Karena itu, setiap kali ada keputusan-keputusan salah yang diambil Alan dan keluarganya, Rafandra selalu merasa kasihan pada Tuan Martin. Dia selalu menghela nafas panjang setiap kali hal ini terjadi.
Kenangan-kenangan indahnya bersama Tuan Martin selalu muncul saat keluarganya menampilkan perilaku buruk, termasuk yang terjadi kepadanya saat ini.
Kringg... kringg...
Ponsel Rafandra berdering cukup kencang. Kemudian dia melihat layar ponselnya. Di layar itu tertulis nama Michael Crouch. Dia adalah salah satu pemegang saham yang cukup besar di Grup Darmawan.
“Halo, Tuan Rafandra. Aku sudah melaksanakan apa yang Tuan perintahkan. Seluruh jaringan supermarket Leivan akan menampilkan dan mempromosikan produk-produk kecantikan dari perusahaan istri Tuan.”
“Terima kasih sudah bekerja keras, Tuan.”
“Tidak, Tuan. Bisa mendapatkan perintah dari Tuan adalah pencapaian.”
“Tuan Michael terlalu mengada-ngada.”
“Hanya saja beberapa produk yang akan dirilis perusahaan istri Tuan belum mendapat izin edar. Sepertinya ada perusahaan kompetitor yang bermain di sini. Aku dengar mereka menyuap Badan Pengawasan Kosmetik (BPKos) dengan nilai yang cukup besar.”
“Apa nama perusahaan yang bermain kotor?” tanya Rafandra.
“Marcella Fashion & Beauty, Tuan. Perusahaan milik Marcella Danuharja.”
“Marcella Danuharja?”
“Benar, Tuan. Itu informasi yang aku dapatkan dari orang Badan Pengawasan Kosmetik. Mereka pagi tadi menggagalkan launching produk perusahaan istri Tuan.”
Rafandra terkejut. Sekarang dia paham masalah yang tengah menimpa istrinya.
“Baik, terima kasih informasinya.”
“Jika Tuan butuh bantuanku lagi, aku selalu siap membantu.”
“Terima kasih Tuan Michael. Sampai jumpa lagi.”
“Sampai jumpa, Tuan.”
Rafandra menutup teleponnya.
Michael Crouch adalah orang yang diminta Rafandra untuk menyetujui proposal pembentukan perusahaan kosmetik baru di bawah PT. Darmawan Cosmetics International. Dia juga ditugaskan untuk membujuk jajaran direksi lainnya.
Sebagai orang yang memiliki dua puluh empat persen saham Grup Darmawan, persetujuannya memiliki bobot tersendiri. Itulah alasan kenapa Alexa bisa memiliki perusahaannya sendiri dengan sokongan dana yang cukup besar.
“Eh, Revan.”
Rafandra bergegas mendekati anaknya yang muncul di pintu kamar Alexa. Dia langsung menggendongnya dengan senyum melucu.
“Revan mencari Papa ya?”
Anak laki-laki kecil itu mengangguk dengan polosnya. Inilah salah satu alasan yang membuatnya terus bertahan selain janjinya kepada Tuan Martin.
Lalu terdengar suara mobil yang pergi meninggalkan rumah ini. Rafandra pun membiarkan Revan kembali bermain di ruang bermainnya, dan dia berjalan ke ruang tamu. Belum sampai di ruang tamu, dia mendengar perbincangan Alexa, Susan dan Lena.
“Apa yang harus kita lakukan? Hari ini kita gagal melakukan launching produk,” ucap Susan. Dia dan Lena menjadi penanam modal yang cukup besar di perusahaan Alexa.
“Bahkan Alex dan Max tidak bisa melakukan apa-apa meski mereka menawarkan suap yang cukup besar pada Badan Pengawasan Kosmetik,” sambung Lena.
“Selain uang, kita butuh kekuasaan. Tanpa itu, kita tidak akan menang melawan Marcella Danuharja,” kata Alexa.
