Share

Part 3

Penulis: liliputputih
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-08 19:58:19

>>9 tahun yang lalu<<

Malam itu, Herga yang saat itu masih berusia 12 tahun seperti biasa dia sedang nonton serial anime di tivi sementara Nana yang saat itu masih berusia 7 tahun asyik bermain boneka barbie di dekatnya.

Bu Rasti, Ibu mereka sedang menyiapkan makanan untuk makan malam sembari menunggu suaminya pulang. Sebuah rutinitas yang setiap hari biasa dia lakukan.

Kriiiingg...! Kriiing...!

Suara telfon rumah berdering menyentakkan Herga dan juga Nana. Mereka saling tatap untuk beberapa saat.

"Herga... Nana... angkat dong itu telfonnya. Ibuk masih sibuk ini...!" teriak Bu Rasti dari dapur.

Herga bergeser dari duduknya dan menyambar gagang telfon yang letaknya tidak jauh dari sofa tempat dia duduk.

"Halo?" sapa Herga.

"Apa benar ini dengan keluarga Bapak Imron Gaufar?"

"Iya, saya anaknya," jawab Herga.

Nana yang mendengar sang kakak menyebut kalimat 'saya anaknya' sempat mendongak sekilas, kemudian kembali asyik dengan barbienya.

"Kami dari kepolisian mau mengabarkan kalau ayah adek yang bernama Imron Gaufar baru saja mengalami kecelakaan di jalan semboja. Saat ini jenazah korban berada di kamar jenazah Rumah Sakit Husada..."

"APA?!!!" pekik Herga kaget. Nana juga ikut kaget dan berdiri. Tangan Herga gemetar.

"Kenapa Kak?" tanya Nana.

"Ibuuuuk....!" suara itu keluar begitu saja dari mulut Herga. "Bapak buuuk.... Ibuuukk...!" dia panik.

Melihat gelagat Herga, Nana turut cemas. Bu Rasti berlari tergopoh-gopoh dari dapur dengan membawa sebuah piring kosong di tangannya.

"Kenapa Ga? Siapa yang nelfon?"

Saat itu Herga sudah menangis. Gagang telfon di tangannya meluncur dan tergantung. Herga terduduk lemas di kursi.

"Itu tadi polisi Buk. Katanya... B-bapak kecela... kecelakaan..." Herga terisak.

PRANG...!!

Piring di tangan Bu Rasti terlepas dan jatuh pecah ke lantai.

Kabar itu bagaikan palu godam yang menghantam kepala mereka dengan sangat keras.

"Bapaaaak....!" Nana pun langsung berteriak dan menangis.

Bu Rasti berlari menghampiri kedua anaknya dan memeluk mereka.

"B-bapak meninggal Buk.... jenazah.... nya a-ada di Rumah Sakit Husada sekarang..." terang Herga lagi.

Saat itu ketiganya sudah berurai air mata dengan posisi saling memeluk.

Singkatnya mereka lalu datang ke rumah sakit diantar oleh salah satu tetangga yang mempunyai mobil. Di sana mereka mendapat penjelasan dari seorang Polisi bahwa Pak Imron menjadi korban tabrak lari. Polisi itu berjanji akan mencari siapa pelakunya.

Namun seiring berjalannya waktu, kasus itu menguap begitu saja. Tidak ada satupun orang yang bisa dimintai keterangan atau sebagai saksi karena saat peristiwa itu terjadi, keadaan jalanan cukup sepi. Dan juga tidak ada cctv di area tersebut.

Tidak mau membahas masalah ini semakin larut, karena menurutnya hanya akan menambah luka di hatinya dan anak-anaknya, Bu Rasti memutuskan untuk mengikhlaskan kepergian suaminya. Dia menganggap ini adalah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan kepada keluarga mereka. Dan kasus pun resmi ditutup.

***

Semburat sinar matahari yang menelusup melalui celah-celah ventilasi jendela, membuat Herga mengerjapkan matanya perlahan. Dia terbangun dan mendapati foto keluarga yang masih dalam dekapannya. Semalam dia tidur sambil memeluk foto itu.

"Mmmmhhhh....." Herga menggeliat kemudian bergegas bangun dan mengembalikan foto itu di tempatnya. Hari ini dia ada kuliah pagi.

