"Itu apa?"
Brug.. Amplop coklat itu dilempar dan mendarat tepat di samping Jihan. "Bukalah. Nanti juga kamu tau apa isinya." Setelah itu Yudha beranjak berdiri dan memutar tumitnya menuju balkon dan menggeser pintu itu hingga terbuka. Dikeluarkannya dari dalam sakunya satu bungkus nikotin. Di ambilnya satu dan kemudian dijepit di lipatan bibirnya Disulutnya api untuk membakar nikotin itu. Kepulan asap seketika memenuhi ruangan saat Yudha menghembuskan ke udara. Setiap gerak gerik Yudha tidak luput dari tatapan Jihan. Sampai ia melupakan rasa penasarannya pada suatu benda yang masih berada di pangkuan tangannya. "Apa kamu tidak penasaran dengan isinya Jihan? Kenapa kamu malah sibuk menatapku seperti itu?" tanya Yudha seraya mengepulkan asap ke udara seraya tersenyum tipis. Jihan tersentak dengan kalimat Yudha. Ia langsung membuang pandangannya ke lain arah untuk mengikis rasa malunya karena sudah ketahuan diam-diam memerhatikan Yudha. Mengalihkan rasa malu, tangannya dengan lincah membuka amplop itu. Saat dikeluarkan isinya, matanya langsung melotot. Bibirnya ternganga tak percaya. "I_ini?" Wajahnya terangkat menatap Yudha yang juga menatapnya. "Ya. Itu sisa mahar pernikahan kita. Ada lebihan juga sedikit. Jangan besar kepala terlebih dahulu. Sengaja aku lebihkan untuk ibu, bukan buatmu. Beliau orang baik, tapi mengapa mempunyai anak yang kejam sepertimu." Alis Jihan bertaut tak terima. "Maksud kamu apa mengatakan aku kejam? Aku sayang ibuku , jadi tidak mungkin aku menyakiti ibuku." "Bukan menyakiti ibumu, tapi kamu yang menyakiti hatiku." Kalimat itu seolah langsung menusuk ke ulu hatinya. Apakah ia harus mengatakan alasan ketika ia meninggalkan Yudha dulu? Tapi jika dipikir-pikir lagi, itu dirasa sangat percuma. Toh itu hanya masa lalu mereka. Karena kehidupan Yudha juga terlihat bahagia bersama istrinya. Tapi mungkin kekurangannya hanya satu yaitu soal keturunan. Jihan enggan menjawab. Ia lebih memilih memasukkan uang itu lagi ke dalam amplop. Tapi matanya tidak sengaja menangkap sebuah kertas yang belum sempat ia ambil. Diambilnya kertas itu dan dibacanya secara perlahan. "Surat perjanjian?" Yudha mematikan buntung nikotin itu dan membuangnya ke tempat sampah. Lantas ia melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Jihan. "Iya. Itu surat perjanjian. Setelah anak itu lahir kamu harus pergi meninggalkan dia bersama kami." Deg.. Ada rasa nyeri yang menghantam. Meski ia tahu akhir ceritanya bagaimana, tapi tetap saja hatinya merasa terluka membayangkan jika saat itu akan tiba. Apakah ia mampu? Mata Jihan mengeja setiap huruf yang tertera di kertas putih itu. Setiap poin sama sekali tidak membuatnya patah hati dan poin terakhir itu yang membuat Jihan sempat merasakan keraguan. Cukup lama Jihan diam, sampai akhirnya Yudha membuka suaranya. "Jika kamu keberatan dengan poin-poin yang tertera di sana, kamu bisa membatalkan pernikahan ini. Yang artinya uang 2 miliar itu akan aku tarik kembali. Ini hanya sebuah pernikahan siri, Jika kamu tidak menerimanya pun tidak apa-apa, kamu bisa pergi dan anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita. Lagi pula tidak ada yang dirugikan di antara kita berdua." Tanpa sadar tangan Jihan meremas amplop coklat yang berada di pangkuannya. Maju kena, mundur kena. "Apakah ini adalah cara balas dendam untuk membalasku atas perbuatanku dulu?" tanya Jihan seraya memberanikan diri menatap Yudha. Yudha yang duduk di sisi meja tepat di depan Jihan pun terbahak. "Hei, buat apa aku balas dendam dengan apa yang kamu lakukan dulu kepadaku? Ini tidak ada hubungannya dengan itu. Ini murni suatu kebetulan. Jika aku tahu dari awal wanita itu adalah kamu, mungkin aku akan berpikir seribu kali menyetujui kesepakatan dengan Reno sialan itu." "Apakah kamu