Setibanya di rumah, Viola langsung disambut dengan cemas oleh kedua orang tuanya. Tentu saja, apalagi mereka melihat banyak sekali luka di tubuh Viola. Namun Viola sedang tidak ingin menjelaskan banyak hal karena dia sudah sangat lelah dan ngantuk. Ditambah lagi rasa perih dan nyeri akibat luka itu kian terasa.
Viola terpaksa berbohong kepada orang tuanya, bahwa yang menyebabkan luka itu adalah karena seorang pengemudi ojek online yang sudah berumur tidak sengaja menabraknya di jalan, saat dia sedang sibuk mengoperasikan ponsel untuk memesan taksi online. Hal itu Viola lakukan karena dia tidak mau Ayahnya tahu kalau si penabrak sebenarnya adalah pemuda arogan yang mengemudikan motor tanpa aturan. Ayahnya pasti tidak akan tinggal diam dan sudah pasti akan membawa kasusnya ke jalur hukum. Ah, bakalan runyam kan? Sementara menurut Viola tidak ada hal yang sangat serius terjadi pada dirinya setelah kecelakaan kecil itu. Jadi tidak perlu diperpanjang. "Iya Pa, Ma. Pokoknya kasihan banget. Orangnya tu udah tua, rambutnya aja udah putih semua dan kayaknya dia tadi juga lagi buru-buru mau nganterin makanan ke customer," beber Viola tenang. Pak Brian, Ayah Viola cuma bisa mendengus pelan. Mendengar ciri-ciri fisik si pelaku yang dijelaskan Viola, tentu dia jadi tidak tega untuk mengusut lebih lanjut. Anaknya bisa pulang dalam keadaan selamat saja sudah sepatutnya dia syukuri. "Ya sudah kalau begitu kamu segera masuk kamar gih," pinta Bu Delia, Ibu Viola. "Istirahat, tidur. Jangan maenan ponsel, jangan begadang!" imbuhnya penuh penekanan. "Iya Ma, Pa. Yaudah, Vio ke kamar dulu ya," Viola berlalu menaiki tangga menuju ke kamarnya di lantai dua. "Oh ya Vio!" panggil Bu Delia saat Viola telah sampai di tengah-tengah anak tangga. Viola berhenti dan menoleh. "Jadi untuk acara opening butik kamu, nggak mungkin bisa dilaksanakan besok dong? Kondisi kamu aja kaya gini." Oh iya ya? Kenapa dia jadi tidak kepikiran soal itu? Viola mendengus dan mengangguk pelan. Terpaksa deh, acara yang sudah dia tunggu-tunggu itu harus ditunda sampai kondisinya benar-benar membaik. Viola memandangi lutut dan sikunya yang penuh plester. Ya kali dia harus opening butik dengan kondisi badan burik kaya begini? Sementara untuk acara itu dia sudah menyiapkan dress khusus yang akan dia kenakan. "Iya Ma. Harus ditunda dulu. Nanti buat undangannya gampang deh aku update lagi di grup chattnya," tutur Viola. Dia memang mengundang beberapa orang untuk menghadiri acara opening butiknya melalui undangan online. Bu Delia mengangguk. Lalu Viola pun kembali melanjutkan langkah menuju kamar. Setibanya di kamar, hal pertama yang dia lakukan adalah memeriksa ponsel. Dia mengutak-atik ponsel kesayangannya itu untuk membuatnya kembali menyala. Dan benar saja, gara-gara terjatuh ke tanah tadi menyebabkan casing ponselnya sedikit terbuka. Saat dia merapatkannya dan menekan tombol on/off, ponselnya berhasil menyala kembali. Viola terlonjak saking senangnya, sampai-sampai dia lupa kakinya masih sakit. "Auuuffhhh... uufffhhh...." Viola meniup-niup luka di lututnya yang tertutup plester. Viola kembali menatap ponselnya dan menciuminya berkali-kali. Ponsel ini adalah hadiah istimewa di hari ulang tahunnya yang ke 20 dari orang yang istimewa juga