Jihan mengangkat kepalanya melihat siapa. "Dokter."
Dokter Reno tersenyum lembut, menutupi rasa iba ketika melihat Jihan yang terpuruk seperti itu. Jihan menoleh sekilas, lalu kembali menatap gundukan tanah merah itu. Air matanya pun tumpah kembali. Dia tergugu ketika mengingat sosok ibunya. "Kamu harus kuat, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Dia sudah tak sakit lagi." Dokter Reno mencoba menguatkan. Memberi perasaan nyaman agar Jihan kembali tenang. "Ibu sudah sembuh kemarin, Dok. Ibu sudah sembuh!! Bahkan sebelum operasi masih bisa bercanda bersamaku. Tapi kenapa ibu sekarang pergi secepat ini?" "Iya, Ibumu sudah sembuh, Han. Jadi kamu harus senang, bukan bersedih seperti ini." Jihan menggeleng, "Percuma ibu sembuh jika dia ninggalin Jihan, dok," Tangis Jihan terdengar semakin pilu ketika mengingat pesan sang Ibu. Dia tak menyangka jika itu adalah pesan terakhirnya sebelum menemui ajalnya. Jika dia tau, pasti dia akan selalu menemani sang ibu tanpa beranjak sedikitpun dari sisinya. "Kamu harus kuat. Kamu juga harus melanjutkan hidupmu yang terus berjalan. Kamu tidak bisa hanya diam meratapi kematian ibumu, Jihan," kata dokter Reno lagi. Dia tak tahan melihat Jihan yang sangat berantakan. Dia merasa kasihan karena tiada sanak saudara yang berada di pemakaman untuk berbagi kesedihan. Hanya air mata dan penyesalan yang Jihan lontarkan untuk menghilangkan kesepian. "Sudah, ayo kita pulang. Biar aku yang antar kamu pulang sekarang." Jihan menggeleng tegas, "Tidak. Jihan tidak mau. Jihan tidak mau ninggalin ibu sendiri di sini. Jihan tidak mau, dok!!" Jihan kembali menangis memikirkan sang ibu yang dalam gelap di sana. Dadanya ikut sesak merasakan sesak dan gelap yang di rasakan ibunya sekarang. "Hari sudah gelap, Jihan. Kamu nggak bisa sendiri di sini." "Jihan ingin menemani sang ibu agar tak sendirian, Dok. Jadi Jihan harap, dokter mau ninggalin Jihan sendirian di sini." Reno berdecak dalam diam. Ternyata membujuk Jihan sangat sulit di lakukan. Ia berharap pertolongan akan segera datang. "Jihan.." panggil seseorang. Keduanya refleks menoleh. "Yudha." Reno tersenyum melihat Yudha yang perlahan mendekat. Sedangkan Jihan menatap nanar pada Yudha yang berjalan menghampirinya. Kilatan rasa benci tergambar jelas pada wajahnya saat ini. Jihan segera beranjak berdiri dan menatap Yudha penuh amarah. "Kenapa kamu ke sini? Sudah puas kan kamu melihat ibuku sudah terbujur menjadi mayat? Ini kah yang kamu inginkan? Puas kamu, puas!!!" seru Jihan dengan nada tinggi dengan tatapan nyalang pada Yudha. Yudha diam. Lalu segera duduk di samping pusara dan sejenak memanjatkan doa untuk mendiang mertuanya, mengabaikan dengusan Jihan yang nampak tak suka atas kehadirannya saat ini. Setelah berdoa, Yudha segera bangkit dari duduknya dan menatap Jihan yang menatapnya penuh benci. "Mari kita pulang. Hari sudah gelap," ajak Yudha. Pria itu segera meraih tangan Jihan dan berniat menariknya ke dalam mobil. Tapi Jihan menepis tangan Yudha dan melipat tangannya ke dada. "Ngapain kamu ke sini? Kamu senang kan jika ibuku meninggal? Jadi kamu tidak perlu membiayai ibuku lagi." Jihan baru tau jika Yudha sudah melunasi semua biaya rumah sakit ibunya. "Jihan!!" tegur dokter Reno. Dia merasa tak enak pada Yudha karena dia lah yang menjadikan Jihan istri Yudha. "Tak seharusnya-" "Biar. Biarkan dia mengeluarkan unek-uneknya, Ren. Aku tidak apa-apa," potong Yudha. Dia memasukkan tangannya dan menatap Jihan yang masih menatapnya tak suka. Yudha ingin tau sejauh mana Jihan akan terus marah padanya. Jihan tersenyum hambar. Ia menarik nafas panjang dan mulai mengeluarkan apa yang bersarang di hatinya. Termasuk pernikahan mereka yang baru terlaksana. Jihan juga menyinggung Yudha yang hanya menikahinya dengan siri, dan itu sangat merugikannya sebagai pihak perempuan yang membutuhkan status yang jelas di mata masyarakat. "Jadi, kamu ingin menikah resmi denganku, Jihan?" tanya