>>9 tahun yang lalu<<
Malam itu, Herga yang saat itu masih berusia 12 tahun seperti biasa dia sedang nonton serial anime di tivi sementara Nana yang saat itu masih berusia 7 tahun asyik bermain boneka barbie di dekatnya. Bu Rasti, Ibu mereka sedang menyiapkan makanan untuk makan malam sembari menunggu suaminya pulang. Sebuah rutinitas yang setiap hari biasa dia lakukan. Kriiiingg...! Kriiing...! Suara telfon rumah berdering menyentakkan Herga dan juga Nana. Mereka saling tatap untuk beberapa saat. "Herga... Nana... angkat dong itu telfonnya. Ibuk masih sibuk ini...!" teriak Bu Rasti dari dapur. Herga bergeser dari duduknya dan menyambar gagang telfon yang letaknya tidak jauh dari sofa tempat dia duduk. "Halo?" sapa Herga. "Apa benar ini dengan keluarga Bapak Imron Gaufar?" "Iya, saya anaknya," jawab Herga. Nana yang mendengar sang kakak menyebut kalimat 'saya anaknya' sempat mendongak sekilas, kemudian kembali asyik dengan barbienya. "Kami dari kepolisian mau mengabarkan kalau ayah adek yang bernama Imron Gaufar baru saja mengalami kecelakaan di jalan semboja. Saat ini jenazah korban berada di kamar jenazah Rumah Sakit Husada..." "APA?!!!" pekik Herga kaget. Nana juga ikut kaget dan berdiri. Tangan Herga gemetar. "Kenapa Kak?" tanya Nana. "Ibuuuuk....!" suara itu keluar begitu saja dari mulut Herga. "Bapak buuuk.... Ibuuukk...!" dia panik. Melihat gelagat Herga, Nana turut cemas. Bu Rasti berlari tergopoh-gopoh dari dapur dengan membawa sebuah piring kosong di tangannya. "Kenapa Ga? Siapa yang nelfon?" Saat itu Herga sudah menangis. Gagang telfon di tangannya meluncur dan tergantung. Herga terduduk lemas di kursi. "Itu tadi polisi Buk. Katanya... B-bapak kecela... kecelakaan..." Herga terisak. PRANG...!! Piring di tangan Bu Rasti terlepas dan jatuh pecah ke lantai. Kabar itu bagaikan palu godam yang menghantam kepala mereka dengan sangat keras. "Bapaaaak....!" Nana pun langsung berteriak dan menangis. Bu Rasti berlari menghampiri kedua anaknya dan memeluk mereka. "B-bapak meninggal Buk.... jenazah.... nya a-ada di Rumah Sakit Husada sekarang..." terang Herga lagi. Saat itu ketiganya sudah berurai air mata dengan posisi saling memeluk. Singkatnya mereka lalu datang ke rumah sakit diantar oleh salah satu tetangga yang mempunyai mobil. Di sana mereka mendapat penjelasan dari seorang Polisi bahwa Pak Imron menjadi korban tabrak lari. Polisi itu berjanji akan mencari siapa pelakunya. Namun seiring berjalannya waktu, kasus itu menguap begitu saja. Tidak ada satupun orang yang bisa dimintai keterangan atau sebagai saksi karena saat peristiwa itu terjadi, keadaan jalanan cukup sepi. Dan juga tidak ada cctv di area tersebut. Tidak mau membahas masalah ini semakin larut, karena menurutnya hanya akan menambah luka di hatinya dan anak-anaknya, Bu Rasti memutuskan untuk mengikhlaskan kepergian suaminya. Dia menganggap ini adalah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan kepada keluarga mereka. Dan kasus pun resmi ditutup. *** Semburat sinar matahari yang menelusup melalui celah-celah ventilasi jendela, membuat Herga mengerjapkan matanya perlahan. Dia terbangun dan mendapati foto keluarga yang masih dalam dekapannya. Semalam dia tidur sambil memeluk foto itu. "Mmmmhhhh....." Herga menggeliat kemudian bergegas bangun dan mengembalikan foto itu di tempatnya. Hari ini dia ada kuliah pagi. Dengan leher berkalung handuk, Herga berjalan menuju kamar mandi yang terletak di belakang dapur. Rumah yang ditinggali keluarga Herga adalah rumah kontrakan sederhana. Jadi tidak ada