menyesal?" Yudha mengangguk. "Ya. Karena aku sudah menghianati istriku." Terdengar helaan nafas panjang. "Jika saja kehidupanku sempurna seperti yang aku inginkan, menikah untuk yang kedua kalinya tidak akan pernah aku lakukan dalam kehidupanku." Mendengar kalimat Yudha, ada sejumput rasa penasaran yang hinggap di hatinya. Meski ia tahu benang merah dalam kehidupan Yudha, tapi tetap saja ia penasaran dengan cerita sebenarnya yang sedang terjadi di dalam rumah tangga Yudha dan istrinya. "Em, kenapa kamu sampai nekad melakukan pernikahan ini? Bagaimana dengan perasaan istrimu nanti?" Yudha terdiam sejenak. Pikirannya melayang dimana ia teringat dengan kalimat sang istri yang memintanya untuk menikah lagi. Tentu ia menentang keras permintaan itu. Ia menjelaskan meski belum hadirnya anak diantara mereka berdua, cintanya tidak akan luntur terhadap Maura. Tapi Maura tidak mau mengerti. Dengan berderai air mata wanita itu meminta dan memaksa Yudha untuk menikah lagi karena ia tidak akan bisa memiliki keturunan yang lahir dari rahimnya. Yudha pun terpukul ketika membaca hasil vonis dokter yang tertulis di atas kertas putih itu. Ia mencoba menyangkal dan membujuk Maura untuk melakukan cara lain untuk memiliki keturunan, tapi Maura menolaknya dan berkata itu semua percuma. Bukan hanya sakit fisik yang ia dapatkan, Ia pun akan mendapat kekecewaan yang mendalam karena mendapatkan kegagalan. Akhirnya Yudha pun menyerah. Mendengar cerita Yudha, membuat hati Jihan teriris. Ia sadar masalah yang menimpa setiap orang itu berbeda-beda. Yang ia kira hidup Yudha sangat sempurna, ternyata ujiannya tak kalah berat. "Lalu, bagaimana dengan kehidupanmu sendiri? Aku dengar kamu sudah menikah dengan seorang pria kaya di kampungmu? Lalu kenapa kamu mau menikah denganku?" tanya Yudha dengan seringai mengejek di bibirnya. Jihan tergagap. Tidak mungkin ia menceritakan yang sebenarnya terjadi. Mungkin mengarang cerita adalah jalan satu-satunya. "Ya. Dia memang kaya." jawab Jihan seadanya. Tapi matanya sibuk menatap ke lain arah agar Yudha tidak menangkap sinyal kebohongannya. "Lalu jika suamimu kaya, kenapa suamimu tidak membantu biaya ibumu sampai kamu harus menjual rahimmu?" tanya Yudha yang semakin curiga dengan sikap Jihan yang menurutnya aneh. "Itu_itu karena_ Ah sudahlah. Tidak perlu di bahas lagi." Ketika Jihan hendak beranjak, Yudha mencekal tangan itu dan menariknya sampai terjatuh di pangkuannya. Jihan berontak ingin melepas tangan Yudha yang membelit perutnya. "Tolong lepaskan. Kamu menyakitiku!!" Yudha hanya diam. Matanya hanya fokus menatap Jihan yang tengah berusaha melepaskan diri dari cengkramannya. Wanita yang dulu ia cintai, tanpa sengaja kembali dan sekarang menjadi istri keduanya. Oh Tuhan, permainan takdir macam apa lagi ini? Batin Yudha bertanya-tanya. "Yudha. Tolong lepaskan!!" Jihan kembali memohon. Tapi lagi-lagi Yudha mengabaikan permintaan Jihan. "Diamlah!! Atau kamu ingin membangunkan sesuatu yang tengah tertidur pulas di sana. Aku akan menjamin jika kamu tidak akan bisa berjalan untuk menyambut hari esok." Jihan langsung terdiam mendengar ancaman dari Yudha. Wajahnya berubah pias. Ia bukan wanita bodoh yang tidak mengerti arah dan maksud dari pria tersebut. "Kenapa diam? Coba kamu berontak lagi?" Jihan menggeleng takut. "Kenapa kamu ketakutan seperti itu? Bukankah kamu pernah melakukan hubungan suami istri sebelumnya? Pasti kamu sudah pengalaman bukan?" tanya Yudha dengan seringai licik di bibirnya.Wajah Yudha kian mendekat, membuat mata Jihan terpejam ketakutan. Ia ingin berlari menjauh, tapi cekalan tangan Yudha semakin kuat memeluk tubuhnya dari belakang. Tinggal beberapa centi bibir mereka hampir bertemu, ponsel Jihan berdering dengan nyaring. Reflek membuat Jihan menjauh dan bangkit dari pangkuan Yudha. Ia meraih ponsel itu dan langsung di tempelkan di telinganya. "Hallo Jihan. Maaf sudah mengganggu kesenanganmu dan Yudha," ucap dokter Reno dari seberang. Jihan melirik Yudha sekilas yang juga menatapnya. "Tidak, Dok. Sama sekali tidak menganggu." Perasaannya menjadi tidak enak karena tidak biasanya dokter Reno langsung meneleponnya. "Jihan, kamu tahu kan apa yang akan saya bicarakan?" "Operasi ibu saya ya, dok?" "Betul Jihan. Operasinya akan segera dilaksanakan. Bisakah_" "Iya, dok. Jihan mengerti. Setelah ini insya Allah Jihan kesana dan membayar semuanya. Terima kasih, dokter," "Oke. Baik, Jihan." "Si Reno?" tanya Yudha setela
Semua perkataan dokter Reno tidak ia percayai begitu saja. Jihan menganggapnya hanya angin belaka. Kenapa juga sang dokter harus mengatakan hal terburuk yang akan terjadi pada sang ibu. Seharusnya dia tidak mendahului takdir yang belum tentu terjadi. Masih ada Tuhannya yang akan mengabulkan doanya. Memberikan hadiah terbaik untuk ibunya yang telah berjuang melawan penyakitnya yang sudah dideritanya sejak lama. "Jihan." "Iya." Jihan mengangkat wajahnya dan menatap dokter itu. "Kamu mendengar apa yang saya katakan, kan?" "Iya, dok. Jihan mendengar semuanya dengan jelas," jawab Jihan seraya tersenyum tipis. Ia bahkan mendengarkan dengan jelas setiap kalimat yang terlontar dari bibir dokter itu dengan pikiran yang sulit terlukiskan oleh kata-kata. "Jihan." Dokter itu diam sesaat. Matanya menatap lekat Jihan. Jihan paham jika beban dokter Reno sangatlah besar. Percayalah, Jihan juga takut jika ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, jika tidak dioperasi
Jihan mengangkat kepalanya melihat siapa. "Dokter." Dokter Reno tersenyum lembut, menutupi rasa iba ketika melihat Jihan yang terpuruk seperti itu. Jihan menoleh sekilas, lalu kembali menatap gundukan tanah merah itu. Air matanya pun tumpah kembali. Dia tergugu ketika mengingat sosok ibunya. "Kamu harus kuat, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Dia sudah tak sakit lagi." Dokter Reno mencoba menguatkan. Memberi perasaan nyaman agar Jihan kembali tenang. "Ibu sudah sembuh kemarin, Dok. Ibu sudah sembuh!! Bahkan sebelum operasi masih bisa bercanda bersamaku. Tapi kenapa ibu sekarang pergi secepat ini?" "Iya, Ibumu sudah sembuh, Han. Jadi kamu harus senang, bukan bersedih seperti ini." Jihan menggeleng, "Percuma ibu sembuh jika dia ninggalin Jihan, dok," Tangis Jihan terdengar semakin pilu ketika mengingat pesan sang Ibu. Dia tak menyangka jika itu adalah pesan terakhirnya sebelum menemui ajalnya. Jika dia tau, pasti dia akan selalu menemani sang ibu tanpa beranjak sedikitpun
"Iya, sebentar!!" seru Maura seraya melangkahkan kakinya. Seketika tubuh Maura menegang ketika melihat tamu spesial sore ini. Tamu yang sangat tak di harapkan kedatangannya untuk memperumit keadaannya yang tengah dirundung nestapa. Meskipun sang tamu tampak tersenyum cerah menatapnya, namun Maura merasa jika wanita di hadapannya ini ingin menyampaikan sesuatu kepadanya. "Ibu.." Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menyapa Maura dengan tak kalah ramahnya sehingga membuatnya merinding. "Assalamualaikum, selamat malam, Maura." "Wa_waalaikumsalam, Ibu." jawab Maura terbata. Mayra tetap mematung, tangannya menggenggam erat pada handel pintu yang sedari tadi di pegangnya. Sehingga dia lupa mempersilahkan mertuanya itu masuk ke dalam rumahnya. Dia terlalu shock menerima kedatangan sang mertua yang tiba-tiba tanpa kabar sebelumnya. Padahal dulu sang mertua sangat jarang berkunjung ke rumahnya jika tak ada hal penting yang ingin di sampaikan