“Aku bisa melakukannya,” ucap Rafandra tiba-tiba.
Susan dan Lena tertawa cukup keras, sedangkan Alexa menggelengkan kepalanya.
“Apa kau kurang memberinya uang saku, Alexa? Sampai dia berhalusinasi seperti ini,” kata Susan dengan nada penuh ejek.
Lena tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Susan, sedangkan Alexa terlihat sangat kesal.
“Kau ini gila! Belum cukup kah kau merusak hariku!” hardiknya keras.
“Aku tidak sedang bermain-main. Aku bisa membuat produkmu mendapatkan izin edar dari Badan Pengawasan Kosmetik,” ucap Rafandra.
Lena dan Susan berdiri menghampiri Rafandra.
“Jika kau bisa melakukannya, aku dan Susan akan berlutut menghormatimu,” kata Lena.
“Aku pegang kata-katamu. Jangan sampai kau ingkar janji.”
“Hahaha...,” Susan tertawa keras. “Jangankan satu kali, aku akan berlutut menyembahmu seratus kali jika kau bisa melakukannya.”
“Sudah! Sudah! Kalian ini gila atau apa? Kita sedang berada dalam krisis. Bukan waktunya bermain-main.”
Alexa terlihat sangat marah.
Susan dan Lena kembali duduk di samping Alexa.
“Aku hanya ingin memberi pelajaran pada suamimu yang tidak tahu diri itu,” kata Susan.
“Benar, kau jangan marah Alexa.”
Lena mengelus-elus lengan Alexa.
“Kau bereskan semua ini! Aku muak melihat wajahmu!” ucap Alexa pada Rafandra.
Rafandra menatap mereka bertiga, lalu dia mengambil ponselnya dan menelepon seseorang.
Tuutt... tuutt...
“Halo, Tuan Ferdinand Miharja,” sapa Rafandra dalam teleponnya.
Mendengar itu membuat Alexa, Susan dan Lena terdiam untuk sesaat. Kemudian Lena dan Susan menertawakan Rafandra sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Rafandra yang sedang berdiri di depannya.
“Dia mau membohongi kita,” ucap Lena.
Ferdinand Miharja adalah ketua Badan Pengawasan Kosmetik Republik Worthen. Dia sangat terkenal di kalangan pebisnis kosmetik. Semua orang pernah melihat wajahnya karena sering muncul di televisi.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Ferdinand Miharja.
Rafandra sengaja mengaktifkan mode loud speaker agar Alexa, Lena dan Susan mendengarnya.
“Aku ingin Tuan mengeluarkan izin edar untuk produk-produk milik Alexa Kreasi Cantika,” ucap Rafandra.
“Alexa Kreasi Cantika?” tanya Ferdinand Miharja heran. Dia tidak mengenal nama perusahaan itu.
“Benar. Perusahaan baru yang ada di Kota Loven.”
“Oh, baik, Tuan. Aku akan segera hubungi Randal Walio dan memintanya untuk segera mengeluarkan izin edar.”
Randal Walio adalah ketua Badan Pengawasan Kosmetik Kota Loven,
“Baik, terima kasih banyak. Tolong langsung dikirim ke email perusahaan. Aku sedang tidak ada waktu bertemu Randal.”
“Baik, Tuan. Izin edar akan keluar dalam hitungan menit.”
“Terima kasih banyak, Tuan Ferdinand.”
Rafandra langsung menutup teleponnya tanpa menunggu Ferdinand membalas ucapan terima kasihnya.
Lena dan Susan tertawa cekikikan sampai air muka mereka memerah. Sementara Alexa menatap Rafandra dengan amarah yang membuncah. Dia berdiri dari duduknya dan mendekati Rafandra.
“Sudah cukup kau bermain-main. Kau kira apa yang kau lakukan itu lucu!”
Rafandra tersenyum.
“Aku hanya ingin membantu.”
