Sore itu, Alexander menjemput Helena di depan kantornya.
“Hai, Sayang!” sapa Alexander, memeluk sebentar lalu mencium pipinya.“Sudah dari tadi, ya?” tanya Helena.“Tidak, mungkin baru lima menit menunggu.” sahut Alexander.Ketika Helena masuk ke mobil, Alexander langsung menyadari ada sesuatu yang salah. Senyum di wajah istrinya tampak dipaksakan, jauh dari ekspresi bahagia yang biasa ia tunjukkan. Dengan lembut, Alexander bertanya, “Ada apa, sayang?” Helena terdiam sejenak, namun akhirnya ia menceritakan semua yang terjadi. Bagaimana Rhodes tiba-tiba datang bersama Benjamin, dan bagaimana Benjamin menyatakan keterlibatannya dalam proyek yang sedang mereka jalankan. “Benjamin yang akan menjadi penanggung jawab proyek ini, katanya,” ucap Helena pelan, memandang jauh ke luar jendela.Alexander mendengarkan dengan seksama, namun setiap kata yang keluar dari mulut Helena hanya menambah bara dalam hatinya. Tanpa sBenjamin menatap layar ponselnya dengan sorot mata penuh amarah. Informasi yang baru saja diterimanya membuat darahnya mendidih. “Sial!”Helios dan Alexander sedang bergerak cepat, mengumpulkan bukti untuk membongkar semua tindakannya. Sesuatu yang ia kira masih jauh dari ujung jalan, kini terasa seperti jebakan yang siap menutup rapat, mengurungnya. Sebuah makian pelan keluar lagi dari bibirnya. “Sialan... mereka terlalu cepat.” Benjamin menggenggam ponselnya erat, berusaha meredam amarahnya. Ia tahu saat ini ia berada di ujung tanduk, tetapi masih ada satu alasan yang membuatnya tetap bertahan dendamnya. Ada hal yang belum ia tuntaskan, luka yang terus menyala dalam hatinya, dan sebelum itu terbalas, ia tak akan menyerah begitu saja. Bagaimanapun juga, Benjamin sadar, cepat atau lambat kebenaran akan mengejarnya. Ia tahu, hukuman telah menanti. Tapi, satu hal yang pasti, ia tak akan membiarkan dirinya tertangka
Helena menuruti arahan suaminya, Alexander, meskipun proyek kerja samanya dengan Benjamin dan Rhodes masih terus berjalan. Alexander telah menuntut Helena untuk selalu menempatkan seorang pengawal terbaik, seorang ahli seni bela diri bersertifikasi, setiap kali bertemu Benjamin dan Rhodes. Dan lebih dari itu, Alexander memutuskan untuk selalu hadir di setiap pertemuan mereka. Seperti hari ini, Helena dan Benjamin mengunjungi tempat produksi barang mereka. Mereka memperhatikan dengan saksama bagaimana para pekerja melakukan proses pembuatan produk mereka. Sesekali Benjamin melirik ke arah Helena. Wanita itu belum sekali pun memandang wajahnya, hanya sekilas pada dagunya. “Apakah keberadaan ku begitu mengganggumu hingga kau tidak ingin melihatku langsung, Heceline?” tanya Benjamin, nada suaranya penuh teka-teki. Helena tersenyum, namun senyumnya tak melibatkan tatapan mata yang tertuju padanya. “Mengganggu mungki
Sesampainya di apartemen, Benjamin membuka pintu dengan perasaan kesal. Belum sempat melepas sepatunya, ponselnya berdering. Layar ponsel menunjukkan nama salah satu orang kepercayaannya, orang yang sudah ia tugaskan untuk menghapus bukti-bukti kejahatan yang tersisa. Dengan cepat, Benjamin mengangkat panggilan itu. Suara panik terdengar dari seberang. “Maaf, Tuan Benjamin. Kami gagal. Semua orang kami sudah dilumpuhkan oleh orang-orang dari keluarga Beauvoir. Mereka lebih kuat dari yang kita perkirakan. Tuan, sebaiknya Anda segera menyelamatkan diri sebelum terlambat. Keluarga Beauvoir benar-benar gila, mereka bahkan menghancurkan markas kami!” Wajah Benjamin mengeras. Kemarahan menggelegak dalam dadanya. Tanpa menjawab lebih lanjut, dia menutup panggilan itu dan melangkah masuk dengan kasar, membuat pintu apartemennya terbanting. “Sial!” makinya, namun tidak terlalu keras suaranya. Di balik dinding, Patricia y
Pagi itu, Patricia masih berbaring di kamar apartemen, tangisnya belum juga berhenti sejak Benjamin pergi entah kemana semalam. Namun, jauh dari situ, Benjamin sudah berada di tempat lain, dengan rencana yang tidak pernah terlintas dalam pikiran siapa pun.Pria datang pagi sekali, mengatakan kepada resepsionis bahwa dia akan menunggu di ruang tunggu. Namun, pria itu lihai berbohong dan diam-diam saat tidak ada yang menyadari dia menyusup masuk ke ruangan Helena sebelum wanita itu datang. Ketika Helena masuk ke kantornya pagi itu, dia terkejut mendapati Benjamin sudah ada di dalam sana, duduk di kursi sambil menunggunya dengan tenang. “Benjamin...” Helena terdiam sesaat, “apa yang kau lakukan?”Begitu pintu menutup di belakangnya, rasa waspada menyergap Helena. Ia hampir berteriak memanggil pengawal yang berjaga di luar, namun Benjamin bergerak lebih cepat. Dalam hitungan detik, ia menutup mulut Helena
