“Benar, dia Rafandra, Alexa,” ucap Lena sembari terus menatap Rafandra.Semua orang menatap Rafandra yang sedang berjalan menghampiri Alexa. Dia tersenyum hangat menyapa Alexa, tapi Alexa tetap diam.“Ini untukmu,” kata Rafandra setelah sampai di depan Alexa.Plakk...Dua kantong kertas pemberian Tante Anna jatuh di atas lantai.Rafandra terkejut. Dia menatap Alexa dengan tajam, lalu dia berjongkok untuk mengambil dua kantong kertas tersebut. Dia agak kesusahan melakukannya karena Revan memeluknya dengan kencang.Setelah berhasil mengambilnya, Rafandra memutuskan untuk masuk ke dalam. Dia melakukannya karena mencemaskan Revan yang mulai terlihat ketakutan.Rafandra berjalan tanpa memandang Alexa dan teman-temannya. Lalu tiba-tiba Lena merebut dua kantong kertas dari tangan Rafandra. Dia pun berhenti meminta dua kantong kertas itu dikembalikan, tapi Lena dan Susan tidak mempedulikannya.Tak berselang lama, Annet Wongso, Rose Hart dan Frida Darmawan datang menghampiri Alexa dan teman-te
Mereka semua terlihat marah mendengar kata-kata Peter, tapi berusaha menahannya.“Kami tidak menyangka bahwa barang ini asli karena kami mendapatkannya dari seorang pria miskin,” kata Annet.Peter menggeleng.“Aku kira tidak ada orang miskin yang mampu membeli kedua barang mewah ini, bahkan orang kaya seperti kalian pun akan berpikir dua kali untuk membelinya,” ucap Peter.“Sebenarnya keaslian barang bisa dilihat dari kemasannya, Tuan-tuan. Untuk setiap produk kami, kami menggunakan kotak premium agar kalung berlian yang berada di dalam terjaga dengan aman. Para peniru tidak akan mampu menyamai kualitas kemasan produk kami,” sambung tim ahli dari Roberts Diamond.“Kemasan di produk kami juga sama, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya,” giliran tim ahli dari Giorgio Luxury yang berbicara.Alan, Annet dan lainnya terlihat tidak nyaman dengan ucapan Peter dan tim ahli dari dua perusahaan itu. Mereka seakan-akan mengatai mereka tidak mengerti barang mewah, padahal mereka memiliki lini usaha yang b
Rafandra kembali ke kamarnya. Dia membaringkan tubuhnya di samping Revan yang tertidur sangat nyenyak. Dia pun memejamkan matanya untuk tertidur.Belum lama dia terlelap, tiba-tiba terdengar suara gedoran pintu di kamarnya. Revan pun terbangun dan menangis keras. Rafandra bergegas memeluknya dan membelai rambutnya.“Jangan takut, Revan. Papa di sini,” katanya lembut.Tapi suara gedoran pintu itu tidak kunjung berhenti, malah semakin menjadi-jadi.“Cepat keluar!”Dogh... dogh... dogh...“Buka pintunya!”Dogh... dogh... dogh...Dengan air muka marah, Rafandra membuka pintunya.“Kalian bisa mengetuknya dengan pelan. Kasihan Revan ketakutan,” ucap Rafandra tanpa senyum sedikit pun.Di depan kamarnya telah berkumpul banyak orang. Ada beberapa orang yang memakai seragam polisi.“Tuan Rafandra harus ikut kami ke kantor polisi,” kata salah satu dari mereka.“Apa salahku?”“Kami menerima laporan kehilangan barang mewah dari Nona Pauline. Dari deskripsi barang yang dilaporkan hilang, sangat mir
