Kuil iblis di Alam Kayangan.
Raja Agung Nayaka Manggala sedang duduk bersila di sebuah ruangan khusus yang akan menjadi tempat dirinya melakukan penerobosan ranah dari tingkat jalan abadi ke tingkat keabadian yang merupakan puncak dari ranah di Alam Khayangan. Bof! Sebuah pilar tenaga dalam berwarna ungu keputihan melesat ke langit dari tempat Raja Agung Nayaka Manggala, seketika cuaca di langit yang tadinya cerah langsung mendung. Gelombang udara juga terlihat berputar-putar mengelilingi kuil iblis, sambaran guntur berulang kali turun seolah tengah menunggu sesuatu yang besar terjadi. Fenomena alam yang terjadi secara tiba-tiba tersebut menarik perhatian semua penghuni Alam Khayangan. Klap! Jedar! Raja agung Nayaka Manggala mencoba fokus pada penerobosannya, ia yakin jika guntur kesengsaraan yang menjadi ujian seseorang untuk naik tingkat kekuatan akan segera muncul. 4 orang penguasa kuil lain di alam khayangan selain kuil iblis melihat fenomena alam yang berubah secara drastis. Sebelumnya mereka telah mendapat informasi jika Raja Agung Nayaka Manggala dari kuil iblis akan melakukan penerobosan. Menyadari jika penerobosan tengah dilakukan, keempat penguasa kuil lain tersebut membawa pasukannya untuk menyerang kuil iblis. "Apapun yang terjadi kita harus melindungi raja yang sedang melakukan penerobosan! Bahkan jika kita harus mengorbankan nyawa kita, kita harus melindunginya! "Seru Angkara Mada, panglima perang dari kuil iblis setelah melihat 4 penguasa kuil lain membawa pasukan mereka. Panglima Angkara Mada membawa pasukan untuk menghadang empat penguasa kuil dan pasukannya. "Jangan biarkan dia berbuat seenaknya!"seru Raka Janam—penguasa Istana Bintang "Terlalu serakah! Dia ingin menjadi yang terkuat! Jangan harap berhasil!"seru Wanara Aditama —penguasa Kuil Surga Ilahi "Kalian ini terus saja berbicara tanpa bertindak! Segera lakukan tugas kalian!"ser Wiyata Mandala —penguasa Tanah Suci Abadi "Jangan memerintah dasar tua bangka!" sambung Arhan Dwipangga—penguasa Istana Teratai Kuning Keempat penguasa kuil tersebut memimpin penyerangan ke kuil iblis, peperangan tidak lagi terhindarkan. Panglima Angkara Mada memimpin pertempuran dari kuil iblis, dengan para penatua yang lain berusaha melindungi tempat penerobosan. Pertempuran terjadi sangat sengit, kekuatan dari kuil iblis yang menjadi paling kuat di alam kayangan benar-benar merepotkan gabungan dari 4 kuil lainnya. Akan tetapi meskipun kuat namun pertempuran berkepanjangan membuat kekuatan dari kuil iblis perlahan melemah. Blokade pasukan kuil iblis satu persatu mulai berjatuhan, bahkan Panglima Angkara Mada juga terpukul mundur. Melihat kesempatan yang terbuka, keempat penguasa kuil langsung menyerbu tempat Raja Agung Nayaka Manggala menerobos. Keempatnya melancarkan serangan terkuat mereka untuk menggagalkan usaha yang dilakukan Raja Agung Nayaka Manggala. Boom! Duar! Ledakan besar akibat bentrokan serangan dari mereka berempat melawan perisai pelindung tak terhindarkan. Gelombang kejut dengan terpaan angin kuat layaknya badai kehancuran tercipta akibat hal tersebut. Raja Agung Nayaka Manggala perlahan membuka matanya setelah merasakan perisai yang ia pasang mulai tergerus serangan, ia melihat para bawahannya yang sudah dikalahkan oleh gabungan keempat penguasa kuil yang lain. Seketika kemarahan yang memuncak dan melonjakkan tenaga dalam lebih dahsyat dari sebelumnya. "Kalian rupanya telah mendengar kabar itu dan berniat menghentikan aku! Benar benar lancang!" geram Raja Agung Nayaka Manggala Kratak! Kratak! Perihal pelindung mulai retak akibat tekanan yang diberikan. Meskipun Raja Agung Nayaka Manggala mencoba untuk memperkuat perisainya namun karena fokusnya yang terpecah. Perisai pelindungnya akhirnya hancur. Duar! Perisai pelindung hancur berkeping-keping, serangan yang terus berlanjut menghantam Raja Agung Nayaka Manggala. Boom! Uhuk! Raja Agung Nayaka Manggala memuntahkan seteguk darah dari mulutnya, fluktuasi tenaga dalamnya semakin kacau. Perlahan pilar tenaga dalam yang menjulang ke langit mulai