“Susan, mana baju yang harus kupakai?” tanya Rafandra.
“Kau ambil sendiri di sana!”
Rafandra melihat dua setelan jas yang sangat mewah dan elegan. Dia mendekati baju yang telah tergantung rapi itu dan hendak mengambilnya. Tapi...
Plakk...
Tiba-tiba tangannya dipukul oleh seorang wanita.
“Bukan ini, tapi yang itu!” ucap Susan dengan ketus.
Rafandra mengalihkan pandangannya ke arah baju yang ditunjukkan Susan. Baju dan celana itu tergeletak di atas kursi dengan dipenuhi banyak kerutan. Baju itu sangat mirip dengan pakaian pelayan yang berada di ruang samping. Hanya saja memiliki warna dan corak yang berbeda.
“Apa kau tidak salah? Aku adalah...”
“Tidak. Itu memang baju yang harus kau kenakan. Kau tidak pantas memakai setelan mewah semacam itu,” ucap Lena Sandra, penata rias yang juga teman istrinya. Dia baru saja masuk ke ruang rias.
“Tapi aku...”
“Kau di sini bukan sebagai pendamping Alexa, tapi pelayan yang membantu kelancaran acara,” ucap Lena sambil menuding wajah Rafandra.
“Kau jangan keterlaluan, Lena. Aku adalah suami Alexa. Kau...”
“Aku yang menyuruhnya,” kata Annet Wongso yang muncul tiba-tiba dari pintu sebelah kanan. Dia mengenakan pakaian resmi yang sangat mewah.
“Aku adalah suaminya, Ibu. Bukankah seharusnya aku...”
“Tidak. Kau tidak pantas bersanding dengan Alexa. Kau kemari untuk membantu para pelayan bekerja,” potong Annet sebelum Rafandra menyelesaikan ucapannya.
Annet Wongso adalah ibu Alexa Darmawan. Usianya sudah menyentuh kepala enam, tapi wajah dan tubuhnya tidak kalah dengan wanita muda yang hadir di sini.
“Lalu untuk siapa baju-baju ini?” tanya Rafandra.
“Yang jelas bukan untukmu,” jawab Annet ketus.
Dia membawa seorang pemuda tampan masuk ke ruang rias, lalu mengambil setelan jas yang sudah tergantung rapi.
“Baju ini sangat cocok untukmu,” ucap Annet kepada pemuda itu. Dia adalah Alex Gunawan, pewaris Grup Gunawan yang kaya raya.
“Tante Annet ingin aku memakainya?”
“Iya,” jawab Annet.
Alex langsung memakai setelan jas itu. Dia terlihat sangat tampan setelah memakainya.
Rafandra terus memandang Alex dengan tatapan tajam.
“Kenapa kau masih diam di sini! Cepat kau ganti pakaianmu!” perintah Susan sambil melemparkan baju yang hendak dipakai Rafandra.
Annet dan Alex menatap Rafandra.
“Cepat kau ganti pakaianmu!” giliran Annet yang memberi perintah.
Dia mendekati Rafandra dan mendorongnya keluar dari ruang rias menuju ruang para pelayan.
“Tempatmu di sini, bukan di sana,” ucap Annet.
“Tapi Ibu...”
Annet berlalu pergi tanpa mempedulikan Rafandra.
Hari ini adalah hari peresmian perusahan kosmetik milik Alexa Darmawan sekaligus peluncuran beberapa produk baru. Nama perusahaannya adalah Alexa Kreasi Cantika. Perusahaan ini didanai oleh PT. Darmawan Cosmetics International, salah satu perusahaan di bawah Grup Darmawan yang memiliki banyak lini usaha.
Karena itu Rafandra sengaja datang ke perusahaan ini lebih awal. Dia membayangkan akan mendampingi Alexa di acara peresmian perusahaan.
Setelah mengganti bajunya di kamar mandi, Rafandra keluar menuju hall perusahaan. Dia mengarahkan pandangannya ke sana-kemari mencari Alexa. Setelah cukup lama mencari, dia melihat Alexa dikerumuni banyak orang. Semua orang memberinya hadiah.
Yang membuat Rafandra terkejut adalah orang yang berada di sampingnya. Dia mengenakan setelan jas yang ada di ruang rias tadi, tapi bukan Alex Gunawan.
“Lihatlah mereka sangat cocok,” ucap orang-orang yang melihat Alexa dengan pria tersebut. Namanya adalah Max Hendrawan.
