Monica melangkah masuk ke ruang baca Tuan Smith dengan langkah hati-hati. “Aku harus berhati-hati, kesempatan langkah seperti ini tidak boleh aku lewatkan.”
Ruangan itu selalu dipenuhi aroma buku-buku tua dan furnitur kayu gelap yang kokoh, menciptakan suasana yang tenang namun menekan. Berkas-berkas yang tersusun rapi di meja kerja, rak-rak tinggi penuh buku, dan lemari arsip yang terkunci rapat menyimpan banyak rahasia keluarga Smith, termasuk aset-aset berharga yang tersisa dan selama ini dicari Monica. Dengan cermat, Monica membuka satu per satu laci meja, menyusuri sudut-sudut tempat yang mungkin menyimpan dokumen yang ia cari.Namun, meski telah membongkar hampir semua tempat yang mungkin, ia tidak menemukan berkas aset apapun.Napasnya terdengar berat, penuh rasa frustrasi. Semua usahanya tampak sia-sia. “Menyebalkan! Kemana sih Paman Smith menaruh surat-surat asetnya?” Saat hendak meninggalkan ruangan dengan kecewa,Siang itu, di sebuah restauran.Helena menatap Rhodes dengan mata yang sedikit melebar, jelas terkejut melihat pria itu datang bersamanya. Bukan hanya Rhodes yang berdiri di sana, anehnya Benjamin juga ada di sampingnya. Namun, Helena berusaha keras untuk tetap tenang. Wajahnya tetap tenang, hanya ekspresi matanya yang tak bisa berbohong, menampilkan kebingungannya.“Sial! Aku benar-benar sulit untuk tenang, apa yang akan terjadi segelas ini pasti hal yang kurang bagus,” bisik Helena kepada dirinya sendiri. Rhodes mendahului dengan sebuah pernyataan, suaranya terdengar tenang namun tegas. “Helena, aku ingin memberitahumu bahwa Benjamin akan ikut terlibat sebagai penanggung jawab jalannya proyek ini. Jadi, kedepannya Benjamin yang akan melanjutkannya.”“A–apa? Kau sedang bercanda, ya?” Helena tak bisa percaya. Benjamin, di sisi lain, hanya tersenyum tipis. Mata tajamnya mengisyaratkan banyak hal, menyiratkan pemikiran yang
Sore itu, Alexander menjemput Helena di depan kantornya. “Hai, Sayang!” sapa Alexander, memeluk sebentar lalu mencium pipinya. “Sudah dari tadi, ya?” tanya Helena. “Tidak, mungkin baru lima menit menunggu.” sahut Alexander. Ketika Helena masuk ke mobil, Alexander langsung menyadari ada sesuatu yang salah. Senyum di wajah istrinya tampak dipaksakan, jauh dari ekspresi bahagia yang biasa ia tunjukkan. Dengan lembut, Alexander bertanya, “Ada apa, sayang?” Helena terdiam sejenak, namun akhirnya ia menceritakan semua yang terjadi. Bagaimana Rhodes tiba-tiba datang bersama Benjamin, dan bagaimana Benjamin menyatakan keterlibatannya dalam proyek yang sedang mereka jalankan. “Benjamin yang akan menjadi penanggung jawab proyek ini, katanya,” ucap Helena pelan, memandang jauh ke luar jendela. Alexander mendengarkan dengan seksama, namun setiap kata yang keluar dari mulut Helena hanya menambah bara dalam hatinya. Tanpa s
Benjamin menatap layar ponselnya dengan sorot mata penuh amarah. Informasi yang baru saja diterimanya membuat darahnya mendidih. “Sial!”Helios dan Alexander sedang bergerak cepat, mengumpulkan bukti untuk membongkar semua tindakannya. Sesuatu yang ia kira masih jauh dari ujung jalan, kini terasa seperti jebakan yang siap menutup rapat, mengurungnya. Sebuah makian pelan keluar lagi dari bibirnya. “Sialan... mereka terlalu cepat.” Benjamin menggenggam ponselnya erat, berusaha meredam amarahnya. Ia tahu saat ini ia berada di ujung tanduk, tetapi masih ada satu alasan yang membuatnya tetap bertahan dendamnya. Ada hal yang belum ia tuntaskan, luka yang terus menyala dalam hatinya, dan sebelum itu terbalas, ia tak akan menyerah begitu saja. Bagaimanapun juga, Benjamin sadar, cepat atau lambat kebenaran akan mengejarnya. Ia tahu, hukuman telah menanti. Tapi, satu hal yang pasti, ia tak akan membiarkan dirinya tertangka
“To-tolong lahirkan anakku dengan selamat. Rawat dia dan jauhkan dia dari Sa–” Belum selesai berbicara, Helena dapat merasakan tangan anak majikan yang sudah dianggap sahabat sejak kecil itu perlahan mendingin. Jantung Helena sontak mencelos. “Nona!” paniknya histeris, bahkan terdengar di lorong rumah sakit. “Dokter tolong!” Ini seperti mimpi buruk! Beberapa saat lalu, keduanya masih berkomunikasi lewat sambungan telepon. Rachel khawatir setelah mengetahui Helena mendadak muntah-muntah. Padahal, Helena sudah tak pernah mengalami morning sickness lagi di usia kandungan yang sudah tua. Namun siapa sangka saat menunggu, Helena justru mendengar kabar Nona Tertua Wijaya itu mengalami kecelakaan. “Nona, bangun!” Helena berteriak lagi–berharap Rachel kembali bangun, “Bukankah Kamu bilang ingin menemani anakmu nanti bersekolah ke luar negeri? Dia bahkan belum lahir.” Sayangnya, garis di monitor EKG itu tetap lurus meski petugas medis melakukan tindakan penyelamatan. Bunyinya