memudar, kesadarannya mulai menghilang. Tubuhnya terbakar akibat ketidakstabilan dari terobosan yang dia lakukan. Klap! Jedar! Tiba-tiba sebuah Guntur besar dari langit menghantam tempatnya. Guntur tersebut adalah guntur kesengsaraan yang begitu dinantikan. Penghalang dari ranah jalan abadi ke keabadian telah didepan mata dan disadari Raja Agung Nayaka Manggala. "Sedikit lagi! Aku harus bertahan! Harus!" Ugh... Dada semakin sesak dengan kulit tubuh yang semakin terbakar hingga menyentuh tulang. "Satu langkah mencapai keabadian!!!" Keempat penguasa kuil merasa sangat panik karena raja Agung Nayaka Manggala mampu bertahan dari serangan gabungan mereka dan juga guntur kesengsaraan. "Orang ini keras kepala sekali! Bagaimana bisa dia bertahan dari serangan kita dan Guntur kesengsaraan?" geram Raka Janam "Berhenti mengeluh dan kerahkan semua kekuatan yang kalian miliki! Sedikit lagi ia pasti tumbang," sambung Wanara Aditama Keempat penguasa kuil semakin melonjakan tenaga dalamnya untuk menghancurkan raja Agung Nayaka Manggala. Dari sebuah bangunan tinggi tak jauh dari tempat Raja Agung Nayaka Manggala tengah melakukan penerobosan, Pujaningsih Prameswari—murid Raja Agung Nayaka Manggala melihat usaha dari gurunya. Senyumannya mereka lebar dengan sebuah pedang yang tiba-tiba dihunuskan ke samping. Wuz! Dengan kecepatan yang luar biasa, Pujaningsih Prameswari ke arah Raja Agung Nayaka Manggala. Srat! Celah pertahanan Raja Agung Nayaka Manggala di terobos pedang Pujaningsih Prameswari dari belakang. Pedang tersebut menembus tubuh Raja Agung Nayaka Manggala. Ugh! Raja Agung Nayaka Manggala sangat terkejut dengan serangan dadakan tersebut, perlahan ia melirik ke belakang di mana senyuman manis dari murid kesayangannya merekah lebar. "Pujaningsih —" geramnya "Guru, ambisimu terlalu berlebihan ingin menjadi penguasa di Alam Khayangan." "Dasar murid sialan!" Raja Agung Nayaka Manggala membalikkan badannya dengan mengibaskan lengannya. Pujaningsih Prameswari segera menjauh menghindari kibasan tangan tersebut. Namun pedangnya dibiarkan menancap di tubuh gurunya. Uhuk! Seteguk darah kembali dimuntahkan dari mulutnya, kestabilan tenaga dalam semakin kacau di dalam tubuh Raja Agung Nayaka Manggala. Melihat hal tersebut, keempat penguasa kuil yang lain segera melonjakkan kembali tenaga dalamnya untuk melancarkan serangan yang lebih kuat. Duar!!!!! Ledakan dahsyat seketika terjadi hingga mengguncang Alam Khayangan. Keempat penguasa kuil ikut terkena gelombang tersebut hingga terlempar jauh. Tidak berselang lama, langit yang tadinya mendung dengan Guntur kesengsaraan perlahan mulai menghilang. Hal tersebut menjadi pertanda jika penerobosan ranah yang dilakukan Raja Agung Nayaka Manggala telah gagal. "Hahaha! Dia gagal menerobosnya! Rasakan itu!" Keempat penguasa kuil yang lain tertawa dengan perasaan senang karena berhasil menggagalkan usaha Raja Agung Nayaka Manggala. Sementara itu pujaningsih Prameswari juga ikut tersenyum meskipun gurunya telah mati. Keempat penguasa kuil yang lain segera memerintahkan pasukannya untuk menghabisi semua orang dari kuil iblis yang tersisa. Pembantaian tidak lagi terhindarkan dan kuil iblis di Alam Khayangan akhirnya musnah. *************** Alam Bumi Kencana bagian Selatan, dereten pegunungan di dekat perguruan Cakra Kembar, beberapa orang remaja tengah berjalan menyusuri jalan bertebing. "Apakah benar hewan itu ada di sini? Rasanya kita sudah semakin jauh." tanya seorang remaja yang berada di belakang remaja paling depan. Gentala Surendra—remaja paling depan yang memimpin jalan, menoleh ke arah belakang sembari menatap pada temannya yang barusan bertanya tersebut. "Sudah ikuti saja aku! Jangan kau banyak tanya! Kita sudah mendekatinya!" Teman Gentala Surendra yang tadi bertanya hanya bisa menganggukkan kepala dengan terus mengikuti langkah Gentala Surendra. Sementara itu anak yang paling belakang dengan ketakutan mencoba untuk tetap mengikuti rombongan tersebut sembari berpegangan erat pada bebatuan. Nayaka Manggala —tukang sapu di Perguruan Cakra