Kepulangan ibu mertuanya dan juga Sinta sedikit banyak membuatnya lega. Seolah dada yang sempat terhimpit batu besar, telah hilang tanpa jejak. Jujur, Maura terganggu jika terus menerus diteror oleh ibu mertuanya. Dia ingin berdamai tanpa saling menyakiti seperti ini, tetapi itu terlalu sulit ia gapai karena sifat ibu mertuanya yang tak kunjung melunak. Maura duduk termenung di sofa. Memikirkan nasibnya ke depan. Jika terus menerus seperti ini, jalan apakah yang harus dia tempuh untuk mempertahankan rumah tangganya dengan Yudha tanpa kehilangan pria itu. Jika di telisik lebih dalam lagi, sesungguhnya tiada kesalahan yang terucap dari bibir mertuanya itu jika di lihat dari sudut pandang ketika menjadi orang tua. Tapi jika dilihat dari sudut pandangnya, tentu mertuanya juga salah karena menghakiminya seperti itu tanpa mencari tau akar permasalahannya. Yang hanya Maura inginkan adalah dikuatkan dan disayang oleh mertuanya seperti yang lainnya. Terlebih ad
Mata Monika mendelik melihat Maura yang memasuki ruangan Yudha tanpa permisi dengan menenteng rantang di tangannya. Melihat itu, mulut Monika hampir saja terbuka untuk mengeluarkan makiannya pada menantunya itu jika saja Yudha tidak memberikan ancaman melalui tatapan matanya yang mematikan pada Monika. Wanita itu mendengus kesal karena sang anak lebih memilih istrinya ketimbang dirinya, yang berperan melahirkannya ke dunia. Yudha bangkit dari duduknya dan memasang sebuah senyuman manis untuk menyambut tamu spesialnya tersebut. "Sayang," kata Yudha yang bersiap memeluk Maura. Membuat Monika memutar matanya ingin muntah melihat perlakuan manis yang dilakukan Yudha pada Maura. Yudha berjalan mendekati Maura dengan tangan terbuka untuk menyambut Maura dengan sebuah pelukan hangat. Mengabaikan ibunya maupun Sinta yang sedang menatapnya dengan tajam. Baginya, mereka hanya patung hidup yang tak di anggapnya dan tak berguna sama sekali. Yang hanya bisa m
Yudha terkekeh saat mendapatkan penolakan dari Maura. Meski rasanya itu masih ada, tapi untuk kali ini dia mengalah karena dia tau jika Maura tidak akan nyaman jika dilakukan di ruangannya. Cup... Dikecupnya pipi Maura, meluapkan rasa rindu yang membuncah di dadanya. Entah ini memang tulus, atau hanya ingin menutupi kedok perselingkuhannya agar Maura tidak mengetahuinya. Maura tersenyum manis. Tangannya membelai pipi Yudha dengan lembut. "Apakah kamu mencintaiku, Mas?" tanya Maura dengan lirih. Entah, seolah ada yang mengganjal di hatinya. "Pertanyaan macam apa itu, Maura? Apakah kamu meragukan cintaku?" Maura diam tidak menjawab. Mau percaya, Maura memang percaya. Tapi, ia tidak yakin akan kepercayaan itu sendiri. "Tapi aku merasa kamu aneh, Mas beberapa minggu terakhir ini." Degh.. Yudha berubah pias. Tapi detik berikutnya ia berusaha bersikap biasa saja. "Aneh bagaimana maksud kamu, Maura?" Yudha tersenyum menutupi rasa gugup. Maura membe
