Beranda / Romansa / Rahim Sang Mantan / Bab 2. Mantan Masa Lalu

Share

Bab 2. Mantan Masa Lalu

Penulis: Zhang Mila
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-28 21:09:51

"Itu apa?"

Brug..

Amplop coklat itu dilempar dan mendarat tepat di samping Jihan. "Bukalah. Nanti juga kamu tau apa isinya."

Setelah itu Yudha beranjak berdiri dan memutar tumitnya menuju balkon dan menggeser pintu itu hingga terbuka.

Dikeluarkannya dari dalam sakunya satu bungkus nikotin. Di ambilnya satu dan kemudian dijepit di lipatan bibirnya

Disulutnya api untuk membakar nikotin itu. Kepulan asap seketika memenuhi ruangan saat Yudha menghembuskan ke udara.

Setiap gerak gerik Yudha tidak luput dari tatapan Jihan. Sampai ia melupakan rasa penasarannya pada suatu benda yang masih berada di pangkuan tangannya.

"Apa kamu tidak penasaran dengan isinya Jihan? Kenapa kamu malah sibuk menatapku seperti itu?" tanya Yudha seraya mengepulkan asap ke udara seraya tersenyum tipis.

Jihan tersentak dengan kalimat Yudha. Ia langsung membuang pandangannya ke lain arah untuk mengikis rasa malunya karena sudah ketahuan diam-diam memerhatikan Yudha.

Mengalihkan rasa malu, tangannya dengan lincah membuka amplop itu. Saat dikeluarkan isinya, matanya langsung melotot. Bibirnya ternganga tak percaya.

"I_ini?" Wajahnya terangkat menatap Yudha yang juga menatapnya.

"Ya. Itu sisa mahar pernikahan kita. Ada lebihan juga sedikit. Jangan besar kepala terlebih dahulu. Sengaja aku lebihkan untuk ibu, bukan buatmu. Beliau orang baik, tapi mengapa mempunyai anak yang kejam sepertimu."

Alis Jihan bertaut tak terima. "Maksud kamu apa mengatakan aku kejam? Aku sayang ibuku , jadi tidak mungkin aku menyakiti ibuku."

"Bukan menyakiti ibumu, tapi kamu yang menyakiti hatiku."

Kalimat itu seolah langsung menusuk ke ulu hatinya. Apakah ia harus mengatakan alasan ketika ia meninggalkan Yudha dulu? Tapi jika dipikir-pikir lagi, itu dirasa sangat percuma. Toh itu hanya masa lalu mereka.

Karena kehidupan Yudha juga terlihat bahagia bersama istrinya. Tapi mungkin kekurangannya hanya satu yaitu soal keturunan.

Jihan enggan menjawab. Ia lebih memilih memasukkan uang itu lagi ke dalam amplop. Tapi matanya tidak sengaja menangkap sebuah kertas yang belum sempat ia ambil. Diambilnya kertas itu dan dibacanya secara perlahan. "Surat perjanjian?"

Yudha mematikan buntung nikotin itu dan membuangnya ke tempat sampah. Lantas ia melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Jihan.

"Iya. Itu surat perjanjian. Setelah anak itu lahir kamu harus pergi meninggalkan dia bersama kami."

Deg..

Ada rasa nyeri yang menghantam. Meski ia tahu akhir ceritanya bagaimana, tapi tetap saja hatinya merasa terluka membayangkan jika saat itu akan tiba. Apakah ia mampu?

Mata Jihan mengeja setiap huruf yang tertera di kertas putih itu. Setiap poin sama sekali tidak membuatnya patah hati dan poin terakhir itu yang membuat Jihan sempat merasakan keraguan.

Cukup lama Jihan diam, sampai akhirnya Yudha membuka suaranya.

"Jika kamu keberatan dengan poin-poin yang tertera di sana, kamu bisa membatalkan pernikahan ini. Yang artinya uang 2 miliar itu akan aku tarik kembali. Ini hanya sebuah pernikahan siri, Jika kamu tidak menerimanya pun tidak apa-apa, kamu bisa pergi dan anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Lagi pula tidak ada yang dirugikan di antara kita berdua."

Tanpa sadar tangan Jihan meremas amplop coklat yang berada di pangkuannya.

Maju kena, mundur kena.

"Apakah ini adalah cara balas dendam untuk membalasku atas perbuatanku dulu?" tanya Jihan seraya memberanikan diri menatap Yudha.