Dengan leher berkalung handuk, Herga berjalan menuju kamar mandi yang terletak di belakang dapur. Rumah yang ditinggali keluarga Herga adalah rumah kontrakan sederhana. Jadi tidak ada kamar mandi pribadi di dalam kamar. Hanya ada satu kamar mandi untuk semua anggota keluarga.

"Semalam pulang jam berapa Ga?" tanya Bu Rasti sambil menyiapkan sarapan di meja makan saat Herga melintas.

"Hehe," hanya itu jawaban Herga. Dia lantas mencomot satu kue risol dari loyang dan langsung mendapat tampikan dari Ibunya.

"Haissshhh...! Itu sudah pesanan orang, Herga," tegur Bu Rasti.

Herga nyengir dan mengembalikan kue risol yang nyaris saja dia gigit ke dalam loyang. Dia lantas ngamati menu sarapan di atas meja. Tangannya pura-pura menyeka air liur melihat sarapan yang terhidang.

Nana yang sudah ada di sana dengan pakaian seragam lengkap, tersenyum menatap kakaknya. Sementara Herga, saat mendapat senyuman itu, dia langsung teringat tentang permintaan Nana semalam.

"Udah ngomong?" tanya Herga tanpa suara ke Nana. Maksudnya, apa Nana sudan cerita ke Ibu soal study tour itu? Dan Nana cuma menggeleng.

Bu Rasti yang sedang menuang minuman ke gelas dan melihat komunikasi diam-diam itu heran.

"Pada ngomongin apa sih kok pakek kode-kodean gitu?"

"Ehehe... enggak kok Buk," jawab Nana cepat.

Setelah menyeruput teh yang baru saja dituang ke gelas, Herga segera bergegas ke kamar mandi.

Tak lama kemudian mereka sudah berkumpul di meja makan menikmati sarapan. Lagi-lagi Herga kepikiran tentang uang untuk study tour Nana. Dia juga tidak mungkin tega untuk mengatakan kalau dia tidak punya uang sebanyak itu sedang dia tahu Nana ingin banget ikut acara tersebut.

Hal itu membuat Herga tanpa sadar hanya mengaduk-aduk makanannya.

"Sarapannya kok nggak dimakan sih Ga?" tanya Bu Rasti.

Herga tersentak. Begitu juga dengan Nana yang duduk di sebelahnya. Dia menoleh dan mendapati makanan kakaknya nyaris masih utuh.

"E... I-iya Buk..." Herga buru-buru menyuap.

Bu Rasti geleng-geleng kepala.

"Kamu belum jawab pertanyaan Ibuk. Semalam kamu pulang jam berapa?"

"Jam sebelas aku sudah di rumah kok, Buk."

"Kamu nggak taruhan lagi kan?"

Herga menggeleng. Gamang lebih tepatnya. Semenjak pernah terciduk razia polisi beberapa bulan lalu--yang menyebabkan Ibunya harus menebus sejumlah uang untuk membawanya pulang--Herga memang berjanji pada Ibunya untuk tidak ikut taruhan balapan lagi. Tapi ternyata dia masih melakukan hal itu sampai sekarang tanpa sepengetahuan ibunya. Teman dekatnya sudah diajak kongsi untuk tidak mengatakan hal tersebut pada ibunya. Bahkan ketika dia memberikan sedikit uang kepada Ibunya, dia selalu mengatakan kalau itu adalah uang hasil dari tips dia bekerja di bengkel.

Nana yang tahu kakaknya sedang berbohong, cuma menunduk menatap makanannya. Dia tahu kakaknya melakukan itu karena terpaksa. Andai saja ada pekerjaan lain yang gajinya tinggi, kakaknya pasti memilih untuk meninggalkan kebiasaan buruk itu. Sementara untuk saat ini kakaknya kan masih kuliah, pekerjaan yang bisa digeluti ya cuma pekerjaan paruh waktu.

Bu Rasti tersenyum.

"Ya sudah, dihabisin gih makanannya. Terus kalian berangkat."

Herga mengangguk dan kembali menyuap makanannya sampai habis. Setiap jadwal kuliahnya masuk pagi, dia memang selalu berangkat bareng Nana karena jalan menuju kampus dan SMA Nana searah.

***

Di kampus, setelah memarkirkan mobilnya, Viola berdiam sejenak. Dia mengamati dirinya sendiri yang mengenakan pakaian tak seperti biasanya.