“Jangan pernah berpikir kau bisa pergi dari sini, Heceline,” ucapnya, “karena aku tidak bisa memilikimu di kehidupan ini, maka aku akan memiliki mu di kehidupan selanjutnya. Jadi, kita perlu mati bersama supaya kita bisa hidup bersama nantinya.” Helena merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. Tangannya bergetar saat Benjamin semakin mempererat cengkeramannya di bahunya, mendorongnya sedikit demi sedikit mendekati tepi balkon. Wajah Benjamin terlihat begitu bertekad, hampir terobsesi, dan mata kelamnya bersinar penuh kegilaan. “Heceline, apa kau tahu betapa tersiksanya aku dengan semua ini? Aku tidak bisa merelakan mu, tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku adalah pamanmu! Kenapa, kenapa aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan?!” teriak Benjamin. Tersadar bahwa dia tidak memiliki banyak waktu untuk bisa menyampaikan perasaan, Benjamin mulai meluapkan emosinya
Benjamin memejamkan matanya, “Jadi, pada akhirnya aku benar-benar berakhir dengan cara ini?” gumamnya. Tubuh Benjamin melayang di udara, pria itu pun bersiap untuk menyambut kematiannya.Namun, sesuatu yang tidak dipikirkan oleh pun terjadi. Tubuh Benjamin terhempas ke atas alat penyelamat dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terpental sebelum akhirnya berhenti. Selama sesaat, ia hanya berbaring di sana, merasakan amarah, kekecewaan, dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Senyum kecil yang menyakitkan terukir di bibirnya saat menyadari bahwa ia bahkan gagal dalam usahanya untuk menghilang dari dunia ini. “Tuan Benjamin!” Suara Han terdengar riang bercampur lega di kejauhan. Ia mendekat dengan ekspresi penuh kemenangan, matanya menyiratkan kepuasan tersendiri. Han merasa puas telah menggagalkan upaya Benjamin untuk menyerah pada hidup. “Kenapa kau melakukan ini padaku, hah?” gumam Benjamin, pandanganny
Langkah Benjamin terdengar berat saat ia digiring menuju mobil polisi. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan kosong yang terarah pada aspal di depannya. Di sebelahnya, Patricia terus menggenggam tangannya, memberikan kekuatan dalam diam, meskipun dalam hatinya, ia pun merasakan rasa sakit yang tak terkatakan. Helena dan Alexander hanya bisa berdiri diam, menyaksikan perpisahan yang menyakitkan itu. Ada rasa bersalah yang mengalir di hati Helena, meskipun ia tahu apa yang dilakukan Benjamin adalah pilihan yang dibuatnya sendiri. Tapi tetap saja, rasa bersalah itu tak bisa hilang begitu saja. Bagaimanapun, dulu ia pernah membiarkan Benjamin menaruh harapan. Saat hampir masuk ke dalam mobil, Patricia tiba-tiba berbalik dan menatap Helena. Dengan penuh permintaan, ia meminta pada polisi untuk menunggu sejenak. Polisi pun mengangguk, memberi waktu singkat untuk Patricia. Ia pun berlari menuju Helena, mengabaikan tatap
Pagi itu, di kediaman Smith. Monica menutup telepon dengan gemetar. Suara orang tuanya yang penuh tekanan masih terngiang di telinganya, menyusup ke dalam pikirannya seperti racun. Mereka baru saja menyampaikan ultimatum, “Kalau kau tidak bisa mengamankan separuh aset keluarga Smith, bagaimana nasib Bernica nanti? Apa kau ingin anakmu hidup hanya dengan nama tanpa jaminan masa depan yang lebih baik?” Kalimat itu menusuk hati Monica, membuat pikirannya kacau. Dia duduk di sudut sofa besar ruang tamunya, menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan langit mendung. Monica tahu, mereka benar. Tapi semua ini terasa seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul. Tuan Smith adalah pria yang dingin dan nyaris tidak pernah membuka hati untuknya, apalagi untuk putri mereka. Baginya, Monica hanyalah sebuah kesalahan.“Sial! Kenapa memusingkan sekali?” gumam Monica. Menghela napas panjang, Monica nampak semakin terte
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece