Steffan mondar-mandir dengan gelisah di ruang kerjanya. Pikiran dan perasaannya saling berbenturan dengan apa yang kini tengah ia rasakan. Apa iya aku mulai menyukai Viola?
Pertanyaan itu yang sedari semalam terus berputar di kepalanya.
Sedang melamun sembari menatap keluar melalui jendela kaca besar, suara pintu yang terbuka dari luar membuatnya tersentak. Steffan memutar tubuhnya dan seketika langsung menghela nafas berat saat melihat siapa yang datang.
Nessa, perempuan tersenyum manis ke arahnya sebelum kembali berjalan mendekat. Steffan melengos saat Nessa berdiri tepat di seberang meja besarnya.
"Hai Fan," sapa Nessa ringan. Steffan melengos membuat Nessa tersenyum kecut. Dia menyadari kesalahannya namun tidak ingin lagi berdebat. "Aku datang ke sini bukan untuk mencari gaduh kok," tuturnya.
Steffan hanya merespon dengan hembusan nafas berat.
Begitu juga dengan Nessa.
"Kamu nggak bikin masalah sama dia kan, Ga?" cecar Bu Rasti khawatir."Enggak buk," Herga menggeleng. "Aku pertama dan terakhir ketemu sama tu orang juga malam itu aja.""Terus..... kenapa dia nyari-nyari kamu ya? Kok perasaan ibuk nggak enak sih, Ga...""Sssshhhh.... udah udah udah... ibuk tenang ya," Herga menenangkan ibunya yang terlihat menampilkan wajah cemas. "Nanti aku minta Simon, Fatih atau Denis deh buat temenin aku ketemu orang itu.""Pokoknya kamu jangan sendirian kalau ke sana."***Malamnya, Herga menghubungi teman-teman nongkrongnya untuk kapan bisa menemani ia menemui Surya. Namun sayang, baik Simon, Fatih maupun Denis tidak bisa saat itu juga. Mereka ada kesibukan masing-masing dengan keluarganya. Alhasil, malam itu Herga tidur dengan gelisah. Beberapa kali terba
Tanpa pikir panjang Viola langsung meninggalkan tempat bersamaan dengan masuknya Herga ke dalam mobil mewah bersama dua orang tersebut. Perasaan Viola nggak karuan. Dia bingung dan tidak tahu harus menghubungi siapa. Dia tidak memiliki kontak orang-orang terdekat Herga. Bahkan kontak Herga pun Viola tidak punya.Kini yang terlintas di benak Viola hanyalah dia harus ke rumah Herga, menemui Bu Rasti dan menceritakan apa yang terjadi.Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Herga dengan cara mengemudi yang membabi buta. Nana yang saat Viola datang dia juga baru pulang dari sekolah dan melepas sepatu di depan pintu, kaget demi mendengar suara rem mobil yang begitu kasar.Nana sudah pulang dari Bali 2 hari yang lalu."Na... ibuk ada?" tanya Viola terburu-buru dengan wajah cemas begitu keluar dari mobil."Mungkin di dalam kak. Aku juga baru pulang sekolah. Ada apa kak?""Yuk
Viola tiba di rumah dan langsung mendapat sambutan dramatis dari sang mama. Di sana juga ada Steffan. Cowok itu tidak tega meninggalkan Bu Delia di rumahnya sendiri dalam suasana kecemasan. Apalagi Pak Brian sedang tidak ada di rumah."Ya ampun Vio... sayang... kamu tu kemana aja sih seharian iniii...? Dan kenapa kamu nonaktifin ponsel kamu...??? Kamu nggak tahu kita semua di sini khawatirin kamu? Mama tadi seharian di butik nungguin kamu sama Kak Steffan, Sassy dan Icha... kemana kamuuu???" cecar Bu Delia dengan wajah cemas dan terlihat sedikit menahan jengkel. Pun begitu, perasaannya juga lega karena akhirnya putri semata wayangnya itu pulang.Viola menghela nafas panjang. Dengan wajah tak merasa berdosa, ia tersenyum sembari merengkuh bahu mamanya."Hehehe... Vio lagi pengen cari suasana baru aja mama. Yang penting kan Vio tetep balik ke rumah, dan...." Viola membentangkan tangan sekilas. "Vio baik-baik aja. Udah, mama