Kata-kata sang mertua masih terngiang di kepalanya. Seolah dengungan suara itu tak mau hilang dari pikirannya dan terus berputar di sana. Membuat hatinya semakin kalut dan tak karuan. Apalagi Yudha sampai sekarang belum juga menghubunginya lagi setelah kepergiannya tadi siang. Semakin merana karena tiada Yudha di sampingnya. Monika memilih pergi karena Maura sama sekali tidak memberi jawaban atas pertanyaannya. Maura juga memilih diam karena itu bukanlah masalah yang bisa dijawab dengan cepat. Butuh pemikiran matang dan benar-benar dengan hati yang ikhlas. Setelah kepergian mertuanya, Maura merebahkan tubuhnya di kasur. Mencoba mengistirahatkan tubuhnya dan pikirannya dari pengaruh buruk sang mertua. Namun bukannya hilang, kalimat itu semakin jelas di pikiran dan hatinya. Membuatnya susah melupakan segalanya. Apalagi perlakuan ibu mertuanya yang tiada perubahan terhadapnya. Masih sama dan masih menganggapnya sebagai menantu pembawa sial. Maura membayangkan
Erangan memilukan terdengar di telinga Yudha saat miliknya mencoba menerobos pertahanan Jihan. Sempit, bahkan Yudha kesusahan menerobosnya. "Sakit, Mas," rintih Jihan dibalik kungkungan Yudha. Bahkan, rasanya ia ingin berteriak jika ia tidak melihat keadaannya sekarang. "Sabar, Jihan. Sebentar lagi pasti sudah tidak sakit." Yudha berusaha membujuk wanita yang berada dibawah kendalinya itu. Meski ia sendiri bingung kenapa susah sekali. Antara kasihan dan juga nikmat. Yudha juga pernah merasakan sebelumnya bersama Maura yang kala itu masih perawan. Tapi perasaan tidak sesulit ini. Apakah Jihan kurang rangsangan sehingga ia meringis kesakitan? Yudha mencoba menekan lebih dalam, tapi sebuah cengkeraman dan tancapan kuku membuat ia kembali menarik miliknya pelan. Sakit dan perih ia rasakan. Apakah Jihan juga masih perawan? Sempat tersemat pertanyaan seperti itu di benaknya. Tapi cepat-cepat Yudha menepis pikirannya sendiri. Karena Ia tau jika Jihan berstatus jan
"Hah.."Jihan masih belum mengerti arah pembicaraan Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" tanya Jihan pada akhirnya. Yudha menunjuk dengan dagunya sebuah noda di atas sprei yang sengaja belum ia bersihkan. Jihan pun mengikuti kemana arah pandangan Yudha. Seketika matanya membulat sempurna saat melihat noda merah diatas sprei itu. Dengan cepat Jihan melangkah dan menarik sprei itu sampai terlepas dari ranjang. Kemudian ya membawanya ke dalam kamar mandi dan merendamnya di sana. Yudha hanya diam melihat apa yang dilakukan oleh Jihan. Ia semakin yakin jika Jihan tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Saat Jihan melangkah di depannya, dengan cepat Yudha mencekal tangannya dan menariknya untuk duduk di sofa. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. "Coba kamu katakan yang sejujurnya padaku, Jihan. Jangan sampai aku mencari tahunya sendiri," ancam Yudha dengan tatapan mengerikan. Bahkan, Jihan sempat merasa takut melihat wajah itu. "Maksud kamu apa, Mas?
Jihan menyambut paginya dengan senyuman lebar karena untuk pertama kalinya dia menjalankan tugasnya sebagai istri dari Yudha William. Ada beribu rasa yang membuncah dihatinya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia baru menyadari sesuatu jika Tuhan itu maha adil pada hambanya. Di saat Jihan terpuruk oleh kehilangan sang ibu, Tuhan menggantikan rasa kehilangan itu dengan kebahagiaan dengan kehadiran suami yang dikirimkan untuknya. Sungguh, jika dipikir dengan nalar, tentu itu sulit dicerna oleh otak manusia. Meski terdengar kejam, tapi dia juga tidak bisa lari dari takdir yang sudah tertulis. Jihan asyik berkutat di dapur, sampai tidak menyadari saat Yudha melangkah masuk ke dapur. "Kamu masak apa, Jihan?" Pertanyaan Yudha membuat Jihan terkejut. Sontak dia menoleh ke sumber suara. "Eh, mas Yudha. Bikin kaget saja," jawabnya. "Aku lagi masak nasi goreng untuk kita sarapan, Mas," sambungnya lagi seraya menggerakkan tangannya mengaduk nasi gore