Yudha yang duduk di sisi meja tepat di depan Jihan pun terbahak. "Hei, buat apa aku balas dendam dengan apa yang kamu lakukan dulu kepadaku? Ini tidak ada hubungannya dengan itu. Ini murni suatu kebetulan. Jika aku tahu dari awal wanita itu adalah kamu, mungkin aku akan berpikir seribu kali menyetujui kesepakatan dengan Reno sialan itu."

"Apakah kamu menyesal?"

Yudha mengangguk. "Ya. Karena aku sudah menghianati istriku." Terdengar helaan nafas panjang. "Jika saja kehidupanku sempurna seperti yang aku inginkan, menikah untuk yang kedua kalinya tidak akan pernah aku lakukan dalam kehidupanku."

Mendengar kalimat Yudha, ada sejumput rasa penasaran yang hinggap di hatinya. Meski ia tahu benang merah dalam kehidupan Yudha, tapi tetap saja ia penasaran dengan cerita sebenarnya yang sedang terjadi di dalam rumah tangga Yudha dan istrinya.

"Em, kenapa kamu sampai nekad melakukan pernikahan ini? Bagaimana dengan perasaan istrimu nanti?"

Yudha terdiam sejenak. Pikirannya melayang dimana ia teringat dengan kalimat sang istri yang memintanya untuk menikah lagi. Tentu ia menentang keras permintaan itu. Ia menjelaskan meski belum hadirnya anak diantara mereka berdua, cintanya tidak akan luntur terhadap Maura. Tapi Maura tidak mau mengerti. Dengan berderai air mata wanita itu meminta dan memaksa Yudha untuk menikah lagi karena ia tidak akan bisa memiliki keturunan yang lahir dari rahimnya.

Yudha pun terpukul ketika membaca hasil vonis dokter yang tertulis di atas kertas putih itu. Ia mencoba menyangkal dan membujuk Maura untuk melakukan cara lain untuk memiliki keturunan, tapi Maura menolaknya dan berkata itu semua percuma. Bukan hanya sakit fisik yang ia dapatkan, Ia pun akan mendapat kekecewaan yang mendalam karena mendapatkan kegagalan.

Akhirnya Yudha pun menyerah.

Mendengar cerita Yudha, membuat hati Jihan teriris. Ia sadar masalah yang menimpa setiap orang itu berbeda-beda. Yang ia kira hidup Yudha sangat sempurna, ternyata ujiannya tak kalah berat.

"Lalu, bagaimana dengan kehidupanmu sendiri? Aku dengar kamu sudah menikah dengan seorang pria kaya di kampungmu? Lalu kenapa kamu mau menikah denganku?" tanya Yudha dengan seringai mengejek di bibirnya.

Jihan tergagap. Tidak mungkin ia menceritakan yang sebenarnya terjadi. Mungkin mengarang cerita adalah jalan satu-satunya.

"Ya. Dia memang kaya." jawab Jihan seadanya. Tapi matanya sibuk menatap ke lain arah agar Yudha tidak menangkap sinyal kebohongannya.

"Lalu jika suamimu kaya, kenapa suamimu tidak membantu biaya ibumu sampai kamu harus menjual rahimmu?" tanya Yudha yang semakin curiga dengan sikap Jihan yang menurutnya aneh.

"Itu_itu karena_ Ah sudahlah. Tidak perlu di bahas lagi."

Ketika Jihan hendak beranjak, Yudha mencekal tangan itu dan menariknya sampai terjatuh di pangkuannya.

Jihan berontak ingin melepas tangan Yudha yang membelit perutnya. "Tolong lepaskan. Kamu menyakitiku!!"

Yudha hanya diam. Matanya hanya fokus menatap Jihan yang tengah berusaha melepaskan diri dari cengkramannya.

Wanita yang dulu ia cintai, tanpa sengaja kembali dan sekarang menjadi istri keduanya. Oh Tuhan, permainan takdir macam apa lagi ini? Batin Yudha bertanya-tanya.

"Yudha. Tolong lepaskan!!" Jihan kembali memohon. Tapi lagi-lagi Yudha mengabaikan permintaan Jihan.

"Diamlah!! Atau kamu ingin membangunkan sesuatu yang tengah tertidur pulas di sana. Aku akan menjamin jika kamu tidak akan bisa berjalan untuk menyambut hari esok."

