“Jangan pernah berpikir kau bisa pergi dari sini, Heceline,” ucapnya, “karena aku tidak bisa memilikimu di kehidupan ini, maka aku akan memiliki mu di kehidupan selanjutnya. Jadi, kita perlu mati bersama supaya kita bisa hidup bersama nantinya.”
Helena merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. Tangannya bergetar saat Benjamin semakin mempererat cengkeramannya di bahunya, mendorongnya sedikit demi sedikit mendekati tepi balkon. Wajah Benjamin terlihat begitu bertekad, hampir terobsesi, dan mata kelamnya bersinar penuh kegilaan. “Heceline, apa kau tahu betapa tersiksanya aku dengan semua ini? Aku tidak bisa merelakan mu, tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku adalah pamanmu! Kenapa, kenapa aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan?!” teriak Benjamin. Tersadar bahwa dia tidak memiliki banyak waktu untuk bisa menyampaikan perasaan, Benjamin mulai meluapkan emosinyaBenjamin memejamkan matanya, “Jadi, pada akhirnya aku benar-benar berakhir dengan cara ini?” gumamnya. Tubuh Benjamin melayang di udara, pria itu pun bersiap untuk menyambut kematiannya.Namun, sesuatu yang tidak dipikirkan oleh pun terjadi. Tubuh Benjamin terhempas ke atas alat penyelamat dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terpental sebelum akhirnya berhenti. Selama sesaat, ia hanya berbaring di sana, merasakan amarah, kekecewaan, dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Senyum kecil yang menyakitkan terukir di bibirnya saat menyadari bahwa ia bahkan gagal dalam usahanya untuk menghilang dari dunia ini. “Tuan Benjamin!” Suara Han terdengar riang bercampur lega di kejauhan. Ia mendekat dengan ekspresi penuh kemenangan, matanya menyiratkan kepuasan tersendiri. Han merasa puas telah menggagalkan upaya Benjamin untuk menyerah pada hidup. “Kenapa kau melakukan ini padaku, hah?” gumam Benjamin, pandanganny
Langkah Benjamin terdengar berat saat ia digiring menuju mobil polisi. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan kosong yang terarah pada aspal di depannya. Di sebelahnya, Patricia terus menggenggam tangannya, memberikan kekuatan dalam diam, meskipun dalam hatinya, ia pun merasakan rasa sakit yang tak terkatakan. Helena dan Alexander hanya bisa berdiri diam, menyaksikan perpisahan yang menyakitkan itu. Ada rasa bersalah yang mengalir di hati Helena, meskipun ia tahu apa yang dilakukan Benjamin adalah pilihan yang dibuatnya sendiri. Tapi tetap saja, rasa bersalah itu tak bisa hilang begitu saja. Bagaimanapun, dulu ia pernah membiarkan Benjamin menaruh harapan. Saat hampir masuk ke dalam mobil, Patricia tiba-tiba berbalik dan menatap Helena. Dengan penuh permintaan, ia meminta pada polisi untuk menunggu sejenak. Polisi pun mengangguk, memberi waktu singkat untuk Patricia. Ia pun berlari menuju Helena, mengabaikan tatap
“To-tolong lahirkan anakku dengan selamat. Rawat dia dan jauhkan dia dari Sa–” Belum selesai berbicara, Helena dapat merasakan tangan anak majikan yang sudah dianggap sahabat sejak kecil itu perlahan mendingin. Jantung Helena sontak mencelos. “Nona!” paniknya histeris, bahkan terdengar di lorong rumah sakit. “Dokter tolong!” Ini seperti mimpi buruk! Beberapa saat lalu, keduanya masih berkomunikasi lewat sambungan telepon. Rachel khawatir setelah mengetahui Helena mendadak muntah-muntah. Padahal, Helena sudah tak pernah mengalami morning sickness lagi di usia kandungan yang sudah tua. Namun siapa sangka saat menunggu, Helena justru mendengar kabar Nona Tertua Wijaya itu mengalami kecelakaan. “Nona, bangun!” Helena berteriak lagi–berharap Rachel kembali bangun, “Bukankah Kamu bilang ingin menemani anakmu nanti bersekolah ke luar negeri? Dia bahkan belum lahir.” Sayangnya, garis di monitor EKG itu tetap lurus meski petugas medis melakukan tindakan penyelamatan. Bunyinya
Sarah tersentak mendengar suara bariton yang mendominasi itu. Bagaimana bisa Alexander yang baru di parkiran–membela Helena? Setahunya, pria itu begitu dingin, bahkan cenderung kaku meski di depan Rachel, istrinya. Tangan wanita itu sontak mengepal. “Dia pasti sedang berakting karena takut dikirim ke penjara sekarang, Alexander,” ucap Sarah. Helena jelas tak setuju. Namun, rasa sakit membuat gadis itu hanya sanggup menggelengkan kepala ketika Sarah kembali berbicara, “Aku memang berkata agar mengikhlaskan Rachel supaya dia tenang.” Wanita itu mendekati Alexander dengan langkah penuh kehati-hatian. “Tapi, aku ingin memberi pembunuh ini pelajaran!” “Jangan memberikan hukuman apapun, Kau bukan pihak berwajib, Sarah!” Mendengar itu, keberanian yang Sarah miliki untuk menindas Helena tiba-tiba saja menghilang. Terlebih sorot mata Alexander saat ini begitu menakutkan. Sarah jelas tidak boleh memantik lebih lagi. Di sisi lain, Helena semakin tidak bisa menahan rasa sakit itu. Dia ta
