Share

Part 7

Penulis: liliputputih
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-12 22:22:38

Viola memasuki rumah dengan langkah ringan. Meski malam ini hatinya sempat seperti wahana roller coaster, namun setelah curhat ke Herga tadi, roller coaster itu perlahan bisa dikendalikan.

Saat dia baru menaiki tangga, Bi Noni berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Begitu dekat, kepalanya celingak-celinguk ke ruang depan. Viola menatap pembantunya itu heran.

"Ada apa sih Bik?"

"Non Viola baru pulang? Kok bibik nggak denger mobil Non masuk garasi?"

Viola memutar bola matanya. Bi Noni adalah asisten rumah tangga paling sepuh bin senior di rumahnya. Beliau sudah bekerja di sini sejak usia Viola 4 tahun. Jadi bisa dipastikan dia tahu apapun tentang Viola.

"Hmmmh... Iya. Aku memang nggak bawa pulang mobilku. Aku ngantuk, jadi takut mau nyetir. Mobilku dibawa Icha," Viola sengaja berbohong.

Kening Bi Noni mengerut. Dia lalu melihat Viola dari atas sampai bawah, membuat Viola risih dan sedikit beringsut sambil menarik kain yang menutup bahunya. Saat itulah dia baru sadar kalau ternyata jaket Herga masih ada padanya. Viola menggigit bibir. Bi Noni pasti memperhatikan jaket ini deh.

"Itu.... jaketnya siapa Non?" Bi Noni menunjuk Viola.

Tuh kan bener?

"Eee.... ini jaketnya temen aku. Udah ya bik, aku mau ke kamar dulu. Ngantuk," Viola buru-buru menaiki tangga.

Tadi mas Steffan bilang Non Viola pergi karena marah-marah. Dan dia juga bilang, Non Viola pergi sama seseorang. Apa dia? Apa jaket itu...

"Tadi mas Steffan kesini lho Non!" teriak Bi Noni dan saat itu Viola sudah sampai di ujung tangga paling atas.

Langkah Viola terhenti. Steffan ke sini? Bibir Viola tersenyum sinis.

"Apa bik?" Viola melongok ke tepian melihat ke bawah.

"Tadi mas Steffan ke sini. Dia cemas nyariin Non. Katanya Non Viola pergi dari butik sambil marah-marah."

Viola mengerucutkan bibir. Steffan masih peduli padanya?

"Terus dia ngomong apa lagi?"

"Dia bingung nyariin Non. Apalagi pas nelfon Non dan nomor Non Viola nggak aktif. Dia langsung pergi, katanya mau cariin Non Viola gitu."

Hah? Sampai segitunya? Memang sih setelah mengirim pesan pada Sassy tadi Viola langsung menonaktifkan ponselnya.

"Memangnya ada apa sih Non? Non tadi pergi kemana?" tanya Bi Noni.

Ah, Bi Noni kadang memang suka kepo. Viola menggeleng. Dalam hatinya dia merasakan ada beberapa bunga yang bermekaran dan dia tersenyum penuh kepuasan.

Ternyata Steffan mengkhawatirkannya sampai sedemikian rupa. Kira-kira dia nyari gue kemana ya? Terus dia mencoba menghubungi gue berapa kali? Hihihi, Viola tidak bisa menahan senyum.

"Tapi tadi.... mas Steffan kesini sama perempuan Non," ucap Bi Noni kemudian.

Srepp!

Senyuman di bibir Viola menghilang. Bunga-bunga di dalam hatinya yang barusan bermekaran seketika kembali mengatup. Viola menatap ke arah Bi Noni lurus.

"Perempuan?" tanya Viola.

"I-iya..."

Viola mendengus. Lalu tanpa permisi dia kembali menaiki tangga, menghentak-hentakkan kakinya dengan kasar menuju kamar.

***

Herga tiba di teras bengkel dan suasana cukup sepi. Hanya ada beberapa anak yang iseng mengutak-atik motor. Merasa bosan, Herga memutuskan untuk putar balik dan langsung pulang.

Setibanya di rumah, ruang tamu rumahnya masih tampak terang. Pasti Ibuk belum tidur. Jadi setelah memarkir motor di garasi, Herga masuk rumah melalui pintu depan. Dan benar saja, pintunya belum terkunci.

Di dalam, Nana dan Ibunya sedang nonton TV di ruang tengah.