Sarah tersentak mendengar suara bariton yang mendominasi itu. Bagaimana bisa Alexander yang baru di parkiran–membela Helena? Setahunya, pria itu begitu dingin, bahkan cenderung kaku meski di depan Rachel, istrinya. Tangan wanita itu sontak mengepal. “Dia pasti sedang berakting karena takut dikirim ke penjara sekarang, Alexander,” ucap Sarah. Helena jelas tak setuju. Namun, rasa sakit membuat gadis itu hanya sanggup menggelengkan kepala ketika Sarah kembali berbicara, “Aku memang berkata agar mengikhlaskan Rachel supaya dia tenang.” Wanita itu mendekati Alexander dengan langkah penuh kehati-hatian. “Tapi, aku ingin memberi pembunuh ini pelajaran!” “Jangan memberikan hukuman apapun, Kau bukan pihak berwajib, Sarah!” Mendengar itu, keberanian yang Sarah miliki untuk menindas Helena tiba-tiba saja menghilang. Terlebih sorot mata Alexander saat ini begitu menakutkan. Sarah jelas tidak boleh memantik lebih lagi. Di sisi lain, Helena semakin tidak bisa menahan rasa sakit itu. Dia ta
Kalimat tadi membuat Alexander yang kini menatap Tuan Besar Smith–memancarkan kemarahan. Namun, ada senyum tipis penuh arti di bibirnya, seolah tengah mencemooh Tuan Smith yang selalu saja mudah mengatakan apapun tanpa berkedip. “Ingat! Segera lakukan ucapanku tadi, Alexander. Hal ini penting agar Keluarga Wijaya berada di genggaman kita,” tambah Tuan Smith, "Kau tahu kalau—" “Aku akan menghukum Helena dengan caraku sendiri. Tidak perlu membawa wanita itu ke penjara, Ayah," ungkap Alexander pada akhirnya. Hal ini membuat dahi Tuan Smith mengerut. Sorot matanya yang tajam menjelaskan bahwa dia sangat tidak setuju dengan ucapan Alexander barusan. “Apa Kau sedang bercanda, Alexander?” Gegas Alexander menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa mengirimkan Helena ke penjara walaupun semua orang menginginkannya. “Apa kau sudah gila? Kau akan membuat anggota keluarga Wijaya berang. Bisnis kita bisa runyam!” Tuan Smith kembali menekan Alexander. "Apa kau menginginkan itu?" “Tentu, tidak
Alexander menghela napas. "Ada sesuatu yang perlu kulakukan.."Meski tak mengerti, asisten Alexander itu mengangguk.Namun, ia yakin itu akan sangat berpengaruh besar bagi hidup Helena.***"Tuan Alexander?" gumam Helena kala melihat Alexander datang.Tubuhnya masih lemas. Ada rasa sakit yang terasa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tapi, apalah daya jika mulutnya bahkan tidak memiliki hak untuk mengeluh?Helena lantas memilih menghindari tatapan matanya dari Alexander sebelum dia merasakan sakit pada dadanya. Di sisi lain, Alexander terus menatap Helena. Langkah kakinya mulai mendekati bayi yang dilahirkan Helena melalui bedah caesar. Bayi laki-laki yang saat ini sedang tertidur dengan tenang, membuat Alexander tersenyum puas. “Baguslah. Wajahmu sangat mirip dengan Rachel, ini adalah sebuah keberuntungan, bukan?” bisiknya. “Selamat datang di dunia yang penuh dengan kejutan ini, Nak.” Helena tersentak. Namun, ia menoleh ke arah lain, tidak berani mendengarkan pembicaraa
“Berhentilah untuk mengatakan hal tidak penting, Sarah,” peringat Alexander. “Di hari kelahiran putraku, aku tak mau ada kata-kata buruk yang terucap.” Kaget, Sarah langsung menutup mulutnya rapat. Jika terus mengatakan sesuatu tentang Helena, jelas dialah yang akan ditendang keluar dari ruangan itu. Untungnya, situasi kembali kondusif kala Keluarga Wijaya kembali fokus dengan Rendy. Mereka memuja wajah bayi laki-laki yang rupanya persis seperti Rachel. Lemparan pujian terus terdengar, membuat Alexander pun merasa lega. Waktu semakin berlalu. Jam untuk mengunjungi pasien sudah habis, membuat keluarga Wijaya memutuskan keluar dari ruangan tersebut. “Alex, bagaimana jika Rendy biar kami saja yang merawatnya?” tanya Tuan Wijaya penuh harap. Sudah kehilangan putri semata wayangnya, keluarga Wijaya pun berharap dapat merawat keturunan dari Rachel. Tentu saja dengan cepat Alexander menggelengkan kepalanya. Mimik wajahnya nampak bersalah. “Maaf, tapi aku sendiri juga ba