Acara peluncuran parfum terbaru itu dihadiri para tamu berkelas, mulai dari pebisnis, selebritas, hingga para sosialita terkenal.
Rhodes melangkah memasuki ballroom bersama Helena di sisinya, senyum lebar terpancar di wajahnya. Ia merasa sangat bangga bisa datang ke acara ini sebagai partner Helena, dan ia tidak ragu mengenalkan Helena kepada setiap rekan yang ditemuinya, seolah ingin menunjukkan hubungan mereka kepada dunia. Namun, Helena mulai merasa sedikit tidak nyaman.“Rhodes, apa dia tidak sadar kalau ini keterlaluan?” gumamnya, pelan.Pandangan beberapa tamu wanita yang pernah menjalin hubungan dengan Rhodes terarah padanya, memberikan tatapan tak bersahabat yang membuat suasana semakin canggung.Tapi, karena ini acara publik, Helena memutuskan untuk menahan diri dan mencoba bersikap tenang, meskipun ia tidak bisa mengabaikan perasaan buruk yang perlahan muncul. Saat Rhodes terlibat percakapan dengan sekelompok teHelena terperangah saat melihat kondisi dirinya dan Alexander di atas tempat tidur. Selembar sprei yang telah tercoreng dengan bercak darah menjadi saksi bisu atas kejadian yang tak terduga. “Sa–Sayang...” ucap Helena, masih saja tercengang. Alexander hanya bisa memberikan senyum lemah, mencoba menenangkan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang. Helena, dengan mata yang berkaca-kaca, menatap Alexander dengan tatapan penuh penyesalan. “Sayang, maafkan aku...” “Ayolah, aku juga tidak tahu harus melakukan apa tadi,” jawab Alexander. Helena hanya bisa tersenyum kikuk, tahu ini adalah sebuah kecelakaan, sebuah insiden yang tidak diharapkan oleh keduanya. “Sayang, tolong ke kamar mandi duluan, ya,” pinta Helena dengan suara yang bergetar, menahan perasaan campur aduk yang memenuhi dadanya. Alexander mengangguk pelan dan dengan langkah gontai menuju kamar mandi. Sementara itu, Helena mulai bergerak u
Di sebuah kafe kecil yang temaram, Rhodes duduk menanti dengan perasaan campur aduk—gugup, khawatir, dan penuh pertanyaan. Sudah sejak semalam ia merasa gelisah, dan meskipun bisa mengirimkan pesan, ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa terjadi pada wanita itu, bagaimanapun Helena tidak membalas satupun pesan yang ia kirimkan. Ingin memastikan Helena baik-baik saja, terutama setelah beberapa pesan yang dikirim Helena terdengar semakin muram dan penuh kecemasan. “Helena, Kenapa lama sekali tidak juga sampai, ya?” gumam Namun, begitu pintu kafe terbuka dan sosok yang masuk ternyata bukan Helena, melainkan Alexander. Jantung Rhodes berdegup keras. “Kenapa Alexander yang datang ke sini?” gumamnya. Wajah Alexander memancarkan kemarahan yang hampir sulit untuk dikendalikan. Rhodes nyaris tak sempat berdiri sebelum tiba-tiba, ‘Bugh!’ Sebuah pukulan keras mendarat di wajahnya, m
Alexander kembali ke rumah setelah pertemuan yang cukup menguras emosinya dengan Rhodes. Ia merasa lega sudah memperingatkan pria itu agar menjauh dari Helena. Saat masuk ke kamar, Alexander melihat Helena tertidur dengan tenang di atas ranjang. Wajahnya yang lembut dan damai membuat Alexander tersenyum tipis. Ia mendekat, duduk di tepi ranjang, dan perlahan mengusap kepala Helena dengan penuh kasih sayang sambil berucap lirih, “Sayang, aku benar-benar merasa bersyukur karena instingku malam itu sangat kuat. Yah, walaupun harus berakhir dengan melakukan hubungan intim di saat kau datang bulan itu adalah hal yang cukup ekstrim dan mengerikan, tapi aku tidak menyesalinya.” Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menandakan panggilan masuk. Nama Han muncul di layar. Alexander menghela napas sebelum menerima panggilan itu, dan suara Han yang serius segera terdengar di ujung telepon. “Tuan Alexander, kita perlu bicara langsung. Saya a
