Alexander tersenyum menatap Helena, yang duduk di hadapannya.
Di tengah meja, ada kue dengan lilin kecil menyala di atasnya, menjadi simbol perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang penuh perjuangan. Di restoran mewah yang sepi itu, mereka hanya ditemani alunan musik lembut dan pelayan yang menjaga jarak, memberikan privasi penuh untuk mereka.“Selamat ulang tahun pernikahan, Sayang...” ucap Alexander.Helena tersenyum, “Selamat hari ulang tahun pernikahan juga, Sayang.” Alexander mengambil pisau kecil, lalu memotong sepotong kue, memberikan suapan pertama pada Helena dengan penuh kelembutan.Tatapan mereka bertemu, dan seakan waktu berhenti sejenak.Helena kembali tersenyum, lalu dengan manis menyuapkan kue itu kembali pada Alexander. Saling berbalas, sepotong kue itu menjadi simbol kasih sayang dan janji mereka yang terus bertumbuh. “Sayang, kedepannya, semoga setiap tahun kita selalu memMalam itu, di apartemen. Patricia duduk tertegun di depan layar laptopnya, menatap sederet berita yang beredar di beberapa media online. “Wah, ternyata, mereka cukup terkenal juga, ya,” gumam Patricia. Nama Helena dan Alexander menghiasi berbagai headline, dipuja-puja atas kisah cinta mereka yang romantis dan penuh perjuangan. Banyak orang yang menjadi saksi perjalanan panjang mereka, kisah cinta yang tak mudah, penuh tragedi dan tantangan, namun berakhir indah di titik ini di mana Helena akhirnya dianggap sebagai bagian dari keluarga besar Wijaya dan berhasil meluluhkan hati Tuan Smith, sosok yang dikenal prinsipil dan sulit menerima orang baru. Bagi banyak orang, kisah cinta Helena dan Alexander adalah inspirasi. Helena, atau yang dikenal juga sebagai Heceline Beauvoir, menjadi pilar kebahagiaan keluarga itu, memperkuat ikatan di antara mereka dengan ketulusan dan cinta yang dalam. Alexander, sosok pria yang mencintai He
Monica melangkah masuk ke ruang baca Tuan Smith dengan langkah hati-hati. “Aku harus berhati-hati, kesempatan langkah seperti ini tidak boleh aku lewatkan.”Ruangan itu selalu dipenuhi aroma buku-buku tua dan furnitur kayu gelap yang kokoh, menciptakan suasana yang tenang namun menekan. Berkas-berkas yang tersusun rapi di meja kerja, rak-rak tinggi penuh buku, dan lemari arsip yang terkunci rapat menyimpan banyak rahasia keluarga Smith, termasuk aset-aset berharga yang tersisa dan selama ini dicari Monica. Dengan cermat, Monica membuka satu per satu laci meja, menyusuri sudut-sudut tempat yang mungkin menyimpan dokumen yang ia cari. Namun, meski telah membongkar hampir semua tempat yang mungkin, ia tidak menemukan berkas aset apapun. Napasnya terdengar berat, penuh rasa frustrasi. Semua usahanya tampak sia-sia. “Menyebalkan! Kemana sih Paman Smith menaruh surat-surat asetnya?” Saat hendak meninggalkan ruangan dengan kecewa,
Siang itu, di sebuah restauran.Helena menatap Rhodes dengan mata yang sedikit melebar, jelas terkejut melihat pria itu datang bersamanya. Bukan hanya Rhodes yang berdiri di sana, anehnya Benjamin juga ada di sampingnya. Namun, Helena berusaha keras untuk tetap tenang. Wajahnya tetap tenang, hanya ekspresi matanya yang tak bisa berbohong, menampilkan kebingungannya.“Sial! Aku benar-benar sulit untuk tenang, apa yang akan terjadi segelas ini pasti hal yang kurang bagus,” bisik Helena kepada dirinya sendiri. Rhodes mendahului dengan sebuah pernyataan, suaranya terdengar tenang namun tegas. “Helena, aku ingin memberitahumu bahwa Benjamin akan ikut terlibat sebagai penanggung jawab jalannya proyek ini. Jadi, kedepannya Benjamin yang akan melanjutkannya.”“A–apa? Kau sedang bercanda, ya?” Helena tak bisa percaya. Benjamin, di sisi lain, hanya tersenyum tipis. Mata tajamnya mengisyaratkan banyak hal, menyiratkan pemikiran yang
Sore itu, Alexander menjemput Helena di depan kantornya. “Hai, Sayang!” sapa Alexander, memeluk sebentar lalu mencium pipinya. “Sudah dari tadi, ya?” tanya Helena. “Tidak, mungkin baru lima menit menunggu.” sahut Alexander. Ketika Helena masuk ke mobil, Alexander langsung menyadari ada sesuatu yang salah. Senyum di wajah istrinya tampak dipaksakan, jauh dari ekspresi bahagia yang biasa ia tunjukkan. Dengan lembut, Alexander bertanya, “Ada apa, sayang?” Helena terdiam sejenak, namun akhirnya ia menceritakan semua yang terjadi. Bagaimana Rhodes tiba-tiba datang bersama Benjamin, dan bagaimana Benjamin menyatakan keterlibatannya dalam proyek yang sedang mereka jalankan. “Benjamin yang akan menjadi penanggung jawab proyek ini, katanya,” ucap Helena pelan, memandang jauh ke luar jendela. Alexander mendengarkan dengan seksama, namun setiap kata yang keluar dari mulut Helena hanya menambah bara dalam hatinya. Tanpa s