"Pasti bakal pada banyak yang nanya deh kenapa hari ini pakaian gue kaya gini," gumam Viola kesal.

Celana boyfriend, kaus oversize motif tie dye dan sepatu sneaker. Itu semua terpaksa dia kenakan hari ini guna menutupi sejumlah luka akibat kecelakaan semalam. Biasanya dia selalu mengenakan dress atau pakaian yang sedikit ada model lah. Maklum, namanya juga anak Fashion.

Viola memandang keluar. Beberapa anak tampak lalu lalang. Setelah menarik nafas dia lalu membuka pintu dan keluar.

Dan benar saja, beberapa anak yang selama ini tahu banget pakaian apa yang selalu dikenakan Viola ke kampus, memandang aneh di sepanjang Viola jalan di koridor.

"Dingin ya Vi?"

"Tumben Vi?"

"Udah berubah seleranya Vi?"

Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat kuping Viola panas, tapi dia memilih untuk tidak menggubris dan terus berjalan menuju kelasnya.

Terdengar tawa cekikikan saat Viola berlalu. Hhrrgghh... sialan! Batin Viola menggerutu.

Kelas Viola ada di lantai dua. Saat menaiki tangga, tiba-tiba saja ekor matanya seolah menangkap sesuatu yang tak asing di dinding tepi tangga.

Jadi di dinding itu ada sebuah papan whiteboard berukuran 1 x 2 meter. Dan di papan itu tertempel beberapa informasi seputar kampus. Salah satu informasi itulah yang menarik perhatian ekor mata Viola.

Viola berhenti dan berputar menghadap ke dinding. Sebuah poster yang menginformasikan tentang visi, misi dan keunggulan Fakultas Teknik di kampusnya. Di poster itu ada foto seseorang yang bisa dibilang sebagai ikon fakultas tersebut sedang bergaya dengan pakaian ala montir dan beberapa kunci khas bengkel otomotif di tangannya.

"What?!!" mata Viola membelalak.

Viola menatap lekat-lekat gambar itu untuk membuatnya percaya bahwa itu memang dia. Cowok yang semalam menabraknya dan membuatnya harus mengenakan kostum yang tak biasa ke kampus. Beberapa kali Viola mengucek-ucek mata dan ternyata memang benar. Dia orangnya.

KHAILIL HERDIAN GAUFAR.

Viola membaca tulisan kecil-kecil di bawah foto itu. Dia tersenyum getir setelah menyadari betapa buruknya penilaian dia terhadap cowok itu semalam.

Ternyata dia mahasiswa di kampus ini juga?

Viola ingat bagaimana penampilan cowok itu semalam. Beda banget dengan yang ada di foto yang saat ini terpampang di depan matanya. Intinya cowok itu kalau memakai pakaian yang sedikit bersih dan rapi lalu tanpa piercing di telinganya, terlihat lebih tegas dan nggak ada segi-segi bad boy. Beda banget 360 derajat sama yang semalam dia lihat.

"Ehhmm!" sebuah deheman keras dari bawah tangga menyentakkan Viola membuatnya berjingkat.

Viola berputar mencari sumber suara.

"Udah sembuh? Syukur deh kalau begitu," dia Herga, cowok yang semalam. Dia berdiri dengan kedua tangan di silangkan ke dada dan mata menatap lurus pada Viola yang masih mematung.

Viola mendengus. Kenapa Tuhan tidak mengabulkan doanya? Bukankah dia berharap untuk tidak ingin bertemu orang ini lagi? Tahu-tahunya malah sekampus. Dunia ternyata sempit banget ya.

"Udah berapa lama berdiri di sana?" Herga menaiki tangga dan berdiri menjajarkan diri di samping Viola. "Ada informasi penting apa sih?"

Herga sebenarnya sudah mengikuti Viola sejak gadis itu keluar dari lapangan parkir. Dia pun awalnya cukup kaget melihatnya ada di kampus ini. Herga bahkan mendengar celetukan-celetukan anak-anak di sepanjang koridor tadi saat Viola lewat dan cuma bisa menahan tawa. Sampai akhirnya dia baru tahu bahwa gadis ini kuliah di kampus yang sama dengannya.

Viola memandang sebal ke arah Herga.

"Ternyata dunia itu sempit ya. Gue nggak nyangka kita kuliah di tempat yang sama," celetuk Herga.

"Kita?" Viola mengangkat sebelah alisnya.

"Iya, kita. Lo sama gue. Oh ya, semalam kita belum kenalan kan?" Herga mengulurkan tangan. "Nama gue juga pasti lo udah baca di poster itu, tapi gue biasa dipanggil Herga."

Viola tidak merespon uluran tangan itu dan justru berlalu menaiki tangga. Herga tidak masalah dengan penolakan itu. Dia menarik tangannya kembali dan mengusap-usapkan di bajunya.

"Gue anak teknik, lo pasti anak Fashion Designer kan?" teriak Herga saat Viola sudah ada di tangga paling atas.

Viola berhenti dan menoleh.

"Sok tahu lo!" balas Viola kemudian menghilang ke kelasnya.

Herga geleng-geleng kepala. Ni cewek memang judes dan nampak sombong. Tapi entah kenapa Herga tidak sedikitpun merasa sakit hati dengan sikap itu. Dia merasa karakter itu justru cocok disematkan pada gadis tersebut.

Tidak mau ambil pusing, Herga pun segera turun dan berjalan menuju kelasnya. Fakultas Teknik ada di lantai dasar dan kelasnya paling ujung.

BERSAMBUNG

Bab terkait

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 4

    Setibanya di kelas, dua sahabat Viola, Sassy dan Icha langsung menyambut dengan antusias dan menggiring Viola ke bangkunya. Mereka lantas mengintrogasi Viola tentang peristiwa semalam. Icha, sudah pasti anak itu tahu dari Sassy. Semalam kan Viola hanya cerita ke Sassy. Mereka juga menertawakan penampilan Viola yang begitu tertutup. "Nggak usah ketawa deh," ucap Viola ketus. Dua sahabatnya itu langsung kicep. "Jadi gimana? Lo bilang dia nganterin lo sampe rumah. Dia masih cowok apa udah bapak-bapak?" tanya Icha rempong. Gila. Berarti apa yang diceritakan Viola ke Sassy, di forward semua ke anak itu. Viola menggeleng. Dia tidak mau mengatakan kalau si penabrak itu adalah mahasiswa kampus ini juga yang ternyata cukup punya nama di sini. Iya kan? Buktinya fotonya menjadi ikon poster Fakultas Teknik. Sempat terbersit sedikit rasa heran di benak Viola, kenapa dia sama sekali tidak kenal dengan si ikon itu. Padahal kelas mereka atas bawah. "Udah bapak-bapak kok. Bapak muda sih," boh

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 5

    Hari yang dinanti Viola tiba. Kondisinya pun sudah fit untuk acara opening butiknya. Bahkan sejak pukul 5 sore tadi dia sudah ada di butik sementara acara baru akan dimulai pukul 7. Viola begitu antusias ditemani dua sahabatnya, Sassy dan Icha. Mereka bersolek di salah satu ruangan khusus di dalam butik untuk menyambut kedatangan para tamu undangan. Di momen inilah Viola melakukan persiapan ekstra. Dia ingin membuat Steffan terpesona dengan penampilannya. Dia tidak mau lagi Steffan menganggapnya anak kecil atau his sweet sister unyu-unyu seperti yang biasa dia katakan. "My sweet sister unyu-unyu," begitulah kalimat yang sering diucapkan Steffan untuk memuji dan menggoda Viola. Sebuah ungkapan pujian yang seharusnya membuat berbunga-bunga, tapi tidak. Viola tidak mau terus-terusan dianggap sebagai adik kecil. Viola mencintai Steffan lebih dari seorang adik kepada kakaknya. Viola menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum. "Sas, Cha, gimana make up gue? Nggak terlalu men

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-11
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 6

    Hampir 20 menit Herga dan Viola ada di tepi jalan itu. Setelah ngoceh panjang kali lebar dan meminta supaya Viola berhenti menangis namun tidak digubris, Herga akhirnya memilih menyingkir agak jauh. Dia berdiri menyandar di pagar pembatas jalan. "Tu cewek kalau nangis lama banget ya? Kenapa sih sebenernya? Haduuuh... udah dua kali ketemu dia malam-malam dapetnya apes mulu. Kemaren nabrak, sekarang nungguin dia nangis. Gini amat sih nasib gue?" gerutu Herga sambil menggaruk-garuk kepalanya frustasi. Untuk mengusir rasa suntuk, dia menyalakan rokok filternya yang tinggal satu-satunya dia miliki. Meski jengkel tapi ada rasa tidak tega juga kalau harus meninggalkannya di sini sendirian. Bagaimana kalau ada orang jahat yang lewat terus berbuat sesuatu yang buruk padanya? Apalagi tu cewek jelas cantik. Cantik fisiknya dan yang pasti juga..... cantik rekeningnya kan? Hahaha. Heh! Lo mikir apa sih Ga?! Sebuah suara dalam hatinya berseru. Ya kalau cuma dirampok. Uang pasti bukan per

