Herga merasa bosan berada di rumah sendirian. Beberapa kali dia berpindah tempat untuk mengusir jenuh. Nonton TV acaranya cuma gosip dan senetron nggak mutu. Scroll sosial media lama-lama juga capek. Isi beritanya itu-itu aja kalau lagi ada yang viral. Setelah menjelajahi ruangan tak seberapa yang ada di rumahnya, dia akhirnya memilih untuk nongol di teras. Dia ingat kata-kata ibunya sebelum berangkat jualan tadi. Belajar jalan tanpa kruk.
Herga melirik jam dinding usang di teras. Waktu menunjukkan pukul 10.30 siang. Cuaca di luar juga mulai terik. Dia jadi kepikiran ibunya. Dan kalau sudah begitu, keinginannya tentang lapak semakin menggebu-gebu.
"Ya Tuhan, semoga aja aku bisa dapat rejeki nomplok. Biar bisa sewain ibuk lapak buat jualan," lirihnya sembari menyandarkan kruk pada dinding.
Perlahan, Herga mulai melatih diri dan keseimbangan kakinya untuk bisa berjalan lagi tanpa bantuan kruk. Susah memang, karena luka di ka
"Emang kalau gue kesini karena kangen sama lo, kenapa? Nggak boleh?" ujar Viola bernada menantang. Meski dalam hati dia merasa dag dig dug juga mengatakan seperti itu. Viola hanya berusaha mengimbangi candaan Herga supaya tidak terkesan kaku.Dan ternyata itu malah membuat Herga spontan terbahak-bahak. Dia tertawa begitu lepas seolah apa yang dikatakan Viola barusan adalah sesuatu yang sangat lucu."Iiihhhh apaan sih Ga?!" Viola memberengut."Hmmmppfffhhh...." Herga berusaha menghentikan tawanya. "Sorry.... bukan niat gue buat ketawain lo. Gue lebih ke.... apa ya? Ngetawain diri gue sendiri... hahahahah...""Kenapa emang?""Lucu aja orang kaya gue dikangenin sama cewek kaya lo.""Aaahh udah udah udah.... bosen gue sama jawaban lo yang itu-itu melulu," Viola menyilangkan kedua tangan dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Bibirnya masih cemberut. Sebenarnya antara seb
"Doanya saja yang terbaik untuk kami, tante," jawab Steffan lugas. Dia tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada hubungannya ke siapapun, meski dia tahu suatu saat nanti Bu Delia bakalan tahu dari mamanya. Mereka kan kadang suka kumpul bareng pas acara arisan atau apalah itu. "Pasti," Bu Delia mengacungkan jempol. Dia meneguk minumannya yang tinggal tersisa sedikit lalu bersiap untuk pergi. "Ya udah ya Fan, tante balik dulu. Maaf lho udah ganggu jam makan siang kamu." "Enggak lah tante. Malah dengan begini, saya jadi ada teman makan siang di kantor," Steffan berdiri saat Bu Delia juga berdiri. Tak lama Bu Delia pun pergi dari tempat makan, meninggalkan Steffan yang masih berdiri mengamati langkahnya hingga menghilang di balik pintu. "Sugar mommy nih?" sebuah celetukan dari belakang tubuh Steffan menyentakkan dirinya. Ternyata Darwin, si supervisor. So
Seperti yang telah direncanakan, Viola dan mamanya jalan-jalan bareng hari ini. Kebetulan Viola juga sedang free ngampus jadi dia punya banyak waktu untuk bersenang-senang dengan mamanya. Setelah mengantar papa ke bandara, pasangan anak ibu itu langsung bertolak ke mall.Viola dan mamanya sebenarnya adalah pasangan yang klop di dunia jalan-jalan dan belanja. Cuma sayangnya mereka tidak memiliki banyak waktu untuk melakukannya bersama-sama.Hampir dua jam sepasang ibu anak itu keluar masuk toko satu ke toko lain sambil membawa beberapa tas yang berisi hasil perburuan mereka. Wajah-wajah keduanya masih menunjukkan raut semangat dan sumringah. Bahkan sesekali terlihat mereka tertawa bersama, entah menertawakan apa."Mama udah nih belanjanya. Ini aja. Kamu?" tanya Bu Delia setelah mereka keluar dari toko sepatu."Sama," Viola mengangkat beberapa paper bag yang bergelantungan di lengannya. "Ka
Bu Rasti baru saja selesai mencuci piring dan gelas kotor bekas makan malam. Setelah beres, ia lalu menghampiri Herga yang sedang melatih kakinya untuk kembali bisa berjalan tanpa bantuan kruk di ruang tamu. Bu Rasti tersenyum lega karena putra sulungnya itu sudah menunjukkan perubahan yang lebih baik. Dia memperhatikan Herga dari ambang pintu. "Eh... ibuk?" Herga berhenti, menyandarkan tubuhnya di dinding. "Gimana? Udah bisa seimbang?" Bu Rasti mendekati Herga dan duduk di sofa. "Hhhh, lumayan sih buk. Tapi kadang masih nyeri kalau buat nahan terlalu lama." "Ya udah istirahat dulu sini. Jangan terlalu dipaksain. Yang penting kan kamu ada usaha. Duduk sini," Bu Rasti menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. Herga duduk di sebelah ibunya dan menyelonjorkan kaki ke atas meja. "Maaf ya buk, biar lurus kakinya. Hehehe," Bu Rasti tersenyum sembari membelai kepa