baginya. Seseorang yang merupakan pria idaman Viola dari kecil. Seseorang yang selalu mengisi hari-hari Viola dari kecil. Seseorang yang selalu membuat Viola tersenyum dan merasa nyaman setiap kali berada di dekatnya. Jadi Viola merasa tidak rela jika ponsel ini harus rusak dan tidak bisa dibenahi. Tapi untunglah dewi fortuna masih berpihak padanya. Steffan. Viola biasa memanggilnya dengan sebutan Kak Steffan karena usianya yang terpaut 4 tahun lebih tua dari Viola. Steffan dan Viola sudah saling mengenal sejak mereka masih kecil. Dulu mereka tinggal di komplek yang sama. Namun saat usia Steffan 12 tahun, keluarganya memutuskan untuk pindah ke komplek yang lumayan jauh dari komplek lama karena beberapa hal. Viola sendiri sudah memiliki perasaan lebih pada Steffan sejak dia duduk di bangku SMP. Bagi Viola, Steffan itu sosok yang peduli dan ngemong. Steffan selalu bersikap manis padanya. Hanya saja dia belum pernah mengungkapkan perasaannya pada Viola. Namun Viola yakin, suatu hari nanti apa yang selama ini dia harap pasti akan menjadi kenyataan. Karena untuk apa Steffan bersikap semanis itu kalau bukan karena ada rasa? Mereka kan bukan anak kecil lagi. Saat ini Steffan bekerja di sebuah perusahaan manufacturer dengan jabatan yang mentereng. Yakni sebagai HRD. Karirnya cukup bagus dari waktu ke waktu, karena dia memang pria yang cerdas. Tampan adalah bonus untuknya. Steffan. Pria yang lemah lembut, tampan dan pintar. Perempuan mana yang tidak akan tertarik dengan pesonanya? Viola tersenyum memandangi foto Steffan di ponselnya. Dia bermaksud ingin menelfon cowok itu, tapi kemudian diurungkan karena berpikir mungkin saja pria itu sudah tidur sekarang. Ini kan sudah malam. Sudah pukul 10.15 PM. Setelah membersihkan diri, cuci muka dan lain-lain Viola justru tidak bisa tidur. Entah kenapa bayang-bayang wajah pria yang menabraknya tadi mendadak terbias di matanya. Viola bergidig. Bisa-bisanya dia kepikiran tu cowok? Lalu untuk mengusir bayangan itu, dia pun menelfon salah satu sahabatnya yang terkenal biasa begadang setiap malam. Namanya Sassy. Dia teman satu fakultas di kampus. Kepada Sassy, Viola menceritakan tentang peristiwa yang menimpanya malam ini. "Hah? Terus gimana? Lo nggak pa-pa?" Seperti biasa, Sassy memang orangnya suka heboh. "Cuma lecet-lecet dikit aja sih. Dan udah diobatin juga." "Yang ngobatin siapa? Lo sendiri?" "Ya orang yang nabrak gue lah...." Viola menceritakan kronologinya secara mendetail sampai ketika si cowok mengantarnya pulang. "Dia macam bad boy kali ya?" tebak Sassy saat mendengar ciri-ciri cowok yang disebutkan Viola. "Ah bodo amat lah. Gue males inget-inget tu orang. Gara-gara dia gue jadi harus tunda acara opening butik gue tahu. Padahal ini acara udah gue nanti-nanti banget. Hrrggghhh..." Viola menggerutu. "Namanya juga nasib kan nggak ada yang tahu Vi. Untung aja lo masih selamat dan dia masih baik hati mau nganterin lo pulang...." "Idihhh... Baik hati emak lo. Gara-gara dia ponsel gue mati, dan gue jadi nggak bisa pesen taksi online. Ya udah jadi tanggung jawab dia dong nganterin gue pulang," Viola tidak mau mendengar sahabatnya memuji cowok tersebut. Sassy terkikik di ujung telfon. "Ya udah lah nggak usah sewot juga. Beneran masih untung lo dia mau nganterin lo pulang sampai rumah. Coba tadi kalau dia malah bawa lo ke tempat sepi terus lo diapa-apain gimana coba?" "Hehhh anjir lo. Hiiiihh...!!" Viola bergidig ngeri membayangkan apa yang dikatakan Sassy. Perutnya mendadak mual. "Hahaha... ya habisnya ciri-ciri yang lo sebutin tentang tuh cowok jadi bikin gue berasumsi jauh banget. Tapi emang sih, dari sini gue jadi makin yakin kalau don't judge a book by it's cover tuh bener." "Hmmmmmhhh.... lo kayaknya malah kebanyakan memuji tu cowok deh. Belum aja lo ketemu dia, pasti juga bakalan ilfil." "Jangan berlebihan benci sama orang deh Vi... Entar malah jadi suka berabe lo..." ledek Sassy. Viola terbahak. "Sorry ya. Nggak bakalan gue suka sama tu cowok. Cukup ini yang pertama dan terakhir gue ketemu tuh cowok, hiihhh! Lagian gue udah punya idaman sendiri. Lo tahu itu lah yaw?" *** Perlahan Herga membawa motornya memasuki pelataran rumahnya yang sempit. Suasana rumahnya sudah sepi dan di dalam begitu gelap. Hanya ada pendaran cahaya dari lampu kecil yang tertempel di dinding ruang tamu. Herga memarkirkan motor kesayangannya itu di garasi kecil yang ada di sebelah kiri rumahnya. Garasi itu bersebelahan dengan kamarnya. Jadi saat dia pulang dan orang-orang di rumah sudah tidur, Herga akan masuk ke kamar melalui pintu dari garasi. Dan itu sudah menjadi rutinitas yang sering dia lakukan. Pintu itu pun dibuat atas inisiatifnya sendiri. Dulu sebelum ada pintu tersebut, saat Herga pulang malam, dia selalu mengetuk pintu utama untuk minta dibukakan. Seringnya si Ibu ngomel-ngomel karena waktu istirahatnya jadi terganggu. Jadi karena tidak mau terus menerus merepotkan Ibunya untuk membukakan pintu setiap malam, dibuatlah pintu darurat itu oleh Herga. Yang memiliki kuncinya pun hanya Herga. Dan berhubung rumah yang dia tinggali bersama keluarganya merupakan kontrakan, untungnya sih si pemilik tidak mempermasalahkan ketika Herga membuat pintu darurat tersebut. "Huahhhhh....!" Herga menghempaskan diri di kasurnya yang tanpa dipan. Matanya menatap langit-langit sementara tangannya merogoh isi saku dan mengeluarkan 6 lembar uang bergambar pahlawan proklamator hasil balapnya malam ini. Dia mengangkat lembaran uang itu tinggi-tinggi dan mengibas-ngibaskan dengan bangga. "Lumayan lah ceperan," gumamnya. Baru saja dia meletakkan uang tersebut ke dalam kotak tempat biasa dia mengumpulkan hasil balapnya, terdengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Pintu yang langsung terhubung ke dalam rumah lebih tepatnya. "Siapa?" tanya Herga masih belum beranjak. "Aku kak," jawab suara cempreng tapi parau. Itu Nana, adik perempuan Herga. Adik satu-satunya. Krieeet! Herga membuka pintu. "Kok kamu belum tidur?" tanya Herga lagi. Nana mengucek-ucek matanya dan tersenyum kecil. "Tadi udah tidur sih. Barusan ke kamar kecil dan denger suara motor kakak, makanya aku samperin. Baru pulang ya?" "Hmm," Herga mengangguk. "Ya udah tidur lagi sana. Ini masih malam. Besok kamu masuk sekolah kan?" Nana masih tidak beranjak dari depan kamar Herga. Matanya menatap Herga sayu. "Kak..." bisiknya lirih. "Kenapa?" "Bulan depan sekolahku akan ngadain acara study tour ke Bali. Aku pengen ikut tapi.... aku nggak berani ngomong sama Ibuk," tutur Nana hati-hati. Herga menghela nafas. Dia