi Buk," ucap Herga. "Aku cuma ada 600." Bu Rasti terdiam. Kemana dia harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu dua hari? Dagangannya saja akhir-akhir ini sepi. Hanya ada satu dua orang saja yang memesan. Titip ke warung juga jarang habis. Dia menunduk menatap ke cincin yang melingkar di jari manisnya. Cuma cincin kawin ini satu-satunya benda yang bisa menghasilkan uang dengan cepat. Pasangan cincin ini--yang dulu dipakai pak Imron--masih dia simpan di almari. "Ga... ibuk mau jual ini," Bu Rasti melepas cincin itu dari jarinya. "Jangan buk," tahan Herga. "Itu benda berharga milik Ibuk dan Bapak..." "Ga..." potong Bu Rasti. "Ibuk tahu. Tapi saat ini tidak ada yang lebih penting daripada bagaimana supaya kita tetap bisa bertahan. Bapakmu pasti bisa mengerti alasan Ibuk menjual ini. Atau dia akan sedih melihat anak istrinya lontang-lantung di jalan..." bibirnya bergetar menahan tangis. Herga tak kuasa menahan air mata yang sudah mencoba dia tahan di pelupuk matanya. Dalam situasi seperti ini dia merasa tidak berguna. Kadang terbersit di otaknya, dia ingin cuti atau bahkan keluar saja dari kuliah dan mencari pekerjaan. Tapi mengingat dia kuliah dengan beasiswa, sayang sekali kalau harus ditinggalkan begitu saja. Ibunya juga pasti tidak akan pernah membiarkan Herga melakukan itu. "Udah kamu nggak usah sedih," Bu Rasti menghapus air mata Herga. "Kita pasti bisa melewati ini semua. Kamu dan Nana itu adalah sumber kekuatan dan semangat Ibuk. Kamu lihat kan? Sudah berapa banyak cobaan yang bisa kita lalui sampai di titik ini? Kita pasti bisa nak." Herga menghambur ke pelukan Bu Rasti dan menangis sesenggukan di sana. Di saat seperti ini bayangan masa lalu itu kembali hadir dan seolah memeras otaknya. Andai saja ayahnya masih hidup. Keluarganya pasti tidak akan mengalami nasib seperti ini. Bagaimana bisa penabrak ayahnya tidak pernah ditemukan? Apakah orang itu masih hidup sampai sekarang? Bagaimana keadaannya? Bahagia kah? Sudah menerima karmanya kah? Sementara di dalam kamarnya, Nana yang ternyata juga belum tidur, kembali menangis saat menyaksikan kakak dan ibunya yang saling berpelukan dari balik pintu. "Bapak.... Nana kangen sama bapak..." rintih Nana dalam isaknya. *** Viola mengaktifkan ponselnya lagi dan seketika dentingan demi dentingan dari pemberitahuan panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk ke sana. "Hufft!" Viola melempar ponsel itu ke sebelahnya dan menatapnya dengan malas. Ada 24 missed call dan 7 messages. Viola meraih ponsel itu lagi dan membukanya. Selain dari nomor Steffan ada juga nomor Sassy dan Icha. [Vi lo dimana sih?] (pesan dari Icha) [Vi jangan ngadi-ngadi deh lo. Lo pergi sama siapa coba?] (pesan dari Sassy) [Mobil lo udah gue bawa pulang nih. Lo kenapa nggak bales pesan gue sih?] (pesan dari Icha) [Viiiii.... angkat dong....!-](pesan dari Sassy) [Vi, kamu dimana?] [Viola, my sweet sister. Udah dong ngambeknya...] "Haaasssshhh!!" Viola tidak mau membaca pesan dari Steffan sampai selesai. "Nggak di omongan, nggak di pesan, seneng banget sih ngucapin tuh kalimat! Nggak tahu apa kalau gue udah eneg?!" gerutunya sembari menyurukkan ponselnya menjauh. Saat ponsel itu kembali berdering dan Viola melihat siapa yang menelfon, dengan tangkas dia langsung menekan ikon warna merah alias me-reject panggilan tersebut lalu menonaktifkan ponselnya lagi. Steffan sepertinya benar-benar mencemaskan Viola. Tapi kenapa dia harus sama perempuan itu sih? Viola berbaring di tempat tidur dengan gusar. Dia berguling ke kanan ke kiri dan ke kanan lagi. Saat itulah matanya menangkap sehelai kain tebal bernama jaket tergantung di sandaran kursi riasnya. Jaket jeans berwarna snow white yang