Melihat hal itu, Rafandra mengepalkan tangannya. Dia memejamkan matanya untuk mengendalikan diri. Rasa marah dan sedih muncul bersamaan di hatinya. Bayangkan saja, dua setelan jas mewah yang sengaja dibuat serasi dengan baju istrinya, tidak satu pun dibuat untuknya. Keduanya dibuat untuk laki-laki lain.
Rafandra terus memandangi Alexa yang terlihat sangat cantik mengenakan pakaian resmi yang elegan. Lalu dia berjalan mendekati Alexa. Dia melihat banyak pemuda tampan yang mengelilingi istrinya. Mereka berbincang-bincang dengan sangat akrab dan penuh tawa.
Saat Alexa melihat Rafandra berjalan mendekatinya, dia membuang mukanya. Bahkan mengajak orang-orang yang mengerumuninya untuk berpindah tempat. Padahal Rafandra telah melayangkan senyum dan melambaikan tangannya menyapa.
Rafandra tertegun diam dengan tangan masih di atas. Dia melihat istrinya berjalan menjauhinya bersama orang-orang dengan pakaian mewah dan elegan.
Setelah menghela nafas panjang, dia memutuskan untuk kembali berjalan mendekati Alexa.
Tiba-tiba seseorang menghentikannya dengan menabrakkan tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan di sini? Cepat bantu para pelayan menyiapkan minuman!” ucap Annet Wongso.
“Aku hendak mengucapkan selamat kepada Alexa, Ibu.”
“Tidak perlu,” jawab Anett dengan ketus. “Kau tidak pantas berada di sampingnya. Seharusnya kau sudah cukup senang diberi kesempatan membantu di sini. Jangan permalukan Alexa dengan kehadiranmu.”
“Lihatlah pakaian yang kau kenakan! Kau tidak pantas berada di sampingnya,” kata Lena dengan mata memandang Rafandra dari ujung kaki sampai ujung rambut.
“Tapi kau yang memberikan pakaian ini untukku.”
“Kau seharusnya berterima kasih pada Lena,” ucap Susan, teman Alexa dan Lena yang berperan menjadi asisten penata rias di acara ini. “Bukan malah menyalahkannya.”
“Kau ini bodoh atau bagaimana? Kami memperbolehkanmu datang kemari bukan sebagai suami Alexa, tapi sebagai tenaga tambahan dapur. Kami lihat kau cukup hebat dalam mengurus makanan. Karena itu kami memperbolehkanmu datang di acara ini,” kata Rose Hart, istri Richard Darmawan, kakak laki-laki Alexa.
“Daripada mempermalukan kami di sini, lebih baik kau pulang!” ucap Richard Darmawan cukup keras.
“Sebagai suami aku harus mendampingi istriku di saat-saat penting seperti ini,” ujar Rafandra.
“Kau tidak pantas bersanding dengan Alexa. Tuan Max Hendrawan dan Tuan Alex Gunawan jauh lebih pantas mendampingi Alexa,” kata Anett.
Dia tersenyum melihat Alexa dan Max Hendrawan berdiri berdampingan di atas sana. Kemudian Alex Gunawan datang mendekati Alexa dengan membawa karangan bunga yang sangat besar.
Dua pemuda itu mengenakan setelan jas yang sama persis, hingga membuat keduanya terlihat serasi dengan pakaian yang dikenakan Alexa. Dari ekspresi dan sorot mata keduanya, terlihat suasana persaingan yang sangat kuat.
Darah Rafandra seperti mendidih melihat dua pemuda tampan berada di samping Alexa. Keduanya mengenakan setelan jas yang sengaja disiapkan untuk mereka.
“Tapi aku suaminya, Ibu. Bukan mereka.”
Anett Wongso menatap Rafandra dengan tajam.
“Kau tidak pantas dengannya, dan tidak akan pernah pantas!”
“Andai saja kau tidak tiba-tiba muncul, Alexa pasti telah menjadi Nyonya Alexa Hendrawan atau Nyonya Alexa Gunawan,” kata Richard. “Betapa sialnya dia menjadi istri laki-laki tidak berguna sepertimu.”
“Kau seharusnya sadar, kenapa Alexa tidak pernah mau mengenalkanmu pada teman dan mitra bisnisnya. Karena dia malu mempunyai suami pengangguran dan tidak berguna sepertimu,” ucap Lena dengan menatap tajam. Dia dan Susan adalah teman paling akrab Alexa.