"Kok tumben pada belum tidur?" Herga melirik jam dinding yang ada di ruangan tersebut. Pukul 10.45 menit.

Nana dan Bu Rasti sama-sama menoleh. Herga kemudian bergabung dengan mereka. Dia duduk di sebelah Nana, membuat adiknya itu berada di tengah-tengah.

Suasana hening beberapa saat. Hanya ada suara TV yang sedang menampilkan iklan yang berubah-ubah.

"Ini kok pada diem kenapa sih?" celetuk Herga kemudian.

Terdengar Bu Rasti menghela nafas pelan. Dia lalu mengecilkan volume TV dari remote control di tangannya.

"Ga," Bu Rasti membuka suara.

Nana melirik Herga sekilas. Wajahnya begitu sendu. Ini ada apa sih sebenarnya? Herga beringsut menghadap ke Nana dan Ibunya. Sebelah kakinya diangkat dan ditekuk di atas sofa.

"Ada apa sih buk?" tanya Herga lirih. "Na? Ada apa sih?"

"Tadi Pak Hendro kesini," ucap Bu Rasti lirih.

Herga terdiam. Pak Hendro adalah pemilik rumah yang sekarang dia tinggali bersama keluarganya. Kedatangannya kemari pasti untuk menagih uang sewa yang sudah tiga bulan belum mereka bayar, alias nunggak.

"Terus.... dia bilang apa?"

"Kalau kita nggak bisa bayar besok atau paling telat lusa, kita nggak bisa tinggal di sini lagi, Ga,"

Nana menunduk. Tak lama terdengar dia terisak. Herga merangkul pundak Nana dan memeluknya.

"Na... kamu kenapa nangis?" ucap Herga.

"Maafin Nana Kak, Buk. Nana sama sekali belum bisa bantuin kalian."

"Ssssst... Na, kamu jangan ngomong begitu," Bu Rasti membelai kepala Nana.

"Iya Na. Kamu nggak usah mikir soal itu. Tugas kamu tu fokus aja sekolah. Ini biar jadi urusan kakak ya."

Nana semakin terisak. Dia tahu bagaimana perjuangan kakaknya dalam membantu menopang ekonomi keluarga semenjak ayah mereka meninggal. Bahkan saat SMP dulu, Herga sudah biasa membawa makanan buatan ibunya ke sekolah untuk dititipkan di kantin.

"Udah kamu nggak usah nangis sayang. Sekarang lebih baik kamu tidur. Pokoknya kamu nggak usah mikir soal ini," tutur Bu Rasti.

"Ibuk benar Na," Herga melepas pelukannya. "Lebih baik, kamu sekarang tidur. Besok kamu harus sekolah."

"Kak, Buk," Nana menoleh ke Herga dan Bu Rasti bergantian. "Nana janji, Nana bakalan sekolah yang bener, yang rajin. Nana janji suatu hari nanti, Nana bakal bikin ibuk dan kakak bahagia," sebutir air mata menitik di pipinya.

Herga tersenyum haru dan mengangguk. Tangannya mengusap air mata itu. Setelahnya Nana berdiri dan berjalan menuju kamarnya.

"Ga," ucap Bu Rasti lirih setelah Nana masuk kamar dan menutup pintu. "Ibuk cuma punya uang segini," dia menunjukkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan dari tangannya. Uang yang sedari tadi dia sembunyikan di bawah bantal sofa.

Herga menghitung. Uang itu berjumlah 800.000 rupiah. Herga sendiri masih memiliki 600.000 rupiah di kotak penyimpanan uangnya. Kalau digabung mereka baru memiliki uang 1.400.000 saja. Sementara uang yang harus dibayar untuk membayar kontrak adalah 2.400.000.

"Masih kurang satu juta lagi Buk," ucap Herga. "Aku cuma ada 600."

Bu Rasti terdiam. Kemana dia harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu dua hari? Dagangannya saja akhir-akhir ini sepi. Hanya ada satu dua orang saja yang memesan. Titip ke warung juga jarang habis. Dia menunduk menatap ke cincin yang melingkar di jari manisnya. Cuma cincin kawin ini satu-satunya benda yang bisa menghasilkan uang dengan cepat. Pasangan cincin ini--yang dulu dipakai pak Imron--masih dia simpan di almari.