Jihan langsung terdiam mendengar ancaman dari Yudha. Wajahnya berubah pias. Ia bukan wanita bodoh yang tidak mengerti arah dan maksud dari pria tersebut.

"Kenapa diam? Coba kamu berontak lagi?"

Jihan menggeleng takut.

"Kenapa kamu ketakutan seperti itu? Bukankah kamu pernah melakukan hubungan suami istri sebelumnya? Pasti kamu sudah pengalaman bukan?" tanya Yudha dengan seringai licik di bibirnya.

Bab terkait

  • Rahim Sang Mantan   Bab 3. Operasi

    Wajah Yudha kian mendekat, membuat mata Jihan terpejam ketakutan. Ia ingin berlari menjauh, tapi cekalan tangan Yudha semakin kuat memeluk tubuhnya dari belakang. Tinggal beberapa centi bibir mereka hampir bertemu, ponsel Jihan berdering dengan nyaring. Reflek membuat Jihan menjauh dan bangkit dari pangkuan Yudha. Ia meraih ponsel itu dan langsung di tempelkan di telinganya. "Hallo Jihan. Maaf sudah mengganggu kesenanganmu dan Yudha," ucap dokter Reno dari seberang. Jihan melirik Yudha sekilas yang juga menatapnya. "Tidak, Dok. Sama sekali tidak menganggu." Perasaannya menjadi tidak enak karena tidak biasanya dokter Reno langsung meneleponnya. "Jihan, kamu tahu kan apa yang akan saya bicarakan?" "Operasi ibu saya ya, dok?" "Betul Jihan. Operasinya akan segera dilaksanakan. Bisakah_" "Iya, dok. Jihan mengerti. Setelah ini insya Allah Jihan kesana dan membayar semuanya. Terima kasih, dokter," "Oke. Baik, Jihan." "Si Reno?" tanya Yudha setela

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-28
  • Rahim Sang Mantan   Bab 4. Kehilangan

    Semua perkataan dokter Reno tidak ia percayai begitu saja. Jihan menganggapnya hanya angin belaka. Kenapa juga sang dokter harus mengatakan hal terburuk yang akan terjadi pada sang ibu. Seharusnya dia tidak mendahului takdir yang belum tentu terjadi. Masih ada Tuhannya yang akan mengabulkan doanya. Memberikan hadiah terbaik untuk ibunya yang telah berjuang melawan penyakitnya yang sudah dideritanya sejak lama. "Jihan." "Iya." Jihan mengangkat wajahnya dan menatap dokter itu. "Kamu mendengar apa yang saya katakan, kan?" "Iya, dok. Jihan mendengar semuanya dengan jelas," jawab Jihan seraya tersenyum tipis. Ia bahkan mendengarkan dengan jelas setiap kalimat yang terlontar dari bibir dokter itu dengan pikiran yang sulit terlukiskan oleh kata-kata. "Jihan." Dokter itu diam sesaat. Matanya menatap lekat Jihan. Jihan paham jika beban dokter Reno sangatlah besar. Percayalah, Jihan juga takut jika ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, jika tidak dioperasi

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-28
  • Rahim Sang Mantan   Bab 5. Membujuk Pulang

    Jihan mengangkat kepalanya melihat siapa. "Dokter." Dokter Reno tersenyum lembut, menutupi rasa iba ketika melihat Jihan yang terpuruk seperti itu. Jihan menoleh sekilas, lalu kembali menatap gundukan tanah merah itu. Air matanya pun tumpah kembali. Dia tergugu ketika mengingat sosok ibunya. "Kamu harus kuat, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Dia sudah tak sakit lagi." Dokter Reno mencoba menguatkan. Memberi perasaan nyaman agar Jihan kembali tenang. "Ibu sudah sembuh kemarin, Dok. Ibu sudah sembuh!! Bahkan sebelum operasi masih bisa bercanda bersamaku. Tapi kenapa ibu sekarang pergi secepat ini?" "Iya, Ibumu sudah sembuh, Han. Jadi kamu harus senang, bukan bersedih seperti ini." Jihan menggeleng, "Percuma ibu sembuh jika dia ninggalin Jihan, dok," Tangis Jihan terdengar semakin pilu ketika mengingat pesan sang Ibu. Dia tak menyangka jika itu adalah pesan terakhirnya sebelum menemui ajalnya. Jika dia tau, pasti dia akan selalu menemani sang ibu tanpa beranjak sedikitpun