Sempat terkejut mendengar penuturan Jihan tentang pernikahannya dan juga kematian ibunya yang hampir bersamaan itu. Dalam hati Dea mengakui kehebatan Jihan dan kesabarannya mendapat ujian yang bertubi seperti itu. Jika Dea berada di posisi Jihan, entah apa yang akan dia lakukan. Mungkin ia akan mengikuti ibunya ke liang lahat sekalian. Namun kini dia patut bernafas lega karena Jihan mulai bahagia dengan suaminya. Meski pikiran negatifnya masih saja menghantui pikirannya saat ini ketika mengetahui Jihan menjadi istri kedua. "Lalu, bagaimana jika istri pertama suamimu jika mengetahui keberadaanmu, Han?" tanya Dea seraya mengaduk jus jeruk yang berada di tangannya. Dea sengaja mengajak Jihan pergi ke warung langganannya saat mereka pulang bekerja. Dea ingin mengorek informasi lebih dalam tentang kehidupan rumah tangga yang dijalani sahabatnya tersebut. "Entahlah, Dea. Sejauh ini aku belum memikirkan sampai sejauh itu," jawab Jihan seraya mengedikkan bahunya. Terle
Dea makin tergelak melihat wajah Jihan yang seperti di kejar oleh dept colector. "Di angkat kenapa sih, Han? Suamimu itu, kenapa malah panik begitu?" Dea masih saja tertawa. Jihan mengerucutkan bibirnya. "Kamu sih resek. Pasti Yudha marahin aku karena ketahuan keluar malam. Awas kamu ya, Dea. Pasti aku balas kamu nanti." Jihan mengepalkan tangannya di depan wajah Dea seraya menahan kesal. Bisa-bisanya Dea mengirimkan sebuah poto pada Yudha. Pasti pria itu akan berpikir aneh-aneh tentangnya, pikirnya dalam hati. Matanya masih menatap layar yang masih menyala itu. Nama Yudha terpampang jelas di sana. Membuat perasaan ragu dan takut berbaur menjadi satu. Sampai akhirnya layar itu mati dengan sendirinya. Jihan bernafas lega karena panggilan dari Yudha sudah berhenti. Ia berniat untuk melangkah pulang sebelum Yudha marah besar. Ia menarik lengan Dea hendak beranjak pergi. Tapi terdengar nada dering ponsel membuat Dea mengurungkan niatnya dan melepaskan tangan J
Yudha memandangi bayangan dirinya di depan cermin, tangannya pun dengan cekatan memasangkan setiap kancing di setiap lubang di kemejanya. Dia tersenyum lembut menatap bayangan Maura yang melangkah mendekat ke arahnya dengan pakaian laknat yang selalu menggoda imannya. Tak lupa senyum manis yang selalu menghiasi bibir merah muda istrinya. "Mau pergi sekarang, Mas?!" tanya Maura seraya melingkarkan tangannya di perut Yudha dan merabanya dengan gerakan menggoda. Ada sedikit rasa tak rela ketika pagi ini Yudha harus pamit untuk ke luar kota. Karena dia akan merasakan kesepian yang luar biasa lagi untuk kesekian kalinya. Apalagi jika kedatangan ibu mertuanya yang berusaha merusak moodnya untuk memicu pertengkaran dengan Yudha. Yudha tersenyum. Kemudian memutar tubuhnya agar bisa melihat langsung wajah Maura yang bersedih seperti biasanya jika Yudha akan pergi ke luar kota. Ada rasa tak tega, namun dia juga harus menjalankan kewajibannya sebagai suami yang adil bagi ke
Keesokan harinya, Jihan menjadi bahan bulan-bulanan Dea karena ketampanan suaminya. Tak pelak, semuanya teman-temannya di toko pun nampak terkejut dan tidak menyangka jika Jihan sudah menikah beberapa minggu yang lalu. Karena yang mereka tau, Jihan tidak pernah dekat dengan pria manapun selama mereka bekerja bersama. Apalagi Dea yang dengan hebohnya memamerkan suami Jihan yang gantengnya bak artis cina yang tengah digandrungi kawulah emak-emak se-Indonesia. Tentu saja mereke berteriak penasaran dengan sosok suami Jihan yang bernama Yudha tersebut. "Han, apa benar yang di katakan sama Dea tentang suamimu? Aku jadi penasaran bagaimana wajah suami kamu, Han." "Han, kenalin donk sama suami kamu. Siapa tau aku bakal belok dari pacarku lalu daftar jadi pelakor untuk merebut suamimu." Sontak Jihan melotot mendengar penuturan sableng temannya tersebut. Dia tak habis pikir dengan pikiran aneh anak gadis jaman sekarang yang suka dengan peran pelakor. Jihan pun s
