Mendengar itu, Helena dan Alexander tersenyum dengan maksud yang sama. “Maaf, nama Beauvoir hanya ada pada mendiang Nenekku, Ayah, Ibu, kedua kakak laki-laki ku, aku, dan anak-anak ku. Selain itu, rasanya aku tidak yakin...”
Ruangan itu terasa penuh ketegangan, padahal riuh dari para tamu pesta begitu berisik.Helena duduk di sana, mengamati Benjamin dengan tatapan tajam yang tidak bisa disembunyikan. Kata-kata yang diucapkan Benjamin sebelumnya telah memicu amarah dalam dirinya, meskipun ia memilih untuk menahan diri. Dalam hatinya, Helena tahu ia harus hati-hati, tapi keberaniannya terlalu kuat untuk diredam begitu saja.Patricia nampak bingung dan gusar oleh ucapan Helena. Dengan suara yang sedikit bergetar, ia berkata, “Heceline, ingatlah juga, Benjamin adalah anak kandung Kakek Beauvoir. Seharusnya kau tidak melupakan itu.” Helena hanya tersenyum tipis, lalu menatap Patricia. “Aku tidak melupakan apa pun, Nona Patricia,” jawabnPatricia menghampiri Benjamin, menepuk bahunya perlahan, membuat pria itu tersentak dan melepaskan Helena. Begitu bebas, Helena langsung berlari menuju Alexander yang langsung merentangkan kedua tangan, menerima istrinya dengan penuh kehangatan. Dalam dekapan Alexander, Helena bisa merasakan ketenangan di tengah badai yang terus mendekat. “Sayang,” bisik Helena dengan suara yang menandakan ketidaknyamanan, “aku bisa merasakan… emosi dan dendam itu di dalam dirinya. Benjamin tidak akan berhenti begitu saja. Dia akan terus mencoba menyakiti kita.” Mendengar itu, Alexander mempererat pelukannya. “Benjamin benar-benar tidak memiliki pilihan selain membenci kita, sayang. Ada luka dan harga diri yang terluka di hatinya. Bukan karena perasaan kita padanya, tapi karena… dia pernah mengharapkan yang tak mungkin ia dapatkan,” ujarnya lembut. Helena menatap suaminya, meminta penjelasan lebih jauh, dan Alexander pun melanjutkan, “Dia membenci
“Benjamin,” panggil Patricia, “kau, apa kau selama ini mencintai Heceline Beauvoir? Apa kau mencintai keponakanmu sendiri?”Mendengar itu, Benjamin sempat terdiam untuk berpikir. “Terlalu jauh pikiranmu, kau fokuslah saja dengan yang sekarang. Tidak usah menebak-nebak, tidak ada gunanya.”Patricia mengepalkan tangannya, entah mengapa dia tidak bisa mempercayai jawaban Benjamin. ‘Kenapa tidak langsung bantah saja tuduhan itu jika memang tidak?’ batinnya. Namun, Patricia memilih untuk diam dan tidak ingin bertengkar. **** Seperti biasa di akhir bulan, Helena menyempatkan diri untuk datang ke pusat perbelanjaan. Kunjungan ini sudah menjadi rutinitasnya. Bukan hanya untuk berbelanja, tetapi untuk mengecek kondisi penjualan produk secara langsung. Baginya, berada di lapangan memberi perspektif yang berbeda dibanding hanya melihat laporan di atas meja. Saat sedang berjalan menyusuri lorong toko, Helena mendadak
Benjamin berdiri di balkon apartemen, mengamati kota yang masih ramai meski malam sudah larut. Saat Benjamin keluar, di dalam kamar, Patricia sudah tertidur pulas, tidak menyadari bahwa hati Benjamin bergejolak. Dengan wajah yang tampak tenang, Benjamin menatap gedung apartemen lain di seberang, di mana kehidupan masih terus berjalan. Namun pikirannya melayang, kembali ke pesta kemarin, ke pusat perbelanjaan, dan wajah Helena yang menawan. ‘Heceline...’ Wajah yang menghantuinya, yang membuatnya kagum sekaligus tersiksa. “Aku benar-benar sulit untuk menyingkirkan wanita itu dari pikiran ku,” gumam Benjamin. Benjamin mengepalkan tangannya. Kenyataan bahwa Helena adalah keponakannya semakin memperberat hatinya. Helena bahkan sudah benar-benar hidup dengan bahagia. Amarah menggelegak di dalam dada Benjamin, melebihi rasa benci yang dia rasakan terhadap Alexander. Setiap kali dia melihat wajah bahagia Helena dan Ale