Enam polisi itu terlihat ketakutan. Salah satu dari mereka bergegas menelepon seseorang untuk meminta bantuan.“Kalian telah menyalahgunakan wewenang sebagai polisi untuk menangkap orang yang tidak bersalah. Aku akan mengajukan tuntutan kepada Divisi Propam tentang kesalahan kalian,” ujar Ian Fins kepada Gerrard dan bawahannya.Awalnya Ian Fins hanya ingin membebaskan Rafandra, tapi setelah mendengar ucapan Rafandra, dia mengganti niatnya. Dia akan memperkarakan Gerrard dan bawahannya yang telah menyalahgunakan wewenangnya.Enam polisi itu terdiam. Mereka tidak menjawab sepatah kata pun.Tak berselang lama, kepala polisi Kota Loven datang didampingi sepuluh polisi lebih. Mereka menyalamani Ian Fins dan tim legalnya.Kepala polisi tersebut menatap Gerrard dengan tajam. Ada raut kesal yang tampak di wajahnya.“Ada masalah apa, Tuan Ian?” tanya kepala polisi. Namanya Sandi Dagen.“Mereka telah menyalahgunakan wewenang dan menerima suap untuk mengada-adakan kasus yang tidak ada,” ucap Ia
“Apa yang sedang kalian lakukan?!” tanya Ian Fins. “Lepaskan tangan kalian dari tubuh Tuan Rafandra!”Dua orang pengacara yang memegang tubuh Rafandra bergegas melepaskannya.“Mohon maaf, Tuan Ian. Apakah Tuan...”“Benar. Aku kuasa hukum Tuan Rafandra. Apakah Tuan Jeremy punya tuntutan hukum terhadap klienku?”“Benar. Kami sudah menyerahkannya jam delapan malam tadi. Sekarang kami sedang mengantar Nona Pauline untuk memberi keterangan.”“Semuanya sudah beres. Menurut kepala polisi bukti-bukti yang dikumpulkan tidak kuat. Jika boleh tahu, apa Tuan Jeremy membawa bukti materil untuk menuntut klien kami?”“Eh, tentu ada. Tapi aku tidak bisa memperlihatkannya kepada Tuan Ian.”“Apakah bukti itu baru akan diserahkan atau sudah diserahkan?”“Baru akan diserahkan?”Ian Fins menganggukkan kepalanya.“Lalu apa yang menjadi dasar para polisi itu membawa Tuan Rafandra ke kantor polisi jika bukti-buktinya belum mereka terima?”“Kami memang mengajukan hal itu agar tersangka tidak melarikan diri.”
“Mengambil alih perusahaan yang akan atau sudah pailit, lalu melakukan misi penyelamatan,” jawab Sagal.“Apa nanti perusahaan tersebut akan dijual?” tanya Ian Fins lagi.“Tidak, karena tujuan Tuan Rafandra melakukannya untuk menyelamatkan para pekerja dari PHK.”Ian terkejut mendengar ucapan Sagal.“Pola seperti itu tidak akan bertahan lama jika tidak menghasilkan keuntungan,” ucap Ian.“Aku tahu, tapi sampai sekarang semua perusahaan yang diambil alih bisa disehatkan dan berkembang semakin besar berkat kemampuan Tuan Rafandra.”Ian memandang Rafandra cukup lama. Dia berharap Rafandra sendiri yang menceritakannya.“Aku memulai proyek ini sekitar lima tahun yang lalu. Tapi dua setengah tahun terakhir aku memutuskan berhenti untuk fokus mengurus anakku. Sekarang aku ingin kembali melakukannya,” ucap Rafandra.“Aku belum bisa memutuskan untuk bergabung atau tidak, karena aku belum melihat bukti nyata dari proyek Tuan Rafandra.”“Selama dua tahunan, aku telah mengambil alih enam perusaha
Waktu berjalan dengan cepat. Rafandra dan Ian sedang berada dalam perjalanan menuju Kota Wollong. Rafandra dan Revan duduk di belakang, sementara Ian dan supirnya duduk di depan.Mereka berangkat dari hotel jam tujuh malam setelah Rafandra bertemu dengan Daniel dan Harry. Rafandra memberikan kunci rumah tempat mereka biasa berkumpul dulu. Dia meminta mereka untuk membersihakan rumah dan mencari pengurus anak profesional yang dapat dipercaya.“Kita sampai di Hotel Golden Acres, Tuan,” kata Ian.“Kita menginap di sini.”“Baik, Tuan.”Ian menyuruh supirnya menepi. Dia pun bergegas turun memasuki hotel untuk menanyakan ketersediaan kamar.Rafandra pun membuka pintu mobilnya dan turun. Dia melihat Ian sedang berbincang-bincang dengan resepsionis hotel.Rafandra sengaja menginap di Hotel Golden Acres untuk melihat potensi yang dimiliki hotel. Dia tahu bahwa hotel ini telah dijual, tapi dia cukup tertarik untuk membeli kembali hotel-hotel yang dikelola Golden Acres.Menurut laporan yang masu