Kembar, dengan sangat terpaksa mengikuti rombongan tersebut karena ia tidak ingin dirundung oleh Gentala Surendra dan teman-temannya. Meskipun ia merupakan seorang tukang sapu di perguruan tersebut namun statusnya yang begitu rendah membuatnya sering dirundung terutama oleh para murid dari perguruan. Sekujur tubuhnya terdapat banyak sekali luka lebam termasuk di wajahnya. "Sakit sekali kakiku! Rasanya seperti disayat-sayat." gumam Nayaka Manggala Ia tidak memakai alas kaki seperti yang dipakai oleh gentala dan teman-temannya sehingga tanah dari tebing yang berupa bebatuan lancip begitu menyiksa kakinya. "Hei kamu jangan sampai tertinggal jauh!" seru salah satu teman Gentala Surendra yang berada di depan Nayaka Manggala "Baik, tuan!" Nayaka Manggala menganggukan kepala dengan tidak berani menatap pada teman Gentala Surendra tersebut Roar!!! Tiba-tiba terdengar suara raungan keras yang membuat rombongan gentala tersebut menjadi terkejut sehingga menghentikan langkah kaki mereka. "Apa kalian mendengar suara itu!" Ujar salah satu teman gentala Sttt! Gentala Surendra yang berada paling depan memberikan isyarat pada teman-temannya untuk diam. Roar! Suara raungan kembali terdengar keras, hal itu bahkan sampai membuat beberapa bebatuan kecil pada tebing tersebut runtuh. "Ini pasti adalah harimau putih yang kita cari itu! Sepertinya kita tidak salah jalan!" Perlahan senyuman dari teman-teman Gentala Surendra merekah lebar setelah menyadari jika hewan yang mereka buru benar-benar berada di tempat tersebut. "Ayo kita lanjutkan perjalanan! Jangan terlalu banyak membuat suara dan pergerakan yang tidak perlu!" ajak Gentala Surendra Teman-teman Gentala Surendra menganggukan kepala dengan kembali mengikuti langkah kaki Gentala Surendra yang memimpin jalan. Sementara itu hengkara yang berada di paling belakang merasakan kakinya semakin sakit, sekilas ia melirik ke belakang di mana jalanan bebatuan yang menyiksa kakinya tersebut meninggalkan jejak darahnya akibat luka di kakinya. "Rasanya aku sudah tidak kuat lagi!" Krasak! "Hai budak! Jangan cuma diam saja ayo cepat ikuti kami! "Panggil salah satu teman Gentala Surendra dengan keras "B-baik tuan!" Nayaka Manggala dengan memaksakan tubuhnya yang terasa sakit kembali berjalan, wajahnya sudah begitu pucat akibat kelaparan, kelelahan dan kekurangan darah akibat kakinya yang terluka terus mengeluarkan darah sejak mereka menaiki tebing bebatu tersebut. Di deretan paling depan, Gentala Surendra tiba-tiba berhenti dengan memberikan isyarat menggunakan tangannya. Semua teman-temannya yang berada di belakang langsung berhenti. Hup! Ia melihat sebuah gua dengan beberapa batu yang menghalangi mulut gua tersebut. "Seharusnya harimau itu berada di gua ini. Apa yang sebaiknya kita lakukan? Haruskah kita memancingnya keluar atau mengepungnya di dalam?" gumam Gentala Surendra Teman-teman gentala dengan cepat ikut melompat untuk keluar dari jalan bertemu tersebut. Mereka segera ikut bersembunyi di balik bebatuan sembari menatap pada gua yang seharusnya menjadi sarang dari harimau putih. "Sepertinya itu adalah sarang dari harimau putih!" bisik salah satu teman Gentala Surendra "Aku tidak menyangka jika kita bisa menemukan sarang dari hewan tersebut! Tidak sia-sia kita menyusuri jalan bertebing tadi." sambung teman lainnya "Lalu sekarang Apa yang harus kita lakukan Gentala Surendra? Bukankah kamu memiliki rencana setelah melihat gua ini!?" Gentala Surendra masih diam saja, ya masih memikirkan cara yang terbaik untuk menangkap harimau putih yang ingin ya jadikan peliharaan tersebut. Keadaan di sekitar tempat tersebut begitu sunyi, suara raungan tadi yang seharusnya milik harimau putih tidak lagi terdengar. "Aku punya ide, bagaimana jika Kita mengepung harimau tersebut di dalam sarangnya. Tetapi sebelum itu kita harus memastikan apakah dia benar-benar ada di dalam atau tidak. Suara raungan tadi membuatku ragu jika dia berada di dalam sarangnya."celetuk salah satu orang "Itu ide yang bagus! Memang sangat masuk akal jika kita harus memeriksa keberadaan dari