kamar mandi pribadi di dalam kamar. Hanya ada satu kamar mandi untuk semua anggota keluarga. "Semalam pulang jam berapa Ga?" tanya Bu Rasti sambil menyiapkan sarapan di meja makan saat Herga melintas. "Hehe," hanya itu jawaban Herga. Dia lantas mencomot satu kue risol dari loyang dan langsung mendapat tampikan dari Ibunya. "Haissshhh...! Itu sudah pesanan orang, Herga," tegur Bu Rasti. Herga nyengir dan mengembalikan kue risol yang nyaris saja dia gigit ke dalam loyang. Dia lantas ngamati menu sarapan di atas meja. Tangannya pura-pura menyeka air liur melihat sarapan yang terhidang. Nana yang sudah ada di sana dengan pakaian seragam lengkap, tersenyum menatap kakaknya. Sementara Herga, saat mendapat senyuman itu, dia langsung teringat tentang permintaan Nana semalam. "Udah ngomong?" tanya Herga tanpa suara ke Nana. Maksudnya, apa Nana sudan cerita ke Ibu soal study tour itu? Dan Nana cuma menggeleng. Bu Rasti yang sedang menuang minuman ke gelas dan melihat komunikasi diam-diam itu heran. "Pada ngomongin apa sih kok pakek kode-kodean gitu?" "Ehehe... enggak kok Buk," jawab Nana cepat. Setelah menyeruput teh yang baru saja dituang ke gelas, Herga segera bergegas ke kamar mandi. Tak lama kemudian mereka sudah berkumpul di meja makan menikmati sarapan. Lagi-lagi Herga kepikiran tentang uang untuk study tour Nana. Dia juga tidak mungkin tega untuk mengatakan kalau dia tidak punya uang sebanyak itu sedang dia tahu Nana ingin banget ikut acara tersebut. Hal itu membuat Herga tanpa sadar hanya mengaduk-aduk makanannya. "Sarapannya kok nggak dimakan sih Ga?" tanya Bu Rasti. Herga tersentak. Begitu juga dengan Nana yang duduk di sebelahnya. Dia menoleh dan mendapati makanan kakaknya nyaris masih utuh. "E... I-iya Buk..." Herga buru-buru menyuap. Bu Rasti geleng-geleng kepala. "Kamu belum jawab pertanyaan Ibuk. Semalam kamu pulang jam berapa?" "Jam sebelas aku sudah di rumah kok, Buk." "Kamu nggak taruhan lagi kan?" Herga menggeleng. Gamang lebih tepatnya. Semenjak pernah terciduk razia polisi beberapa bulan lalu--yang menyebabkan Ibunya harus menebus sejumlah uang untuk membawanya pulang--Herga memang berjanji pada Ibunya untuk tidak ikut taruhan balapan lagi. Tapi ternyata dia masih melakukan hal itu sampai sekarang tanpa sepengetahuan ibunya. Teman dekatnya sudah diajak kongsi untuk tidak mengatakan hal tersebut pada ibunya. Bahkan ketika dia memberikan sedikit uang kepada Ibunya, dia selalu mengatakan kalau itu adalah uang hasil dari tips dia bekerja di bengkel. Nana yang tahu kakaknya sedang berbohong, cuma menunduk menatap makanannya. Dia tahu kakaknya melakukan itu karena terpaksa. Andai saja ada pekerjaan lain yang gajinya tinggi, kakaknya pasti memilih untuk meninggalkan kebiasaan buruk itu. Sementara untuk saat ini kakaknya kan masih kuliah, pekerjaan yang bisa digeluti ya cuma pekerjaan paruh waktu. Bu Rasti tersenyum. "Ya sudah, dihabisin gih makanannya. Terus kalian berangkat." Herga mengangguk dan kembali menyuap makanannya sampai habis. Setiap jadwal kuliahnya masuk pagi, dia memang selalu berangkat bareng Nana karena jalan menuju kampus dan SMA Nana searah. *** Di kampus, setelah memarkirkan mobilnya, Viola berdiam sejenak. Dia mengamati dirinya sendiri yang mengenakan pakaian tak seperti biasanya. "Pasti bakal pada banyak yang nanya deh kenapa hari ini pakaian gue kaya gini," gumam Viola kesal. Celana boyfriend, kaus oversize motif tie dye dan sepatu sneaker. Itu semua terpaksa dia kenakan hari ini guna menutupi sejumlah luka akibat kecelakaan semalam. Biasanya dia selalu mengenakan dress atau pakaian yang sedikit ada model lah. Maklum, namanya juga anak Fashion. Viola memandang keluar. Beberapa anak tampak lalu lalang. Setelah menarik nafas dia lalu membuka pintu dan keluar. Dan benar saja, beberapa anak yang selama ini tahu banget pakaian apa yang selalu dikenakan Viola ke kampus, memandang aneh di sepanjang Viola jalan di koridor. "Dingin ya Vi?" "Tumben Vi?" "Udah berubah seleranya Vi?" Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat kuping Viola panas, tapi dia memilih untuk tidak menggubris dan terus berjalan menuju kelasnya. Terdengar tawa cekikikan saat Viola berlalu. Hhrrgghh... sialan! Batin Viola menggerutu. Kelas Viola ada di lantai dua. Saat menaiki tangga, tiba-tiba saja ekor matanya seolah menangkap sesuatu yang tak asing di dinding tepi tangga. Jadi di dinding itu ada sebuah papan whiteboard berukuran 1 x 2 meter. Dan di papan itu tertempel beberapa informasi seputar kampus. Salah satu informasi itulah yang menarik perhatian ekor mata Viola. Viola berhenti dan berputar menghadap ke dinding. Sebuah poster yang menginformasikan tentang visi, misi dan keunggulan Fakultas Teknik di kampusnya. Di poster itu ada foto seseorang yang bisa dibilang sebagai ikon fakultas tersebut sedang bergaya dengan pakaian ala montir dan beberapa kunci khas bengkel otomotif di tangannya. "What?!!" mata Viola membelalak. Viola menatap lekat-lekat gambar itu untuk membuatnya percaya bahwa itu memang dia. Cowok yang semalam menabraknya dan membuatnya harus mengenakan kostum yang tak biasa ke kampus. Beberapa kali Viola mengucek-ucek mata dan ternyata memang benar. Dia orangnya. KHAILIL HERDIAN GAUFAR. Viola membaca tulisan kecil-kecil di bawah foto itu. Dia tersenyum getir setelah menyadari betapa buruknya penilaian dia terhadap cowok itu semalam. Ternyata dia mahasiswa di kampus ini juga? Viola ingat bagaimana penampilan cowok itu semalam. Beda banget dengan yang ada di foto yang saat ini terpampang di depan matanya. Intinya cowok itu kalau memakai pakaian yang sedikit bersih dan rapi lalu tanpa piercing di telinganya, terlihat lebih tegas dan nggak ada segi-segi bad boy. Beda banget 360 derajat sama yang semalam dia lihat. "Ehhmm!" sebuah deheman keras dari bawah tangga menyentakkan Viola membuatnya berjingkat. Viola berputar mencari sumber suara. "Udah sembuh? Syukur deh kalau begitu," dia Herga, cowok yang semalam. Dia berdiri dengan kedua tangan di silangkan ke dada dan mata menatap lurus pada Viola yang masih mematung. Viola mendengus. Kenapa Tuhan tidak mengabulkan doanya? Bukankah dia berharap untuk tidak ingin bertemu orang ini lagi? Tahu-tahunya malah sekampus. Dunia ternyata sempit banget ya. "Udah berapa lama berdiri di sana?" Herga menaiki tangga dan berdiri menjajarkan diri di samping Viola. "Ada informasi penting apa sih?" Herga sebenarnya sudah mengikuti Viola sejak gadis itu keluar dari lapangan parkir. Dia pun awalnya cukup kaget melihatnya ada di kampus ini. Herga bahkan mendengar celetukan-celetukan anak-anak di sepanjang koridor tadi saat Viola lewat dan cuma bisa menahan tawa. Sampai akhirnya dia baru tahu bahwa gadis ini kuliah di kampus yang sama dengannya. Viola memandang sebal ke arah Herga. "Ternyata dunia itu sempit ya. Gue nggak nyangka kita kuliah di tempat yang sama," celetuk Herga. "Kita?" Viola mengangkat sebelah alisnya. "Iya, kita. Lo sama gue. Oh ya, semalam kita belum kenalan kan?" Herga mengulurkan tangan. "Nama gue juga pasti lo udah baca di poster itu, tapi gue biasa dipanggil Herga." Viola