“Dasar laki-laki tidak berguna!”
Alexa sudah mengangkat tangannya hendak menampar Rafandra. Tiba-tiba ponselnya berbunyi sangat keras.
“Tuan Randal! Alexa, Tuan Randal meneleponmu,” ucap Susan sembari memberikan ponsel Alexa kepadanya.
Alexa melihat layar ponselnya. Di sana tertulis nama Tuan Randal Walio.
“Halo, Tuan Randal,” sapa Alexa terburu-buru.
“Maaf atas kelancangan kami pagi tadi. Sekarang izin edar produk-produk Alexa Kreasi Cantika sudah kami keluarkan. Ke depannya mohon kerja samanya dengan Nona Alexa.”
Alexa tersenyum kegirangan.
“Baik, baik, terima kasih banyak, Tuan Randal.”
“Sekali lagi kami mohon maaf, Nona Alexa. Kami tidak tahu Nona Alexa memiliki akses ke BPKos pusat. Kami harap Nona Alexa bisa menyampaikan hal-hal baik tentang kami kepada Tuan Ferdinand Miharja.”
Alexa terkejut mendengar hal itu. Dia hanya bisa diam karena sama sekali tidak mengenal Tuan Ferdinand Miharja.
“Kami sudah kirimkan izin edar produk-produk Nona Alexa melalui email perusahaan. Silakan dicek. Jika Nona membutuhkan sesuatu, bisa hubungi nomor ini secara langsung.”
“Baik, Tuan Randal. Terima kasih banyak.”
“Sekali lagi kami mohon maaf atas sikap kami pagi tadi.”
“Tidak masalah, Tuan.”
“Baik, jika tidak ada lagi yang ingin disampaikan, kami akhiri panggilan ini.”
“Baik, Tuan. Terima kasih banyak.”
“Sama-sama, Nona Alexa.”
Lalu Randal memutuskan teleponnya.
Alexa bergegas mengecek email perusahaannya. Dia melihat terdapat beberapa email baru dari Badan Pengawasan Kosmetik. Semuanya berisi surat izin edar produk-produk kosmetik milik perusahaan Alexa Kreasi Cantika.
“Izin edar produk-produk kita sudah keluar!” ucap Alexa pada Susan dan Lena.
Mereka bertiga berpelukan bahagia. Itu artinya mereka sudah bisa melaunching dan memasarkan produk mereka secara luas.Rafandra melihat dengan tersenyum, lalu dia mendekati mereka bertiga,“Bukankah kau berjanji akan berlutut di depanku?” ucap Rafandra.Mendengar itu membuat mereka bertiga melepaskan pelukannya masing-masing.Susan dan Lena menatap Rafandra dengan pekat. Mereka sepertinya sedang memikirkan sesuatu.“Aku tidak percaya kau yang melakukannya! Tidak mungkin!” kata Lena.“Pengangguran sepertimu tidak mungkin bisa melakukannya. Aku yakin ini hasil kerja Alex atau Max,” ucap Susan.“Kau benar, Susan. Mereka berjanji akan terus berusaha menyelesaikan hal ini, bukan?” ujar Lena.“Karena itu aku yakin, kau hanya seorang pembual!” kata Susan dengan mendorong dada Rafandra.“Kalian gila jika mempercayainya. Aku sudah bersamanya lebih dari dua tahun. Dia hanyalah pengangguran tak berguna,” sambung Alexa.Rafandra tersenyum.“Aku benar-benar mengenal Tuan Ferdinand,” katanya.“Janga