Rafandra menghela nafasnya dalam-dalam. Setelah mendengar semua hinaan ini, dia tetap kembali mencoba berjalan mendekati Alexa.
“Sudah kukatakan, kau tidak pantas bersanding dengan Alexa,” ucap Anett.
“Aku adalah suaminya, Ibu.”
“Kau lihat dia sekarang!” kata Anett.
Rafandra memandang Alexa yang sedang berbincang-bincang dengan banyak orang. Dia didampingi Max Hendrawan dan Alex Gunawan yang ikut menyambut para tamu undangan. Seakan-akan mereka adalah suami Alexa.
Hampir setiap menit Alexa menerima hadiah dari tamu undangan yang kebanyakan berasal dari keluarga terpandang. Sesekali dia menatap ke arah Rafandra yang sedang dihalangi oleh keluarganya.
“Kau lihat baik-baik!” ucap Anett lagi.
Rafandra merasakan sesak di dadanya saat melihat Alexa mengangkat tangannya dan menyuruhnya pergi. Dia menggerakkan tangannya seperti orang yang sedang mengusir binatang yang memasuki rumahnya.
Rafandra pun menunduk sambil menghela nafas dalam.
“Kau lihat sendiri. Dia tidak menghendaki kehadiranmu,” kata Rose Hart.
“Kehadiranmu hanya akan mempermalukannya. Dia malu melihatmu ada di sini,” giliran Anett yang menyudutkannya.
“Sekarang kau pergilah dari sini!” ucap Richard Darmawan.
Meski sudah disudutkan sedemikian rupa, Rafandra masih berdiri di tempat yang sama. Dia kembali memandang Alexa untuk memastikan kembali, dan Alexa melakukan hal yang sama. Dia menyuruhnya pergi dengan gerakan tangannya.
“Kehadiranmu tidak diharapkan di sini. Pergi sebelum kau mempermalukan seluruh Keluarga Darmawan,” kata Richard.
“Jangan harap Alexa akan mengenalkanmu dengan teman-teman dan mitra bisnisnya. Lihat sepatu dan jam yang kau kenakan, sungguh sangat murahan. Alexa akan merasa sangat malu jika mereka tahu kau suaminya,” kata Lena sambil menuding jam dan sepatu Rafandra.
Tanpa berkata apa-apa, Rafandra membalikkan badannya dengan tangan mengepal kencang. Kedua matanya menampakkan binar kekesalan. Bayangannya mendampingi Alexa dalam acara penting ini seketika runtuh. Dia pun berjalan menuju pintu keluar perusahaan dengan mata berkaca-kaca.
“Pelayan, tolong ambilkan anggur dingin untuk kami!” seru sekumpulan orang yang sedang berbincang-bincang di samping pintu keluar saat melihat Rafandra melewati mereka.
“Pelayan!” seru mereka lagi.
Rafandra tidak mempedulikan panggilan mereka. Dia terus berjalan menuju pintu keluar. Karena pakaiannya yang mirip dengan pakaian pelayan, banyak orang yang menganggapnya sebagai pelayan.
Lena dan Susan tertawa melihat Rafandra yang dianggap sebagai pelayan oleh para tamu undangan. Begitu juga dengan Annet dan keluarganya. Mereka merasa puas setiap kali Rafandra diperlakukan buruk oleh orang lain.
“Aku heran dengan Kakek Martin, kenapa dia menjodohkan Alexa dengan laki-laki tidak berguna ini,” kata Richard Darmawan setelah melihat Rafandra keluar dari pintu perusahaan.
Dua setengah tahun yang lalu Tuan Martin Darmawan membawa Rafandra pulang dan menikahkannya dengan cucunya, Alexa Darmawan. Sayangnya, beberapa bulan setelah pernikahan, Tuan Martin meninggal, dan semua orang mulai merendahkan Rafandra.
Rafandra bertemu Tuan Martin Darmawan lima tahun yang lalu. Saat itu dia menjadi korban tabrak lari yang hampir saja merenggut nyawanya. Tuan Martin membawanya ke rumah sakit dan membiayainya sampai sembuh.
Setelah Rafandra siuman, dia melihat Tuan Martin mondar-mandir menelepon banyak orang. Dia terlihat menghubungi banyak bank dan pengusaha untuk menyelamatkan perusahaannya.
Rafandra tidak sengaja mendengar bahwa Tuan Martin membutuhkan banyak dana untuk menyelamatkan perusahaannya.
Sebagai bentuk terima kasih, Rafandra menyerahkan uang pesangonnya pada Tuan Martin. Jumlahnya mencapai lima puluh lima juta dollar. Rafandra mendapatkan uang tersebut setelah mengundurkan diri sebagai direktur utama Sanjaya Technology Corporation.
Dia adalah anak tertua Darius Sanjaya. Pemimpin dan pemilik Grup Sanjaya. Salah satu perusahaan terbesar di Republik Worthen.
Lima tahun yang lalu, Rafandra meninggalkan keluarganya karena tidak mau berkonflik dengan ibu tiri dan adik-adiknya.Konflik dalam keluarga Sanjaya memuncak ketika ibu tiri dan adik-adiknya menggunakan dana perusahaan untuk menyuap para pemegang saham dan jajaran direksi agar tidak menjadikan Rafandra sebagai CEO Sanjaya Invastement Bank, yang menyebabkan salah satu anak perusahaan Grup Sanjaya mengalami PHK massal.Demi menstabilkan perusahaan keluarganya dan mencegah kerugian lebih lanjut, Rafandra memutuskan untuk meninggalkan keluarga Sanjaya dan melepaskan semua jabatan eksekutifnya di Grup Sanjaya.Dia melakukannya setelah mendengar kabar bahwa beberapa pekerja yang terkena PHK massal bunuh diri. Keuangan salah satu anak perusahaan Grup Sanjaya hancur lebur sampai harus menutup perusahaan dan pabrik-pabriknya.Sejak saat itu, Rafandra memilih keluar dari Grup Sanjaya agar tidak terjadi hal yang sama. Dia takut ibu dan adik-adik tirinya melakukan hal yang sama selama dia masih be
Setelah berucap dengan nada tinggi dan kasar, Anett kembali tersenyum kepada para tamu undangan.“Maaf atas pemandangan tak mengenakkan ini,” katanya lembut, tapi para tamu undangan masih berbisik-bisik satu sama lain.Kemudian Alex Gunawan berdiri di samping Anett Wongso.“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, acara segera dimulai. Sebaiknya kita kembali ke dalam. Kalian tak perlu memikirkan orang ini, biar satpam yang mengurusnya,” ucapnya dengan lugas. “Aku akan memberikan kartu keanggotaan VIP bagi orang yang tetap tinggal sampai acara pembukaan selesai. Dengan kartu itu, kalian akan diberi akses kemewahan tiada batas di seluruh jaringan hotel nilik Grup Gunawan.”Mendengar tawaran dari Alex, membuat semua orang kembali masuk ke dalam. Kartu VIP hotel Grup Gunawan memiliki keistimewaan yang luar biasa. Orang yang memilikinya akan mendapatkan pelayanan dan akses kemewahan lebih baik dari pelanggan biasa.“Terima kasih, Tuan Alex,” ucap Annet dengan tersenyum hangat.“Tidak apa-apa, Tante. It
“Kau jangan mengada-ada. Kau bahkan tidak bisa mencari uang satu dollar pun jika Alexa tidak memberimu,” ejek Susan.“Sudah! Cepat buatkan kopi! Tidak ada gunanya juga kau mengetahuinya!” ucap Alexa keras.“Aku hanya ingin membantu.”“Heh,” Alan Darmawan menyeringai. “Apa yang bisa dilakukan pengangguran sepertimu?!”“Pergi sana!” dorong Lena pada Rafandra.Rafandra terdorong beberapa langkah ke belakang. Dia pun membalikkan tubuhnya dan pergi ke dapur. Wajahnya memerah karena marah, padahal dia hanya ingin membantu.Setelah kematian Tuan Martin, tidak seorang pun yang memperlakukannya dengan baik. Satu-satunya orang yang tidak pernah menghina, merendahkan dan memerintahnya adalah Nyonya Wendy Satriawan. Meski demikian, dia juga tidak pernah membelanya saat direndahkan dan dipermalukan oleh anak dan cucu-cucunya.Rafandra berjalan menuju ke dapur rumahnya. Dia berkali-kali menghela nafas panjang dan memejamkan matanya.Selama menjalin hubungan dekat dengan Tuan Martin, ada satu hal yan