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-11
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 7

    Viola memasuki rumah dengan langkah ringan. Meski malam ini hatinya sempat seperti wahana roller coaster, namun setelah curhat ke Herga tadi, roller coaster itu perlahan bisa dikendalikan. Saat dia baru menaiki tangga, Bi Noni berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Begitu dekat, kepalanya celingak-celinguk ke ruang depan. Viola menatap pembantunya itu heran. "Ada apa sih Bik?" "Non Viola baru pulang? Kok bibik nggak denger mobil Non masuk garasi?" Viola memutar bola matanya. Bi Noni adalah asisten rumah tangga paling sepuh bin senior di rumahnya. Beliau sudah bekerja di sini sejak usia Viola 4 tahun. Jadi bisa dipastikan dia tahu apapun tentang Viola. "Hmmmh... Iya. Aku memang nggak bawa pulang mobilku. Aku ngantuk, jadi takut mau nyetir. Mobilku dibawa Icha," Viola sengaja berbohong. Kening Bi Noni mengerut. Dia lalu melihat Viola dari atas sampai bawah, membuat Viola risih dan sedikit beringsut sambil menarik kain yang menutup bahunya. Saat itulah dia baru sadar kalau

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-12
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 8

    Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu? Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam? "Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman. "Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni. Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa d

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-13
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 9

    Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan. "Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-13
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 10

    "Kak, empat hari lagi jatuh tempo pembayaran iuran study tour aku." Ucapan lirih Nana esok tadi terus terngiang di telinga Herga. Sampai saat ini Bu Rasti belum mengetahui tentang hal itu karena Nana tidak berani mengutarakan. Apalagi Pak Hendro juga baru saja menagih uang kontrakan rumah yang harus dibayar paling lambat hari ini. Herga dengar tadi rencananya ibunya itu akan menjual salah satu cincin kawin yang dia miliki hari ini. Yang bikin tambah Herga sedih lagi, ibunya itu tidak mau menerima uang darinya. "Kamu simpan saja uang kamu, Ga. Kamu itu kan anak muda. Kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan sendiri gimana?" begitu tolak Bu Rasti. Herga dan temannya sedang berkumpul di ruang kelas. Namun ketika teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal, Herga tidak ikut nimbrung karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Otaknya berputar memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk bayar study tour Nana, sekaligus membayar kontrakan. Karena sejujurnya Herga begitu berat hat

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Part 11

    Beberapa orang mulai berlarian menghampiri mobil Viola. Sebagian langsung menolong perempuan paruh baya yang baru saja ditabrak, sedangkan ada dua orang mengetuk-ngetuk kaca mobil Viola memintanya keluar. Viola menatap ngeri ke luar kaca. Bukannya tidak mau bertanggung jawab, dia hanya sedang syok dengan apa yang baru saja terjadi. "Keluar mbak! Jangan sampai kamu lari!" bentak laki-laki bertubuh tinggi besar dan brewokan. "Saya sudah foto nomor plat mobilnya. Ayo keluar mbak!" sahut yang lain. "Atau mau kita bawa mbak ke kantor polisi?" Kantor polisi? Mata Viola membelalak. Oh tidak. Tidak pernah ada dalam bayangannya dia harus berurusan dengan polisi karena sebuah kasus. Viola menghela napas untuk mengatur jantungnya yang masih terus berdegup cepat. Lalu dengan sisa keberanian yang dimiliki, dia pun keluar. "Bapak-bapak, saya bukannya mau lari atau nggak tanggung jawab. Saya akan tanggung jawab kok, saya cuma masih syok aja tadi..." tutur Viola setengah ketakutan. "

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-20

Bab terbaru

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 66

    Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 65

    Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 64

    Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 63

    Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 62

    Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 61

    Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 60

    Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 59

    Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka

  • Rasa Tanpa Batas Waktu   Eps. 58

    Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang

DMCA.com Protection Status