Rafandra menggeleng.“Aku hanya tidak mau banyak orang kehilangan pekerjaan setelah Tuan Martin wafat. Karena itu aku mendirikan perusahaan ini bersama kalian. Aku senang perusahaan ini bisa berkembang pesat.”Saat itu, Alan Darmawan dan anggota keluarga Darmawan lainnya memutuskan untuk menutup pabrik tekstil karena dipandang tidak memberikan keuntungan yang besar.Mereka mengalihkan biaya operasional pabrik tekstil untuk membeli secara langsung kain yang sudah jadi, lalu mereka olah di pabrik garmen milik mereka. Dalam hitungan mereka, hal itu jauh lebih menguntungkan.Saat mendengar keputusan tersebut, dua asisten pribadi Tuan Martin menentang. Mereka adalah Daniel William dan Harry Maruti. Mereka berdebat keras dengan Alan Darmawan hingga membuat mereka dipecat.Mengetahui akan terjadi PHK massal, sekitar lima ribu orang lebih, Rafandra menghubungi Daniel dan Harry satu bulan kemudian. Mereka memang sering bertemu sebelumnya. Harry dan Daniel sering diminta Tuan Martin untuk menem
“Awalnya...”Kretek...Terdengar suara pintu depan terbuka. Rafandra dan Anna langsung mengarahkan pandangannya ke arah pintu itu. Terlihat dua orang sedang berjalan masuk dengan senyum mengembang.“Mas Rafandra!” ucap Liam Suryawijaya yang mempercepat jalannya setelah melihat Rafandra, tapi langkahnya tersusul oleh adik perempuannya, Sarah Suryawijaya.Wanita muda itu berlari kencang ke arah Rafandra dan langsung memeluknya.“Ke mana saja kamu, Mas?” tanya Sarah masih memeluknya.“Nanti aku ceritakan.”Liam pun melakukan hal yang sama dengan adiknya. Dia pun memeluk Rafandra dari samping. Mereka bertiga berpelukan cukup lama untuk melampiaskan rasa kangen.Sejak kecil mereka bertiga memang sangat akrab. Mereka lebih mirip saudara kandung daripada saudara sepupu.“Bagaimana kabar kalian?” tanya Rafandra setelah mereka duduk di sampingnya.“Aku baik-baik saja, tapi Mas Liam...”Liam mengusek kepala adiknya.“Aku kurang baik, Mas,” katanya tersenyum.Rafandra melihat ada dua orang lain
Tuan Sagal tersenyum kepada semua orang. Dia mengulurkan tangannya menyalami mereka semua.“Perkenalkan aku Luis Sagal. Pengacara Tuan Liam Suryawijaya.”Semua orang masih terperangah, terutama Alexander dan tim legalnya. Bagaimana tidak, mereka semua bekerja di firma hukum milik Tuan Sagal. Pikiran mereka pun melayang ke mana-mana, karena selama ini Luis Sagal tidak pernah menangani kasus lokal secara langsung. Dia hanya menangani kasus internasional.Karena itu mereka bertanya-tanya, siapa orang yang bisa mempekerjakan Luis Sagal sampai menjadi pengacara Liam Suryawijaya. Dia yakin Grup Suryawijaya tidak mungkin mampu membujuk Tuan Sagal untuk menjadi pengacaranya, karena grup-grup yang lebih besar sekalipun tidak pernah berhasil melakukannya.“Eh, aku Alexander dan mereka tim legal kami,” ucap Alexander tergagap-gagap menyambut uluran salam Luis Sagal.“Semoga beruntung,” kata Tuan Sagal dengan meremas tangan Alexander cukup keras sampai membuatnya sedikit meringis.Mereka semua ke
Setelah di perjalanan cukup lama, Liam dan Rafandra sampai di rumah. Mereka pun turun dari mobilnya dan masuk ke dalam.Revan tiba-tiba berlari menghampiri Rafandra dan memeluknya. Dia memperlihatkan senyum yang sangat lepas dan senang.“Revan bermain dengan siapa?” tanya Rafandra.Revan mengarahkan jari telunjuknya kepada seorang wanita muda yang sangat cantik. Dia adalah Maria Robetta, sepupu Liam dan Sarah. Ibunya adalah adik mendiang Arnold Suryawijaya.Rafandra tersenyum hangat ke arah Maria. Mereka pun saling berjalan mendekat.“Bagaimana kabarmu, Maria?” tanya Rafandra. “Sudah lama kita tidak bertemu.”“Aku baik. Bagaimana dengan Mas Rafandra?”“Aku juga baik,” jawab Rafandra. “Bagaimana bisa kau bermain-main dengan Anakku?”“Tante Anna yang memanggilku. Dia tahu aku ahli dalam mengurusi anak-anak,” katanya dengan sedikit tertawa.“Semua pengasuh anak profesional aku lihat tidak ada yang bisa mendekati Revan. Karena itu aku memanggil Maria. Kebetulan dia tidak sedang syuting ha