Benjamin menatap layar ponselnya dengan sorot mata penuh amarah. Informasi yang baru saja diterimanya membuat darahnya mendidih. “Sial!”Helios dan Alexander sedang bergerak cepat, mengumpulkan bukti untuk membongkar semua tindakannya. Sesuatu yang ia kira masih jauh dari ujung jalan, kini terasa seperti jebakan yang siap menutup rapat, mengurungnya. Sebuah makian pelan keluar lagi dari bibirnya. “Sialan... mereka terlalu cepat.” Benjamin menggenggam ponselnya erat, berusaha meredam amarahnya. Ia tahu saat ini ia berada di ujung tanduk, tetapi masih ada satu alasan yang membuatnya tetap bertahan dendamnya. Ada hal yang belum ia tuntaskan, luka yang terus menyala dalam hatinya, dan sebelum itu terbalas, ia tak akan menyerah begitu saja. Bagaimanapun juga, Benjamin sadar, cepat atau lambat kebenaran akan mengejarnya. Ia tahu, hukuman telah menanti. Tapi, satu hal yang pasti, ia tak akan membiarkan dirinya tertangka
Helena menuruti arahan suaminya, Alexander, meskipun proyek kerja samanya dengan Benjamin dan Rhodes masih terus berjalan. Alexander telah menuntut Helena untuk selalu menempatkan seorang pengawal terbaik, seorang ahli seni bela diri bersertifikasi, setiap kali bertemu Benjamin dan Rhodes. Dan lebih dari itu, Alexander memutuskan untuk selalu hadir di setiap pertemuan mereka. Seperti hari ini, Helena dan Benjamin mengunjungi tempat produksi barang mereka. Mereka memperhatikan dengan saksama bagaimana para pekerja melakukan proses pembuatan produk mereka. Sesekali Benjamin melirik ke arah Helena. Wanita itu belum sekali pun memandang wajahnya, hanya sekilas pada dagunya. “Apakah keberadaan ku begitu mengganggumu hingga kau tidak ingin melihatku langsung, Heceline?” tanya Benjamin, nada suaranya penuh teka-teki. Helena tersenyum, namun senyumnya tak melibatkan tatapan mata yang tertuju padanya. “Mengganggu mungki
Sesampainya di apartemen, Benjamin membuka pintu dengan perasaan kesal. Belum sempat melepas sepatunya, ponselnya berdering. Layar ponsel menunjukkan nama salah satu orang kepercayaannya, orang yang sudah ia tugaskan untuk menghapus bukti-bukti kejahatan yang tersisa. Dengan cepat, Benjamin mengangkat panggilan itu. Suara panik terdengar dari seberang. “Maaf, Tuan Benjamin. Kami gagal. Semua orang kami sudah dilumpuhkan oleh orang-orang dari keluarga Beauvoir. Mereka lebih kuat dari yang kita perkirakan. Tuan, sebaiknya Anda segera menyelamatkan diri sebelum terlambat. Keluarga Beauvoir benar-benar gila, mereka bahkan menghancurkan markas kami!” Wajah Benjamin mengeras. Kemarahan menggelegak dalam dadanya. Tanpa menjawab lebih lanjut, dia menutup panggilan itu dan melangkah masuk dengan kasar, membuat pintu apartemennya terbanting. “Sial!” makinya, namun tidak terlalu keras suaranya. Di balik dinding, Patricia y
Pagi itu, Patricia masih berbaring di kamar apartemen, tangisnya belum juga berhenti sejak Benjamin pergi entah kemana semalam. Namun, jauh dari situ, Benjamin sudah berada di tempat lain, dengan rencana yang tidak pernah terlintas dalam pikiran siapa pun.Pria datang pagi sekali, mengatakan kepada resepsionis bahwa dia akan menunggu di ruang tunggu. Namun, pria itu lihai berbohong dan diam-diam saat tidak ada yang menyadari dia menyusup masuk ke ruangan Helena sebelum wanita itu datang. Ketika Helena masuk ke kantornya pagi itu, dia terkejut mendapati Benjamin sudah ada di dalam sana, duduk di kursi sambil menunggunya dengan tenang. “Benjamin...” Helena terdiam sesaat, “apa yang kau lakukan?”Begitu pintu menutup di belakangnya, rasa waspada menyergap Helena. Ia hampir berteriak memanggil pengawal yang berjaga di luar, namun Benjamin bergerak lebih cepat. Dalam hitungan detik, ia menutup mulut Helena
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece