Benjamin menatap layar ponselnya dengan sorot mata penuh amarah.
Informasi yang baru saja diterimanya membuat darahnya mendidih. “Sial!”Helios dan Alexander sedang bergerak cepat, mengumpulkan bukti untuk membongkar semua tindakannya.Sesuatu yang ia kira masih jauh dari ujung jalan, kini terasa seperti jebakan yang siap menutup rapat, mengurungnya. Sebuah makian pelan keluar lagi dari bibirnya. “Sialan... mereka terlalu cepat.” Benjamin menggenggam ponselnya erat, berusaha meredam amarahnya. Ia tahu saat ini ia berada di ujung tanduk, tetapi masih ada satu alasan yang membuatnya tetap bertahan dendamnya.Ada hal yang belum ia tuntaskan, luka yang terus menyala dalam hatinya, dan sebelum itu terbalas, ia tak akan menyerah begitu saja. Bagaimanapun juga, Benjamin sadar, cepat atau lambat kebenaran akan mengejarnya. Ia tahu, hukuman telah menanti.Tapi, satu hal yang pasti, ia tak akan membiarkan dirinya tertangkaHelena menuruti arahan suaminya, Alexander, meskipun proyek kerja samanya dengan Benjamin dan Rhodes masih terus berjalan. Alexander telah menuntut Helena untuk selalu menempatkan seorang pengawal terbaik, seorang ahli seni bela diri bersertifikasi, setiap kali bertemu Benjamin dan Rhodes. Dan lebih dari itu, Alexander memutuskan untuk selalu hadir di setiap pertemuan mereka. Seperti hari ini, Helena dan Benjamin mengunjungi tempat produksi barang mereka. Mereka memperhatikan dengan saksama bagaimana para pekerja melakukan proses pembuatan produk mereka. Sesekali Benjamin melirik ke arah Helena. Wanita itu belum sekali pun memandang wajahnya, hanya sekilas pada dagunya. “Apakah keberadaan ku begitu mengganggumu hingga kau tidak ingin melihatku langsung, Heceline?” tanya Benjamin, nada suaranya penuh teka-teki. Helena tersenyum, namun senyumnya tak melibatkan tatapan mata yang tertuju padanya. “Mengganggu mungki
Sesampainya di apartemen, Benjamin membuka pintu dengan perasaan kesal. Belum sempat melepas sepatunya, ponselnya berdering. Layar ponsel menunjukkan nama salah satu orang kepercayaannya, orang yang sudah ia tugaskan untuk menghapus bukti-bukti kejahatan yang tersisa. Dengan cepat, Benjamin mengangkat panggilan itu. Suara panik terdengar dari seberang. “Maaf, Tuan Benjamin. Kami gagal. Semua orang kami sudah dilumpuhkan oleh orang-orang dari keluarga Beauvoir. Mereka lebih kuat dari yang kita perkirakan. Tuan, sebaiknya Anda segera menyelamatkan diri sebelum terlambat. Keluarga Beauvoir benar-benar gila, mereka bahkan menghancurkan markas kami!” Wajah Benjamin mengeras. Kemarahan menggelegak dalam dadanya. Tanpa menjawab lebih lanjut, dia menutup panggilan itu dan melangkah masuk dengan kasar, membuat pintu apartemennya terbanting. “Sial!” makinya, namun tidak terlalu keras suaranya. Di balik dinding, Patricia y
Pagi itu, Patricia masih berbaring di kamar apartemen, tangisnya belum juga berhenti sejak Benjamin pergi entah kemana semalam. Namun, jauh dari situ, Benjamin sudah berada di tempat lain, dengan rencana yang tidak pernah terlintas dalam pikiran siapa pun.Pria datang pagi sekali, mengatakan kepada resepsionis bahwa dia akan menunggu di ruang tunggu. Namun, pria itu lihai berbohong dan diam-diam saat tidak ada yang menyadari dia menyusup masuk ke ruangan Helena sebelum wanita itu datang. Ketika Helena masuk ke kantornya pagi itu, dia terkejut mendapati Benjamin sudah ada di dalam sana, duduk di kursi sambil menunggunya dengan tenang. “Benjamin...” Helena terdiam sesaat, “apa yang kau lakukan?”Begitu pintu menutup di belakangnya, rasa waspada menyergap Helena. Ia hampir berteriak memanggil pengawal yang berjaga di luar, namun Benjamin bergerak lebih cepat. Dalam hitungan detik, ia menutup mulut Helena
“To-tolong lahirkan anakku dengan selamat. Rawat dia dan jauhkan dia dari Sa–” Belum selesai berbicara, Helena dapat merasakan tangan anak majikan yang sudah dianggap sahabat sejak kecil itu perlahan mendingin. Jantung Helena sontak mencelos. “Nona!” paniknya histeris, bahkan terdengar di lorong rumah sakit. “Dokter tolong!” Ini seperti mimpi buruk! Beberapa saat lalu, keduanya masih berkomunikasi lewat sambungan telepon. Rachel khawatir setelah mengetahui Helena mendadak muntah-muntah. Padahal, Helena sudah tak pernah mengalami morning sickness lagi di usia kandungan yang sudah tua. Namun siapa sangka saat menunggu, Helena justru mendengar kabar Nona Tertua Wijaya itu mengalami kecelakaan. “Nona, bangun!” Helena berteriak lagi–berharap Rachel kembali bangun, “Bukankah Kamu bilang ingin menemani anakmu nanti bersekolah ke luar negeri? Dia bahkan belum lahir.” Sayangnya, garis di monitor EKG itu tetap lurus meski petugas medis melakukan tindakan penyelamatan. Bunyinya
