"Apakah kamu ingin segera berpisah denganku jika tujuanmu sudah tercapai, Mas?" Jihan tersenyum miris. Ia seolah lupa akan tujuan utama Yudha menikahinya. Bukan lagi karena cinta, melainkan menginginkan keturunan darinya agar rumah tangganya bersama Maura tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dan apa yang akan ia dapatkan kelak, hanya kehilangan yang akan ia rasakan. Kehilangan dalam penyesalan. Ia akan kehilangan cintanya dan buah hatinya. Apakah ia sanggup menerima takdirnya? Seketika air mata itu menetes dari pelupuk matanya. Jihan mata mengembun, ia menatap punggung lebar itu yang telah hilang di balik pintu kamar mandi. "Aku harus kuat. Aku tidak ingin terlihat lemah lagi. Sudah cukup kamu menangis, Jihan. Sekarang waktunya untuk bangkit menjalani hidup. Jihan pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah memakai kembali pakaiannya. Jihan berniat untuk membuat sarapan. Tapi ketika sampai di dapur, dia berhenti sejenak dan memilih duduk di meja ma
Keduanya terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Yudha kembali berucap. "Ini tidak adil bagi kita semua, kamu maupun Maura. Karena kita akan sama-sama patah dalam porsi yang berbeda." Jihan yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya untuk menatap Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" "Kamu tidak akan mengerti kenapa aku memilih menikah denganmu dan membuatmu mengandung. Ini semua demi Maura. Aku tidak ingin kehilangan Maura karena tuntutan orang tuaku yang menginginkan seorang cucu. Kamu tau apa yang di katakan oleh ibuku pada Maura?" Yudha menjeda kalimatnya. Terlihat matanya memerah menahan gejolak di dada. "Ibuku ingin aku berpisah dengan Maura yang diklaim mandul dan menyuruhku untuk menikah lagi dengan perempuan pilihannya. Aku menolaknya. Karena aku lebih memilih menikah dengan pilihanku sendiri dari pada harus melihat Maura yang harus tersisih dari perlakuan ibuku. Aku tidak tega, Jihan. Aku sakit saat melihatnya menangis. Meski aku juga tak menampik akan melihat air matan
Jihan memutar tubuhnya. Matanya melebar sempurna ketika melihat Yudha yang sedang bersandar di dinding di samping pintu kamar mandi dengan melipat tangannya di dadanya. Matanya menatap mesum, seolah menguliti tubuh Jihan tanpa sisa. Pria itu mendekati Jihan dengan senyum devil di bibirnya. "Apa kamu mau menggodaku, Sayang?" tanya Yudha berulang. Jihan menggeleng cepat. "Bukan, bukan seperti itu, Mas," ucap Jihan gugup. Perlahan ia melangkah mundur karena Yudha terus maju seperti ingin menjamahnya. Jihan juga merasa ngeri melihat tatapan Yudha yang seolah dengan mudah bisa melumpuhkan pertahanannya. "Bukan seperti itu, Mas." Jihan meracau sembari mencengkram erat handuk agar tak terlepas dari tubuhnya. "Lalu, apa? Kamu sengaja membuat singa ini lapar kembali, begitu?" Lagi-Jihan hanya menggeleng seraya terus melangkah mundur untuk mengindari Yudha. Kakinya saja masih terasa bergetar, tidak mungkin kan Yudha akan melampiaskan hasratnya lagi. Tap
"Lahirkan anak untukku, maka aku akan memenuhi semua kebutuhanmu dan memberimu mahar 2 miliar. Tapi ingat, ini hanya sementara," ucap Yudha tegas pada Jihan. "Jika bukan keinginan istriku, aku tidak akan pernah menikah denganmu," sambungnya lagi dengan sorot matanya yang tajam. Lalu dia pergi begitu saja meninggalkan Jihan di kamar pengantinnya seorang diri. Brakk!! Suara pintu terbanting dengan keras. Jihan hanya bisa memejamkan matanya bersamaan dengan turunnya cairan bening di pipinya. Ada rasa sakit di hati Jihan ketika mendengar setiap kalimat yang Yudha ucapkan. Padahal Yudha yang dulu ia kenal sangat lembut dan penuh kasih sayang. Mungkin terkesan berlebihan jika Jihan ingin Yudha seperti yang dulu setelah luka yang ia torehkan. Ia pantas mendapatkan ini sebagai balasan. Sungguh, ia sangat terkejut saat mengetahui jika pria yang membutuhkan rahimnya adalah mantan kekasihnya dulu. Jihan yang saat itu sangat membutuhkan biaya unt
"Itu apa?" Brug.. Amplop coklat itu dilempar dan mendarat tepat di samping Jihan. "Bukalah. Nanti juga kamu tau apa isinya." Setelah itu Yudha beranjak berdiri dan memutar tumitnya menuju balkon dan menggeser pintu itu hingga terbuka. Dikeluarkannya dari dalam sakunya satu bungkus nikotin. Di ambilnya satu dan kemudian dijepit di lipatan bibirnya Disulutnya api untuk membakar nikotin itu. Kepulan asap seketika memenuhi ruangan saat Yudha menghembuskan ke udara. Setiap gerak gerik Yudha tidak luput dari tatapan Jihan. Sampai ia melupakan rasa penasarannya pada suatu benda yang masih berada di pangkuan tangannya. "Apa kamu tidak penasaran dengan isinya Jihan? Kenapa kamu malah sibuk menatapku seperti itu?" tanya Yudha seraya mengepulkan asap ke udara seraya tersenyum tipis. Jihan tersentak dengan kalimat Yudha. Ia langsung membuang pandangannya ke lain arah untuk mengikis rasa malunya karena sudah ketahuan diam-diam memerhatikan Yudha. Mengalihkan
Wajah Yudha kian mendekat, membuat mata Jihan terpejam ketakutan. Ia ingin berlari menjauh, tapi cekalan tangan Yudha semakin kuat memeluk tubuhnya dari belakang. Tinggal beberapa centi bibir mereka hampir bertemu, ponsel Jihan berdering dengan nyaring. Reflek membuat Jihan menjauh dan bangkit dari pangkuan Yudha. Ia meraih ponsel itu dan langsung di tempelkan di telinganya. "Hallo Jihan. Maaf sudah mengganggu kesenanganmu dan Yudha," ucap dokter Reno dari seberang. Jihan melirik Yudha sekilas yang juga menatapnya. "Tidak, Dok. Sama sekali tidak menganggu." Perasaannya menjadi tidak enak karena tidak biasanya dokter Reno langsung meneleponnya. "Jihan, kamu tahu kan apa yang akan saya bicarakan?" "Operasi ibu saya ya, dok?" "Betul Jihan. Operasinya akan segera dilaksanakan. Bisakah_" "Iya, dok. Jihan mengerti. Setelah ini insya Allah Jihan kesana dan membayar semuanya. Terima kasih, dokter," "Oke. Baik, Jihan." "Si Reno?" tanya Yudha setela
Semua perkataan dokter Reno tidak ia percayai begitu saja. Jihan menganggapnya hanya angin belaka. Kenapa juga sang dokter harus mengatakan hal terburuk yang akan terjadi pada sang ibu. Seharusnya dia tidak mendahului takdir yang belum tentu terjadi. Masih ada Tuhannya yang akan mengabulkan doanya. Memberikan hadiah terbaik untuk ibunya yang telah berjuang melawan penyakitnya yang sudah dideritanya sejak lama. "Jihan." "Iya." Jihan mengangkat wajahnya dan menatap dokter itu. "Kamu mendengar apa yang saya katakan, kan?" "Iya, dok. Jihan mendengar semuanya dengan jelas," jawab Jihan seraya tersenyum tipis. Ia bahkan mendengarkan dengan jelas setiap kalimat yang terlontar dari bibir dokter itu dengan pikiran yang sulit terlukiskan oleh kata-kata. "Jihan." Dokter itu diam sesaat. Matanya menatap lekat Jihan. Jihan paham jika beban dokter Reno sangatlah besar. Percayalah, Jihan juga takut jika ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, jika tidak dioperasi
Jihan mengangkat kepalanya melihat siapa. "Dokter." Dokter Reno tersenyum lembut, menutupi rasa iba ketika melihat Jihan yang terpuruk seperti itu. Jihan menoleh sekilas, lalu kembali menatap gundukan tanah merah itu. Air matanya pun tumpah kembali. Dia tergugu ketika mengingat sosok ibunya. "Kamu harus kuat, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Dia sudah tak sakit lagi." Dokter Reno mencoba menguatkan. Memberi perasaan nyaman agar Jihan kembali tenang. "Ibu sudah sembuh kemarin, Dok. Ibu sudah sembuh!! Bahkan sebelum operasi masih bisa bercanda bersamaku. Tapi kenapa ibu sekarang pergi secepat ini?" "Iya, Ibumu sudah sembuh, Han. Jadi kamu harus senang, bukan bersedih seperti ini." Jihan menggeleng, "Percuma ibu sembuh jika dia ninggalin Jihan, dok," Tangis Jihan terdengar semakin pilu ketika mengingat pesan sang Ibu. Dia tak menyangka jika itu adalah pesan terakhirnya sebelum menemui ajalnya. Jika dia tau, pasti dia akan selalu menemani sang ibu tanpa beranjak sedikitpun