Yudha dengan seringai di wajahnya. "Iya. Aku wanita yang membutuhkan status yang jelas. Apalagi untuk status anakku kelak." "Apa kamu lupa jika anakmu kelak akan menjadi milikku dan istriku?" Deg Bahkan Jihan melupakan itu, perjanjian terkutuk yang membuat hidupnya kelak akan sengsara. Memikirkannya saja Jihan merinding, apalagi harus menjalaninya dengan penuh drama. Jihan dengan berani menatap mata Yudha. "Ibuku sudah meninggal, jadi kalau kamu mau membatalkan perjanjian ini, aku akan menerimanya." Yudha tergelak seketika. Lalu wajahnya berubah masam ketika menatap Jihan yang mengatakan itu tanpa rasa berdosa. "Reno, katakan pada wanita di depanku ini berapa total semua biaya yang aku keluarkan untuk mengurus ibunya sampai di pemakaman sekarang," tukas Yudha tanpa melihat Reno yang berada di belakangnya. Dia ingin melihat bagaimana reaksi wanita tak tau diri di hadapannya ini setelah mendengar jawaban dokter yang merawat ibunya selama ini. Reno mengangguk. "Jihan, total semua yang dikeluarkan Yudha untuk perawatan ibumu sampai di pemakaman adalah hampir ratusan juta rupiah." Jihan menganga mendengar ucapan dokter Reno. "Ratusan juta? Serius, dok?" Reno mengangguk pasti. "Apa kamu lupa jika ibumu di rawat di rumah sakit di kamar nomer satu dengan peralatan lengkap dan pelayanan nomor satu juga." Jihan lemas seketika mendengar penjelasan dokter Reno. Dia tak menyangka perawatan ibunya begitu mahalnya. Apakah dia akan akan sanggup membayar semua jika dia membatalkan pernikahannya dengan Yudha? Apalagi Yudha sudah mengancam akan menarik kembali uang yang sudah diberikan. "Kenapa kamu diam? Bagaimana? Apa kamu masih ingin membatalkan pernikahan kita? Aku tak masalah, asalkan kamu harus membayar hutang rumah sakit saat ini juga." Sontak Jihan langsung menatap Yudha. Yang benar saja jika dirinya harus membayar saat ini juga? Yang benar saja, pikir Jihan dalam hati. Yudha tersenyum tipis melihat wajah terkejut Jihan. Membuat dia semakin suka membuat Jihan tersiksa dengan pernikahan mereka. "Huwaaa!! Aku mau ikut ibu saja! Aku tidak ingin hidup lagi!" Jihan kembali meraung merasakan doble kesedihan yang melanda. Melihat Jihan yang kembali menangis, Yudha segera menarik Jihan ke dalam pelukannya. Memeluknya erat seolah memberi kenyamanan. Semakin kencang tangisan Jihan, sampai membuat basah kemeja Yudha di bagian dadanya. Yudha hanya diam. Jujur, ia sangat iba pada nasib Jihan yang penuh nestapa. Suaminya entah kemana, sekarang ibunya tiada. Di tambah lagi pernikahan mereka yang menikah secara agama. Wanita mana yang kuat menghadapi segala ujian berat yang menimpa. "Maaf. Maafkan aku yang tidak berada di sampingmu saat kamu butuh sandaran. Maafkan aku yang tidak berada di sampingmu saat kamu butuh kekuatan." Yudha semakin mengeratkan pelukannya. Bagaimanapun rasa bencinya pada Jihan, masih bisa dikalahkan dengan rasa sayang yang jauh lebih besar dibandingkan rasa bencinya pada Jihan. Yudha tidak mampu membenci cinta pertamanya yang sudah menjadi istri keduanya. Niat untuk balas dendam pun sirna sudah, berganti rasa sayang yang mulai tumbuh subur di hatinya. *** Sedangkan Maura sendiri memilih beristirahat di kamarnya setelah kepergian Yudha yang mendadak setelah mendapatkan telepon dari seseorang. Maura sempat merasa kasihan pada suaminya, yang baru saja sampai, harus kembali pergi. Tapi mau bagaimana lagi jika itu adalah tuntutan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Baru saja dia akan menutup matanya, suara bell berbunyi nyaring membuyarkan rasa kantuknya. Dengan malas dia berusaha bangkit dari tidurnya untuk melangkah ke depan. Bel berbunyi lagi, seolah sang tamu sudah tak sabar ingin segera di bukakan pintunya. "Iya, sebentar!!" seru Maura seraya melangkahkan kakinya. Seketika tubuh Maura menegang ketika melihat tamu spesial sore ini. Tamu yang sangat tak di harapkan kedatangannya untuk memperumit keadaannya yang tengah dirundung nestapa."Iya, sebentar!!" seru Maura seraya melangkahkan kakinya. Seketika tubuh Maura menegang ketika melihat tamu spesial sore ini. Tamu yang sangat tak di harapkan kedatangannya untuk memperumit keadaannya yang tengah dirundung nestapa. Meskipun sang tamu tampak tersenyum cerah menatapnya, namun Maura merasa jika wanita di hadapannya ini ingin menyampaikan sesuatu kepadanya. "Ibu.." Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menyapa Maura dengan tak kalah ramahnya sehingga membuatnya merinding. "Assalamualaikum, selamat malam, Maura." "Wa_waalaikumsalam, Ibu." jawab Maura terbata. Mayra tetap mematung, tangannya menggenggam erat pada handel pintu yang sedari tadi di pegangnya. Sehingga dia lupa mempersilahkan mertuanya itu masuk ke dalam rumahnya. Dia terlalu shock menerima kedatangan sang mertua yang tiba-tiba tanpa kabar sebelumnya. Padahal dulu sang mertua sangat jarang berkunjung ke rumahnya jika tak ada hal penting yang ingin di sampaikan
Kata-kata sang mertua masih terngiang di kepalanya. Seolah dengungan suara itu tak mau hilang dari pikirannya dan terus berputar di sana. Membuat hatinya semakin kalut dan tak karuan. Apalagi Yudha sampai sekarang belum juga menghubunginya lagi setelah kepergiannya tadi siang. Semakin merana karena tiada Yudha di sampingnya. Monika memilih pergi karena Maura sama sekali tidak memberi jawaban atas pertanyaannya. Maura juga memilih diam karena itu bukanlah masalah yang bisa dijawab dengan cepat. Butuh pemikiran matang dan benar-benar dengan hati yang ikhlas. Setelah kepergian mertuanya, Maura merebahkan tubuhnya di kasur. Mencoba mengistirahatkan tubuhnya dan pikirannya dari pengaruh buruk sang mertua. Namun bukannya hilang, kalimat itu semakin jelas di pikiran dan hatinya. Membuatnya susah melupakan segalanya. Apalagi perlakuan ibu mertuanya yang tiada perubahan terhadapnya. Masih sama dan masih menganggapnya sebagai menantu pembawa sial. Maura membayangkan
Erangan memilukan terdengar di telinga Yudha saat miliknya mencoba menerobos pertahanan Jihan. Sempit, bahkan Yudha kesusahan menerobosnya. "Sakit, Mas," rintih Jihan dibalik kungkungan Yudha. Bahkan, rasanya ia ingin berteriak jika ia tidak melihat keadaannya sekarang. "Sabar, Jihan. Sebentar lagi pasti sudah tidak sakit." Yudha berusaha membujuk wanita yang berada dibawah kendalinya itu. Meski ia sendiri bingung kenapa susah sekali. Antara kasihan dan juga nikmat. Yudha juga pernah merasakan sebelumnya bersama Maura yang kala itu masih perawan. Tapi perasaan tidak sesulit ini. Apakah Jihan kurang rangsangan sehingga ia meringis kesakitan? Yudha mencoba menekan lebih dalam, tapi sebuah cengkeraman dan tancapan kuku membuat ia kembali menarik miliknya pelan. Sakit dan perih ia rasakan. Apakah Jihan juga masih perawan? Sempat tersemat pertanyaan seperti itu di benaknya. Tapi cepat-cepat Yudha menepis pikirannya sendiri. Karena Ia tau jika Jihan berstatus jan
"Hah.."Jihan masih belum mengerti arah pembicaraan Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" tanya Jihan pada akhirnya. Yudha menunjuk dengan dagunya sebuah noda di atas sprei yang sengaja belum ia bersihkan. Jihan pun mengikuti kemana arah pandangan Yudha. Seketika matanya membulat sempurna saat melihat noda merah diatas sprei itu. Dengan cepat Jihan melangkah dan menarik sprei itu sampai terlepas dari ranjang. Kemudian ya membawanya ke dalam kamar mandi dan merendamnya di sana. Yudha hanya diam melihat apa yang dilakukan oleh Jihan. Ia semakin yakin jika Jihan tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Saat Jihan melangkah di depannya, dengan cepat Yudha mencekal tangannya dan menariknya untuk duduk di sofa. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. "Coba kamu katakan yang sejujurnya padaku, Jihan. Jangan sampai aku mencari tahunya sendiri," ancam Yudha dengan tatapan mengerikan. Bahkan, Jihan sempat merasa takut melihat wajah itu. "Maksud kamu apa, Mas?