Tubuhnya bergetar, dia hampir pingsan karena merasa dekapan seorang pria yang memeluk tubuhnya dari belakang. Dia ketakutan jika itu bukanlah manusia melainkan makhluk jadi-jadian yang mengincar dirinya. Apalagi nafasnya yang hangat menerpa tengkuk lehernya yang membuat Jihan semakin ketakutan. "Si_siapa kamu? Tolong jangan ganggu saya. Tolong lepaskan saya," ucapnya seraya tercekat ketakutan. Tak terasa air mata pun menggenang di pelupuk matanya yang terpejam. Jika bisa dia ingin pingsan saja agar tak melihat rupa mahkluk itu yang pasti menyeramkan. Jihan memang cerewet dan sedikit ugal, namun untuk masalah setan, dia sungguh penakut. Dia tak sekuat seperti yang terlihat. Bahkan dia bisa menangis kejer jika terkejut atau di prank dengan memakai pakaian kebanggaan kaum setan. Marah, tentu saja dia marah dengan kelakuan Dea dan yang lainnya karena sangat keterlaluan mengerjai dirinya dulu. Dan sejak saat itu Dea tidak berani lagi menjahili Jihan dengan memakai atribut apapun i
Jihan memutar tubuhnya. Matanya melebar sempurna ketika melihat Yudha yang sedang bersandar di dinding di samping pintu kamar mandi dengan melipat tangannya di dadanya. Matanya menatap mesum, seolah menguliti tubuh Jihan tanpa sisa. Pria itu mendekati Jihan dengan senyum devil di bibirnya. "Apa kamu mau menggodaku, Sayang?" tanya Yudha berulang. Jihan menggeleng cepat. "Bukan, bukan seperti itu, Mas," ucap Jihan gugup. Perlahan ia melangkah mundur karena Yudha terus maju seperti ingin menjamahnya. Jihan juga merasa ngeri melihat tatapan Yudha yang seolah dengan mudah bisa melumpuhkan pertahanannya. "Bukan seperti itu, Mas." Jihan meracau sembari mencengkram erat handuk agar tak terlepas dari tubuhnya. "Lalu, apa? Kamu sengaja membuat singa ini lapar kembali, begitu?" Lagi-Jihan hanya menggeleng seraya terus melangkah mundur untuk mengindari Yudha. Kakinya saja masih terasa bergetar, tidak mungkin kan Yudha akan melampiaskan hasratnya lagi. Tap
Keduanya terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Yudha kembali berucap. "Ini tidak adil bagi kita semua, kamu maupun Maura. Karena kita akan sama-sama patah dalam porsi yang berbeda." Jihan yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya untuk menatap Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" "Kamu tidak akan mengerti kenapa aku memilih menikah denganmu dan membuatmu mengandung. Ini semua demi Maura. Aku tidak ingin kehilangan Maura karena tuntutan orang tuaku yang menginginkan seorang cucu. Kamu tau apa yang di katakan oleh ibuku pada Maura?" Yudha menjeda kalimatnya. Terlihat matanya memerah menahan gejolak di dada. "Ibuku ingin aku berpisah dengan Maura yang diklaim mandul dan menyuruhku untuk menikah lagi dengan perempuan pilihannya. Aku menolaknya. Karena aku lebih memilih menikah dengan pilihanku sendiri dari pada harus melihat Maura yang harus tersisih dari perlakuan ibuku. Aku tidak tega, Jihan. Aku sakit saat melihatnya menangis. Meski aku juga tak menampik akan melihat air matan