Rafandra terus menatap Stefan dan Aranda. Dia menatap mereka dengan senyum mengembang ramah.“Aku tidak sedang bercanda. Aku bisa membuat surat pengangkatan sekarang juga, tanpa harus menunggu lama,” ujar Rafandra.Tiba-tiba Stefan memajukan tubuhnya.“Kau pasti menipu kami lagi,” katanya.Rafandra tersenyum.“Tuan Sagal. Buatkan surat pengangkatan Aranda Acres menjadi CEO Golden Acres sekarang juga.”“Baik, Tuan.”Sagal langsung mengeluarkan laptopnya dan mulai mengetik. Tak berselang lama, surat yang dibuat Sagal selesai.“Boleh aku pinjam printer di sini?” tanya Sagal.“Silakan,” jawab Stefan.Sagal menghubungkan laptopnya dengan printer tersebut, lalu mencetak surat pengangkatan yang baru saja dibuatnya.“Ini Tuan.”Sagal menyerahkan selembar kertas dengan logo Safty Enterprise, perusahaan induk milik Rafandra yang membawahi banyak perusahaan.Nama perusahaan ini memang tidak dikenal banyak orang karena tidak pernah menampakkan diri. Setiap kali membuat dan membeli perusahaan lain
“Tuan Rafandra!” panggil wanita yang bertugas di bagian pemberkasan.Rafandra bergegas masuk ke dalam ruang wawancara. Dia melihat seorang laki-laki paruh baya dan seorang wanita yang berusia tidak jauh darinya. Mereka duduk di balik meja yang cukup panjang.“Silakan duduk!” ucap laki-laki itu.“Terima kasih, Tuan.”“Perkenalkan dirimu sendiri dan pengalaman kerja yang kau miliki,” kata wanita yang berada di samping laki-laki itu.“Namaku Rafandra. Aku tidak memiliki pengalaman kerja yang berarti. Tapi aku memiliki kemampuan menyetir yang cukup baik menurutku.”Kedua orang tersebut mendengarkan ucapan Rafandra sembari membuka-buka map yang berisi berkas-berkas Rafandra. Mereka terlihat sangat terkejut sampai kening mereka mengernyit.“Apa kau benar-benar lulusan jurusan manajemen bisnis Universitas Camford?” tanya wanita tersebut.Dia menatap Rafandra dengan tajam. Begitu juga dengan laki-laki paruh baya di sampingnya.“Benar. Aku lulusan Universitas Camford. Tuan dan Nyonya bisa meng
“Aku dengar Papa masih terus mencari-cari Mas Rafandra, Mah. Jika dia pulang, posisi kita akan benar-benar sulit,” kata Darmian Sanjaya.“Benar, Mah. Kita harus melakukan sesuatu,” ujar Valeria Sanjaya.Saat ini semua saudara satu ayah beda ibu Rafandra sedang berkumpul di rumah Kevin Roberts, suami dari Valeria Sanjaya.Tuan Darius memiliki tiga anak dari hasil pernikahannya dengan Mery Holland, yaitu Valeria Sanjaya, Darmian Sanjaya, dan Sandro Sanjaya. Usia mereka hampir berdekatan satu sama lain. Usia Rafandra sendiri sudah mencapai tiga puluh lima tahun, dan semua adik-adiknya secara berurutan masing-masing terpaut dua tahun.“Kalian tenang saja. Anak sialan itu tidak akan pernah kembali,” ucap Mery Holland.“Kenapa Mama begitu yakin?” tanya Sandro Sanjaya.“Dia memiliki hati yang terlalu lembut.”“Maksud Mama?” tanya Kevin Roberts, suami Valeria.“Kalian tahu kenapa dia meninggalkan Keluarga Sanjaya?”Mereka semua menggelengkan kepalanya.“Dia pergi karena Mama ancam hal yang sa