sadar, setelah kepergian Ayahnya, dialah yang akan menggantikan posisi sebagai pelindung dan penyelamat untuk keluarganya. Terlebih dia adalah anak pertama dan seorang laki-laki. Selain harus kuliah, Herga juga punya kewajiban untuk menopang perekonomian keluarga. Setiap pulang kuliah siang hari, dia nyambi bekerja di sebuah bengkel milik Ayah temannya. Jurusan Fakultas Teknik Otomotif yang dia ambil, membuatnya mampu menguasai pekerjaan sampingan itu. Namun tetap saja, kalau hanya mengandalkan uang dari sana tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Apalagi adiknya itu sekolah di SMA swasta. Belum lagi untuk biaya kuliahnya sendiri. Meski uang semester ditanggung negara karena dia mendapat beasiswa, sebagian buku-buku dan segala macam tetek bengeknya kan harus beli dengan uangnya sendiri. Itulah kenapa ada pekerjaan lain yang dia geluti selain bekerja di bengkel. Mengikuti balapan liar. Karena menurutnya, dari tempat itulah dia bisa mendapatkan sejumlah uang yang besar dengan cara yang cukup instan. Meski tidak jarang pula dia harus membayar uang pada lawan jika dia kalah dalam balapan. "Memangnya berapa biaya study tour itu?" tanya Herga. "3.500.000," jawab Nana sembari menunduk. Dia tahu uang itu tidak sedikit dan tidak mudah dicari. Herga kaget, tapi dia berusaha menyembunyikan kekagetan itu dari Nana. "Masih bulan depan kan?" Herga merengkuh bahu Nana. "Kamu nggak usah khawatir. Nanti akan kakak usahain." Nana mendongak. "Beneran kak?" wajahnya berbinar. Herga mengangguk namun otaknya mulai berpikir kemana dia harus mencari uang sebesar itu untuk bulan depan yang tinggal beberapa hari lagi? Saat ini dia hanya memiliki uang yang baru saja dia peroleh dari balapan liar tadi. "Makasih ya Kak...." Nana memeluk Herga erat. "Ya udah sekarang kamu tidur gih. Biar besok nggak bangun kesiangan." Nana melepaskan pelukannya. Dia tersenyum dan mengecup pipi Herga singkat saking senangnya sebelum berjalan menuju kamarnya dengan langkah ringan. Herga memandangi Nana sampai anak itu menghilang di balik pintu. "Dimana gue cari duit sebanyak itu?" Herga kembali ke tempat tidurnya. Otaknya mulai berpikir keras kemana harus mencari uang sebanyak itu. Ketika tubuhnya berguling ke kanan, matanya dihadapkan pada sebuah foto keluarga yang terpajang di atas nakas kecil di sebelah tempat tidurnya. Di dalam foto itu ada potret ayah, ibu bersama dirinya dan Nana yang masih kecil. Herga menatap foto itu lekat-lekat. "Andai saja Ayah masih hidup," bisiknya lirih. Tangannya meraih foto itu dan mendekap ke dalam dadanya. Peristiwa kecelakaan tragis yang merenggut nyawa Ayahnya 9 tahun silam, tidak pernah hilang dari ingatannya. BERSAMBUNG...>>9 tahun yang lalu
Setibanya di kelas, dua sahabat Viola, Sassy dan Icha langsung menyambut dengan antusias dan menggiring Viola ke bangkunya. Mereka lantas mengintrogasi Viola tentang peristiwa semalam. Icha, sudah pasti anak itu tahu dari Sassy. Semalam kan Viola hanya cerita ke Sassy. Mereka juga menertawakan penampilan Viola yang begitu tertutup. "Nggak usah ketawa deh," ucap Viola ketus. Dua sahabatnya itu langsung kicep. "Jadi gimana? Lo bilang dia nganterin lo sampe rumah. Dia masih cowok apa udah bapak-bapak?" tanya Icha rempong. Gila. Berarti apa yang diceritakan Viola ke Sassy, di forward semua ke anak itu. Viola menggeleng. Dia tidak mau mengatakan kalau si penabrak itu adalah mahasiswa kampus ini juga yang ternyata cukup punya nama di sini. Iya kan? Buktinya fotonya menjadi ikon poster Fakultas Teknik. Sempat terbersit sedikit rasa heran di benak Viola, kenapa dia sama sekali tidak kenal dengan si ikon itu. Padahal kelas mereka atas bawah. "Udah bapak-bapak kok. Bapak muda sih," boh