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-28
  • Rahim Sang Mantan   Bab 6. Mandul

    "Iya, sebentar!!" seru Maura seraya melangkahkan kakinya. Seketika tubuh Maura menegang ketika melihat tamu spesial sore ini. Tamu yang sangat tak di harapkan kedatangannya untuk memperumit keadaannya yang tengah dirundung nestapa. Meskipun sang tamu tampak tersenyum cerah menatapnya, namun Maura merasa jika wanita di hadapannya ini ingin menyampaikan sesuatu kepadanya. "Ibu.." Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menyapa Maura dengan tak kalah ramahnya sehingga membuatnya merinding. "Assalamualaikum, selamat malam, Maura." "Wa_waalaikumsalam, Ibu." jawab Maura terbata. Mayra tetap mematung, tangannya menggenggam erat pada handel pintu yang sedari tadi di pegangnya. Sehingga dia lupa mempersilahkan mertuanya itu masuk ke dalam rumahnya. Dia terlalu shock menerima kedatangan sang mertua yang tiba-tiba tanpa kabar sebelumnya. Padahal dulu sang mertua sangat jarang berkunjung ke rumahnya jika tak ada hal penting yang ingin di sampaikan

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-19
  • Rahim Sang Mantan   Bab 7. Dilema

    Kata-kata sang mertua masih terngiang di kepalanya. Seolah dengungan suara itu tak mau hilang dari pikirannya dan terus berputar di sana. Membuat hatinya semakin kalut dan tak karuan. Apalagi Yudha sampai sekarang belum juga menghubunginya lagi setelah kepergiannya tadi siang. Semakin merana karena tiada Yudha di sampingnya. Monika memilih pergi karena Maura sama sekali tidak memberi jawaban atas pertanyaannya. Maura juga memilih diam karena itu bukanlah masalah yang bisa dijawab dengan cepat. Butuh pemikiran matang dan benar-benar dengan hati yang ikhlas. Setelah kepergian mertuanya, Maura merebahkan tubuhnya di kasur. Mencoba mengistirahatkan tubuhnya dan pikirannya dari pengaruh buruk sang mertua. Namun bukannya hilang, kalimat itu semakin jelas di pikiran dan hatinya. Membuatnya susah melupakan segalanya. Apalagi perlakuan ibu mertuanya yang tiada perubahan terhadapnya. Masih sama dan masih menganggapnya sebagai menantu pembawa sial. Maura membayangkan

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-19
  • Rahim Sang Mantan   Bab 8. Janda Tapi Perawan

    Erangan memilukan terdengar di telinga Yudha saat miliknya mencoba menerobos pertahanan Jihan. Sempit, bahkan Yudha kesusahan menerobosnya. "Sakit, Mas," rintih Jihan dibalik kungkungan Yudha. Bahkan, rasanya ia ingin berteriak jika ia tidak melihat keadaannya sekarang. "Sabar, Jihan. Sebentar lagi pasti sudah tidak sakit." Yudha berusaha membujuk wanita yang berada dibawah kendalinya itu. Meski ia sendiri bingung kenapa susah sekali. Antara kasihan dan juga nikmat. Yudha juga pernah merasakan sebelumnya bersama Maura yang kala itu masih perawan. Tapi perasaan tidak sesulit ini. Apakah Jihan kurang rangsangan sehingga ia meringis kesakitan? Yudha mencoba menekan lebih dalam, tapi sebuah cengkeraman dan tancapan kuku membuat ia kembali menarik miliknya pelan. Sakit dan perih ia rasakan. Apakah Jihan juga masih perawan? Sempat tersemat pertanyaan seperti itu di benaknya. Tapi cepat-cepat Yudha menepis pikirannya sendiri. Karena Ia tau jika Jihan berstatus jan

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-24
  • Rahim Sang Mantan   Bab 9. Masa Lalu