harimau putih tersebut. Jika tidak kita hanya akan bunuh diri.".puji teman lainnya "Kalau begitu siapa yang akan kita suruh masuk ke dalam untuk memeriksanya!!" Mereka semua saling pandang, termasuk Gentala Surendra. "Mana budak itu?!" tanya Gentala Surendra Teman-teman Gentala Surendra segera menoleh ke arah belakang, namun orang yang mereka cari tidak ada sama sekali. "Tadi dia berada di belakangku. Sepertinya ia. masih tertinggal." jawab pas aku temennya yang tadi berada di paling belakang "Cepat periksa dia dan bawa dia ke sini!" "Ya!" Dengan cepat dua orang dari mereka kembali ke jalan tebing tadi, dan benar saja jika hengkara yang mereka cari masih berjalan dengan begitu lambat. Melihat hal tersebut kedua orang tersebut dengan paksa menarik Nayaka Manggala untuk mengikuti mereka. Brak! Ugh! Nayaka Manggala tersungkur di tanah setelah didorong oleh kedua orang yang menarik paksanya tersebut. Brak! Argh! Tiba-tiba kepala Nayaka Manggala yang tersungkur di tanah diinjak oleh Gentala Surendra dengan menatapnya tajam. "Apa yang kamu lakukan di belakang! Aku hanya menyuruhmu berjalan mengikuti kami tetapi begitu saja tidak becus! Dasar sampah" Umpat Gentala Surendra kesal Hosh! Hosh! Tubuh Nayaka Manggala terasa semakin lemas, nafasnya juga terengah-engah dengan pandangan yang mulai kabur. "Ma-maafkan aku tuan. Ma-maaf!" lirih Nayaka Manggala Gentala Surendra Sebenarnya masih ingin melampiaskan kekesalannya tersebut, namun ia tidak memiliki cukup banyak waktu karena mereka tengah terdesak. Dalam mengangkat kakinya yang tadi menginjak wajah Nayaka Manggala. Srak! Tangannya lalu beralih dengan cepat menarik kerah baju lusuh Nayaka Manggala tersebut. "Sekarang lakukan tugasmu! Masuk ke dalam gua tersebut dan pastikan ada harimau putih atau tidak di dalamnya!" Deg! Nayaka Manggala tidak menjawab namun ia sedikit melirik pada gua cukup besar yang berada di depan mereka tersebut, di dalam gua tidak terlihat apapun hanya kegelapan saja. Bruk! Argh! Gentala Surendra kembali membuang Nayaka Manggala hingga ia kembali tersungkur ke tanah. "Cepat bergerak budak! Jangan buang waktu!" Nayaka Manggala tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah dari Gentala Surendra tersebut. Ia mencoba mengumpulkan semua tenaganya yang tersisa dengan perlahan bangkit berdiri meski tertatih. Tangan yang lain berpegangan pada batu besar di depannya agar ia bisa berdiri dengan tegap meskipun dengan kaki yang gemetar. Gentala Surendra dan teman-temannya menatap pada Nayaka Manggala dengan sinis, tujuan mereka mengajak Nayaka Manggala adalah memang untuk dijadikan umpan untuk menangkap harimau putih. "Cepatlah budak! Jangan buang waktu!" Brak! Tiba-tiba salah satu teman Gentala Surendra dengan kasar menendang punggung Nayaka Manggala hingga ia kembali tersungkur di tanah. Rasa sakit dan lelah yang sudah mencapai puncaknya tidak dihiraukan oleh Nayaka Manggala, ia hanya ingin semua ini segera selesai. Ia kembali bangkit berdiri sembari berjalan masuk ke dalam gua yang gelap tersebut. "Gua ini sangat gelap! Bagaimana mungkin aku bisa melihat apa yang ada di dalam sana! Apakah aku bisa selamat kali ini!!" Glek! Tidak ada pilihan lain selain terus maju, Nayaka Manggala yang selama ini telah mendapatkan berbagai penyiksaan dari Gentala Surendra dan teman-temannya mulai putus asa. Pekerjaannya kali ini adalah untuk memastikan keberadaan dari harimau putih yang ingin di jinakkan oleh Gentala Surendra, tentu saja itu bukanlah hal yang mudah karena harimau putih sudah menjadi binatang yang sangat ditakuti di hutan tersebut. "Jika memang aku akan berakhir di sini, maka itu lebih baik daripada terus tersiksa seperti ini. Kenapa nasibku sial seperti ini! Apa kesalahan yang aku buat sehingga langit memperlakukanku seperti ini!" gumam Nayaka Manggala Tiba-tiba dengan pandangannya yang kabur tersebut ia melihat sepasang mata berwarna merah dan suara dari langkah kaki. Ketika langkah Nayaka Manggala terhenti. Grrrr.... Secara perlahan Nayaka Manggala membuka matanya dengan lebar untuk melihat dengan