Kalimat tadi membuat Alexander yang kini menatap Tuan Besar Smith–memancarkan kemarahan. Namun, ada senyum tipis penuh arti di bibirnya, seolah tengah mencemooh Tuan Smith yang selalu saja mudah mengatakan apapun tanpa berkedip. “Ingat! Segera lakukan ucapanku tadi, Alexander. Hal ini penting agar Keluarga Wijaya berada di genggaman kita,” tambah Tuan Smith, "Kau tahu kalau—" “Aku akan menghukum Helena dengan caraku sendiri. Tidak perlu membawa wanita itu ke penjara, Ayah," ungkap Alexander pada akhirnya. Hal ini membuat dahi Tuan Smith mengerut. Sorot matanya yang tajam menjelaskan bahwa dia sangat tidak setuju dengan ucapan Alexander barusan. “Apa Kau sedang bercanda, Alexander?” Gegas Alexander menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa mengirimkan Helena ke penjara walaupun semua orang menginginkannya. “Apa kau sudah gila? Kau akan membuat anggota keluarga Wijaya berang. Bisnis kita bisa runyam!” Tuan Smith kembali menekan Alexander. "Apa kau menginginkan itu?" “Tentu, tidak
Alexander menghela napas. "Ada sesuatu yang perlu kulakukan.."Meski tak mengerti, asisten Alexander itu mengangguk.Namun, ia yakin itu akan sangat berpengaruh besar bagi hidup Helena.***"Tuan Alexander?" gumam Helena kala melihat Alexander datang.Tubuhnya masih lemas. Ada rasa sakit yang terasa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tapi, apalah daya jika mulutnya bahkan tidak memiliki hak untuk mengeluh?Helena lantas memilih menghindari tatapan matanya dari Alexander sebelum dia merasakan sakit pada dadanya. Di sisi lain, Alexander terus menatap Helena. Langkah kakinya mulai mendekati bayi yang dilahirkan Helena melalui bedah caesar. Bayi laki-laki yang saat ini sedang tertidur dengan tenang, membuat Alexander tersenyum puas. “Baguslah. Wajahmu sangat mirip dengan Rachel, ini adalah sebuah keberuntungan, bukan?” bisiknya. “Selamat datang di dunia yang penuh dengan kejutan ini, Nak.” Helena tersentak. Namun, ia menoleh ke arah lain, tidak berani mendengarkan pembicaraa
“Berhentilah untuk mengatakan hal tidak penting, Sarah,” peringat Alexander. “Di hari kelahiran putraku, aku tak mau ada kata-kata buruk yang terucap.” Kaget, Sarah langsung menutup mulutnya rapat. Jika terus mengatakan sesuatu tentang Helena, jelas dialah yang akan ditendang keluar dari ruangan itu. Untungnya, situasi kembali kondusif kala Keluarga Wijaya kembali fokus dengan Rendy. Mereka memuja wajah bayi laki-laki yang rupanya persis seperti Rachel. Lemparan pujian terus terdengar, membuat Alexander pun merasa lega. Waktu semakin berlalu. Jam untuk mengunjungi pasien sudah habis, membuat keluarga Wijaya memutuskan keluar dari ruangan tersebut. “Alex, bagaimana jika Rendy biar kami saja yang merawatnya?” tanya Tuan Wijaya penuh harap. Sudah kehilangan putri semata wayangnya, keluarga Wijaya pun berharap dapat merawat keturunan dari Rachel. Tentu saja dengan cepat Alexander menggelengkan kepalanya. Mimik wajahnya nampak bersalah. “Maaf, tapi aku sendiri juga ba
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" isak Helena, seorang diri setelah Alexander dan bawahannya berlalu.Tak pernah ia bayangkan keinginannya untuk menyelamatkan sang ibu, malah membuat hidupnya berakhir berantakan. Meski tanpa kata, ia tahu Alexander pasti tak akan membuat hidupnya tenang dalam pernikahan ini.Belum lagi dengan keluarga Wijaya yang membencinya."Rachel, apa yang harus kulakukan?" gumamnya pedih. Sungguh, Helena ingin kabur jika tak teringat janjinya pada sahabat. Bahkan hingga hari di mana ia mengikuti Alexander dan Rendy ke Kediaman pria itu, gadis itu masih saja tak tenang.** “Selamat datang, Tuan,” sapa pelayan rumah begitu membukakan pintu untuk Alexander.Pria itu hanya menganggukkan kepalanya membalas sapaan dari pelayan rumah.Ia lalu berjalan menuju ke sebuah kamar yang akan ditempati Rendy dan Helena. “Shhhh....” desis Helena pelan.Jahitan pada perutnya benar-benar terasa ngilu. Langkah kakinya jelas tak bisa cepat, hingga tertinggal jauh dari