Karena itu, setiap kali ada keputusan-keputusan salah yang diambil Alan dan keluarganya, Rafandra selalu merasa kasihan pada Tuan Martin. Dia selalu menghela nafas panjang setiap kali hal ini terjadi.Kenangan-kenangan indahnya bersama Tuan Martin selalu muncul saat keluarganya menampilkan perilaku buruk, termasuk yang terjadi kepadanya saat ini.Kringg... kringg...Ponsel Rafandra berdering cukup kencang. Kemudian dia melihat layar ponselnya. Di layar itu tertulis nama Michael Crouch. Dia adalah salah satu pemegang saham yang cukup besar di Grup Darmawan.“Halo, Tuan Rafandra. Aku sudah melaksanakan apa yang Tuan perintahkan. Seluruh jaringan supermarket Leivan akan menampilkan dan mempromosikan produk-produk kecantikan dari perusahaan istri Tuan.”“Terima kasih sudah bekerja keras, Tuan.”“Tidak, Tuan. Bisa mendapatkan perintah dari Tuan adalah pencapaian.”“Tuan Michael terlalu mengada-ngada.”“Hanya saja beberapa produk yang akan dirilis perusahaan istri Tuan belum mendapat izin ed
Mereka bertiga berpelukan bahagia. Itu artinya mereka sudah bisa melaunching dan memasarkan produk mereka secara luas.Rafandra melihat dengan tersenyum, lalu dia mendekati mereka bertiga,“Bukankah kau berjanji akan berlutut di depanku?” ucap Rafandra.Mendengar itu membuat mereka bertiga melepaskan pelukannya masing-masing.Susan dan Lena menatap Rafandra dengan pekat. Mereka sepertinya sedang memikirkan sesuatu.“Aku tidak percaya kau yang melakukannya! Tidak mungkin!” kata Lena.“Pengangguran sepertimu tidak mungkin bisa melakukannya. Aku yakin ini hasil kerja Alex atau Max,” ucap Susan.“Kau benar, Susan. Mereka berjanji akan terus berusaha menyelesaikan hal ini, bukan?” ujar Lena.“Karena itu aku yakin, kau hanya seorang pembual!” kata Susan dengan mendorong dada Rafandra.“Kalian gila jika mempercayainya. Aku sudah bersamanya lebih dari dua tahun. Dia hanyalah pengangguran tak berguna,” sambung Alexa.Rafandra tersenyum.“Aku benar-benar mengenal Tuan Ferdinand,” katanya.“Janga
Rafandra menggeleng.“Aku hanya tidak mau banyak orang kehilangan pekerjaan setelah Tuan Martin wafat. Karena itu aku mendirikan perusahaan ini bersama kalian. Aku senang perusahaan ini bisa berkembang pesat.”Saat itu, Alan Darmawan dan anggota keluarga Darmawan lainnya memutuskan untuk menutup pabrik tekstil karena dipandang tidak memberikan keuntungan yang besar.Mereka mengalihkan biaya operasional pabrik tekstil untuk membeli secara langsung kain yang sudah jadi, lalu mereka olah di pabrik garmen milik mereka. Dalam hitungan mereka, hal itu jauh lebih menguntungkan.Saat mendengar keputusan tersebut, dua asisten pribadi Tuan Martin menentang. Mereka adalah Daniel William dan Harry Maruti. Mereka berdebat keras dengan Alan Darmawan hingga membuat mereka dipecat.Mengetahui akan terjadi PHK massal, sekitar lima ribu orang lebih, Rafandra menghubungi Daniel dan Harry satu bulan kemudian. Mereka memang sering bertemu sebelumnya. Harry dan Daniel sering diminta Tuan Martin untuk menem