jelas apa yang sebenarnya ada di depannya tersebut. Tap! Tes! Dengan mata yang sayu dan kara telah menyadari jika yang berada di depannya adalah harimau putih yang mereka cari. Harimau tersebut menatapnya dengan tajam sembari mulut yang sedikit terbuka, gigi taringnya yang tajam terlihat berkilau ditambah dengan tetesan darah yang turun dari mulutnya. Harimau putih tersebut sepertinya baru saja selesai memangsa sesuatu, namun karena kedatangan dari Nayaka Manggala harimau tersebut menghentikan kegiatan makannya dan menghampirinya. "Harimau putih! Sepertinya ini adalah akhirnya!" Bruk! Nayaka Manggala sudah tidak sanggup berdiri langsung terduduk di tanah. Kepalanya sedikit mendongak untuk menatap wajah dari harimau putih di depannya tersebut. Perlahan senyumannya merekah lebar lebih dari yang pernah ia lakukan. Iya sangat menyadari jika tidak ada kemungkinan bagi dirinya untuk kabur ataupun bertahan hidup setelah ini. Selain kepasrahan tidak ada yang bisa ia lakukan. "Sepertinya inilah akhir hidupku! Mengapa hidupku seperti ini! Aku ingin sekali hidup seperti orang biasa yang bisa makan dengan enak dan tidur dengan nyaman." Nayaka Manggala semakin tersenyum sembari mencoba merentangkan kedua tangannya dengan sisa tenaga yang ia miliki. "Harimau putih yang agung! Silahkan!" Harimau putih yang melihat manusia yang berpasrah diri tersebut dengan cepat langsung menerkam pundaknya. Rawr!Klap! Jedar! Sebuah Guntur besar menyambar pada gua tempat harimau putih tinggal. Seketika gua tersebut langsung hancur berkeping-keping. Harimau putih tersebut berhasil menghindari sambaran petir dengan langsung meninggalkan tempatnya. Gentala Surendra dan teman-temannya yang mendengar raungan keras dari harimau sebelum menerkam Nayaka Manggala, hendak masuk ke dalam gua, namun sambaran Guntur yang menghantam gua tersebut membuat mereka terkejut. Setelah gua tersebut hancur harimau putih keluar dari sarangnya yang membuat Gentala Surendra dan teman-temannya semakin terkejut. Niat awal mereka yang ingin menjinakkan harimau putih mendadak menghilang setelah melihat ukuran dari harimau putih yang ternyata sangat besar bahkan melebihi 2 ekor sapi dewasa. "Lari!" Gentala Surendrah dengan cepat memerintahkan teman-temannya untuk meninggalkan tempat tersebut setelah mereka melihat harimau putih yang mengejar ke arah mereka. Padahal harimau tersebut tidak mengejar mereka m
Gardhana Surendra, memberikan arahan pada teman-temannya untuk menyerang ular putih yang sudah dikepung tersebut. "Yang lain coba alihkan perhatiannya sementara sisanya mencoba menyerangnya dari titik buta. Berikan serangan terkuat kalian dan jangan ragu sedikitpun." seru Gardhana Surendra Teman temannya yang lain menganggukan kepala dengan setuju, mereka menyadari kita tidak mengeluarkan semua kemampuan mereka maka dapat dipastikan mereka akan gagal mengalahkan ular putih tersebut. Sstt... Ular putih menjulurkan lidahnya sembari melirik ke sekitarnya, manusia yang telah mengepungnya namun itu tidak membuatnya takut sedikitpun. Krek! Uhuk! Tiba saja ular putih tersebut menguatkan lilitannya pada manusia yang sudah ditangkap. "To-tolong aku!" lirih teman Gardhana Surendra yang tertangkap oleh ular putih Gardhana Surendra melihat temannya telah di ujung kematian dengan cepat menerjang ke depan sembari mengayunkan pedangnya. "Ular sialan! Matilah kamu!" Wuz!
Roar! Rawr! Nayaka Manggala melihat dari balik pohon, di mana terdapat binatang buas yang tengah berhadapan satu sama lain. Dua ekor macan hitam melawan seekor harimau loreng. "Mereka adalah binatang buas tingkat 2 yang cukup kuat, dengan kekuatanku saat ini aku tidak akan mampu mengalahkan mereka. Lebih baik aku menunggu saat yang tepat sebelum melancarkan serangan. Kita harus bijak dalam menentukan pilihan sebelum bertindak." Kedua macam tersebut terus menatap pada harimau loreng yang menjadi mangsanya. Sebagai penguasa dari hutan, tentu saja mau tidak ingin kedua macan tersebut mengalahkannya karena itu tentu akan menghancurkan harga dirinya. Roar! Setelah perang dengan keras harimau loreng tersebut menyerang ke arah kedua macan yang dengan cepat menghindari serangannya. Cat harimau tersebut berbalik salah satu macan langsung melompat ke arahnya dengan menerkam punggungnya. Rawr! Harimau tersebut tersentak dengan meraung keras, mencoba melepaskan diri dari te