malam ini melindungi dia dari dinginnya angin malam. Ahh, kenapa juga dia bisa lupa untuk mengembalikan jaket itu tadi? Viola bangkit. Tangannya menyambar jaket tersebut kemudian kembali duduk di tempat tidur. Dipandanginya jaket itu lekat-lekat dan tanpa sadar bibirnya tersenyum. Otaknya mengingat-ingat pertemuannya dengan Herga yang cukup konyol. Ini adalah jaket yang sama dengan yang dikenakan Herga malam itu. Malam dimana sebuah kecelakaan kecil menjadi pertemuan pertama mereka. Viola juga masih bingung kenapa malam itu Herga begitu terburu-buru hingga harus menyerempetnya. Bahkan Viola benar-benar tidak menyangka kalau ternyata mereka kuliah di kampus yang sama. "Herga," Viola menggumam. Itu cowok meski kelihatannya bad boy ternyata cukup baik kok. Buktinya dia bisa membuat suasana hati Viola jauh lebih baik malam ini. Jarang lho ada cowok yang baru di kenal, digalakin tapi masih bersikap welcome seperti itu. Bahkan di motor tadi Herga bela-belain membawa motornya pelan supaya bisa dengerin ocehan Viola yang lagi curhat. Padahal kalau dipikir dia siapa? Viola tersenyum dan mendekatkan jaket itu ke hidungnya. Hmmm... wangi. Ini sih bukan parfum mahal, Viola tahu itu. Tapi.... uhhmm... Viola kembali mencium jaket itu dan berbaring. Sekilas bayangan wajah dan senyuman Herga menghiasi pelupuk matanya, membuat Viola senyum-senyum sendiri. BERSAMBUNG...Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu? Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam? "Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman. "Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni. Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa d
Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan. "Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor
"Kak, empat hari lagi jatuh tempo pembayaran iuran study tour aku." Ucapan lirih Nana esok tadi terus terngiang di telinga Herga. Sampai saat ini Bu Rasti belum mengetahui tentang hal itu karena Nana tidak berani mengutarakan. Apalagi Pak Hendro juga baru saja menagih uang kontrakan rumah yang harus dibayar paling lambat hari ini. Herga dengar tadi rencananya ibunya itu akan menjual salah satu cincin kawin yang dia miliki hari ini. Yang bikin tambah Herga sedih lagi, ibunya itu tidak mau menerima uang darinya. "Kamu simpan saja uang kamu, Ga. Kamu itu kan anak muda. Kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan sendiri gimana?" begitu tolak Bu Rasti. Herga dan temannya sedang berkumpul di ruang kelas. Namun ketika teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal, Herga tidak ikut nimbrung karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Otaknya berputar memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk bayar study tour Nana, sekaligus membayar kontrakan. Karena sejujurnya Herga begitu berat hat
Beberapa orang mulai berlarian menghampiri mobil Viola. Sebagian langsung menolong perempuan paruh baya yang baru saja ditabrak, sedangkan ada dua orang mengetuk-ngetuk kaca mobil Viola memintanya keluar. Viola menatap ngeri ke luar kaca. Bukannya tidak mau bertanggung jawab, dia hanya sedang syok dengan apa yang baru saja terjadi. "Keluar mbak! Jangan sampai kamu lari!" bentak laki-laki bertubuh tinggi besar dan brewokan. "Saya sudah foto nomor plat mobilnya. Ayo keluar mbak!" sahut yang lain. "Atau mau kita bawa mbak ke kantor polisi?" Kantor polisi? Mata Viola membelalak. Oh tidak. Tidak pernah ada dalam bayangannya dia harus berurusan dengan polisi karena sebuah kasus. Viola menghela nafas untuk mengatur jantungnya yang masih terus berdegup cepat. Lalu dengan sisa keberanian yang dimiliki, dia pun keluar. "Bapak-bapak, saya bukannya mau lari atau nggak tanggung jawab. Saya akan ta
Herga menyusuri jalan pulang dengan berbagai macam pikiran di benaknya. Tentang iuran study tour Nana, tentang uang sewa kontrakan yang jatuhnya hari ini. Bagaimana ya? Apa Ibunya telah menjual cincinnya? Ah, kalau mengingat tentang benda berharga itu, Herga selalu merasa menyayangkan ketika akhirnya benda itu harus terjual untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka. "Assalamualaikum," ucap Herga setelah memarkir motor di halaman. Seperti biasa, dia harus segera ke bengkel sepulang kuliah untuk bekerja. "Ya ampun Ibuk?!" wajah letih Herga saat memasuki rumah berubah kaget saat melihat Ibunya duduk di sofa sembari menyelonjorkan kaki. "Kaki Ibuk kenapa ini?" Dia bersimpuh tepat di depan kaki Ibunya yang diperban. "Tadi katanya Ibuk ditabrak orang di jalan," Nana muncul dari dapur membawa segelas teh hangat. "Ini buk tehnya," dia meletakkan teh itu di atas meja. "Terimakasih ya Na. Oh ya, tolong sekalian
Bab 12 udah aku revisi ya mentemen. Bisa kalian baca dulu sebelum baca part ini. Tks 🙏🏻 💜💚💛 Kedatangan Herga di area balap disambut antusias oleh gengnya. Begitu Herga memarkirkan motor, mereka langsung berkerumun mengelilingi Herga untuk memberi semangat. Nama Herga seolah sudah menjadi ikon dalam balapan liar. Herga menatap lawan balapnya satu per satu dan mendapati mereka sebagian sudah pada ganti motor. Tentunya ke CC yang lebih besar dari biasanya. Dia heran, mereka seolah sudah pada tahu tentang balapan yang malam ini akan digelar, sementara dia baru mendapat kabar malam ini. Maklum, setelah razia tempo hari perkumpulan di area balap memang kosong. Sementara kabar-kabar tentang balapan biasanya dia dapat dari tongkrongan balap liar itu. "Kok gue bisa nggak tahu ada balapan hadiahnya sebesar itu?" tanya Herga
Surya memberikan waktu para pembalap yang tersisa di babak semi final selama 20 menit untuk melakukan persiapan. Di saat itulah, ponsel Herga berbunyi yang ternyata dari Nana. Dia celingukan mencari tempat yang aman untuk menerima telfon. Nana tidak boleh tahu kalau malam ini dia ikut balapan. Kalau Nana tahu, otomatis Ibunya juga akan tahu. Dan kenyataannya Herga sudah pernah berjanji pada Ibunya untuk tidak akan ikut balapan liar lagi sejak hari itu, saat dimana dia tertangkap razia dan Ibunya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus dia dan motornya. Sebenarnya Herga sendiri merasa amat sangat bersalah karena sudah ingkar. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Balapan liar seolah sudah menjadi ladang pencarian uangnya selain menjadi montir bengkel. Herga tidak sepenuhnya mampu jika harus meninggalkan 'pekerjaan' ini. Herga hanya berharap Ibunya tidak akan pernah tahu dia masih menetap di arena ini. Kalaupun akhirnya suatu hari nant
Jarak 1000 meter yang ditempuh oleh pembalap Herga dan Alex semakin terkikis oleh kecepatan motor masing-masing. Keduanya saling memacu semangat menarik gas untuk mencapai garis finish. Sorak soray para penonton pun terdengar semakin pelan di belakang mereka. Alex, salah satu orang yang lumayan sering ikut balapan liar, melirik posisi Herga dari balik kaca helmnya. Bibirnya tersenyum penuh arti. Apalagi dia sadar posisinya berada sedikit lebih di depan dari Herga. Sementara Herga tetap fokus dengan jalan di depannya. Jantungnya berdebar cepat membayangkan nominal uang yang bertambah yang akan diberikan oleh si penyelenggara balapan malam ini. Dia bahkan sudah membayangkan senyum dan ekspresi bahagia Nala saat menerima uang itu darinya. Sorak soray tidak terdengar lagi karena jarak tempuh tinggal puluhan meter. Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Semangat Herga bertambah saat posi