“...Wallen Henderson?” ucap Maria.Semua orang yang ada di ruangan itu kembali terkejut. Karena nama yang diucapkan Maria jauh lebih besar dari Maria sendiri. Wallen adalah bintang film internasional. Dia berasal dari Republik Newland, sebuah negeri yang tiga kali lipat lebih besar dari Republik Worthen.“Tidak mungkin, Nona. Kami tidak akan mampu membayarnya,” ujar Tamara.“Kalian tidak perlu membayarnya. Asal Mas Rafandra yang meminta, dia pasti mau,” kata Maria.Semua orang memandang ke arah Rafandra. Mereka kembali dibuat terkejut oleh pemuda satu ini. Di benak mereka berputar-putar banyak pertanyaan, seberapa besar pengaruh yang dimiliki Rafandra di dunia bisnis dan lain sebagainya.“Saran yang bagus, tapi kami masih bermain di pasar dalam negeri, Maria. Jika kami sudah melebarkan pemasaran produk kami ke mancanegara, aku pasti menggunakan jasa Wallen,” kata Rafandra.“Bukankah itu bisa meningkatkan nilai tambah, Mas?” ucap Maria.“Kau benar, tapi segala sesuatu ada waktunya. Jik
Mereka berdua gelagapan mendengar pertanyaan Rafandra. Mereka seperti tidak menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini.Rafandra menggelengkan kepalanya beberapa kali melihat dua orang di depannya gelagapan. Dia terus menatap mereka dengan tajam.“Apa jawaban kalian?” tanyanya sekali lagi.Tapi mereka berdua menunduk terdiam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Rafandra mendesah cukup panjang.“Kenapa kalian hanya mengandalkan sistem promosi dan pemasaran konvensional seperti memasukkan produk kita ke departement store, pasar swalayan dan lain sebagainya? Kenapa kalian tidak memilih jalur pemasaran atau promosi lainnya? Padahal sangat banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan brand value atau brand awareness produk kita?” tanyanya cukup panjang.“Eh, dalam pandangan kami model pemasaran seperti itu yang paling tepat, Tuan. Kami telah menganalisa semua penjualan brand-brand lain, dan penjualan tertinggi mereka berasal dari mall, pasar swalayan dan departement store. K
Melihat Juan berjalan menuju ruang meeting, semua orang mengikutinya.“Kalian tidak perlu ikut. Cukup Rudi dan Neil!”Tiba-tiba Juan berhenti dan melarang semua orang ikut, hanya Rudi dan Neil.Neil adalah petinggi bagian produksi yang tidak senang dengan Rafandra yang ikut bicara dalam persoalan ini.“Panggil Tamara dan Benny! Aku tunggu mereka di ruang meeting sekarang juga!” perintah Juan pada asisten yang selalu di sampingnya.“Baik, Tuan.”Dia berlari keluar pabrik dengan cepat. Sementara Juan, Harry, Rafandra dan lainnya terus berjalan memasuki ruang meeting yang tidak jauh dari pabrik.Beberapa saat kemudian mereka sampai di ruang meeting. Juan mempersilahkan Harry dan Rafandra untuk duduk.Tak berselang lama, Tamara dan Benny memasuki ruang meeting. Mereka adalah kepala bagian marketing Silken Woven Corporation cabang Kota Newpool.“Perkenalkan, mereka kepala bagian marketing di sini,” ujar Juan kepada Harry dan Rafandra.Dua orang itu memberi salam sembari memperkenalkan diri
“Kita ke mana lagi, Tuan?” tanya Harry.“Kita menginap dulu di hotel. Aku harus bertemu dengan seseorang.”“Apa kita tidak menginap di rumah perusahaan saja, Tuan?”Rafandra terdiam untuk sesaat. Dia baru ingat bahwa Harry dan Daniel pernah mengatakan telah membukan kantor cabang Silken Woven Corporation di Kota Newpool. Mereka berdua berhasil mengengbangkan perusahaan ini dengan baik sesuai blueprint yang diberikan Rafandra.“Baik, kita ke rumah perusahaan saja.”“Baik, Tuan,” ucap Harry, tapi dia terlihat masih ingin mengatakan sesuatu.“Sepertinya Tuan Harry masih ada yang ingin dikatakan,” tebak Rafandra setelah melihat gelagat Harry.Harry Maruti tersenyum.“Hanya ingin bertanya, apa Tuan berkenan mengunjungi pabrik perusahaan yang ada di Kota Newpool? Pabrik tekstil di sini salah satu yang terbesar selain di Kota Loven.”“Baik. Kita ke sana sekarang,” ujar Rafandra.Harry terlihat sangat senang dengan jawaban Rafandra. Dia langsung menginjak pedal gasnya lebih dalam.Tak bersela