    "Hah.."Jihan masih belum mengerti arah pembicaraan Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" tanya Jihan pada akhirnya. Yudha menunjuk dengan dagunya sebuah noda di atas sprei yang sengaja belum ia bersihkan. Jihan pun mengikuti kemana arah pandangan Yudha. Seketika matanya membulat sempurna saat melihat noda merah diatas sprei itu. Dengan cepat Jihan melangkah dan menarik sprei itu sampai terlepas dari ranjang. Kemudian ya membawanya ke dalam kamar mandi dan merendamnya di sana. Yudha hanya diam melihat apa yang dilakukan oleh Jihan. Ia semakin yakin jika Jihan tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Saat Jihan melangkah di depannya, dengan cepat Yudha mencekal tangannya dan menariknya untuk duduk di sofa. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. "Coba kamu katakan yang sejujurnya padaku, Jihan. Jangan sampai aku mencari tahunya sendiri," ancam Yudha dengan tatapan mengerikan. Bahkan, Jihan sempat merasa takut melihat wajah itu. "Maksud kamu apa, Mas?

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-31
  • Rahim Sang Mantan   Baba 10. Harus Pulang

    Jihan menyambut paginya dengan senyuman lebar karena untuk pertama kalinya dia menjalankan tugasnya sebagai istri dari Yudha William. Ada beribu rasa yang membuncah dihatinya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia baru menyadari sesuatu jika Tuhan itu maha adil pada hambanya. Di saat Jihan terpuruk oleh kehilangan sang ibu, Tuhan menggantikan rasa kehilangan itu dengan kebahagiaan dengan kehadiran suami yang dikirimkan untuknya. Sungguh, jika dipikir dengan nalar, tentu itu sulit dicerna oleh otak manusia. Meski terdengar kejam, tapi dia juga tidak bisa lari dari takdir yang sudah tertulis. Jihan asyik berkutat di dapur, sampai tidak menyadari saat Yudha melangkah masuk ke dapur. "Kamu masak apa, Jihan?" Pertanyaan Yudha membuat Jihan terkejut. Sontak dia menoleh ke sumber suara. "Eh, mas Yudha. Bikin kaget saja," jawabnya. "Aku lagi masak nasi goreng untuk kita sarapan, Mas," sambungnya lagi seraya menggerakkan tangannya mengaduk nasi gore

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-01

Bab terbaru

  • Rahim Sang Mantan   Sedikit Cemburu

    Jihan memutar tubuhnya. Matanya melebar sempurna ketika melihat Yudha yang sedang bersandar di dinding di samping pintu kamar mandi dengan melipat tangannya di dadanya. Matanya menatap mesum, seolah menguliti tubuh Jihan tanpa sisa. Pria itu mendekati Jihan dengan senyum devil di bibirnya. "Apa kamu mau menggodaku, Sayang?" tanya Yudha berulang. Jihan menggeleng cepat. "Bukan, bukan seperti itu, Mas," ucap Jihan gugup. Perlahan ia melangkah mundur karena Yudha terus maju seperti ingin menjamahnya. Jihan juga merasa ngeri melihat tatapan Yudha yang seolah dengan mudah bisa melumpuhkan pertahanannya. "Bukan seperti itu, Mas." Jihan meracau sembari mencengkram erat handuk agar tak terlepas dari tubuhnya. "Lalu, apa? Kamu sengaja membuat singa ini lapar kembali, begitu?" Lagi-Jihan hanya menggeleng seraya terus melangkah mundur untuk mengindari Yudha. Kakinya saja masih terasa bergetar, tidak mungkin kan Yudha akan melampiaskan hasratnya lagi. Tap

  • Rahim Sang Mantan   Pasrah

    Keduanya terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Yudha kembali berucap. "Ini tidak adil bagi kita semua, kamu maupun Maura. Karena kita akan sama-sama patah dalam porsi yang berbeda." Jihan yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya untuk menatap Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" "Kamu tidak akan mengerti kenapa aku memilih menikah denganmu dan membuatmu mengandung. Ini semua demi Maura. Aku tidak ingin kehilangan Maura karena tuntutan orang tuaku yang menginginkan seorang cucu. Kamu tau apa yang di katakan oleh ibuku pada Maura?" Yudha menjeda kalimatnya. Terlihat matanya memerah menahan gejolak di dada. "Ibuku ingin aku berpisah dengan Maura yang diklaim mandul dan menyuruhku untuk menikah lagi dengan perempuan pilihannya. Aku menolaknya. Karena aku lebih memilih menikah dengan pilihanku sendiri dari pada harus melihat Maura yang harus tersisih dari perlakuan ibuku. Aku tidak tega, Jihan. Aku sakit saat melihatnya menangis. Meski aku juga tak menampik akan melihat air matan

  • Rahim Sang Mantan   Haruskah Berpisah?