Alexander duduk dengan wajah serius, telepon di tangannya berdering nyaring. Di ujung sambungan, Tuan Beauvoir dan Helios telah menunggu. Suara Helios terdengar tegang saat menyapa Alexander. “Bagaimana, Alexander? Apakah Han sudah menemukan sesuatu?” Alexander terdiam sejenak, lalu berkata pelan namun tegas, “Ya, dia sudah mendapatkan jawaban. Dalang di balik penyerangan pada kami… ternyata adalah Kakek Beauvoir sendiri.” Suasana di ujung telepon tiba-tiba senyap. Tidak ada yang menyangka hal ini. Tuan Beauvoir dan Helios terkejut. Mereka sudah lama menyangka bahwa pria tua yang telah lama berada di luar lingkaran keluarga itu tidak punya kekuatan lagi untuk mempengaruhi apapun. Tetapi kenyataan ini menghantam mereka dengan keras. “Tidak mungkin…,” suara Tuan Beauvoir bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kakekku? Tapi… dia t
Sore itu, di sebuah ruang tamu yang hening, Alexander dan Helena duduk berhadapan dengan Tuan Smith. Wajah Tuan Smith tampak berat, seolah kata-kata yang akan ia keluarkan begitu membebani pikirannya. Dia menarik napas panjang, dan akhirnya mulai bicara. “Aku butuh pendapat kalian,” kata Tuan Smith, suaranya bergetar tipis. “Monica… dia terus mendesakku untuk menikahinya secara resmi. Dia ingin ada status yang jelas, untuk dirinya dan… anak itu.” Alexander mendengarkan dengan saksama, tetapi tidak bisa menyembunyikan ketidaknyamanannya. Nama Monica selalu menyisakan rasa pahit di dalam cerita Tuan Smith. Tetapi, setelah beberapa kali pengecekan DNA dilakukan dan hasilnya tak terbantahkan, ia harus mengakui bahwa anak yang dilahirkan Monica adalah adik kandungnya sendiri. Alexander menghela napas, menahan kekesalan yang bergejolak dalam dadanya. Namun, dalam benaknya, terlintas bayangan anak yang tidak bersalah
Pagi itu, di perusahaan Smith Corporation. Alexander tersenyum saat menerima undangan pesta mewah di salah satu hotel terkenal di kota. Malam itu, pesta diadakan untuk para pebisnis hebat, dan Alexander tahu akan ada banyak wajah-wajah ternama yang akan hadir. Bersama Helena, mereka melangkah masuk ke dalam ballroom yang dipenuhi dengan dekorasi glamor. “Belajar dari pengalaman, pastikan kita tidak terpisah apalagi melepaskan genggaman tangan dengan waktu yang lama, Sayang,” peringat Alexander. Dengan cepat Helena menganggukkan kepalanya, “Oke, sayang!” Helena tampil memukau dalam balutan gaun hitam elegan, sementara Alexander tidak pernah melepaskan genggaman tangannya dari tangan istrinya, seolah menegaskan bahwa ia tak ingin Helena jauh darinya. Di antara para tamu, Alexander bertemu dengan banyak orang yang dikenalnya. Mereka berbincang, bertukar cerita
Mendengar itu, Helena dan Alexander tersenyum dengan maksud yang sama. “Maaf, nama Beauvoir hanya ada pada mendiang Nenekku, Ayah, Ibu, kedua kakak laki-laki ku, aku, dan anak-anak ku. Selain itu, rasanya aku tidak yakin...” Ruangan itu terasa penuh ketegangan, padahal riuh dari para tamu pesta begitu berisik. Helena duduk di sana, mengamati Benjamin dengan tatapan tajam yang tidak bisa disembunyikan. Kata-kata yang diucapkan Benjamin sebelumnya telah memicu amarah dalam dirinya, meskipun ia memilih untuk menahan diri. Dalam hatinya, Helena tahu ia harus hati-hati, tapi keberaniannya terlalu kuat untuk diredam begitu saja.Patricia nampak bingung dan gusar oleh ucapan Helena. Dengan suara yang sedikit bergetar, ia berkata, “Heceline, ingatlah juga, Benjamin adalah anak kandung Kakek Beauvoir. Seharusnya kau tidak melupakan itu.” Helena hanya tersenyum tipis, lalu menatap Patricia. “Aku tidak melupakan apa pun, Nona Patricia,” jawabn
Patricia menghampiri Benjamin, menepuk bahunya perlahan, membuat pria itu tersentak dan melepaskan Helena. Begitu bebas, Helena langsung berlari menuju Alexander yang langsung merentangkan kedua tangan, menerima istrinya dengan penuh kehangatan. Dalam dekapan Alexander, Helena bisa merasakan ketenangan di tengah badai yang terus mendekat. “Sayang,” bisik Helena dengan suara yang menandakan ketidaknyamanan, “aku bisa merasakan… emosi dan dendam itu di dalam dirinya. Benjamin tidak akan berhenti begitu saja. Dia akan terus mencoba menyakiti kita.” Mendengar itu, Alexander mempererat pelukannya. “Benjamin benar-benar tidak memiliki pilihan selain membenci kita, sayang. Ada luka dan harga diri yang terluka di hatinya. Bukan karena perasaan kita padanya, tapi karena… dia pernah mengharapkan yang tak mungkin ia dapatkan,” ujarnya lembut. Helena menatap suaminya, meminta penjelasan lebih jauh, dan Alexander pun melanjutkan, “Dia membenci