“Benar, dia Rafandra, Alexa,” ucap Lena sembari terus menatap Rafandra.Semua orang menatap Rafandra yang sedang berjalan menghampiri Alexa. Dia tersenyum hangat menyapa Alexa, tapi Alexa tetap diam.“Ini untukmu,” kata Rafandra setelah sampai di depan Alexa.Plakk...Dua kantong kertas pemberian Tante Anna jatuh di atas lantai.Rafandra terkejut. Dia menatap Alexa dengan tajam, lalu dia berjongkok untuk mengambil dua kantong kertas tersebut. Dia agak kesusahan melakukannya karena Revan memeluknya dengan kencang.Setelah berhasil mengambilnya, Rafandra memutuskan untuk masuk ke dalam. Dia melakukannya karena mencemaskan Revan yang mulai terlihat ketakutan.Rafandra berjalan tanpa memandang Alexa dan teman-temannya. Lalu tiba-tiba Lena merebut dua kantong kertas dari tangan Rafandra. Dia pun berhenti meminta dua kantong kertas itu dikembalikan, tapi Lena dan Susan tidak mempedulikannya.Tak berselang lama, Annet Wongso, Rose Hart dan Frida Darmawan datang menghampiri Alexa dan teman-te
Mereka semua terlihat marah mendengar kata-kata Peter, tapi berusaha menahannya.“Kami tidak menyangka bahwa barang ini asli karena kami mendapatkannya dari seorang pria miskin,” kata Annet.Peter menggeleng.“Aku kira tidak ada orang miskin yang mampu membeli kedua barang mewah ini, bahkan orang kaya seperti kalian pun akan berpikir dua kali untuk membelinya,” ucap Peter.“Sebenarnya keaslian barang bisa dilihat dari kemasannya, Tuan-tuan. Untuk setiap produk kami, kami menggunakan kotak premium agar kalung berlian yang berada di dalam terjaga dengan aman. Para peniru tidak akan mampu menyamai kualitas kemasan produk kami,” sambung tim ahli dari Roberts Diamond.“Kemasan di produk kami juga sama, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya,” giliran tim ahli dari Giorgio Luxury yang berbicara.Alan, Annet dan lainnya terlihat tidak nyaman dengan ucapan Peter dan tim ahli dari dua perusahaan itu. Mereka seakan-akan mengatai mereka tidak mengerti barang mewah, padahal mereka memiliki lini usaha yang b
Rafandra kembali ke kamarnya. Dia membaringkan tubuhnya di samping Revan yang tertidur sangat nyenyak. Dia pun memejamkan matanya untuk tertidur.Belum lama dia terlelap, tiba-tiba terdengar suara gedoran pintu di kamarnya. Revan pun terbangun dan menangis keras. Rafandra bergegas memeluknya dan membelai rambutnya.“Jangan takut, Revan. Papa di sini,” katanya lembut.Tapi suara gedoran pintu itu tidak kunjung berhenti, malah semakin menjadi-jadi.“Cepat keluar!”Dogh... dogh... dogh...“Buka pintunya!”Dogh... dogh... dogh...Dengan air muka marah, Rafandra membuka pintunya.“Kalian bisa mengetuknya dengan pelan. Kasihan Revan ketakutan,” ucap Rafandra tanpa senyum sedikit pun.Di depan kamarnya telah berkumpul banyak orang. Ada beberapa orang yang memakai seragam polisi.“Tuan Rafandra harus ikut kami ke kantor polisi,” kata salah satu dari mereka.“Apa salahku?”“Kami menerima laporan kehilangan barang mewah dari Nona Pauline. Dari deskripsi barang yang dilaporkan hilang, sangat mir