"Ga... ibuk mau jual ini," Bu Rasti melepas cincin itu dari jarinya.

"Jangan buk," tahan Herga. "Itu benda berharga milik Ibuk dan Bapak..."

"Ga..." potong Bu Rasti. "Ibuk tahu. Tapi saat ini tidak ada yang lebih penting daripada bagaimana supaya kita tetap bisa bertahan. Bapakmu pasti bisa mengerti alasan Ibuk menjual ini. Atau dia akan sedih melihat anak istrinya lontang-lantung di jalan..." bibirnya bergetar menahan tangis.

Herga tak kuasa menahan air mata yang sudah mencoba dia tahan di pelupuk matanya. Dalam situasi seperti ini dia merasa tidak berguna. Kadang terbersit di otaknya, dia ingin cuti atau bahkan keluar saja dari kuliah dan mencari pekerjaan. Tapi mengingat dia kuliah dengan beasiswa, sayang sekali kalau harus ditinggalkan begitu saja. Ibunya juga pasti tidak akan pernah membiarkan Herga melakukan itu.

"Udah kamu nggak usah sedih," Bu Rasti menghapus air mata Herga. "Kita pasti bisa melewati ini semua. Kamu dan Nana itu adalah sumber kekuatan dan semangat Ibuk. Kamu lihat kan? Sudah berapa banyak cobaan yang bisa kita lalui sampai di titik ini? Kita pasti bisa nak."

Herga menghambur ke pelukan Bu Rasti dan menangis sesenggukan di sana. Di saat seperti ini bayangan masa lalu itu kembali hadir dan seolah memeras otaknya.

Andai saja ayahnya masih hidup. Keluarganya pasti tidak akan mengalami nasib seperti ini.

Bagaimana bisa penabrak ayahnya tidak pernah ditemukan? Apakah orang itu masih hidup sampai sekarang? Bagaimana keadaannya? Bahagia kah? Sudah menerima karmanya kah?

Sementara di dalam kamarnya, Nana yang ternyata juga belum tidur, kembali menangis saat menyaksikan kakak dan ibunya yang saling berpelukan dari balik pintu.

"Bapak.... Nana kangen sama bapak..." rintih Nana dalam isaknya.

***

Viola mengaktifkan ponselnya lagi dan seketika dentingan demi dentingan dari pemberitahuan panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk ke sana.

"Hufft!" Viola melempar ponsel itu ke sebelahnya dan menatapnya dengan malas.

Ada 24 missed call dan 7 messages. Viola meraih ponsel itu lagi dan membukanya. Selain dari nomor Steffan ada juga nomor Sassy dan Icha.

[Vi lo dimana sih?] (pesan dari Icha)

[Vi jangan ngadi-ngadi deh lo. Lo pergi sama siapa coba?] (pesan dari Sassy)

[Mobil lo udah gue bawa pulang nih. Lo kenapa nggak bales pesan gue sih?] (pesan dari Icha)

[Viiiii.... angkat dong....!-](pesan dari Sassy)

[Vi, kamu dimana?]

[Viola, my sweet sister. Udah dong ngambeknya...]

"Haaasssshhh!!" Viola tidak mau membaca pesan dari Steffan sampai selesai.

"Nggak di omongan, nggak di pesan, seneng banget sih ngucapin tuh kalimat! Nggak tahu apa kalau gue udah eneg?!" gerutunya sembari menyurukkan ponselnya menjauh.

Saat ponsel itu kembali berdering dan Viola melihat siapa yang menelfon, dengan tangkas dia langsung menekan ikon warna merah alias me-reject panggilan tersebut lalu menonaktifkan ponselnya lagi. Steffan sepertinya benar-benar mencemaskan Viola. Tapi kenapa dia harus sama perempuan itu sih?

Viola berbaring di tempat tidur dengan gusar. Dia berguling ke kanan ke kiri dan ke kanan lagi. Saat itulah matanya menangkap sehelai kain tebal bernama jaket tergantung di sandaran kursi riasnya. Jaket jeans berwarna snow white yang malam ini melindungi dia dari dinginnya angin malam.

Ahh, kenapa juga dia bisa lupa untuk mengembalikan jaket itu tadi?