Suara ketukan pintu kamar yang beradu bersama dengan dering alarm membangunkan Viola dari tidur malamnya yang lelap. Tidur dengan mimpi yang membuat hatinya berbunga-bunga. Semalam sebelum memejamkan mata, Viola merenung, mengingat apa yang telah ia lakukan--saat ia memeluk cowok itu di depan ibu dan adiknya tanpa rasa canggung. Berani banget ya gue semalam?"Mmmmmhhhhh...." Viola menggeliat malas di atas tempat tidur. Perlahan ia membuka mata."Vio.... bangun nak... ini sudah jam berapa? Memangnya kamu nggak berangkat kuliah?" terdengar suara Bu Delia dari luar kamar disusul ketukan pintu beberapa kali."Yaaaaa Maaaa..... aku udah bangun kok..." sahut Viola dengan suara parau khas bangun tidur.Mendengar suara putrinya, Bu Delia menjauhkan tangan dari daun pintu dan tersenyum."Mama tunggu di meja makan ya sayang!" ujar Bu Delia sebelum meninggalkan kamar Viola.Namun tak ada jawaban. Bu Delia tak ambil p
"Sekian, dan sampai jumpa kembali di pertemuan selanjutnya," ucap sang dosen yang mengisi mata kuliah pagi di kelas Fashion--kelas Viola--sebelum meninggalkan kelas.Suara riuh terdengar begitu sang dosen keluar. Beberapa mahasiswa langsung bergabung dengan masing-masing circle mereka. Kecuali Sassy dan Icha yang terlihat bermalas-malasan. Bukan tanpa alasan. Keduanya badmood berat karena tak ada Viola."Gak ada kabar juga?" Icha mengecek ponselnya.Sassy menggeleng, "Kemana sih tu anak? Apa mungkin dia pergi sama......""Herga?!" Icha menyahut cepat dan Sassy langsung mengangguk. Mereka memiliki isi otak yang sama kali ini.Cuma entah kenapa, hal itu kemarin tak terpikirkan sama sekali.Baru saja mereka menyebut nama itu, seseorang muncul di ambang pintu kelas dan berdiri di sana. Matanya mengedarkan pandangan ke seantero kelas yang sibuk. Sassy dan Icha lan
Viola dan kedua sahabatnya sama-sama bernapas lega saat keluar kelas. Meskipun hari ini tidak ikut mata kuliah dari awal, tapi Viola merasa sangat letih. Mungkin karena semalam kurang tidur. Hari ini Viola juga nggak mood buat pergi ke butik. Jadi dia menyarankan supayaSassy dan Icha langsung pulang saja."Lo sendiri nggak pulang?" tanya Icha selagi mereka menyusuri koridor."Ya pulang lah. Emangnya lo pikir gue mau tidur dimana kalau nggak pulang?" sergah Viola."Maksud gue, sekarang lo mau kemana dulu?"Viola celingukan seperti mencari sesuatu."Mmmmm..... gue.... mau cari sesuatu dulu. Titipan mama," jawabnya asal."Yakin nggak mau kita temenin?" Sassy menyela.Viola menggeleng. "Udah nggak usah. Gue bisa sendiri kok.""Oke deh. Kalau gitu sampai ketemu besok. Daaaa...." Sassy dan Icha berlalu bersamaan.
Mereka berempat duduk di ruang tamu, di atas sofa usang yang sudah tidak empuk lagi. Nana di samping Bu Rasti, dan Viola di samping Bu Delia.Bu Rasti tampak malu dan sungkan melihat mamanya Viola yang baru saja gadis itu perkenalkan padanya. Usia mama Viola ini pasti hanya selisih beberapa tahun saja darinya, tapi penampilannya yang modis dan elegan membuatnya terlihat jauh lebih muda dari usianya. Yah, wajar saja."Nak Vio dan ibu mau minum apa?" Bu Rasti menawarkan.Bu Delia tersenyum. "Nggak usah repot-repot kak, kita kesini kan cuma mau main aja. Iya kan Vio?" liriknya ke Viola yang dibalas anggukan."Tapi bagi saya yang namanya tamu, ya harus dijamu," tepis Bu Rasti. "Nana, kamu bikin minum ya. Sekalian panggil kakak kamu," ia mencolek Nana.Nana mengangguk dan lantas berlalu ke belakang.Di kamarnya, Herga yang mendengar langkah Nana mendekati kamarnya
"Jangan ditunda-tunda Fan. Mungkin aja berakhirnya hubungan kamu sama Nessa itu merupakan sebuah takdir supaya kamu bisa bersama sama Viola. Lagian kenapa sih kamu itu kok nggak peka gitu? Coba untuk ungkapin perasaan kamu, nanti kalau dia sudah diambil orang, kamu nyeseeeel...."Steffan mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Ucapan mamanya itu terus terngiang-ngiang di telinganya, menghiasi isi kepalanya. Saat ini mungkin dia sudah merasakan sedikit penyesalan itu. Hhhhh, Steffan tersenyum kecut. Tapi memang kenyataannya perasaan itu baru muncul belum lama ini. Dari dulu Steffan benar-benar hanya menganggap Viola sebagai adik.Entahlah... hal-hal seperti ini memang penuh misteri.Steffan menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Malam ini perasaannya begitu hampa. Dia duduk dengan gelisah di atas tempat tidur di kamarnya menyatu dengan keheningan. Suasana yang hening namun tidak dengan isi kepalan