“Awalnya...”Kretek...Terdengar suara pintu depan terbuka. Rafandra dan Anna langsung mengarahkan pandangannya ke arah pintu itu. Terlihat dua orang sedang berjalan masuk dengan senyum mengembang.“Mas Rafandra!” ucap Liam Suryawijaya yang mempercepat jalannya setelah melihat Rafandra, tapi langkahnya tersusul oleh adik perempuannya, Sarah Suryawijaya.Wanita muda itu berlari kencang ke arah Rafandra dan langsung memeluknya.“Ke mana saja kamu, Mas?” tanya Sarah masih memeluknya.“Nanti aku ceritakan.”Liam pun melakukan hal yang sama dengan adiknya. Dia pun memeluk Rafandra dari samping. Mereka bertiga berpelukan cukup lama untuk melampiaskan rasa kangen.Sejak kecil mereka bertiga memang sangat akrab. Mereka lebih mirip saudara kandung daripada saudara sepupu.“Bagaimana kabar kalian?” tanya Rafandra setelah mereka duduk di sampingnya.“Aku baik-baik saja, tapi Mas Liam...”Liam mengusek kepala adiknya.“Aku kurang baik, Mas,” katanya tersenyum.Rafandra melihat ada dua orang lain
Tuan Sagal tersenyum kepada semua orang. Dia mengulurkan tangannya menyalami mereka semua.“Perkenalkan aku Luis Sagal. Pengacara Tuan Liam Suryawijaya.”Semua orang masih terperangah, terutama Alexander dan tim legalnya. Bagaimana tidak, mereka semua bekerja di firma hukum milik Tuan Sagal. Pikiran mereka pun melayang ke mana-mana, karena selama ini Luis Sagal tidak pernah menangani kasus lokal secara langsung. Dia hanya menangani kasus internasional.Karena itu mereka bertanya-tanya, siapa orang yang bisa mempekerjakan Luis Sagal sampai menjadi pengacara Liam Suryawijaya. Dia yakin Grup Suryawijaya tidak mungkin mampu membujuk Tuan Sagal untuk menjadi pengacaranya, karena grup-grup yang lebih besar sekalipun tidak pernah berhasil melakukannya.“Eh, aku Alexander dan mereka tim legal kami,” ucap Alexander tergagap-gagap menyambut uluran salam Luis Sagal.“Semoga beruntung,” kata Tuan Sagal dengan meremas tangan Alexander cukup keras sampai membuatnya sedikit meringis.Mereka semua ke
Terjadi kehebohan besar di kediaman Keluarga Darmawan. Alexa menceritakan apa yang dikatakan Rafandra kepadanya.Alan, Annet dan lain sebagainya duduk di ruang tamu kediaman utama, termasuk Wendy Satriawan, nyonya besar Keluarga Darmawan.“Apa yang harus kita lakukan, Pa?” tanya Frida kepada Alan.Alan terdiam tidak mengucapkan apapun.“Sudah kukatakan kalian jangan keterlaluan mengganggunya,” ujar Wendy Satriawan.Alan dan lainnya memandang ke arah wanita yang sudah dipenuhi rambut putih dan keriput.“Apa alasan Mama tidak pernah mengganggunya?” tanya Alan.“Mama menghormati Papamu. Dia sangat memandang tinggi Rafandra, entah karena alasan apa,” jawab Wendy.Alexa menghela nafas.“Sebenarnya apa yang membuat Kakek memandangnya sedemikian tinggi,” ucapnya penasaran.“Yang Nenek tahu, Kakekmu sepanjang hidupnya tidak pernah salah menilai seseorang. Karena itu Nenek tidak pernah merendahkannya seperti kalian, tapi Nenek juga tidak menghalangi kalian melakukannya karena Nenek pun tidak s
Daniela dan orang-orangnya terkejut mendengar hal itu.“Kami pemilik baru Golden Acres Corporation,” kata Rafandra.Daniela terus memandang Rafandra. Kepalanya menggeleng kecil setelah mendengar perkataan Rafandra.“Karena itu yang mengajukan penawaran untuk membeli Hotel Golden Acres adalah Golden Acres Corporation, bukan perusahaan lainnya,” ujar Rafandra.“Tuan memang hebat. Dengan menguasai Golden Acres Corporation, andaikan Tuan harus membangun hotel dari awal, tingkat kesuksesannya sangat tinggi,” ucap Daniela. “Meski demikian, kami tidak akan menjual hotel ini dengan harga semurah itu.”Rafandra tersenyum.“Sebenarnya kami belum menyelesaikan tawaran kami. Ada hal lain yang kami masukkan dalam penawaran kami.”“Apa itu?” tanya Daniela.Semua orang menatap Rafandra, termasuk Walter dan Sagal. Rafandra memang sering berimprovisasi saat bernegosiasi dengan perusahaan yang hendak dibelinya.“Kami mengajukan harga tiga ratus juga dollar dan sisa hutang ditanggung bersama, dan kalian