Sarah tersentak mendengar suara bariton yang mendominasi itu. Bagaimana bisa Alexander yang baru di parkiran–membela Helena? Setahunya, pria itu begitu dingin, bahkan cenderung kaku meski di depan Rachel, istrinya. Tangan wanita itu sontak mengepal. “Dia pasti sedang berakting karena takut dikirim ke penjara sekarang, Alexander,” ucap Sarah. Helena jelas tak setuju. Namun, rasa sakit membuat gadis itu hanya sanggup menggelengkan kepala ketika Sarah kembali berbicara, “Aku memang berkata agar mengikhlaskan Rachel supaya dia tenang.” Wanita itu mendekati Alexander dengan langkah penuh kehati-hatian. “Tapi, aku ingin memberi pembunuh ini pelajaran!” “Jangan memberikan hukuman apapun, Kau bukan pihak berwajib, Sarah!” Mendengar itu, keberanian yang Sarah miliki untuk menindas Helena tiba-tiba saja menghilang. Terlebih sorot mata Alexander saat ini begitu menakutkan. Sarah jelas tidak boleh memantik lebih lagi. Di sisi lain, Helena semakin tidak bisa menahan rasa sakit itu. Dia ta
Kalimat tadi membuat Alexander yang kini menatap Tuan Besar Smith–memancarkan kemarahan. Namun, ada senyum tipis penuh arti di bibirnya, seolah tengah mencemooh Tuan Smith yang selalu saja mudah mengatakan apapun tanpa berkedip. “Ingat! Segera lakukan ucapanku tadi, Alexander. Hal ini penting agar Keluarga Wijaya berada di genggaman kita,” tambah Tuan Smith, "Kau tahu kalau—" “Aku akan menghukum Helena dengan caraku sendiri. Tidak perlu membawa wanita itu ke penjara, Ayah," ungkap Alexander pada akhirnya. Hal ini membuat dahi Tuan Smith mengerut. Sorot matanya yang tajam menjelaskan bahwa dia sangat tidak setuju dengan ucapan Alexander barusan. “Apa Kau sedang bercanda, Alexander?” Gegas Alexander menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa mengirimkan Helena ke penjara walaupun semua orang menginginkannya. “Apa kau sudah gila? Kau akan membuat anggota keluarga Wijaya berang. Bisnis kita bisa runyam!” Tuan Smith kembali menekan Alexander. "Apa kau menginginkan itu?" “Tentu, tidak
Alexander menghela napas. "Ada sesuatu yang perlu kulakukan.."Meski tak mengerti, asisten Alexander itu mengangguk.Namun, ia yakin itu akan sangat berpengaruh besar bagi hidup Helena.***"Tuan Alexander?" gumam Helena kala melihat Alexander datang.Tubuhnya masih lemas. Ada rasa sakit yang terasa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tapi, apalah daya jika mulutnya bahkan tidak memiliki hak untuk mengeluh?Helena lantas memilih menghindari tatapan matanya dari Alexander sebelum dia merasakan sakit pada dadanya. Di sisi lain, Alexander terus menatap Helena. Langkah kakinya mulai mendekati bayi yang dilahirkan Helena melalui bedah caesar. Bayi laki-laki yang saat ini sedang tertidur dengan tenang, membuat Alexander tersenyum puas. “Baguslah. Wajahmu sangat mirip dengan Rachel, ini adalah sebuah keberuntungan, bukan?” bisiknya. “Selamat datang di dunia yang penuh dengan kejutan ini, Nak.” Helena tersentak. Namun, ia menoleh ke arah lain, tidak berani mendengarkan pembicaraa
“Berhentilah untuk mengatakan hal tidak penting, Sarah,” peringat Alexander. “Di hari kelahiran putraku, aku tak mau ada kata-kata buruk yang terucap.” Kaget, Sarah langsung menutup mulutnya rapat. Jika terus mengatakan sesuatu tentang Helena, jelas dialah yang akan ditendang keluar dari ruangan itu. Untungnya, situasi kembali kondusif kala Keluarga Wijaya kembali fokus dengan Rendy. Mereka memuja wajah bayi laki-laki yang rupanya persis seperti Rachel. Lemparan pujian terus terdengar, membuat Alexander pun merasa lega. Waktu semakin berlalu. Jam untuk mengunjungi pasien sudah habis, membuat keluarga Wijaya memutuskan keluar dari ruangan tersebut. “Alex, bagaimana jika Rendy biar kami saja yang merawatnya?” tanya Tuan Wijaya penuh harap. Sudah kehilangan putri semata wayangnya, keluarga Wijaya pun berharap dapat merawat keturunan dari Rachel. Tentu saja dengan cepat Alexander menggelengkan kepalanya. Mimik wajahnya nampak bersalah. “Maaf, tapi aku sendiri juga ba