“Tuan telah menyelamatkan nyawaku. Uang ini bukanlah apa-apa dibandingkan kebaikan Tuan.”
Selama dua bulan lebih Rafandra berada di rumah sakit menjalani perawatan intensif dan terapi tulang agar bisa kembali berjalan. Selama itu pula Tuan Martin selalu meluangkan waktu menjenguknya, meski tidak setiap hari.
Pada bulan pertama, Rafandra hanya terbaring di atas ranjang rumah sakit tanpa bisa melakukan apa-apa, dan Tuan Martin adalah satu-satunya orang yang terus mendukungnya dan membiayai seluruh pengobatannya. Kebaikan ini yang membuat Rafandra tidak berpikir dua kali untuk memberikan uangnya.
Karena Tuan Martin terus menolak, Rafandra menggunakan titik lemah Tuan Martin, yaitu para pekerja. Rafandra mengatakan bahwa uang ini bisa menghindarkan para pekerja dari pemecatan. Jika perusahaan miliknya bangkrut, maka para pekerjalah yang menjadi korban. Baru setelah itu Tuan Martin mau menerimanya, tapi menganggapnya sebagai hutang yang harus dibayar.
Ingatan tentang Tuan Martin selalu muncul setiap kali Rafandra mendapat perlakuan buruk dari keluarganya seperti yang terjadi hari ini.
Hari ini dia harus berjalan keluar dengan kepala tertunduk. Istrinya sendiri tidak menghendaki kehadirannya. Dia lebih senang berdampingan dengan Max Hendrawan di atas sana.
“Kenapa Tuan menantu yang hebat ini sudah keluar?” ejek satpam yang menjaga pintu. Dia tersenyum sambil terus menatap Rafandra.
Rafandra tidak mempedulikan ejekan satpam tersebut. Dia berjalan melaluinya tanpa sedikit pun melihatnya.
Lalu dia melihat sebuah mobil mewah berhenti di depan perusahaan baru Alexa. Dari dalam mobil tersebut keluar seorang pria muda yang sangat tampan. Dia mengenakan pakaian yang sangat mahal dan bermerek.
Satpam yang baru saja mengejeknya berjalan cepat menyambut kedatangan pria muda itu.
“Selamat datang, Tuan Alex Gunawan,” sapa satpam tersebut sopan.
Pria muda itu memberi tips yang cukup besar pada satpam tersebut, lalu berjalan masuk melewati Rafandra tanpa menyapanya.
Alex Gunawan adalah pewaris salah satu keluarga terkaya di Kota Loven. Di usianya yang masih sangat muda, dia sudah menjadi presiden direktur Grup Gunawan yang memiliki banyak lini usaha. Hampir semua orang mengenalnya karena sering muncul di televisi.
“Kau lihat mereka, sayang. Bagaikan langit dan bumi,” ucap seorang wanita paruh baya dengan dandanan mewah. Dia dan suaminya baru saja turun dari mobil yang berada di belakang mobil Alex Gunawan.
“Kau salah,” kata suaminya. “Yang benar bagaikan langit dan dasar laut,” lanjutnya sembari tertawa menatap Rafandra dengan sinis.
Wanita paruh baya itu tertawa dengan memukulkan tasnya pelan ke dada suaminya. Begitu juga dengan satpam yang sedang berdiri menyambut mereka.
Kemudian satpam itu mendekati dua orang berpakaian mewah tersebut dan bertanya:
“Bisa Tuan dan Nyonya tunjukkan surat undangan resmi perusahaan kami?” tanyanya dengan sopan.
Pria paruh baya itu mengambil surat undangan dari saku dalam jasnya dan memberikannya kepada satpam tersebut.
“Oh, rupanya Tuan Robin Andreas dan Nyonya Angeline Darmawan. Maaf tidak mengenali kalian,” ucap satpam itu menundukkan kepalanya.
Tanpa mempedulikan satpam tersebut, Robin mendekati Rafandra.
“Selamat datang, Paman Andreas,” sapa Rafandra setelah pria paruh baya itu mendekat.
“Kau bukan keponakan kami! Kau tidak berhak memanggilnya Paman!” sela Angeline dengan keras. Dia adalah adik kandung Alan Darmawan, ayah Alexa Darmawan.
Karena suaranya yang keras, banyak orang yang keluar masuk perusahaan melihat ke arah Rafandra. Mereka semua menatapnya dengan tatapan sinis. Semua orang memperhatikan pakaian yang dipakai Rafandra.