Jihan menyambut paginya dengan senyuman lebar karena untuk pertama kalinya dia menjalankan tugasnya sebagai istri dari Yudha William. Ada beribu rasa yang membuncah dihatinya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia baru menyadari sesuatu jika Tuhan itu maha adil pada hambanya. Di saat Jihan terpuruk oleh kehilangan sang ibu, Tuhan menggantikan rasa kehilangan itu dengan kebahagiaan dengan kehadiran suami yang dikirimkan untuknya. Sungguh, jika dipikir dengan nalar, tentu itu sulit dicerna oleh otak manusia. Meski terdengar kejam, tapi dia juga tidak bisa lari dari takdir yang sudah tertulis. Jihan asyik berkutat di dapur, sampai tidak menyadari saat Yudha melangkah masuk ke dapur. "Kamu masak apa, Jihan?" Pertanyaan Yudha membuat Jihan terkejut. Sontak dia menoleh ke sumber suara. "Eh, mas Yudha. Bikin kaget saja," jawabnya. "Aku lagi masak nasi goreng untuk kita sarapan, Mas," sambungnya lagi seraya menggerakkan tangannya mengaduk nasi gore
"Pu_pulang??" tanya Jihan memastikan. Yudha mengangguk. "Iya. Siang ini aku pulang." Tiba-tiba hati Jihan merasa sedih atas kepergian Yudha pulang ke rumah istri pertamanya. Bukan ingin bersaing dan bersikap serakah, tapi apa salahnya jika dia juga ingin Yudha menemaninya lebih lama. Apalagi ia baru saja menikmati perannya sebagai istri Yudha, tapi kenapa hanya sebentar saja. Sejujurnya dia tak rela, namun dia akan berusaha memenuhi janji yang sudah di ikrarkan dalam hatinya untuk tak menjadi benalu pada hubungan orang lain. Lebih baik dia yang mengalah dari pada wanita lain yang tersakiti atas kehadirannya. Karena dia sangat menyadari jika dialah orang ketiga dalam hubungan suaminya. "Kenapa bersedih?" tanya Yudha seraya mendekat ke arah Jihan. Bahkan tangan kekar itu membelai lembut pipi Jihan. "Apakah aku pantas bersedih, Mas? Sedangkan aku hanya menjadi yang kedua untukmu," jawabnya dengan suara serak menahan sebah di dadan
Setelah memarkirkan mobilnya, Yudha melangkahkan kakinya dengan ringan. Hatinya sangat riang karena akan bertemu dengan sang pujaan. "Sayang, aku pulang!!!" seru Yudha ketika sampai di dalam rumah dan mengunci pintu rumahnya kembali. "Sayang!!! Aku pulang!!" ulang Yudha sekali lagi karena tidak mendapatkan sahutan dari Maura. Tapi ia berpikir positif, mungkin Maura sedang di kamar mandi sehingga istrinya tidak mendengarkan panggilannya. Sebelum menuju ke kamar, Yudha menyempatkan untuk belok ke dapur untuk membasahi tenggorokan yang kering kerontang. Karena selama perjalanan, Yudha sama sekali tak menghentikan mobilnya. Sebab, di pikirannya hanya ingin cepat sampai di rumah dan bertemu Maura. Rasa rindunya sudah memenuhi hatinya untuk segera tersalurkan. Setelah dahaganya hilang, dia segera melangkah ke kamarnya yang berada di lantai atas. Yudha berpikir jika Maura berada di kamar mereka sekarang. Sehingga dia mempercepat langkahnya untuk bisa
Deg.. Jantung Yudha seolah berhenti berdetak mendengar pertanyaan dari Maura. Seketika ia menjadi gugup saat pandangan Maura menelisik wajahnya yang terlihat salah tingkah itu. Yudha tak ingin Maura mengetahui kebenarannya sekarang, karena dia butuh waktu untuk mengatakan semuanya pada Maura tentang pernikahan keduanya. Yudha berusaha menampilkan senyumnya senatural mungkin untuk menutupi gugup dalam hatinya. "Kamu kenapa bertanya seperti itu, Sayang? Habis nonton sinetron ya?" tanya Yudha seraya membelai pipi Maura dengan lembut. Lalu mengecup kening dan pipinya. Mengalihkan pandangan Maura yang menatapnya penuh rasa curiga. Maura menggelengkan kepalanya. "Aku hanya takut jika kamu menikah lagi dan ninggalin aku, Mas. Dan aku belum siap kehilangan kamu saat ini. Untuk permintaanku dulu, jangan dianggap serius. Karena itu hanya pengaruh emosi sesaat. Yang sebenarnya aku menyesal mengatakan itu," ucapnya lirih. Maura menunduk. " Ada atau tidaknya anak, peras