Terjadi kehebohan besar di kediaman Keluarga Darmawan. Alexa menceritakan apa yang dikatakan Rafandra kepadanya.Alan, Annet dan lain sebagainya duduk di ruang tamu kediaman utama, termasuk Wendy Satriawan, nyonya besar Keluarga Darmawan.“Apa yang harus kita lakukan, Pa?” tanya Frida kepada Alan.Alan terdiam tidak mengucapkan apapun.“Sudah kukatakan kalian jangan keterlaluan mengganggunya,” ujar Wendy Satriawan.Alan dan lainnya memandang ke arah wanita yang sudah dipenuhi rambut putih dan keriput.“Apa alasan Mama tidak pernah mengganggunya?” tanya Alan.“Mama menghormati Papamu. Dia sangat memandang tinggi Rafandra, entah karena alasan apa,” jawab Wendy.Alexa menghela nafas.“Sebenarnya apa yang membuat Kakek memandangnya sedemikian tinggi,” ucapnya penasaran.“Yang Nenek tahu, Kakekmu sepanjang hidupnya tidak pernah salah menilai seseorang. Karena itu Nenek tidak pernah merendahkannya seperti kalian, tapi Nenek juga tidak menghalangi kalian melakukannya karena Nenek pun tidak s
Daniela dan orang-orangnya terkejut mendengar hal itu.“Kami pemilik baru Golden Acres Corporation,” kata Rafandra.Daniela terus memandang Rafandra. Kepalanya menggeleng kecil setelah mendengar perkataan Rafandra.“Karena itu yang mengajukan penawaran untuk membeli Hotel Golden Acres adalah Golden Acres Corporation, bukan perusahaan lainnya,” ujar Rafandra.“Tuan memang hebat. Dengan menguasai Golden Acres Corporation, andaikan Tuan harus membangun hotel dari awal, tingkat kesuksesannya sangat tinggi,” ucap Daniela. “Meski demikian, kami tidak akan menjual hotel ini dengan harga semurah itu.”Rafandra tersenyum.“Sebenarnya kami belum menyelesaikan tawaran kami. Ada hal lain yang kami masukkan dalam penawaran kami.”“Apa itu?” tanya Daniela.Semua orang menatap Rafandra, termasuk Walter dan Sagal. Rafandra memang sering berimprovisasi saat bernegosiasi dengan perusahaan yang hendak dibelinya.“Kami mengajukan harga tiga ratus juga dollar dan sisa hutang ditanggung bersama, dan kalian
Untuk sesaat sempat terjadi kekakuan di antara mereka berdua. Daniela sempat terdiam sembari terus menatap Rafandra.“Silakan duduk, Nona,” kata Rafandra dengan senyum hangat. Dia berusaha mencairkan suasana kembali.Rhonald dan lainnya terkejut melihat kejadian itu.“Apakah kalian saling mengenal?” tanya Rhonald kepada Daniela dan Rafandra.“Kita hanya pernah bertemu,” jawab Daniela cepat.Rafandra mengangguk semberi tersenyum hangat. Mereka duduk berhadapan.“Karena diektur keuangan Grup Santoso sudah hadir, pembicaraan tentang pembelian Hotel Golden Acres sudah bisa dimulai, bukan?” tanya Sagal.“Silakan, Tuan Sagal,” ucap Rhonald.“Klien kami tertarik untuk membeli Hotel Golden Acres dari Grup Santoso. Setelah kami mendapatkan informasi rincinya, Grup Santoso membeli Hotel Golden Acres dengan nilai dua ratus enam puluh juta dollar dengan kesepakatan menanggung hutang-hutang Hotel Golden Acres yang mencapai seratus delapan puluh lima juta dollar. Berdasarkan informasi ini, kami ing