"Apakah kamu ingin segera berpisah denganku jika tujuanmu sudah tercapai, Mas?" Jihan tersenyum miris. Ia seolah lupa akan tujuan utama Yudha menikahinya. Bukan lagi karena cinta, melainkan menginginkan keturunan darinya agar rumah tangganya bersama Maura tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dan apa yang akan ia dapatkan kelak, hanya kehilangan yang akan ia rasakan. Kehilangan dalam penyesalan. Ia akan kehilangan cintanya dan buah hatinya. Apakah ia sanggup menerima takdirnya? Seketika air mata itu menetes dari pelupuk matanya. Jihan mata mengembun, ia menatap punggung lebar itu yang telah hilang di balik pintu kamar mandi. "Aku harus kuat. Aku tidak ingin terlihat lemah lagi. Sudah cukup kamu menangis, Jihan. Sekarang waktunya untuk bangkit menjalani hidup. Jihan pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah memakai kembali pakaiannya. Jihan berniat untuk membuat sarapan. Tapi ketika sampai di dapur, dia berhenti sejenak dan memilih duduk di meja ma
Jihan tersenyum manis menatap Yudha yang masih terlelap itu. Semalaman Yudha terus menggauli dirinya tanpa ampun dan menumpahkan hasrat yang telah dia pendam beberapa hari karena tak bertemu. Yudha juga memperlakukan dia dengan baik layaknya istrinya yang sukses membuatnya melayang. Sungguh membuat hati Jihan berbunga ketika Yudha mengecup keningnya setelah pelepasan terakhirnya. Meskipun mereka bermandikan peluh, namun tiada mengurangi keromantisan keduanya. Dan sekarang dia patut bahagia menyambut indahnya pagi dengan menatap suaminya yang masih memeluk dirinya dengan erat. Mungkin kebahagiaan yang ia rasakan akan bertambah sempurna jika ia bukanlah yang kedua. Tapi mau bagaimana lagi jika takdir cintanya harus seperti ini. Mau berusaha melawan pun ia tidak akan mempu merubah takdirnya yang sudah tertulis di lauhul mahfud. Jari lentik Jihan menyusuri setiap inci wajah Yudha dengan teliti. Sejengkal demi sejengkal menyusuri dengan jari yang bergerak nakal. Menikmat
Tubuhnya bergetar, dia hampir pingsan karena merasa dekapan seorang pria yang memeluk tubuhnya dari belakang. Dia ketakutan jika itu bukanlah manusia melainkan makhluk jadi-jadian yang mengincar dirinya. Apalagi nafasnya yang hangat menerpa tengkuk lehernya yang membuat Jihan semakin ketakutan. "Si_siapa kamu? Tolong jangan ganggu saya. Tolong lepaskan saya," ucapnya seraya tercekat ketakutan. Tak terasa air mata pun menggenang di pelupuk matanya yang terpejam. Jika bisa dia ingin pingsan saja agar tak melihat rupa mahkluk itu yang pasti menyeramkan. Jihan memang cerewet dan sedikit ugal, namun untuk masalah setan, dia sungguh penakut. Dia tak sekuat seperti yang terlihat. Bahkan dia bisa menangis kejer jika terkejut atau di prank dengan memakai pakaian kebanggaan kaum setan. Marah, tentu saja dia marah dengan kelakuan Dea dan yang lainnya karena sangat keterlaluan mengerjai dirinya dulu. Dan sejak saat itu Dea tidak berani lagi menjahili Jihan dengan memakai atribut apapun i
Keesokan harinya, Jihan menjadi bahan bulan-bulanan Dea karena ketampanan suaminya. Tak pelak, semuanya teman-temannya di toko pun nampak terkejut dan tidak menyangka jika Jihan sudah menikah beberapa minggu yang lalu. Karena yang mereka tau, Jihan tidak pernah dekat dengan pria manapun selama mereka bekerja bersama. Apalagi Dea yang dengan hebohnya memamerkan suami Jihan yang gantengnya bak artis cina yang tengah digandrungi kawulah emak-emak se-Indonesia. Tentu saja mereke berteriak penasaran dengan sosok suami Jihan yang bernama Yudha tersebut. "Han, apa benar yang di katakan sama Dea tentang suamimu? Aku jadi penasaran bagaimana wajah suami kamu, Han." "Han, kenalin donk sama suami kamu. Siapa tau aku bakal belok dari pacarku lalu daftar jadi pelakor untuk merebut suamimu." Sontak Jihan melotot mendengar penuturan sableng temannya tersebut. Dia tak habis pikir dengan pikiran aneh anak gadis jaman sekarang yang suka dengan peran pelakor. Jihan pun s