Hari yang dinanti Viola tiba. Kondisinya pun sudah fit untuk acara opening butiknya. Bahkan sejak pukul 5 sore tadi dia sudah ada di butik sementara acara baru akan dimulai pukul 7. Viola begitu antusias ditemani dua sahabatnya, Sassy dan Icha. Mereka bersolek di salah satu ruangan khusus di dalam butik untuk menyambut kedatangan para tamu undangan. Di momen inilah Viola melakukan persiapan ekstra. Dia ingin membuat Steffan terpesona dengan penampilannya. Dia tidak mau lagi Steffan menganggapnya anak kecil atau his sweet sister unyu-unyu seperti yang biasa dia katakan. "My sweet sister unyu-unyu," begitulah kalimat yang sering diucapkan Steffan untuk memuji dan menggoda Viola. Sebuah ungkapan pujian yang seharusnya membuat berbunga-bunga, tapi tidak. Viola tidak mau terus-terusan dianggap sebagai adik kecil. Viola mencintai Steffan lebih dari seorang adik kepada kakaknya. Viola menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum. "Sas, Cha, gimana make up gue? Nggak terlalu men
Hampir 20 menit Herga dan Viola ada di tepi jalan itu. Setelah ngoceh panjang kali lebar dan meminta supaya Viola berhenti menangis namun tidak digubris, Herga akhirnya memilih menyingkir agak jauh. Dia berdiri menyandar di pagar pembatas jalan. "Tu cewek kalau nangis lama banget ya? Kenapa sih sebenernya? Haduuuh... udah dua kali ketemu dia malam-malam dapetnya apes mulu. Kemaren nabrak, sekarang nungguin dia nangis. Gini amat sih nasib gue?" gerutu Herga sambil menggaruk-garuk kepalanya frustasi. Untuk mengusir rasa suntuk, dia menyalakan rokok filternya yang tinggal satu-satunya dia miliki. Meski jengkel tapi ada rasa tidak tega juga kalau harus meninggalkannya di sini sendirian. Bagaimana kalau ada orang jahat yang lewat terus berbuat sesuatu yang buruk padanya? Apalagi tu cewek jelas cantik. Cantik fisiknya dan yang pasti juga..... cantik rekeningnya kan? Hahaha. Heh! Lo mikir apa sih Ga?! Sebuah suara dalam hatinya berseru. Ya kalau cuma dirampok. Uang pasti bukan per
Viola memasuki rumah dengan langkah ringan. Meski malam ini hatinya sempat seperti wahana roller coaster, namun setelah curhat ke Herga tadi, roller coaster itu perlahan bisa dikendalikan. Saat dia baru menaiki tangga, Bi Noni berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Begitu dekat, kepalanya celingak-celinguk ke ruang depan. Viola menatap pembantunya itu heran. "Ada apa sih Bik?" "Non Viola baru pulang? Kok bibik nggak denger mobil Non masuk garasi?" Viola memutar bola matanya. Bi Noni adalah asisten rumah tangga paling sepuh bin senior di rumahnya. Beliau sudah bekerja di sini sejak usia Viola 4 tahun. Jadi bisa dipastikan dia tahu apapun tentang Viola. "Hmmmh... Iya. Aku memang nggak bawa pulang mobilku. Aku ngantuk, jadi takut mau nyetir. Mobilku dibawa Icha," Viola sengaja berbohong. Kening Bi Noni mengerut. Dia lalu melihat Viola dari atas sampai bawah, membuat Viola risih dan sedikit beringsut sambil menarik kain yang menutup bahunya. Saat itulah dia baru sadar kalau