Untuk sesaat sempat terjadi kekakuan di antara mereka berdua. Daniela sempat terdiam sembari terus menatap Rafandra.“Silakan duduk, Nona,” kata Rafandra dengan senyum hangat. Dia berusaha mencairkan suasana kembali.Rhonald dan lainnya terkejut melihat kejadian itu.“Apakah kalian saling mengenal?” tanya Rhonald kepada Daniela dan Rafandra.“Kita hanya pernah bertemu,” jawab Daniela cepat.Rafandra mengangguk semberi tersenyum hangat. Mereka duduk berhadapan.“Karena diektur keuangan Grup Santoso sudah hadir, pembicaraan tentang pembelian Hotel Golden Acres sudah bisa dimulai, bukan?” tanya Sagal.“Silakan, Tuan Sagal,” ucap Rhonald.“Klien kami tertarik untuk membeli Hotel Golden Acres dari Grup Santoso. Setelah kami mendapatkan informasi rincinya, Grup Santoso membeli Hotel Golden Acres dengan nilai dua ratus enam puluh juta dollar dengan kesepakatan menanggung hutang-hutang Hotel Golden Acres yang mencapai seratus delapan puluh lima juta dollar. Berdasarkan informasi ini, kami ing
Rafandra menganggukkan kepalanya.“Baik,” katanya pelan sembari melihat tangan Daniela yang terus menggenggamnya.“Eh, maaf,” ujar Daniela bergegas melepaskan genggaman tangannya.Dia terlihat malu sampai pipinya memerah.“Halo, Tuan...”“Halo, Tuan Sagal. Aku tidak jadi melaporkannya. Tuan tidak perlu membuat laporan kepada polisi. Tunggu arahanku nanti.”“Baik, Tuan,” jawab Sagal. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Tuan? Apakah aku harus masuk ke dalam?” tanyanya penasaran.“Tidak perlu. Tuan Sagal tetap di mobil dan tunggu arahanku nanti.”“Baik, Tuan.”Lalu Rafandra memutus teleponnya.“Tolong kalian bawa Revan keluar. Aku tidak mau melihatnya ketakutan,” kata Rafandra pada dua wanita pengasuh anak yang dipekerjakannya. “Revan ikut mereka dulu ya. Papa mau menyelesaikan sesuatu di sini.”Revan pun mengangguk dan menjulurkan tangannya kepada dua wanita itu. Dia pun dibawa pergi keluar dari ruangan itu.“Silakan duduk, Tuan,” ujar Daniela kepada Rafandra.“Apa yang hendak Nona Dan
Melihat kehadiran ayahnya, Revan langsung melompat ke pelukan ayahnya.Pasangan suami istri itu kesal mendengar ucapan Rafandra.“Siapa kau?”“Aku Ayahnya.”“Oh, pantas anaknya kurang beradab, ternyata Ayahnya juga sama,” kata sang istri sambil memandang pakaian Rafandra dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.Rafandra memang selalu mengenakan setelan jas yang tidak murah, tapi juga tidak terlalu mahal.“Apa maksudmu?”“Suamiku kau lihat pakaiannya. Dia mengenakan setelan jas Don Blanca,” kata sang istri.“Kau benar. Hahaha...”Sang suami tertawa terbahak-bahak cukup lama.Walter terlihat sangat kesal. Dia tidak terima tuannya diperlakukan seperti ini, tapi Rafandra mencegahnya.“Apa yang salah dengan Don Blanca. Bukankah itu nyaman dan bagus.”“Memang, tapi itu menunjukkan level kekayaanmu belum setara dengan orang-orang yang menyekolahkan anaknya di sini. Jika belum mampu, jangan berlagak!” kata sang istri.“Heh,” Rafandra meringis sambil menggeleng. “Tidak di Loven, tidak di Wollon