Tiba-tiba ada seseorang yang menarik Rafandra masuk ke dalam sebuah kamar.Rafandra sangat terkejut karena terjadi begitu cepat. Dia tidak bisa menolak apalagi menahannya.“Kau?” ucap Rafandra terkejut melihat wajah orang di depannya.Dia merasa tidak asing dengan wajah orang tersebut.Orang tersebut tersenyum dengan membungkukkan tubuhnya.“Maafkan kelancanganku, Tuan.”“Bukankah kau orang yang sering menemui Tuan Alan Darmawan di rumah,” ujar Rafandra masih diselimuti keterkejutan.Rafandra memang sering melihat orang ini di kediaman Keluarga Darmawan, tapi dia tidak tahu siapa dia dan apa jabatannya. Hanya saja setiap kali berpapasan dengannya, orang tersebut terlihat menampakkan sikap hormat.“Benar, Tuan. Aku Fredy Gailan, kepala keuangan Grup Darmawan.”“Kepala keuangan?”“Benar, Tuan. Tuan Alan mengangkatku secara resmi menjadi bagian Grup Darmawan sekitar enam belas bulan yang lalu.”“Apa kau...”“Apa yang dipikirkan Tuan benar. Aku bekerja untuk Tuan Darius Sanjaya. Aku dimin
“Papa selalu mengawasimu, Anakku. Orang-orang Papa selalu ada di sekitarmu, baik di rumah Keluarga Darmawan ataupun di tempat lainnya.”Rafandra terkejut mendengar ucapan ayahnya.“Siapa mereka, Pa?” tanya Rafandra.“Kau tidak perlu tahu. Yang penting sekarang, Papa ingin kau kembali ke Keluarga Sanjaya,” kata Darius.Rafandra menggelengkan kepalanya.“Bukankah Papa tahu alasanku meninggalkan Keluarga Sanjaya?”Darius menganggukkan kepalanya.“Papa tahu, tapi Papa tetap ingin kau kembali.”“Aku tidak ingin terlibat lagi dengan Mama Mery dan adik-adik tiriku, Pa. Aku tidak ingin apa yang menimpa Sanjaya Stell terjadi pada anak perusahaan Grup Sanjaya lainnya. Sampai saat ini bayangan kejadian itu masih menghantuiku, Pa.”“Tapi nyatanya Sanjaya Stell bisa kau selamatkan.”“Tapi tidak bisa mengembalikan orang-orang yang mati karena PHK massal yang terjadi, Pa.”“Lari dari masalah bukanlah solusi, Anakku. Dengan kau terus lari, kau sedang menempatkan seluruh Grup Sanjaya dalam masalah. Ap
Berjam-jam telah terlewati. Rafandra juga sudah menitip Revan di kediaman Tante Anna. Perjalanan menuju Kota Newpool memang melewati Kota Blackward. Tante Anna memberinya nomor HP Charles Juana. Dia adalah asisten pribadi Tuan Darius Sanjaya.Beberapa saat lagi Rafandra akan memasuki Kota Newpool. Dia melihat kemajuan yang luar biasa di wilayah perbatasan. Enam tahun lamanya dia tidak pernah menginjakkan kakinya di Newpool.“Kita sudah memasuki Kota Newpool, Tuan. Kita mau ke mana?” tanya Harry.Saat ini matahari telah terbit. Sinarnya menyebarkan hangat ke segala arah. Rafandra melihat jam di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan jam tujuh lebih dua puluh tiga menit.“Kita ke Sanjaya Hospital, Tuan Harry,” jawab Rafandra.“Sanjaya Hospital?”Harry tampak terkejut mendengar jawaban Rafandra. Sepanjang perjalanan dia tidak menanyakan apa-apa pada Rafandra.“Benar. Aku hendak bertemu Ayahku di sana.”Harry tertegun. Ini pertama kalinya dia mendengar Rafandra membahas tentang keluarganya. S