Paginya Viola memutuskan untuk tidak berangkat kuliah. Moodnya sedang dalam keadaan belum sepenuhnya baik. Apalagi semalam dia malah bermimpi Steffan nikah sama perempuan itu. Arghh! Kenapa sih mimpinya harus kaya gitu? Setelah mencuci muka supaya terlihat sedikit fresh, Viola keluar dari kamarnya dan turun. Namun dia heran saat mendapati ruang makan yang tampak hening dan sepi. Makanan sudah terhidang di meja tapi papa dan mamanya tidak ada di sana. Atau memang mereka belum turun? Papa sama Mama pulang jam berapa sih semalam? "Papa sama mama mana bik?" tanya Viola pada Bi Yeni--pembantu yang lebih muda dari Bi Noni--yang sedang menyiapkan minuman. "Belum pulang Non dari semalam," jawab Bi Yeni. Viola manggut-manggut. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Memiliki orang tua yang super sibuk memang terkadang menyedihkan. Untuk bisa makan bersama atau sekedar berkumpul saja kadang mereka harus atur jadwal. Maka tak heran jika Viola sering merasa kesepian. Itulah kenapa d
Masih di tempat yang sama, di restoran seafood tempat Steffan dan Viola dinner bareng. Segerombolan pemuda berjumlah 4 orang masuk dari pintu utama restoran tersebut sambil bercanda. Mereka diantaranya adalah Herga, Nando, Rifky dan Irfan. "Kalian semua nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ujar Nando. Dia menunjuk bangku yang masih kosong. "Sana yuk." Mereka berempat menghampiri bangku nomor 15. Herga celingukan mengamati sekeliling restoran. Dia sama sekali belum pernah menginjaklan kakinya di tempat ini. Jangankan mikir makan di restoran, bisa makan rutin di rumah aja sudah bersyukur. Seketika dia ingat ibu dan adiknya. Dia makan-makan enak di restoran seperti ini--yah, meskipun ditraktir sih, sedangkan ibu dan adiknya cuma makan seadanya di rumah. Hmmm, mau gimana lagi? Herga juga tidak enak hati mau menolak ajakan teman-temannya. Sedang sibuk menyusuri suasana restoran dengan matanya, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat hatinya berdesir. Tepatnya di bangku nomor
"Kak, empat hari lagi jatuh tempo pembayaran iuran study tour aku." Ucapan lirih Nana esok tadi terus terngiang di telinga Herga. Sampai saat ini Bu Rasti belum mengetahui tentang hal itu karena Nana tidak berani mengutarakan. Apalagi Pak Hendro juga baru saja menagih uang kontrakan rumah yang harus dibayar paling lambat hari ini. Herga dengar tadi rencananya ibunya itu akan menjual salah satu cincin kawin yang dia miliki hari ini. Yang bikin tambah Herga sedih lagi, ibunya itu tidak mau menerima uang darinya. "Kamu simpan saja uang kamu, Ga. Kamu itu kan anak muda. Kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan sendiri gimana?" begitu tolak Bu Rasti. Herga dan temannya sedang berkumpul di ruang kelas. Namun ketika teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal, Herga tidak ikut nimbrung karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Otaknya berputar memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk bayar study tour Nana, sekaligus membayar kontrakan. Karena sejujurnya Herga begitu berat hat