Rafandra terus menatap Stefan dan Aranda. Dia menatap mereka dengan senyum mengembang ramah.“Aku tidak sedang bercanda. Aku bisa membuat surat pengangkatan sekarang juga, tanpa harus menunggu lama,” ujar Rafandra.Tiba-tiba Stefan memajukan tubuhnya.“Kau pasti menipu kami lagi,” katanya.Rafandra tersenyum.“Tuan Sagal. Buatkan surat pengangkatan Aranda Acres menjadi CEO Golden Acres sekarang juga.”“Baik, Tuan.”Sagal langsung mengeluarkan laptopnya dan mulai mengetik. Tak berselang lama, surat yang dibuat Sagal selesai.“Boleh aku pinjam printer di sini?” tanya Sagal.“Silakan,” jawab Stefan.Sagal menghubungkan laptopnya dengan printer tersebut, lalu mencetak surat pengangkatan yang baru saja dibuatnya.“Ini Tuan.”Sagal menyerahkan selembar kertas dengan logo Safty Enterprise, perusahaan induk milik Rafandra yang membawahi banyak perusahaan.Nama perusahaan ini memang tidak dikenal banyak orang karena tidak pernah menampakkan diri. Setiap kali membuat dan membeli perusahaan lain
Waktu berjalan dengan cepat. Rafandra dan Ian sedang berada dalam perjalanan menuju Kota Wollong. Rafandra dan Revan duduk di belakang, sementara Ian dan supirnya duduk di depan.Mereka berangkat dari hotel jam tujuh malam setelah Rafandra bertemu dengan Daniel dan Harry. Rafandra memberikan kunci rumah tempat mereka biasa berkumpul dulu. Dia meminta mereka untuk membersihakan rumah dan mencari pengurus anak profesional yang dapat dipercaya.“Kita sampai di Hotel Golden Acres, Tuan,” kata Ian.“Kita menginap di sini.”“Baik, Tuan.”Ian menyuruh supirnya menepi. Dia pun bergegas turun memasuki hotel untuk menanyakan ketersediaan kamar.Rafandra pun membuka pintu mobilnya dan turun. Dia melihat Ian sedang berbincang-bincang dengan resepsionis hotel.Rafandra sengaja menginap di Hotel Golden Acres untuk melihat potensi yang dimiliki hotel. Dia tahu bahwa hotel ini telah dijual, tapi dia cukup tertarik untuk membeli kembali hotel-hotel yang dikelola Golden Acres.Menurut laporan yang masu
“Mengambil alih perusahaan yang akan atau sudah pailit, lalu melakukan misi penyelamatan,” jawab Sagal.“Apa nanti perusahaan tersebut akan dijual?” tanya Ian Fins lagi.“Tidak, karena tujuan Tuan Rafandra melakukannya untuk menyelamatkan para pekerja dari PHK.”Ian terkejut mendengar ucapan Sagal.“Pola seperti itu tidak akan bertahan lama jika tidak menghasilkan keuntungan,” ucap Ian.“Aku tahu, tapi sampai sekarang semua perusahaan yang diambil alih bisa disehatkan dan berkembang semakin besar berkat kemampuan Tuan Rafandra.”Ian memandang Rafandra cukup lama. Dia berharap Rafandra sendiri yang menceritakannya.“Aku memulai proyek ini sekitar lima tahun yang lalu. Tapi dua setengah tahun terakhir aku memutuskan berhenti untuk fokus mengurus anakku. Sekarang aku ingin kembali melakukannya,” ucap Rafandra.“Aku belum bisa memutuskan untuk bergabung atau tidak, karena aku belum melihat bukti nyata dari proyek Tuan Rafandra.”“Selama dua tahunan, aku telah mengambil alih enam perusaha
“Apa yang sedang kalian lakukan?!” tanya Ian Fins. “Lepaskan tangan kalian dari tubuh Tuan Rafandra!”Dua orang pengacara yang memegang tubuh Rafandra bergegas melepaskannya.“Mohon maaf, Tuan Ian. Apakah Tuan...”“Benar. Aku kuasa hukum Tuan Rafandra. Apakah Tuan Jeremy punya tuntutan hukum terhadap klienku?”“Benar. Kami sudah menyerahkannya jam delapan malam tadi. Sekarang kami sedang mengantar Nona Pauline untuk memberi keterangan.”“Semuanya sudah beres. Menurut kepala polisi bukti-bukti yang dikumpulkan tidak kuat. Jika boleh tahu, apa Tuan Jeremy membawa bukti materil untuk menuntut klien kami?”“Eh, tentu ada. Tapi aku tidak bisa memperlihatkannya kepada Tuan Ian.”“Apakah bukti itu baru akan diserahkan atau sudah diserahkan?”“Baru akan diserahkan?”Ian Fins menganggukkan kepalanya.“Lalu apa yang menjadi dasar para polisi itu membawa Tuan Rafandra ke kantor polisi jika bukti-buktinya belum mereka terima?”“Kami memang mengajukan hal itu agar tersangka tidak melarikan diri.”