Tuan Smith menutup teleponnya setelah percakapan singkat dengan Alexander. Berdiri sejenak di dekat jendela, Tuan Smith menghirup udara segar yang membelai lembut taman di halaman rumahnya. “Agatha, dulu kau sangat menyukai tempat semacam ini, kan? Ternyata, sekarang cuma aku yang bisa menikmati sendirian, dan aku menyadari kesepian.” Pagi yang cerah, membawa kedamaian sejenak dalam rutinitasnya. Tak lama kemudian, Monica muncul sambil menggendong bayi mereka. Senyumnya mengembang, penuh kehangatan yang seakan mampu melumerkan hati siapa pun. Ia duduk di sebelah Tuan Smith, menatapnya dengan tatapan penuh harap. “Sayang,” Monica berkata lembut, “bisakah kau menggendong bayi kita sebentar?” Tuan Smith menarik napas panjang, memalingkan pandangannya sejenak. “Aku... aku takut menyakitinya, tenagaku sudah jauh berkurang,” ujarnya pelan, suaranya terdengar ragu. Membayangkan ba
Benjamin mengemudikan mobilnya dalam perjalanan menuju gedung sebuah hotel, mempersiapkan diri untuk rapat penting yang sudah lama ia rencanakan. Namun, laju mobilnya perlahan terhenti ketika tanpa sengaja ia melihat Alexander dan Helena keluar dari sebuah restoran. Mereka tertawa bersama, terlihat begitu mesra, saling menatap dengan penuh cinta.Gret!!!Benjamin mencengkram setir kemudinya. Pemandangan itu seperti duri yang menghujam jantung Benjamin. Rasanya seolah dunia di sekitarnya memudar, hanya menyisakan sepasang kekasih yang tampak begitu bahagia, menikmati kebersamaan yang tampaknya tak akan pernah berakhir. Benjamin mengepalkan tangannya di atas setir, matanya berkilat dengan amarah yang menahan. Di bawah tarikan napasnya yang berat, Benjamin bergumam, “Sial, kalian berdua benar-benar sial!Jangan salahkan aku jika kebencianku semakin dalam. Mereka… mereka berdua pantas untuk merasakan penderitaan yang s
Alexander tersenyum menatap Helena, yang duduk di hadapannya. Di tengah meja, ada kue dengan lilin kecil menyala di atasnya, menjadi simbol perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang penuh perjuangan. Di restoran mewah yang sepi itu, mereka hanya ditemani alunan musik lembut dan pelayan yang menjaga jarak, memberikan privasi penuh untuk mereka.“Selamat ulang tahun pernikahan, Sayang...” ucap Alexander. Helena tersenyum, “Selamat hari ulang tahun pernikahan juga, Sayang.” Alexander mengambil pisau kecil, lalu memotong sepotong kue, memberikan suapan pertama pada Helena dengan penuh kelembutan. Tatapan mereka bertemu, dan seakan waktu berhenti sejenak. Helena kembali tersenyum, lalu dengan manis menyuapkan kue itu kembali pada Alexander. Saling berbalas, sepotong kue itu menjadi simbol kasih sayang dan janji mereka yang terus bertumbuh. “Sayang, kedepannya, semoga setiap tahun kita selalu mem
Malam itu, di apartemen. Patricia duduk tertegun di depan layar laptopnya, menatap sederet berita yang beredar di beberapa media online. “Wah, ternyata, mereka cukup terkenal juga, ya,” gumam Patricia. Nama Helena dan Alexander menghiasi berbagai headline, dipuja-puja atas kisah cinta mereka yang romantis dan penuh perjuangan. Banyak orang yang menjadi saksi perjalanan panjang mereka, kisah cinta yang tak mudah, penuh tragedi dan tantangan, namun berakhir indah di titik ini di mana Helena akhirnya dianggap sebagai bagian dari keluarga besar Wijaya dan berhasil meluluhkan hati Tuan Smith, sosok yang dikenal prinsipil dan sulit menerima orang baru. Bagi banyak orang, kisah cinta Helena dan Alexander adalah inspirasi. Helena, atau yang dikenal juga sebagai Heceline Beauvoir, menjadi pilar kebahagiaan keluarga itu, memperkuat ikatan di antara mereka dengan ketulusan dan cinta yang dalam. Alexander, sosok pria yang mencintai He
Monica melangkah masuk ke ruang baca Tuan Smith dengan langkah hati-hati. “Aku harus berhati-hati, kesempatan langkah seperti ini tidak boleh aku lewatkan.”Ruangan itu selalu dipenuhi aroma buku-buku tua dan furnitur kayu gelap yang kokoh, menciptakan suasana yang tenang namun menekan. Berkas-berkas yang tersusun rapi di meja kerja, rak-rak tinggi penuh buku, dan lemari arsip yang terkunci rapat menyimpan banyak rahasia keluarga Smith, termasuk aset-aset berharga yang tersisa dan selama ini dicari Monica. Dengan cermat, Monica membuka satu per satu laci meja, menyusuri sudut-sudut tempat yang mungkin menyimpan dokumen yang ia cari. Namun, meski telah membongkar hampir semua tempat yang mungkin, ia tidak menemukan berkas aset apapun. Napasnya terdengar berat, penuh rasa frustrasi. Semua usahanya tampak sia-sia. “Menyebalkan! Kemana sih Paman Smith menaruh surat-surat asetnya?” Saat hendak meninggalkan ruangan dengan kecewa,