    "Apakah kamu ingin segera berpisah denganku jika tujuanmu sudah tercapai, Mas?" Jihan tersenyum miris. Ia seolah lupa akan tujuan utama Yudha menikahinya. Bukan lagi karena cinta, melainkan menginginkan keturunan darinya agar rumah tangganya bersama Maura tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dan apa yang akan ia dapatkan kelak, hanya kehilangan yang akan ia rasakan. Kehilangan dalam penyesalan. Ia akan kehilangan cintanya dan buah hatinya. Apakah ia sanggup menerima takdirnya? Seketika air mata itu menetes dari pelupuk matanya. Jihan mata mengembun, ia menatap punggung lebar itu yang telah hilang di balik pintu kamar mandi. "Aku harus kuat. Aku tidak ingin terlihat lemah lagi. Sudah cukup kamu menangis, Jihan. Sekarang waktunya untuk bangkit menjalani hidup. Jihan pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah memakai kembali pakaiannya. Jihan berniat untuk membuat sarapan. Tapi ketika sampai di dapur, dia berhenti sejenak dan memilih duduk di meja ma

  • Rahim Sang Mantan   Bab 23. Posisi Bercinta

    Jihan tersenyum manis menatap Yudha yang masih terlelap itu. Semalaman Yudha terus menggauli dirinya tanpa ampun dan menumpahkan hasrat yang telah dia pendam beberapa hari karena tak bertemu. Yudha juga memperlakukan dia dengan baik layaknya istrinya yang sukses membuatnya melayang. Sungguh membuat hati Jihan berbunga ketika Yudha mengecup keningnya setelah pelepasan terakhirnya. Meskipun mereka bermandikan peluh, namun tiada mengurangi keromantisan keduanya. Dan sekarang dia patut bahagia menyambut indahnya pagi dengan menatap suaminya yang masih memeluk dirinya dengan erat. Mungkin kebahagiaan yang ia rasakan akan bertambah sempurna jika ia bukanlah yang kedua. Tapi mau bagaimana lagi jika takdir cintanya harus seperti ini. Mau berusaha melawan pun ia tidak akan mempu merubah takdirnya yang sudah tertulis di lauhul mahfud. Jari lentik Jihan menyusuri setiap inci wajah Yudha dengan teliti. Sejengkal demi sejengkal menyusuri dengan jari yang bergerak nakal. Menikmat

  • Rahim Sang Mantan   Bab 22

    Tubuhnya bergetar, dia hampir pingsan karena merasa dekapan seorang pria yang memeluk tubuhnya dari belakang. Dia ketakutan jika itu bukanlah manusia melainkan makhluk jadi-jadian yang mengincar dirinya. Apalagi nafasnya yang hangat menerpa tengkuk lehernya yang membuat Jihan semakin ketakutan. "Si_siapa kamu? Tolong jangan ganggu saya. Tolong lepaskan saya," ucapnya seraya tercekat ketakutan. Tak terasa air mata pun menggenang di pelupuk matanya yang terpejam. Jika bisa dia ingin pingsan saja agar tak melihat rupa mahkluk itu yang pasti menyeramkan. Jihan memang cerewet dan sedikit ugal, namun untuk masalah setan, dia sungguh penakut. Dia tak sekuat seperti yang terlihat. Bahkan dia bisa menangis kejer jika terkejut atau di prank dengan memakai pakaian kebanggaan kaum setan. Marah, tentu saja dia marah dengan kelakuan Dea dan yang lainnya karena sangat keterlaluan mengerjai dirinya dulu. Dan sejak saat itu Dea tidak berani lagi menjahili Jihan dengan memakai atribut apapun i

  • Rahim Sang Mantan   Bab 21.