tidak merespon uluran tangan itu dan justru berlalu menaiki tangga. Herga tidak masalah dengan penolakan itu. Dia menarik tangannya kembali dan mengusap-usapkan di bajunya. "Gue anak teknik, lo pasti anak Fashion Designer kan?" teriak Herga saat Viola sudah ada di tangga paling atas. Viola berhenti dan menoleh. "Sok tahu lo!" balas Viola kemudian menghilang ke kelasnya. Herga geleng-geleng kepala. Ni cewek memang judes dan nampak sombong. Tapi entah kenapa Herga tidak sedikitpun merasa sakit hati dengan sikap itu. Dia merasa karakter itu justru cocok disematkan pada gadis tersebut. Tidak mau ambil pusing, Herga pun segera turun dan berjalan menuju kelasnya. Fakultas Teknik ada di lantai dasar dan kelasnya paling ujung. BERSAMBUNGSetibanya di kelas, dua sahabat Viola, Sassy dan Icha langsung menyambut dengan antusias dan menggiring Viola ke bangkunya. Mereka lantas mengintrogasi Viola tentang peristiwa semalam. Icha, sudah pasti anak itu tahu dari Sassy. Semalam kan Viola hanya cerita ke Sassy. Mereka juga menertawakan penampilan Viola yang begitu tertutup. "Nggak usah ketawa deh," ucap Viola ketus. Dua sahabatnya itu langsung kicep. "Jadi gimana? Lo bilang dia nganterin lo sampe rumah. Dia masih cowok apa udah bapak-bapak?" tanya Icha rempong. Gila. Berarti apa yang diceritakan Viola ke Sassy, di forward semua ke anak itu. Viola menggeleng. Dia tidak mau mengatakan kalau si penabrak itu adalah mahasiswa kampus ini juga yang ternyata cukup punya nama di sini. Iya kan? Buktinya fotonya menjadi ikon poster Fakultas Teknik. Sempat terbersit sedikit rasa heran di benak Viola, kenapa dia sama sekali tidak kenal dengan si ikon itu. Padahal kelas mereka atas bawah. "Udah bapak-bapak kok. Bapak muda sih," boh
Hari yang dinanti Viola tiba. Kondisinya pun sudah fit untuk acara opening butiknya. Bahkan sejak pukul 5 sore tadi dia sudah ada di butik sementara acara baru akan dimulai pukul 7. Viola begitu antusias ditemani dua sahabatnya, Sassy dan Icha. Mereka bersolek di salah satu ruangan khusus di dalam butik untuk menyambut kedatangan para tamu undangan. Di momen inilah Viola melakukan persiapan ekstra. Dia ingin membuat Steffan terpesona dengan penampilannya. Dia tidak mau lagi Steffan menganggapnya anak kecil atau his sweet sister unyu-unyu seperti yang biasa dia katakan. "My sweet sister unyu-unyu," begitulah kalimat yang sering diucapkan Steffan untuk memuji dan menggoda Viola. Sebuah ungkapan pujian yang seharusnya membuat berbunga-bunga, tapi tidak. Viola tidak mau terus-terusan dianggap sebagai adik kecil. Viola mencintai Steffan lebih dari seorang adik kepada kakaknya. Viola menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum. "Sas, Cha, gimana make up gue? Nggak terlalu men
Hampir 20 menit Herga dan Viola ada di tepi jalan itu. Setelah ngoceh panjang kali lebar dan meminta supaya Viola berhenti menangis namun tidak digubris, Herga akhirnya memilih menyingkir agak jauh. Dia berdiri menyandar di pagar pembatas jalan. "Tu cewek kalau nangis lama banget ya? Kenapa sih sebenernya? Haduuuh... udah dua kali ketemu dia malam-malam dapetnya apes mulu. Kemaren nabrak, sekarang nungguin dia nangis. Gini amat sih nasib gue?" gerutu Herga sambil menggaruk-garuk kepalanya frustasi. Untuk mengusir rasa suntuk, dia menyalakan rokok filternya yang tinggal satu-satunya dia miliki. Meski jengkel tapi ada rasa tidak tega juga kalau harus meninggalkannya di sini sendirian. Bagaimana kalau ada orang jahat yang lewat terus berbuat sesuatu yang buruk padanya? Apalagi tu cewek jelas cantik. Cantik fisiknya dan yang pasti juga..... cantik rekeningnya kan? Hahaha. Heh! Lo mikir apa sih Ga?! Sebuah suara dalam hatinya berseru. Ya kalau cuma dirampok. Uang pasti bukan per
Viola memasuki rumah dengan langkah ringan. Meski malam ini hatinya sempat seperti wahana roller coaster, namun setelah curhat ke Herga tadi, roller coaster itu perlahan bisa dikendalikan. Saat dia baru menaiki tangga, Bi Noni berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Begitu dekat, kepalanya celingak-celinguk ke ruang depan. Viola menatap pembantunya itu heran. "Ada apa sih Bik?" "Non Viola baru pulang? Kok bibik nggak denger mobil Non masuk garasi?" Viola memutar bola matanya. Bi Noni adalah asisten rumah tangga paling sepuh bin senior di rumahnya. Beliau sudah bekerja di sini sejak usia Viola 4 tahun. Jadi bisa dipastikan dia tahu apapun tentang Viola. "Hmmmh... Iya. Aku memang nggak bawa pulang mobilku. Aku ngantuk, jadi takut mau nyetir. Mobilku dibawa Icha," Viola sengaja berbohong. Kening Bi Noni mengerut. Dia lalu melihat Viola dari atas sampai bawah, membuat Viola risih dan sedikit beringsut sambil menarik kain yang menutup bahunya. Saat itulah dia baru sadar kalau
Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu? Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam? "Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman. "Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni. Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa d
Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan. "Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor
"Kak, empat hari lagi jatuh tempo pembayaran iuran study tour aku." Ucapan lirih Nana esok tadi terus terngiang di telinga Herga. Sampai saat ini Bu Rasti belum mengetahui tentang hal itu karena Nana tidak berani mengutarakan. Apalagi Pak Hendro juga baru saja menagih uang kontrakan rumah yang harus dibayar paling lambat hari ini. Herga dengar tadi rencananya ibunya itu akan menjual salah satu cincin kawin yang dia miliki hari ini. Yang bikin tambah Herga sedih lagi, ibunya itu tidak mau menerima uang darinya. "Kamu simpan saja uang kamu, Ga. Kamu itu kan anak muda. Kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan sendiri gimana?" begitu tolak Bu Rasti. Herga dan temannya sedang berkumpul di ruang kelas. Namun ketika teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal, Herga tidak ikut nimbrung karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Otaknya berputar memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk bayar study tour Nana, sekaligus membayar kontrakan. Karena sejujurnya Herga begitu berat hat
Beberapa orang mulai berlarian menghampiri mobil Viola. Sebagian langsung menolong perempuan paruh baya yang baru saja ditabrak, sedangkan ada dua orang mengetuk-ngetuk kaca mobil Viola memintanya keluar. Viola menatap ngeri ke luar kaca. Bukannya tidak mau bertanggung jawab, dia hanya sedang syok dengan apa yang baru saja terjadi. "Keluar mbak! Jangan sampai kamu lari!" bentak laki-laki bertubuh tinggi besar dan brewokan. "Saya sudah foto nomor plat mobilnya. Ayo keluar mbak!" sahut yang lain. "Atau mau kita bawa mbak ke kantor polisi?" Kantor polisi? Mata Viola membelalak. Oh tidak. Tidak pernah ada dalam bayangannya dia harus berurusan dengan polisi karena sebuah kasus. Viola menghela nafas untuk mengatur jantungnya yang masih terus berdegup cepat. Lalu dengan sisa keberanian yang dimiliki, dia pun keluar. "Bapak-bapak, saya bukannya mau lari atau nggak tanggung jawab. Saya akan ta