Suara dering ponsel membangunkan Herga yang masih tertidur pulas. Perlahan dia membuka mata, meraba-raba bufet kecil yang ada di samping tempat tidurnya untuk mengambil ponsel yang masih terus berdering nyaring. Itu bukan dering alarm, melainkan panggilan masuk."Hufffhhhh.... siapa sih pagi-pagi? Ganggu orang masih ngantuk aja," gerutunya.Setelah berhasil mendapatkan ponselnya, tanpa melihat ke arah layar, jarinya menggesek ikon warna hijau ke atas."Halooo...." sapa Herga malas."Herga."Suara itu otomatis membuat Herga membuka mata begitu sempurna. Ia hafal betul itu suara siapa. Itu adalah suara Pak Fikri. Pemilik bengkel tempat Herga mencari uang. Herga pun bangkit dan menyandarkan punggung di dinding."P-pak Fikri? Maaf pak, ada apa ya?" Herga terbata.Pak Fikri menelfon Herga dan memintanya untuk datang ke bengkel hari ini. Herga pun mengiyak
"Eh, gimana kabar Herga, Vi? Dia udah lama banget lho kayaknya nggak masuk kuliah. Emang kakinya belum sembuh? Apa dia nggak kontrol ke dokter? Lo bilang tempo hari pas lo dateng ke rumah dia, dia lagi belajar jalan tanpa kruk kan?" tiba-tiba Sassy menyeletuk sekaligus memberondong pertanyaan pada Viola di saat mereka bertiga (Sassy, Viola dan Icha) sedang menikmati sarapan di kantin.Viola yang saat itu sedang menyuap sesendok nasi goreng hampir tersedak saking kagetnya. Kok tumben Sassy nanyain soal Herga sedetail itu. Ia dan Icha saling lirik. Namun sepertinya Icha sedang lebih asyik menikmati sarapannya ketimbang obrolan dan pertanyaan Sassy barusan. Jadi, dia cuek aja dan melanjutkan sarapannya. Dengan jahil dia justru mencomot krupuk di piring Viola yang langsung mendapat tampikan."Dihhh... ngrampas aja lo," gerutu Viola."Satu doang..." Icha tak menggubris dan terus melahap sekeping krupuk hasil rampasannya.
Berita tentang Herga yang diberhentikan dari pekerjaannya di bengkel akhirnya sampai juga di telinga Bu Rasti. Herga sudah terlanjur bingung dan merasa tidak bisa untuk menyembunyikannya dari ibunya. Sedih? Tentu. Namun karena Bu Rasti juga tahu bagaimana kondisi bengkel itu sekarang, dia pun bersikap legowo. Sudah hampir satu bulan, bengkel Pak Fikri sepi tidak seperti biasanya. Hal itu dikarenakan sekitar beberapa meter tak jauh dari sana, ada bengkel baru yang lebih besar dan lebih lengkap fasilitas serta alat-alat servisnya."Ya udah lah nak. Itu berarti rejeki kamu dari bengkel Pak Fikri cuma sampai di sini," ujar Bu Rasti legowo. "Kamu nggak usah banyak pikiran. Lagipula, kuliah kamu itu kan sudah hampir akhir, jadi mungkin saja dengan begini kamu bisa lebih fokus sama kuliah kamu.""Tapi buk, kita kan butuh biaya juga untuk kehidupan sehari-hari. Bukannya aku meremehkan kemampuan ibuk. Aku cuma nggak mau ibuk terlalu capek bekerja.
Steffan mondar-mandir dengan gelisah di ruang kerjanya. Pikiran dan perasaannya saling berbenturan dengan apa yang kini tengah ia rasakan. Apa iya aku mulai menyukai Viola?Pertanyaan itu yang sedari semalam terus berputar di kepalanya.Sedang melamun sembari menatap keluar melalui jendela kaca besar, suara pintu yang terbuka dari luar membuatnya tersentak. Steffan memutar tubuhnya dan seketika langsung menghela nafas berat saat melihat siapa yang datang.Nessa, perempuan tersenyum manis ke arahnya sebelum kembali berjalan mendekat. Steffan melengos saat Nessa berdiri tepat di seberang meja besarnya."Hai Fan," sapa Nessa ringan. Steffan melengos membuat Nessa tersenyum kecut. Dia menyadari kesalahannya namun tidak ingin lagi berdebat. "Aku datang ke sini bukan untuk mencari gaduh kok," tuturnya.Steffan hanya merespon dengan hembusan nafas berat.Begitu juga dengan Nessa.