Nayaka Manggala melihat mayat Gardhana Surendrayang terbaring di atas tanah dengan luka tebas dari pundak hingga dadanya. "Aku telah membalaskan dendammu, kamu bisa merasa tenang setelah ini. Namun tenang saja jika aku akan melanjutkan balas dendam terhadap mereka yang beruntung selama ini." Nayaka Manggala segera berlutut dengan mengambil cincin penyimpanan dari tangan Gardhana Surendra dan teman-temannya yang telah terbunuh. "Sebagai murid dari Perguruan Cakra Kembar, mereka tidak memiliki banyak barang berharga, namun ini lebih dari cukup untuk sementara waktu." Nayaka Manggala bergegas duduk bersila sembari kembali menyerap darah dan energi dari mayat Gardhana Surendra dan lainnya. Tak hanya itu ia juga menyerap darah milik ular putih yang tadi dibunuhnya. Kulit beserta sisik ular putih yang terkenal dengan keras segera ia pisahkan dari tubuh ular tersebut. Nantinya kau lihat ular tersebut akan dia buat sebagai pakaian agar ia lebih terlindungi dari serangan di kemudia
Teman teman Gumilar Surendra melihat cara mempermainkan Batari Candawani yang berkesan mengasikan. Berandalan seperti mereka memang selalu menyukai melakukan hal hal tercela seperti itu. Tangan Gumilar Surendra meraih tangan Batari Candawani. "Tidak! Lepaskan! Lepaskan tanganmu!" Batari Candawani memberontak "Hahah kulitmu sangat lembut. Ini benar-benar benar sesuai dengan dugaan!" puji Gumilar Surendra "Cepatlah kakak Gumilar. Kami juga ingin!" desak teman temannya. "Kalian bajingan! Apa kalian tidak takut dengan murka guruku!" ancam Batari Candawani dengan airmata yang membasahi pipinya, "guruku tidak akan memaafkan kalian!" "Hahhaha!" "Lihatlah dia! Membawa nama gurunya disaat saat seperti ini!" cibir teman Gumilar Surendra "Murid langsung dari sesepuh perguruan memang selalu seperti itu!" sambung lainnya "Aku benar benar tak menyukai para murid dari para sesepuh!" Seorang lainnya membuang ludah menggambarkan rasa jijiknya "Mereka terlalu menyombongkan nama guru mereka
Tebasan pedang dengan tenaga dalam melesat kearah Nayaka Manggala. "Seni beladiri pedang bunga teratai? Dia menguasainya?" pekik Batari Candawani terkejut Nayaka Manggala menyipitkan matanya dengan menaikan sudut bibirnya. 'Seni bela diri itu , benar mereka dari Perguruan Cakra Kembar . Tetapi serangan ini lemah sekali. Andaikan tak ada yang ingin kubiarkan hidup. Aku akan menunjukkan teknik tersebut yang sebenarnya. Tapi...' Duar! Bentrokan kedua tebasan terjadi. Ledakan membuat gelombang udara cukup besar hingga debu beterbangan. "Hahaha serangan lemah seperti itu. Aku yakin tubuhnya telah terpotong!" "Wahh! kakak telah menguasai seni beladiri pedang bunga pluim! Patut manjadi murid Perguruan Cakra Kembar yang sesungguhnya! " "Mungkinlah kakak senior akan menjadi pedang dari perguruan kita!" "Itu luar biasa." Empat teman Gumilar Surendra memuji kemampuan Gumilar Surendra tersebut.
Bentrokan kedua serangan tersebut menyebabkan ledakan dengan gelombang kejut yang menyebar ke sekitaranya. Hiya! Bersamaan, Nayaka Manggala dan Gumilar Seno menerjang. Klang! Klang! Klang! Keduanya beradu pedanh beberapa putaran. 'Sial! Bagaimana dia bisa mengimbangiku?' gumam Gumilar Seno 'Pertarungan jarak dekat seperti ini benar benar menyenangkan. Namun aku harus segera mengakhirinya. Jika tidak aku akan kalah.' gumam Nayaka Manggala Pertarungan jarak dekat keduanya disaksikan oleh Batari Candawani . 'Anak itu tidak hanya membual, meskipun ranahnya jauh di bawah Gumilar Seno . Namun dia mampu membuat Gumilar Seno merasa seimbang bahkan mungkin kewalahan.' gumamnya Brak! Hentakan kaki Nayaka Manggala di tanah membuat kepulan debu membuat Batari Candawani tak bisa melihat jalannya pertarungan. Seni beladiri iblis kehancuran, bentuk ketiga. Cakar hantu!