    Keesokan harinya, Jihan menjadi bahan bulan-bulanan Dea karena ketampanan suaminya. Tak pelak, semuanya teman-temannya di toko pun nampak terkejut dan tidak menyangka jika Jihan sudah menikah beberapa minggu yang lalu. Karena yang mereka tau, Jihan tidak pernah dekat dengan pria manapun selama mereka bekerja bersama. Apalagi Dea yang dengan hebohnya memamerkan suami Jihan yang gantengnya bak artis cina yang tengah digandrungi kawulah emak-emak se-Indonesia. Tentu saja mereke berteriak penasaran dengan sosok suami Jihan yang bernama Yudha tersebut. "Han, apa benar yang di katakan sama Dea tentang suamimu? Aku jadi penasaran bagaimana wajah suami kamu, Han." "Han, kenalin donk sama suami kamu. Siapa tau aku bakal belok dari pacarku lalu daftar jadi pelakor untuk merebut suamimu." Sontak Jihan melotot mendengar penuturan sableng temannya tersebut. Dia tak habis pikir dengan pikiran aneh anak gadis jaman sekarang yang suka dengan peran pelakor. Jihan pun s

  • Rahim Sang Mantan   Bab 20. Asalkan Kamu Bahagia

    Yudha memandangi bayangan dirinya di depan cermin, tangannya pun dengan cekatan memasangkan setiap kancing di setiap lubang di kemejanya. Dia tersenyum lembut menatap bayangan Maura yang melangkah mendekat ke arahnya dengan pakaian laknat yang selalu menggoda imannya. Tak lupa senyum manis yang selalu menghiasi bibir merah muda istrinya. "Mau pergi sekarang, Mas?!" tanya Maura seraya melingkarkan tangannya di perut Yudha dan merabanya dengan gerakan menggoda. Ada sedikit rasa tak rela ketika pagi ini Yudha harus pamit untuk ke luar kota. Karena dia akan merasakan kesepian yang luar biasa lagi untuk kesekian kalinya. Apalagi jika kedatangan ibu mertuanya yang berusaha merusak moodnya untuk memicu pertengkaran dengan Yudha. Yudha tersenyum. Kemudian memutar tubuhnya agar bisa melihat langsung wajah Maura yang bersedih seperti biasanya jika Yudha akan pergi ke luar kota. Ada rasa tak tega, namun dia juga harus menjalankan kewajibannya sebagai suami yang adil bagi ke

  • Rahim Sang Mantan   Bab 19

    Dea makin tergelak melihat wajah Jihan yang seperti di kejar oleh dept colector. "Di angkat kenapa sih, Han? Suamimu itu, kenapa malah panik begitu?" Dea masih saja tertawa. Jihan mengerucutkan bibirnya. "Kamu sih resek. Pasti Yudha marahin aku karena ketahuan keluar malam. Awas kamu ya, Dea. Pasti aku balas kamu nanti." Jihan mengepalkan tangannya di depan wajah Dea seraya menahan kesal. Bisa-bisanya Dea mengirimkan sebuah poto pada Yudha. Pasti pria itu akan berpikir aneh-aneh tentangnya, pikirnya dalam hati. Matanya masih menatap layar yang masih menyala itu. Nama Yudha terpampang jelas di sana. Membuat perasaan ragu dan takut berbaur menjadi satu. Sampai akhirnya layar itu mati dengan sendirinya. Jihan bernafas lega karena panggilan dari Yudha sudah berhenti. Ia berniat untuk melangkah pulang sebelum Yudha marah besar. Ia menarik lengan Dea hendak beranjak pergi. Tapi terdengar nada dering ponsel membuat Dea mengurungkan niatnya dan melepaskan tangan J

  • Rahim Sang Mantan   Bab 18.

    Sempat terkejut mendengar penuturan Jihan tentang pernikahannya dan juga kematian ibunya yang hampir bersamaan itu. Dalam hati Dea mengakui kehebatan Jihan dan kesabarannya mendapat ujian yang bertubi seperti itu. Jika Dea berada di posisi Jihan, entah apa yang akan dia lakukan. Mungkin ia akan mengikuti ibunya ke liang lahat sekalian. Namun kini dia patut bernafas lega karena Jihan mulai bahagia dengan suaminya. Meski pikiran negatifnya masih saja menghantui pikirannya saat ini ketika mengetahui Jihan menjadi istri kedua. "Lalu, bagaimana jika istri pertama suamimu jika mengetahui keberadaanmu, Han?" tanya Dea seraya mengaduk jus jeruk yang berada di tangannya. Dea sengaja mengajak Jihan pergi ke warung langganannya saat mereka pulang bekerja. Dea ingin mengorek informasi lebih dalam tentang kehidupan rumah tangga yang dijalani sahabatnya tersebut. "Entahlah, Dea. Sejauh ini aku belum memikirkan sampai sejauh itu," jawab Jihan seraya mengedikkan bahunya. Terle

DMCA.com Protection Status