Rafandra menganggukkan kepalanya.“Baik,” katanya pelan sembari melihat tangan Daniela yang terus menggenggamnya.“Eh, maaf,” ujar Daniela bergegas melepaskan genggaman tangannya.Dia terlihat malu sampai pipinya memerah.“Halo, Tuan...”“Halo, Tuan Sagal. Aku tidak jadi melaporkannya. Tuan tidak perlu membuat laporan kepada polisi. Tunggu arahanku nanti.”“Baik, Tuan,” jawab Sagal. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Tuan? Apakah aku harus masuk ke dalam?” tanyanya penasaran.“Tidak perlu. Tuan Sagal tetap di mobil dan tunggu arahanku nanti.”“Baik, Tuan.”Lalu Rafandra memutus teleponnya.“Tolong kalian bawa Revan keluar. Aku tidak mau melihatnya ketakutan,” kata Rafandra pada dua wanita pengasuh anak yang dipekerjakannya. “Revan ikut mereka dulu ya. Papa mau menyelesaikan sesuatu di sini.”Revan pun mengangguk dan menjulurkan tangannya kepada dua wanita itu. Dia pun dibawa pergi keluar dari ruangan itu.“Silakan duduk, Tuan,” ujar Daniela kepada Rafandra.“Apa yang hendak Nona Dan
Melihat kehadiran ayahnya, Revan langsung melompat ke pelukan ayahnya.Pasangan suami istri itu kesal mendengar ucapan Rafandra.“Siapa kau?”“Aku Ayahnya.”“Oh, pantas anaknya kurang beradab, ternyata Ayahnya juga sama,” kata sang istri sambil memandang pakaian Rafandra dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.Rafandra memang selalu mengenakan setelan jas yang tidak murah, tapi juga tidak terlalu mahal.“Apa maksudmu?”“Suamiku kau lihat pakaiannya. Dia mengenakan setelan jas Don Blanca,” kata sang istri.“Kau benar. Hahaha...”Sang suami tertawa terbahak-bahak cukup lama.Walter terlihat sangat kesal. Dia tidak terima tuannya diperlakukan seperti ini, tapi Rafandra mencegahnya.“Apa yang salah dengan Don Blanca. Bukankah itu nyaman dan bagus.”“Memang, tapi itu menunjukkan level kekayaanmu belum setara dengan orang-orang yang menyekolahkan anaknya di sini. Jika belum mampu, jangan berlagak!” kata sang istri.“Heh,” Rafandra meringis sambil menggeleng. “Tidak di Loven, tidak di Wollon
Rafandra terus menatap Stefan dan Aranda. Dia menatap mereka dengan senyum mengembang ramah.“Aku tidak sedang bercanda. Aku bisa membuat surat pengangkatan sekarang juga, tanpa harus menunggu lama,” ujar Rafandra.Tiba-tiba Stefan memajukan tubuhnya.“Kau pasti menipu kami lagi,” katanya.Rafandra tersenyum.“Tuan Sagal. Buatkan surat pengangkatan Aranda Acres menjadi CEO Golden Acres sekarang juga.”“Baik, Tuan.”Sagal langsung mengeluarkan laptopnya dan mulai mengetik. Tak berselang lama, surat yang dibuat Sagal selesai.“Boleh aku pinjam printer di sini?” tanya Sagal.“Silakan,” jawab Stefan.Sagal menghubungkan laptopnya dengan printer tersebut, lalu mencetak surat pengangkatan yang baru saja dibuatnya.“Ini Tuan.”Sagal menyerahkan selembar kertas dengan logo Safty Enterprise, perusahaan induk milik Rafandra yang membawahi banyak perusahaan.Nama perusahaan ini memang tidak dikenal banyak orang karena tidak pernah menampakkan diri. Setiap kali membuat dan membeli perusahaan lain
Waktu berjalan dengan cepat. Rafandra dan Ian sedang berada dalam perjalanan menuju Kota Wollong. Rafandra dan Revan duduk di belakang, sementara Ian dan supirnya duduk di depan.Mereka berangkat dari hotel jam tujuh malam setelah Rafandra bertemu dengan Daniel dan Harry. Rafandra memberikan kunci rumah tempat mereka biasa berkumpul dulu. Dia meminta mereka untuk membersihakan rumah dan mencari pengurus anak profesional yang dapat dipercaya.“Kita sampai di Hotel Golden Acres, Tuan,” kata Ian.“Kita menginap di sini.”“Baik, Tuan.”Ian menyuruh supirnya menepi. Dia pun bergegas turun memasuki hotel untuk menanyakan ketersediaan kamar.Rafandra pun membuka pintu mobilnya dan turun. Dia melihat Ian sedang berbincang-bincang dengan resepsionis hotel.Rafandra sengaja menginap di Hotel Golden Acres untuk melihat potensi yang dimiliki hotel. Dia tahu bahwa hotel ini telah dijual, tapi dia cukup tertarik untuk membeli kembali hotel-hotel yang dikelola Golden Acres.Menurut laporan yang masu
“Mengambil alih perusahaan yang akan atau sudah pailit, lalu melakukan misi penyelamatan,” jawab Sagal.“Apa nanti perusahaan tersebut akan dijual?” tanya Ian Fins lagi.“Tidak, karena tujuan Tuan Rafandra melakukannya untuk menyelamatkan para pekerja dari PHK.”Ian terkejut mendengar ucapan Sagal.“Pola seperti itu tidak akan bertahan lama jika tidak menghasilkan keuntungan,” ucap Ian.“Aku tahu, tapi sampai sekarang semua perusahaan yang diambil alih bisa disehatkan dan berkembang semakin besar berkat kemampuan Tuan Rafandra.”Ian memandang Rafandra cukup lama. Dia berharap Rafandra sendiri yang menceritakannya.“Aku memulai proyek ini sekitar lima tahun yang lalu. Tapi dua setengah tahun terakhir aku memutuskan berhenti untuk fokus mengurus anakku. Sekarang aku ingin kembali melakukannya,” ucap Rafandra.“Aku belum bisa memutuskan untuk bergabung atau tidak, karena aku belum melihat bukti nyata dari proyek Tuan Rafandra.”“Selama dua tahunan, aku telah mengambil alih enam perusaha
“Apa yang sedang kalian lakukan?!” tanya Ian Fins. “Lepaskan tangan kalian dari tubuh Tuan Rafandra!”Dua orang pengacara yang memegang tubuh Rafandra bergegas melepaskannya.“Mohon maaf, Tuan Ian. Apakah Tuan...”“Benar. Aku kuasa hukum Tuan Rafandra. Apakah Tuan Jeremy punya tuntutan hukum terhadap klienku?”“Benar. Kami sudah menyerahkannya jam delapan malam tadi. Sekarang kami sedang mengantar Nona Pauline untuk memberi keterangan.”“Semuanya sudah beres. Menurut kepala polisi bukti-bukti yang dikumpulkan tidak kuat. Jika boleh tahu, apa Tuan Jeremy membawa bukti materil untuk menuntut klien kami?”“Eh, tentu ada. Tapi aku tidak bisa memperlihatkannya kepada Tuan Ian.”“Apakah bukti itu baru akan diserahkan atau sudah diserahkan?”“Baru akan diserahkan?”Ian Fins menganggukkan kepalanya.“Lalu apa yang menjadi dasar para polisi itu membawa Tuan Rafandra ke kantor polisi jika bukti-buktinya belum mereka terima?”“Kami memang mengajukan hal itu agar tersangka tidak melarikan diri.”