Viola bangkit. Tangannya menyambar jaket tersebut kemudian kembali duduk di tempat tidur. Dipandanginya jaket itu lekat-lekat dan tanpa sadar bibirnya tersenyum. Otaknya mengingat-ingat pertemuannya dengan Herga yang cukup konyol. Ini adalah jaket yang sama dengan yang dikenakan Herga malam itu. Malam dimana sebuah kecelakaan kecil menjadi pertemuan pertama mereka. Viola juga masih bingung kenapa malam itu Herga begitu terburu-buru hingga harus menyerempetnya. Bahkan Viola benar-benar tidak menyangka kalau ternyata mereka kuliah di kampus yang sama.

"Herga," Viola menggumam. Itu cowok meski kelihatannya bad boy ternyata cukup baik kok. Buktinya dia bisa membuat suasana hati Viola jauh lebih baik malam ini. Jarang lho ada cowok yang baru di kenal, digalakin tapi masih bersikap welcome seperti itu. Bahkan di motor tadi Herga bela-belain membawa motornya pelan supaya bisa dengerin ocehan Viola yang lagi curhat. Padahal kalau dipikir dia siapa?

Viola tersenyum dan mendekatkan jaket itu ke hidungnya. Hmmm... wangi. Ini sih bukan parfum mahal, Viola tahu itu. Tapi.... uhhmm... Viola kembali mencium jaket itu dan berbaring. Sekilas bayangan wajah dan senyuman Herga menghiasi pelupuk matanya, membuat Viola senyum-senyum sendiri.

BERSAMBUNG...

Bab terkait

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 8

    Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu? Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam? "Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman. "Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni. Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa d

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-13
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 9

    Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan. "Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-13
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 10

    "Kak, empat hari lagi jatuh tempo pembayaran iuran study tour aku." Ucapan lirih Nana esok tadi terus terngiang di telinga Herga. Sampai saat ini Bu Rasti belum mengetahui tentang hal itu karena Nana tidak berani mengutarakan. Apalagi Pak Hendro juga baru saja menagih uang kontrakan rumah yang harus dibayar paling lambat hari ini. Herga dengar tadi rencananya ibunya itu akan menjual salah satu cincin kawin yang dia miliki hari ini. Yang bikin tambah Herga sedih lagi, ibunya itu tidak mau menerima uang darinya. "Kamu simpan saja uang kamu, Ga. Kamu itu kan anak muda. Kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan sendiri gimana?" begitu tolak Bu Rasti. Herga dan temannya sedang berkumpul di ruang kelas. Namun ketika teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal, Herga tidak ikut nimbrung karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Otaknya berputar memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk bayar study tour Nana, sekaligus membayar kontrakan. Karena sejujurnya Herga begitu berat hat

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 11

    Beberapa orang mulai berlarian menghampiri mobil Viola. Sebagian langsung menolong perempuan paruh baya yang baru saja ditabrak, sedangkan ada dua orang mengetuk-ngetuk kaca mobil Viola memintanya keluar. Viola menatap ngeri ke luar kaca. Bukannya tidak mau bertanggung jawab, dia hanya sedang syok dengan apa yang baru saja terjadi. "Keluar mbak! Jangan sampai kamu lari!" bentak laki-laki bertubuh tinggi besar dan brewokan. "Saya sudah foto nomor plat mobilnya. Ayo keluar mbak!" sahut yang lain. "Atau mau kita bawa mbak ke kantor polisi?" Kantor polisi? Mata Viola membelalak. Oh tidak. Tidak pernah ada dalam bayangannya dia harus berurusan dengan polisi karena sebuah kasus. Viola menghela napas untuk mengatur jantungnya yang masih terus berdegup cepat. Lalu dengan sisa keberanian yang dimiliki, dia pun keluar. "Bapak-bapak, saya bukannya mau lari atau nggak tanggung jawab. Saya akan tanggung jawab kok, saya cuma masih syok aja tadi..." tutur Viola setengah ketakutan. "

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-20
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 12

