Erangan memilukan terdengar di telinga Yudha saat miliknya mencoba menerobos pertahanan Jihan. Sempit, bahkan Yudha kesusahan menerobosnya. "Sakit, Mas," rintih Jihan dibalik kungkungan Yudha. Bahkan, rasanya ia ingin berteriak jika ia tidak melihat keadaannya sekarang. "Sabar, Jihan. Sebentar lagi pasti sudah tidak sakit." Yudha berusaha membujuk wanita yang berada dibawah kendalinya itu. Meski ia sendiri bingung kenapa susah sekali. Antara kasihan dan juga nikmat. Yudha juga pernah merasakan sebelumnya bersama Maura yang kala itu masih perawan. Tapi perasaan tidak sesulit ini. Apakah Jihan kurang rangsangan sehingga ia meringis kesakitan? Yudha mencoba menekan lebih dalam, tapi sebuah cengkeraman dan tancapan kuku membuat ia kembali menarik miliknya pelan. Sakit dan perih ia rasakan. Apakah Jihan juga masih perawan? Sempat tersemat pertanyaan seperti itu di benaknya. Tapi cepat-cepat Yudha menepis pikirannya sendiri. Karena Ia tau jika Jihan berstatus jan
"Hah.."Jihan masih belum mengerti arah pembicaraan Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" tanya Jihan pada akhirnya. Yudha menunjuk dengan dagunya sebuah noda di atas sprei yang sengaja belum ia bersihkan. Jihan pun mengikuti kemana arah pandangan Yudha. Seketika matanya membulat sempurna saat melihat noda merah diatas sprei itu. Dengan cepat Jihan melangkah dan menarik sprei itu sampai terlepas dari ranjang. Kemudian ya membawanya ke dalam kamar mandi dan merendamnya di sana. Yudha hanya diam melihat apa yang dilakukan oleh Jihan. Ia semakin yakin jika Jihan tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Saat Jihan melangkah di depannya, dengan cepat Yudha mencekal tangannya dan menariknya untuk duduk di sofa. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. "Coba kamu katakan yang sejujurnya padaku, Jihan. Jangan sampai aku mencari tahunya sendiri," ancam Yudha dengan tatapan mengerikan. Bahkan, Jihan sempat merasa takut melihat wajah itu. "Maksud kamu apa, Mas?
Jihan menyambut paginya dengan senyuman lebar karena untuk pertama kalinya dia menjalankan tugasnya sebagai istri dari Yudha William. Ada beribu rasa yang membuncah dihatinya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia baru menyadari sesuatu jika Tuhan itu maha adil pada hambanya. Di saat Jihan terpuruk oleh kehilangan sang ibu, Tuhan menggantikan rasa kehilangan itu dengan kebahagiaan dengan kehadiran suami yang dikirimkan untuknya. Sungguh, jika dipikir dengan nalar, tentu itu sulit dicerna oleh otak manusia. Meski terdengar kejam, tapi dia juga tidak bisa lari dari takdir yang sudah tertulis. Jihan asyik berkutat di dapur, sampai tidak menyadari saat Yudha melangkah masuk ke dapur. "Kamu masak apa, Jihan?" Pertanyaan Yudha membuat Jihan terkejut. Sontak dia menoleh ke sumber suara. "Eh, mas Yudha. Bikin kaget saja," jawabnya. "Aku lagi masak nasi goreng untuk kita sarapan, Mas," sambungnya lagi seraya menggerakkan tangannya mengaduk nasi gore
"Pu_pulang??" tanya Jihan memastikan. Yudha mengangguk. "Iya. Siang ini aku pulang." Tiba-tiba hati Jihan merasa sedih atas kepergian Yudha pulang ke rumah istri pertamanya. Bukan ingin bersaing dan bersikap serakah, tapi apa salahnya jika dia juga ingin Yudha menemaninya lebih lama. Apalagi ia baru saja menikmati perannya sebagai istri Yudha, tapi kenapa hanya sebentar saja. Sejujurnya dia tak rela, namun dia akan berusaha memenuhi janji yang sudah di ikrarkan dalam hatinya untuk tak menjadi benalu pada hubungan orang lain. Lebih baik dia yang mengalah dari pada wanita lain yang tersakiti atas kehadirannya. Karena dia sangat menyadari jika dialah orang ketiga dalam hubungan suaminya. "Kenapa bersedih?" tanya Yudha seraya mendekat ke arah Jihan. Bahkan tangan kekar itu membelai lembut pipi Jihan. "Apakah aku pantas bersedih, Mas? Sedangkan aku hanya menjadi yang kedua untukmu," jawabnya dengan suara serak menahan sebah di dadan
Setelah memarkirkan mobilnya, Yudha melangkahkan kakinya dengan ringan. Hatinya sangat riang karena akan bertemu dengan sang pujaan. "Sayang, aku pulang!!!" seru Yudha ketika sampai di dalam rumah dan mengunci pintu rumahnya kembali. "Sayang!!! Aku pulang!!" ulang Yudha sekali lagi karena tidak mendapatkan sahutan dari Maura. Tapi ia berpikir positif, mungkin Maura sedang di kamar mandi sehingga istrinya tidak mendengarkan panggilannya. Sebelum menuju ke kamar, Yudha menyempatkan untuk belok ke dapur untuk membasahi tenggorokan yang kering kerontang. Karena selama perjalanan, Yudha sama sekali tak menghentikan mobilnya. Sebab, di pikirannya hanya ingin cepat sampai di rumah dan bertemu Maura. Rasa rindunya sudah memenuhi hatinya untuk segera tersalurkan. Setelah dahaganya hilang, dia segera melangkah ke kamarnya yang berada di lantai atas. Yudha berpikir jika Maura berada di kamar mereka sekarang. Sehingga dia mempercepat langkahnya untuk bisa
Deg.. Jantung Yudha seolah berhenti berdetak mendengar pertanyaan dari Maura. Seketika ia menjadi gugup saat pandangan Maura menelisik wajahnya yang terlihat salah tingkah itu. Yudha tak ingin Maura mengetahui kebenarannya sekarang, karena dia butuh waktu untuk mengatakan semuanya pada Maura tentang pernikahan keduanya. Yudha berusaha menampilkan senyumnya senatural mungkin untuk menutupi gugup dalam hatinya. "Kamu kenapa bertanya seperti itu, Sayang? Habis nonton sinetron ya?" tanya Yudha seraya membelai pipi Maura dengan lembut. Lalu mengecup kening dan pipinya. Mengalihkan pandangan Maura yang menatapnya penuh rasa curiga. Maura menggelengkan kepalanya. "Aku hanya takut jika kamu menikah lagi dan ninggalin aku, Mas. Dan aku belum siap kehilangan kamu saat ini. Untuk permintaanku dulu, jangan dianggap serius. Karena itu hanya pengaruh emosi sesaat. Yang sebenarnya aku menyesal mengatakan itu," ucapnya lirih. Maura menunduk. " Ada atau tidaknya anak, peras
Suara bel terdengar kembali tak lama kemudian setelah ia menutup pintu untuk Yudha yang berangkat bekerja. Sekarang, entah tamu siapa lagi yang datang di pagi seperti ini. Maura meletakkan piring kotor di wastafel terlebih dahulu. Kemudian baru bergegas melangkah ke arah pintu untuk membuka pintu. Senyum yang di ulas untuk menyambut sang tamu luntur seketika ketika pintu terbuka. Hatinya kembali gundah melihat tamunya yang bertandang di pagi ini. "Selamat pagi, Maura," ucap sang mertua yang nampak manis itu. Namun di balik sikapnya yang manis, wanita itu mengandung racun yang mematikan. Dia sadar jika mertuanya saat ini mempunyai tujuan tertentu. Namun Maura belum tau pasti itu apa. "Selamat pagi juga, Bu." Maura berusaha ramah pada ibu mertuanya. Kemudian meraih tangan Monika dan mengecup punggung tangannya. "Mari. Silahkan masuk, Bu." Maura kemudian membuka pintunya dengan lebar. Agar sang mertua bisa leluasa masuk ke dalam rumahnya. Ia baru tersadar ji
Kepulangan ibu mertuanya dan juga Sinta sedikit banyak membuatnya lega. Seolah dada yang sempat terhimpit batu besar, telah hilang tanpa jejak. Jujur, Maura terganggu jika terus menerus diteror oleh ibu mertuanya. Dia ingin berdamai tanpa saling menyakiti seperti ini, tetapi itu terlalu sulit ia gapai karena sifat ibu mertuanya yang tak kunjung melunak. Maura duduk termenung di sofa. Memikirkan nasibnya ke depan. Jika terus menerus seperti ini, jalan apakah yang harus dia tempuh untuk mempertahankan rumah tangganya dengan Yudha tanpa kehilangan pria itu. Jika di telisik lebih dalam lagi, sesungguhnya tiada kesalahan yang terucap dari bibir mertuanya itu jika di lihat dari sudut pandang ketika menjadi orang tua. Tapi jika dilihat dari sudut pandangnya, tentu mertuanya juga salah karena menghakiminya seperti itu tanpa mencari tau akar permasalahannya. Yang hanya Maura inginkan adalah dikuatkan dan disayang oleh mertuanya seperti yang lainnya. Terlebih ad