Hup! Tiba tiba Nayaka Manggala melambatkan lompatannya. Ia mundur hingga berada di dahan yang sama dengan yang diinjak Batari Candawani. "Ayo lebih cepat. Atau kita akan ikut terseret dengan gelombang binatang iblis!" "Apa?" Nayaka Manggala meraih tangan Batari Candawani. Laku menariknya dengan cepat. Batari Candawani dipaksa melompat mengikuti kecepatan dari Nayaka Manggala . Gruduk! Gruduk! Roar! Rawr! Suara binatang iblis yang bergerombol semakin keras terdengar. Hup! Nayaka Manggala melompat ke sebuah tebing tinggi bersama Batari Candawani. Pil yang diberikan tadi sudah diyelan Batari Candawani yang mbjat nafasnya menghilang. Keberadaanya juga menghilang. Nayaka Manggala dan Batari Candawani melihat dibawah mereka gelombang binatang iblis yang tengah bergerak dengan sangat banyak. "Bagaimana bisa ada gelombang binatang iblis?" Ro
Beberapa anak muda tengah berkumpul dengan bersantai. "Gentala ." panggil seseorang yang berlari kearah beberapa anak muda tersebut. Salah satu anak muda dengan ikat kepala berwarna merah, menoleh kearah suara berasal. "Ada apa teriak teriak begitu." tanyanya "Aku ada berita besar untukmu."ujar orang yang berteriak memanggil tadi. "Berita apa?" Gentala Surendra mengorek telinganya lalu meniup kotoran "Anak itu kembali hidup dan kembali kemari." "Anak?" Gentala Surendra mengerutkan keningnya ***** Nayaka Manggala dan Batari Candawani sampai di gerbang masuk Perguruan Cakra Kembar. Batari Candawani menunjukan plat murid miliknya pada penjaga gerbang masuk sekte. "Masuk!" Giliran Nayaka Manggala yang hendak masuk namun dihadang dua tombak yang menyilang di depannya. Langkah Nayaka Manggala terhenti. Ia menatap dingin pada kedua penjaga tersebut. "Mana pla
Hup! Diantara pepohonan hutan, Nayaka Manggala dan Batari Candawani bergerak bersama untuk keluar dari hutan. "Jadi Perguruan Cakra Kembar tempatmu berasal berada di kaki gunung dekat kota Kediri ?" tanya Nayaka Manggala "Itu benar, kota Kediri terdiri atas beberapa keluarga dengan dua yang mendominasi yaitu keluarga Surendra dan keluarga Seno . Gumilar Seno yang kamu bunuh itu adalah dari keluarga Seno ." jelas Batari Candawani "Bagaimana dengan sekte Peguruan Cakra Kembar ? Kenapa dia tidak termasuk yang mendominasi? Itu sangat aneh." lirik Nayaka Manggala "Perguruan Cakra Kembar berada di dekat kota , tetap termasuk kekuatan besar di kota Kediri . Bisa dibilang mereka sedikit lebih tinggi dari keluarga Surendra dan keluarga Seno . Tiga kekuatan inilah yang menjadi dasar dari kota Kediri . "Selain itu Perguruan Cakra Kembar sendiri termasuk salah satu dari enam faksi yang tinggal di benua bagian barat daya yang di nama
Hup! Tiba tiba Nayaka Manggala melambatkan lompatannya. Ia mundur hingga berada di dahan yang sama dengan yang diinjak Batari Candawani. "Ayo lebih cepat. Atau kita akan ikut terseret dengan gelombang binatang iblis!" "Apa?" Nayaka Manggala meraih tangan Batari Candawani. Laku menariknya dengan cepat. Batari Candawani dipaksa melompat mengikuti kecepatan dari Nayaka Manggala . Gruduk! Gruduk! Roar! Rawr! Suara binatang iblis yang bergerombol semakin keras terdengar. Hup! Nayaka Manggala melompat ke sebuah tebing tinggi bersama Batari Candawani. Pil yang diberikan tadi sudah diyelan Batari Candawani yang mbjat nafasnya menghilang. Keberadaanya juga menghilang. Nayaka Manggala dan Batari Candawani melihat dibawah mereka gelombang binatang iblis yang tengah bergerak dengan sangat banyak. "Bagaimana bisa ada gelombang binatang iblis?" Ro
Bentrokan kedua serangan tersebut menyebabkan ledakan dengan gelombang kejut yang menyebar ke sekitaranya. Hiya! Bersamaan, Nayaka Manggala dan Gumilar Seno menerjang. Klang! Klang! Klang! Keduanya beradu pedanh beberapa putaran. 'Sial! Bagaimana dia bisa mengimbangiku?' gumam Gumilar Seno 'Pertarungan jarak dekat seperti ini benar benar menyenangkan. Namun aku harus segera mengakhirinya. Jika tidak aku akan kalah.' gumam Nayaka Manggala Pertarungan jarak dekat keduanya disaksikan oleh Batari Candawani . 'Anak itu tidak hanya membual, meskipun ranahnya jauh di bawah Gumilar Seno . Namun dia mampu membuat Gumilar Seno merasa seimbang bahkan mungkin kewalahan.' gumamnya Brak! Hentakan kaki Nayaka Manggala di tanah membuat kepulan debu membuat Batari Candawani tak bisa melihat jalannya pertarungan. Seni beladiri iblis kehancuran, bentuk ketiga. Cakar hantu!
Tebasan pedang dengan tenaga dalam melesat kearah Nayaka Manggala. "Seni beladiri pedang bunga teratai? Dia menguasainya?" pekik Batari Candawani terkejut Nayaka Manggala menyipitkan matanya dengan menaikan sudut bibirnya. 'Seni bela diri itu , benar mereka dari Perguruan Cakra Kembar . Tetapi serangan ini lemah sekali. Andaikan tak ada yang ingin kubiarkan hidup. Aku akan menunjukkan teknik tersebut yang sebenarnya. Tapi...' Duar! Bentrokan kedua tebasan terjadi. Ledakan membuat gelombang udara cukup besar hingga debu beterbangan. "Hahaha serangan lemah seperti itu. Aku yakin tubuhnya telah terpotong!" "Wahh! kakak telah menguasai seni beladiri pedang bunga pluim! Patut manjadi murid Perguruan Cakra Kembar yang sesungguhnya! " "Mungkinlah kakak senior akan menjadi pedang dari perguruan kita!" "Itu luar biasa." Empat teman Gumilar Surendra memuji kemampuan Gumilar Surendra tersebut.