    Herga menyusuri jalan pulang dengan berbagai macam pikiran di benaknya. Tentang iuran study tour Nana, tentang uang sewa kontrakan yang jatuhnya hari ini. Bagaimana ya? Apa Ibunya telah menjual cincinnya? Ah, kalau mengingat tentang benda berharga itu, Herga selalu merasa menyayangkan ketika akhirnya benda itu harus terjual untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka. "Assalamualaikum," ucap Herga setelah memarkir motor di halaman. Seperti biasa, dia harus segera ke bengkel sepulang kuliah untuk bekerja. "Ya ampun Ibuk?!" wajah letih Herga saat memasuki rumah berubah kaget saat melihat Ibunya duduk di sofa sembari menyelonjorkan kaki. "Kaki Ibuk kenapa ini?" Dia bersimpuh tepat di depan kaki Ibunya yang diperban. "Tadi katanya Ibuk ditabrak orang di jalan," Nana muncul dari dapur membawa segelas teh hangat dan meletakkanya di atas meja. "Ini buk tehnya." "Terimakasih ya Na. Oh ya, tolong sekalian siapin makan siang buat kakak kamu, nak," perintah Bu Rasti. Nana mengangguk l

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-27
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 13

    Kedatangan Herga di area balap disambut antusias oleh gengnya. Begitu Herga memarkirkan motor, mereka langsung berkerumun mengelilingi Herga untuk memberi semangat. Nama Herga seolah sudah menjadi ikon dalam balapan liar. Herga menatap lawan balapnya satu per satu dan mendapati mereka sebagian sudah pada ganti motor. Tentunya ke CC yang lebih besar dari biasanya. Dia heran, mereka seolah sudah pada tahu tentang balapan yang malam ini akan digelar, sementara dia baru mendapat kabar malam ini. Maklum, setelah razia tempo hari perkumpulan di area balap memang kosong. Sementara kabar-kabar tentang balapan biasanya dia dapat dari tongkrongan balap liar itu. "Kok gue bisa nggak tahu ada balapan hadiahnya sebesar itu?" tanya Herga pada Simon, teman yang mengiriminya pesan malam ini. "Ini udah untung diantara kita ada yang tahu," jawab Simon. "Kabarnya sih memang mendadak. Tadi gue nanya yang lain katanya juga pada baru dapat kabar kemarin," sela Fatih. "Ngomong-ngomong, siapa s

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 14

    Surya memberikan waktu 20 menit untik para pembalap yang tersisa melakukan persiapan menyambut semi final. Di saat itulah, ponsel Herga berbunyi yang ternyata dari Nana. Dia celingukan mencari tempat yang aman untuk menerima telfon. Nana tidak boleh tahu kalau malam ini dia ikut balapan. Kalau Nana tahu, otomatis Ibunya juga akan tahu. Dan kenyataannya Herga sudah pernah berjanji pada Ibunya untuk tidak akan ikut balapan liar lagi sejak hari itu, saat dimana dia tertangkap razia dan Ibunya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus dia dan motornya. Sebenarnya Herga sendiri merasa amat sangat bersalah karena sudah ingkar. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Balapan liar seolah sudah menjadi ladang pencarian uangnya selain menjadi montir bengkel. Herga tidak sepenuhnya mampu jika harus meninggalkan 'pekerjaan' ini. Herga hanya berharap Ibunya tidak akan pernah tahu dia masih menetap di arena ini. Kalaupun akhirnya suatu hari nanti Ibunya harus tahu, dia hanya berharap sudah memi

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 15

    Jarak 700 meter yang ditempuh oleh pembalap Herga dan Alex semakin terkikis oleh kecepatan motor masing-masing. Keduanya saling memacu semangat menarik gas untuk mencapai garis finish. Sorak soray para penonton pun terdengar semakin pelan di belakang mereka. Alex, salah satu orang yang lumayan sering ikut balapan liar, melirik posisi Herga dari balik kaca helmnya. Bibirnya tersenyum penuh arti. Apalagi dia sadar posisinya berada sedikit lebih di depan dari Herga. Sementara Herga tetap fokus dengan jalan di depannya. Jantungnya berdebar cepat membayangkan nominal uang yang bertambah yang akan diberikan oleh Surya. Dia bahkan sudah membayangkan senyum dan ekspresi bahagia Nala saat menerima uang itu darinya. Sorak soray tidak terdengar lagi karena jarak tempuh tinggal puluhan meter. Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Semangat Herga bertambah saat posisi Alex sedikit tertinggal di belakangnya. Garis finish sudah depan mata. Bersatu padu dengan senyum riang Nana yan

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-11

Bab terbaru

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 66

    Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 65

    Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 64

    Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 63

    Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 62

    Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 61

    Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 60

    Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 59

    Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 58

    Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang

DMCA.com Protection Status