Bagi orang-orang kaya, mata mereka bisa langsung menilai merek dan harga pakaian orang lain hanya dengan sekali tatap.
“Aku menikahi Alexa. Bukankah itu membuatku menjadi keponakan kalian?”
Robin Andreas menggelengkan kepalanya dengan menyunggingkan senyum kecil.
“Ayah mungkin menerimamu, tapi kami tidak. Orang miskin dan tidak berguna sepertimu tidak pantas menjadi keluarga kami,” ujar Robin sembari menyentuh dada Rafandra beberapa kali dengan jari telunjuknya.
Rafandra menatap Robin dengan tajam. Dalam sorot matanya tidak ada rasa takut sama sekali.
“Kau berani menatap suamiku seperti itu!”
Plakk...
Angeline menampar pipi Rafandra dengan sangat keras.
“Pakaian suamiku lebih berharga dari kedua matamu!”
Kejadian itu menarik perhatian semua orang karena terjadi di pintu masuk perusahaan. Banyak orang yang mendekati titik kejadian itu, termasuk orang-orang yang sudah berada di dalam hall perusahaan.
Hal itu membuat Alexa dan keluarganya penasaran. Mereka bertanya-tanya kenapa banyak orang yang baru saja masuk ke dalam memilih keluar lagi. Mereka pun berjalan menuju pintu keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Kau masih berani menatap suamiku seperti itu!” ucap Angeline dengan keras. Lalu dia melayangkan tangannya kembali untuk menampar pipi Rafandra.
Namun kali ini Rafandra tidak tinggal diam. Dia menangkap tangan Angeline sebelum mengenai pipinya.
“Tante tak punya hak menampar wajahku!” ujar Rafandra penuh penekanan.
Tapi...
Plakk...
Sebuah tamparan yang jauh lebih keras mengenai pipi Rafandra yang sebelah kiri.
“Bagaimana denganku?! Apa aku juga tak punya hak menamparmu?” ucap Anett Wongso.
Rafandra terkejut mendapat tamparan keras ini. Dia menatap ibu mertuanya dengan tajam, tapi tatapannya melunak setelah melihat Alexa menatapnya dengan menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Ada raut kecewa di wajah Alexa. Dia merasa suaminya telah membuat kekacauan di hari paling penting dalam hidupnya. Dia pun pergi masuk ke dalam meninggalkan kerumunan itu diikuti oleh Max Hendrawan.
Rafandra hendak berlari mengejar Alexa, tapi Anett dan Robin mencegahnya.
“Pergi kau dari sini! Dasar sampah!” kutuk Anett. Lalu dia mengarahkan pandangannya pada para satpam yang menjaga pintu masuk. “Jangan biarkan dia masuk. Usir dia dari sini agar acara pembukaan berjalan lancar!”
Setelah berucap dengan nada tinggi dan kasar, Anett kembali tersenyum kepada para tamu undangan.
“Maaf atas pemandangan tak mengenakkan ini,” katanya lembut, tapi para tamu undangan masih berbisik-bisik satu sama lain.
Kemudian Alex Gunawan berdiri di samping Anett Wongso.
“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, acara segera dimulai. Sebaiknya kita kembali ke dalam. Kalian tak perlu memikirkan orang ini, biar satpam yang mengurusnya,” ucapnya dengan lugas. “Aku akan memberikan kartu keanggotaan VIP bagi orang yang tetap tinggal sampai acara pembukaan selesai. Dengan kartu itu, kalian akan diberi akses kemewahan tiada batas di seluruh jaringan hotel nilik Grup Gunawan.”
Mendengar tawaran dari Alex, membuat semua orang kembali masuk ke dalam. Kartu VIP hotel Grup Gunawan memiliki keistimewaan yang luar biasa. Orang yang memilikinya akan mendapatkan pelayanan dan akses kemewahan lebih baik dari pelanggan biasa.
“Terima kasih, Tuan Alex,” ucap Annet dengan tersenyum hangat.
“Tidak apa-apa, Tante. Itu bukan masalah besar bagiku.”
“Sayang kau tidak jadi menantuku,” kata Annet.
Alex tersenyum sembari memegang tangan Annet.
“Peluang selalu ada, Tante. Asalkan Tante memberi restu, aku bisa menjadi menantu Tante.”
Annet tersenyum.
“Itu sudah pasti. Kau tahu sendiri, aku sudah memberi restuku padamu dari dulu. Gara-gara laki-laki sialan ini semuanya kacau,” ucapnya sambil memandang Rafandra yang sedang dipegangi para satpam.
Alex menatap Rafandra yang masih memandang pintu masuk perusahaan. Dia ingin sekali masuk ke dalam untuk menjelaskan semuanya pada istrinya.
“Kenapa kalian masih di sini. Bawa dia pergi sekarang!” perintah Alex.
“Baik, Tuan.”
Empat satpam itu langsung membawa Rafandra pergi dari sini. Rafandra berusaha melepaskan cengkeraman empat satpam tersebut tapi dia gagal.
“Maaf telah berlaku lancang, Tante,” kata Alex pada Anett.
“Tidak apa-apa. Kau bebas berbuat apa pun pada menantu sialan itu.”
Lalu mereka berdua masuk ke dalam untuk menyaksikan acara pembukaan perusahaan baru Alexa.
Para satpam membawa Rafandra ke tempat parkir perusahaan. Mereka menguncinya di ruang ganti satpam seluas empat meter.
“Kau tunggu di dalam sampai acara pembukaan selesai!” ucap salah satu dari mereka.
Broog... broog... broog...
“Lepaskan aku!” teriak Rafandra sambil memukul-mukul pintu ruangan tersebut.
Setelah cukup lama melakukannya, Rafandra berhenti sambil terduduk di tembok samping pintu. Entah sudah berapa kali dia mengalami hal tidak menyenangkan seperti ini.
Bahkan saat dia mengalami kecelakaan mobil satu tahun yang lalu, tidak ada seorang pun yang menjenguk apalagi mengurusnya, termasuk Alexa. Mereka malah dengan semena-mena menyalahkan Rafandra yang telah menghancurkan mobil keluarga dan menuntut ganti rugi kepadanya.
Saat itu Rafandra harus terbaring di rumah sakit hampir satu minggu lamanya. Dia mengalami patah kaki kiri yang cukup parah. Sejak saat itu, Rafandra tidak diperbolehkan menaiki mobil Keluarga Darmawan lagi, bahkan sebagai penumpang. Dia pun harus membayar seluruh kerusakan mobil yang dikendarainya.
Kreekk... kretekk...
Terdengar suara pintu di samping Rafandra terbuka dengan sendirinya.
Rafandra terkejut mendengar suara itu. Dia langsung berdiri mendorong pintu tersebut dan melihat seorang berbadan tegap berjalan menjauh.“Tuan, Tunggu!” seru Rafandra. “Siapa nama Tuan?!” teriaknya keras.Pria berbadan tegap itu hanya mengangkat tangannya tanpa membalikkan badannya. Dia terus berjalan menjauh.Melihat pria tersebut tidak berminat memberikan namanya, Rafandra tersenyum sembari berucap dengan keras:“Terima kasih, Tuan!”Setelah keluar dari ruangan itu, Rafandra melihat jam tangannya. Sudah hampir setengah jam dia berada di ruangan tersebut. Lalu dia berjalan ke tempat parkir khusus motor dan mengambil motornya. Dia pun memutuskan untuk pulang ke rumah.Dalam perjalanan pulang, Rafandra terus memikirkan istrinya, Alexa. Usia pernikahan mereka sudah hampir tiga tahun lamanya, tepatnya dua tahun enam bulan. Tapi hubungan mereka sangat dingin setelah Tuan Martin meninggal.Tak berselang lama, Rafandra sampai di rumahnya. Rumah yang sangat besar dan megah. Dia dan Alexa ti
Rafandra duduk setengah berjongkok untuk menggendong anaknya. Setiap hari dia memang bertugas mengantar jemput anaknya di Sekolah Balita Elissa Ray. Salah satu sekolah balita terbaik di Kota Loven.Khusus hari Senin, Rabu dan Jum’at pihak sekolah mengadakan layanan penjemputan. Di hari-hari itu pula Rafandra bisa tidur agak lama karena pihak sekolah melakukan penjemputan sebelum Alexa berangkat bekerja.“Maaf, aku lupa,” kata Rafandra.“Kau memang tidak berguna!” ucap Alan.“Bawa Revan masuk. Aku bosan mendengar suara tangisnya,” ujar Frida.Rafandra terlihat sangat marah. Dia langsung berbalik badan agar ekspresi wajahnya tidak terlihat oleh mereka. Dia bisa menahan hinaan apa pun, tapi jika sudah berkenaan dengan anaknya, dia merasa sangat tersinggung.Rafandra membawa anaknya ke ruang bermain yang sangat besar. Tangis Revan langsung berhenti setelah berada di pelukan Rafandra.“Revan di sini dulu ya? Papa ke dapur sebentar,” ucap Rafandra dengan berjongkok di depannya.Revan mengan
“Eh, Revan.”Rafandra bergegas mendekati anaknya dan menggendongnya dengan senyum lucu.“Revan mencari Papa ya?”Anak laki-laki kecil itu mengangguk dengan polosnya. Inilah salah satu alasan yang membuatnya terus bertahan selain janjinya kepada Tuan Martin.Lalu terdengar suara mobil yang pergi meninggalkan rumah ini. Rafandra pun berjalan ke ruang tamu sambil menggendong Revan. Belum sampai di ruang tamu, dia mendengar perbincangan Alan, Frida dan Alexa.“Enam bulan lagi kau bisa menceraikan laki-laki tidak berguna itu,” kata Frida Darmawan. “Setelah itu kau bebas menikah dengan siapa saja.”Alan mendesah.“Andai Kakekmu tidak memaksaku menandatangani surat perjanjian itu, aku sudah mengusir Rafandra dari rumah ini,” ucapnya.Alexa terlihat menganggukkan kepalanya.“Siapa yang akan kau pilih di antara mereka berdua?” tanya Frida kepada Alexa.“Menurut Papa, Alex jauh lebih kaya dan tampan, tapi jika kau memilih Max, Papa juga tidak keberatan.”“Aku sependapat dengan Papa,” sambung Fr
Hari ini adalah hari pembukaan perusahaan kosmetik milik istrinya, Alexa Darmawan.Rafandra Sanjaya terbangun dari tidurnya dengan terburu-buru. Dia bergegas melihat jamnya, lalu menepuk kepalanya sendiri.“Aku terlambat.”Dia langsung mencuci mukanya dan memakai pakaian seadanya. Karena waktu yang terbatas, dia tidak sempat memilih pakaian terbaik yang dimilikinya.Rafandra Sanjaya menaiki motornya yang terlihat kusam belum dicuci. Berulang kali dia melihat jam di tangannya.Setelah dua puluh menit perjalanan, dia sampai di sebuah gedung yang tidak tinggi, tapi mewah dan elegan. Desain bangunannya menggambarkan dengan jelas bahwa gedung ini adalah perusahaan kosmetik yang dikelola anak muda.Banyak karangan bunga ucapan selamat berukuran besar berbaris di depan perusahaan baru ini. Semuanya menuliskan nama Alexa Darmawan dan nama perusahaannya, Alexa Kreasi Cantika.Perusahaan kosmetik ini didanai oleh PT. Darmawan Cosmetics International, salah satu perusahaan di bawah Grup Darmawan
“Eh, Revan.”Rafandra bergegas mendekati anaknya dan menggendongnya dengan senyum lucu.“Revan mencari Papa ya?”Anak laki-laki kecil itu mengangguk dengan polosnya. Inilah salah satu alasan yang membuatnya terus bertahan selain janjinya kepada Tuan Martin.Lalu terdengar suara mobil yang pergi meninggalkan rumah ini. Rafandra pun berjalan ke ruang tamu sambil menggendong Revan. Belum sampai di ruang tamu, dia mendengar perbincangan Alan, Frida dan Alexa.“Enam bulan lagi kau bisa menceraikan laki-laki tidak berguna itu,” kata Frida Darmawan. “Setelah itu kau bebas menikah dengan siapa saja.”Alan mendesah.“Andai Kakekmu tidak memaksaku menandatangani surat perjanjian itu, aku sudah mengusir Rafandra dari rumah ini,” ucapnya.Alexa terlihat menganggukkan kepalanya.“Siapa yang akan kau pilih di antara mereka berdua?” tanya Frida kepada Alexa.“Menurut Papa, Alex jauh lebih kaya dan tampan, tapi jika kau memilih Max, Papa juga tidak keberatan.”“Aku sependapat dengan Papa,” sambung Fr