Teman teman Gumilar Surendra melihat cara mempermainkan Batari Candawani yang berkesan mengasikan. Berandalan seperti mereka memang selalu menyukai melakukan hal hal tercela seperti itu. Tangan Gumilar Surendra meraih tangan Batari Candawani. "Tidak! Lepaskan! Lepaskan tanganmu!" Batari Candawani memberontak "Hahah kulitmu sangat lembut. Ini benar-benar benar sesuai dengan dugaan!" puji Gumilar Surendra "Cepatlah kakak Gumilar. Kami juga ingin!" desak teman temannya. "Kalian bajingan! Apa kalian tidak takut dengan murka guruku!" ancam Batari Candawani dengan airmata yang membasahi pipinya, "guruku tidak akan memaafkan kalian!" "Hahhaha!" "Lihatlah dia! Membawa nama gurunya disaat saat seperti ini!" cibir teman Gumilar Surendra "Murid langsung dari sesepuh perguruan memang selalu seperti itu!" sambung lainnya "Aku benar benar tak menyukai para murid dari para sesepuh!" Seorang lainnya membuang ludah menggambarkan rasa jijiknya "Mereka terlalu menyombongkan nama guru mereka
Nayaka Manggala melihat mayat Gardhana Surendrayang terbaring di atas tanah dengan luka tebas dari pundak hingga dadanya. "Aku telah membalaskan dendammu, kamu bisa merasa tenang setelah ini. Namun tenang saja jika aku akan melanjutkan balas dendam terhadap mereka yang beruntung selama ini." Nayaka Manggala segera berlutut dengan mengambil cincin penyimpanan dari tangan Gardhana Surendra dan teman-temannya yang telah terbunuh. "Sebagai murid dari Perguruan Cakra Kembar, mereka tidak memiliki banyak barang berharga, namun ini lebih dari cukup untuk sementara waktu." Nayaka Manggala bergegas duduk bersila sembari kembali menyerap darah dan energi dari mayat Gardhana Surendra dan lainnya. Tak hanya itu ia juga menyerap darah milik ular putih yang tadi dibunuhnya. Kulit beserta sisik ular putih yang terkenal dengan keras segera ia pisahkan dari tubuh ular tersebut. Nantinya kau lihat ular tersebut akan dia buat sebagai pakaian agar ia lebih terlindungi dari serangan di kemudia
Roar! Rawr! Nayaka Manggala melihat dari balik pohon, di mana terdapat binatang buas yang tengah berhadapan satu sama lain. Dua ekor macan hitam melawan seekor harimau loreng. "Mereka adalah binatang buas tingkat 2 yang cukup kuat, dengan kekuatanku saat ini aku tidak akan mampu mengalahkan mereka. Lebih baik aku menunggu saat yang tepat sebelum melancarkan serangan. Kita harus bijak dalam menentukan pilihan sebelum bertindak." Kedua macam tersebut terus menatap pada harimau loreng yang menjadi mangsanya. Sebagai penguasa dari hutan, tentu saja mau tidak ingin kedua macan tersebut mengalahkannya karena itu tentu akan menghancurkan harga dirinya. Roar! Setelah perang dengan keras harimau loreng tersebut menyerang ke arah kedua macan yang dengan cepat menghindari serangannya. Cat harimau tersebut berbalik salah satu macan langsung melompat ke arahnya dengan menerkam punggungnya. Rawr! Harimau tersebut tersentak dengan meraung keras, mencoba melepaskan diri dari te
Gardhana Surendra, memberikan arahan pada teman-temannya untuk menyerang ular putih yang sudah dikepung tersebut. "Yang lain coba alihkan perhatiannya sementara sisanya mencoba menyerangnya dari titik buta. Berikan serangan terkuat kalian dan jangan ragu sedikitpun." seru Gardhana Surendra Teman temannya yang lain menganggukan kepala dengan setuju, mereka menyadari kita tidak mengeluarkan semua kemampuan mereka maka dapat dipastikan mereka akan gagal mengalahkan ular putih tersebut. Sstt... Ular putih menjulurkan lidahnya sembari melirik ke sekitarnya, manusia yang telah mengepungnya namun itu tidak membuatnya takut sedikitpun. Krek! Uhuk! Tiba saja ular putih tersebut menguatkan lilitannya pada manusia yang sudah ditangkap. "To-tolong aku!" lirih teman Gardhana Surendra yang tertangkap oleh ular putih Gardhana Surendra melihat temannya telah di ujung kematian dengan cepat menerjang ke depan sembari mengayunkan pedangnya. "Ular sialan! Matilah kamu!" Wuz!