Yudha memandangi bayangan dirinya di depan cermin, tangannya pun dengan cekatan memasangkan setiap kancing di setiap lubang di kemejanya. Dia tersenyum lembut menatap bayangan Maura yang melangkah mendekat ke arahnya dengan pakaian laknat yang selalu menggoda imannya. Tak lupa senyum manis yang selalu menghiasi bibir merah muda istrinya. "Mau pergi sekarang, Mas?!" tanya Maura seraya melingkarkan tangannya di perut Yudha dan merabanya dengan gerakan menggoda. Ada sedikit rasa tak rela ketika pagi ini Yudha harus pamit untuk ke luar kota. Karena dia akan merasakan kesepian yang luar biasa lagi untuk kesekian kalinya. Apalagi jika kedatangan ibu mertuanya yang berusaha merusak moodnya untuk memicu pertengkaran dengan Yudha. Yudha tersenyum. Kemudian memutar tubuhnya agar bisa melihat langsung wajah Maura yang bersedih seperti biasanya jika Yudha akan pergi ke luar kota. Ada rasa tak tega, namun dia juga harus menjalankan kewajibannya sebagai suami yang adil bagi ke
Dea makin tergelak melihat wajah Jihan yang seperti di kejar oleh dept colector. "Di angkat kenapa sih, Han? Suamimu itu, kenapa malah panik begitu?" Dea masih saja tertawa. Jihan mengerucutkan bibirnya. "Kamu sih resek. Pasti Yudha marahin aku karena ketahuan keluar malam. Awas kamu ya, Dea. Pasti aku balas kamu nanti." Jihan mengepalkan tangannya di depan wajah Dea seraya menahan kesal. Bisa-bisanya Dea mengirimkan sebuah poto pada Yudha. Pasti pria itu akan berpikir aneh-aneh tentangnya, pikirnya dalam hati. Matanya masih menatap layar yang masih menyala itu. Nama Yudha terpampang jelas di sana. Membuat perasaan ragu dan takut berbaur menjadi satu. Sampai akhirnya layar itu mati dengan sendirinya. Jihan bernafas lega karena panggilan dari Yudha sudah berhenti. Ia berniat untuk melangkah pulang sebelum Yudha marah besar. Ia menarik lengan Dea hendak beranjak pergi. Tapi terdengar nada dering ponsel membuat Dea mengurungkan niatnya dan melepaskan tangan J
Sempat terkejut mendengar penuturan Jihan tentang pernikahannya dan juga kematian ibunya yang hampir bersamaan itu. Dalam hati Dea mengakui kehebatan Jihan dan kesabarannya mendapat ujian yang bertubi seperti itu. Jika Dea berada di posisi Jihan, entah apa yang akan dia lakukan. Mungkin ia akan mengikuti ibunya ke liang lahat sekalian. Namun kini dia patut bernafas lega karena Jihan mulai bahagia dengan suaminya. Meski pikiran negatifnya masih saja menghantui pikirannya saat ini ketika mengetahui Jihan menjadi istri kedua. "Lalu, bagaimana jika istri pertama suamimu jika mengetahui keberadaanmu, Han?" tanya Dea seraya mengaduk jus jeruk yang berada di tangannya. Dea sengaja mengajak Jihan pergi ke warung langganannya saat mereka pulang bekerja. Dea ingin mengorek informasi lebih dalam tentang kehidupan rumah tangga yang dijalani sahabatnya tersebut. "Entahlah, Dea. Sejauh ini aku belum memikirkan sampai sejauh itu," jawab Jihan seraya mengedikkan bahunya. Terle