Rafandra duduk setengah berjongkok untuk menggendong anaknya. Setiap hari dia memang bertugas mengantar jemput anaknya di Sekolah Balita Elissa Ray. Salah satu sekolah balita terbaik di Kota Loven.Khusus hari Senin, Rabu dan Jum’at pihak sekolah mengadakan layanan penjemputan. Di hari-hari itu pula Rafandra bisa tidur agak lama karena pihak sekolah melakukan penjemputan sebelum Alexa berangkat bekerja.“Maaf, aku lupa,” kata Rafandra.“Kau memang tidak berguna!” ucap Alan.“Bawa Revan masuk. Aku bosan mendengar suara tangisnya,” ujar Frida.Rafandra terlihat sangat marah. Dia langsung berbalik badan agar ekspresi wajahnya tidak terlihat oleh mereka. Dia bisa menahan hinaan apa pun, tapi jika sudah berkenaan dengan anaknya, dia merasa sangat tersinggung.Rafandra membawa anaknya ke ruang bermain yang sangat besar. Tangis Revan langsung berhenti setelah berada di pelukan Rafandra.“Revan di sini dulu ya? Papa ke dapur sebentar,” ucap Rafandra dengan berjongkok di depannya.Revan mengan
Rafandra terkejut mendengar suara itu. Dia langsung berdiri mendorong pintu tersebut dan melihat seorang berbadan tegap berjalan menjauh.“Tuan, Tunggu!” seru Rafandra. “Siapa nama Tuan?!” teriaknya keras.Pria berbadan tegap itu hanya mengangkat tangannya tanpa membalikkan badannya. Dia terus berjalan menjauh.Melihat pria tersebut tidak berminat memberikan namanya, Rafandra tersenyum sembari berucap dengan keras:“Terima kasih, Tuan!”Setelah keluar dari ruangan itu, Rafandra melihat jam tangannya. Sudah hampir setengah jam dia berada di ruangan tersebut. Lalu dia berjalan ke tempat parkir khusus motor dan mengambil motornya. Dia pun memutuskan untuk pulang ke rumah.Dalam perjalanan pulang, Rafandra terus memikirkan istrinya, Alexa. Usia pernikahan mereka sudah hampir tiga tahun lamanya, tepatnya dua tahun enam bulan. Tapi hubungan mereka sangat dingin setelah Tuan Martin meninggal.Tak berselang lama, Rafandra sampai di rumahnya. Rumah yang sangat besar dan megah. Dia dan Alexa ti
“Tuan telah menyelamatkan nyawaku. Uang ini bukanlah apa-apa dibandingkan kebaikan Tuan.”Selama dua bulan lebih Rafandra berada di rumah sakit menjalani perawatan intensif dan terapi tulang agar bisa kembali berjalan. Selama itu pula Tuan Martin selalu meluangkan waktu menjenguknya, meski tidak setiap hari.Pada bulan pertama, Rafandra hanya terbaring di atas ranjang rumah sakit tanpa bisa melakukan apa-apa, dan Tuan Martin adalah satu-satunya orang yang terus mendukungnya dan membiayai seluruh pengobatannya. Kebaikan ini yang membuat Rafandra tidak berpikir dua kali untuk memberikan uangnya.Karena Tuan Martin terus menolak, Rafandra menggunakan titik lemah Tuan Martin, yaitu para pekerja. Rafandra mengatakan bahwa uang ini bisa menghindarkan para pekerja dari pemecatan. Jika perusahaan miliknya bangkrut, maka para pekerjalah yang menjadi korban. Baru setelah itu Tuan Martin mau menerimanya, tapi menganggapnya sebagai hutang yang harus dibayar.Ingatan tentang Tuan Martin selalu mun
Hari ini adalah hari pembukaan perusahaan kosmetik milik istrinya, Alexa Darmawan.Rafandra Sanjaya terbangun dari tidurnya dengan terburu-buru. Dia bergegas melihat jamnya, lalu menepuk kepalanya sendiri.“Aku terlambat.”Dia langsung mencuci mukanya dan memakai pakaian seadanya. Karena waktu yang terbatas, dia tidak sempat memilih pakaian terbaik yang dimilikinya.Rafandra Sanjaya menaiki motornya yang terlihat kusam belum dicuci. Berulang kali dia melihat jam di tangannya.Setelah dua puluh menit perjalanan, dia sampai di sebuah gedung yang tidak tinggi, tapi mewah dan elegan. Desain bangunannya menggambarkan dengan jelas bahwa gedung ini adalah perusahaan kosmetik yang dikelola anak muda.Banyak karangan bunga ucapan selamat berukuran besar berbaris di depan perusahaan baru ini. Semuanya menuliskan nama Alexa Darmawan dan nama perusahaannya, Alexa Kreasi Cantika.Perusahaan kosmetik ini didanai oleh PT. Darmawan Cosmetics International, salah satu perusahaan di bawah Grup Darmawan