Semua perkataan dokter Reno tidak ia percayai begitu saja. Jihan menganggapnya hanya angin belaka. Kenapa juga sang dokter harus mengatakan hal terburuk yang akan terjadi pada sang ibu. Seharusnya dia tidak mendahului takdir yang belum tentu terjadi.
Masih ada Tuhannya yang akan mengabulkan doanya. Memberikan hadiah terbaik untuk ibunya yang telah berjuang melawan penyakitnya yang sudah dideritanya sejak lama. "Jihan." "Iya." Jihan mengangkat wajahnya dan menatap dokter itu. "Kamu mendengar apa yang saya katakan, kan?" "Iya, dok. Jihan mendengar semuanya dengan jelas," jawab Jihan seraya tersenyum tipis. Ia bahkan mendengarkan dengan jelas setiap kalimat yang terlontar dari bibir dokter itu dengan pikiran yang sulit terlukiskan oleh kata-kata. "Jihan." Dokter itu diam sesaat. Matanya menatap lekat Jihan. Jihan paham jika beban dokter Reno sangatlah besar. Percayalah, Jihan juga takut jika ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, jika tidak dioperasi, ibunya akan terus merasakan kesakitan akibat penyakitnya itu. Dan Jihan tidak tega harus melihat ibunya kesakitan terus menerus. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk ibumu. Tapi dengan berat hati saya harus sampaikan hal ini," sambungnya lagi dengan suara pelan. Jihan mendongak dan membalas tatapan dokter Reno. "Iya, Dok. Jihan mengerti." "Ok kalau begitu," dokter Fahri melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Saya akan memulai operasinya 5 menit lagi. Doakan semoga operasinya berjalan lancar dan ibumu kembali sehat seperti semula. Tentu kita tahu bahwa tidak akan ada yang bisa mengalahkan kedahsyatan sebuah doa yang sungguh-sungguh. Apalagi doa anak sholehah sepertimu." tukas Dokter Reno sambil tersenyum. Tangannya pun mengusap puncak kepala Jihan seperti adiknya sendiri. "Iya, Dok," jawab Jihan dengan suara bergetar. Haru dan sedih menjadi satu. Apalagi dia hanya sendirian disini. Yudha yang seharusnya menemaninya saat ini malah pergi ke luar kota. Jihan tahu siapa yang bisa mendengarkan keluh kesahnya saat ini. Siapa yang akan menjadi tempat bercurah dan memohon keajaiban untuk ibunya. Jihan tidak ingin menunggu dengan sia-sia. Jihan ingin mengeluarkan semua kesedihannya pada Tuhannya. Jihan berdoa di mushola rumah sakit selama menunggu proses operasi ibunya. Dia juga melafalkan Alquran untuk menghilangkan kegundahan hatinya. Jihan bersujud meminta bantuan pada Tuhannya. Kali ini dalam sholatnya ia tidak meminta apapun, tapi meminta keajaiban untuk ibunya. Dan hanya penciptanyalah yang bisa menolongnya saat ini. Sampai sore tiba, Jihan masih berada di sana. Dan apapun hasilnya Jihan akan menerimanya. Karena ia yakin jika itu adalah takdir yang telah digariskan dan mungkin itulah yang terbaik untuk semuanya. Ia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya pada sang penciptanya. Karena sang penciptanya tahu apa yang dibutuhkannya, bukan yang diinginkannya. Setelah puas menumpahkan segala keluhnya, Kinan memutuskan untuk kembali ke ruang operasi ibunya. Ia ingin segera mengetahui hasil operasi ibunya. Dan semoga semuanya baik-baik saja. Semakin Jihan melangkah, semakin jantungnya berdetak lebih kencang. Apalagi melihat beberapa suster yang terlihat sedang sibuk. Sampai mata Jihan melihat dokter Reno yang berdiri menatapnya dengan tatapan sendu. Jihan berusaha membuang pikiran buruk tentang ibunya. Ia percaya jika ibunya akan baik-baik saja dan bisa kembali sembuh seperti sedia kala. Dokter Reno berdiri menatapnya, kemudian mendekat saat Jihan telah berhenti di depannya. "Jihan, maaf. Saya sudah melakukan yang terbaik, tapi_" Bagai tersambar petir rasanya. "Tidak mungkin, Dok?" Jihan masih berusaha menyangkalnya. Ia yakin jika ini hanya prank semata. Tidak mungkin ibunya meninggalkannya begitu cepat. "Maaf, Jihan. Saya sudah melakukan yang terbaik, tapi Tuhan berkehendak lain. Dia mempunyai rencana untuk kehidupanmu selanjutnya, jadi ikhlaskan semuanya, Jihan. Ini yang terbaik," ucap dokter itu dengan suara berat. Jihan tidak bisa mengendalikan perasaannya saat ini. Dia masih berusaha menyangkal dan merangsek masuk ke dalam ruangannya. Tapi dengan sigap dokter Reno menahannya karena suster di dalam sedang melepas semua alat yang tertempel pada tubuh ibu Jihan. "Dokter, Jihan ingin bertemu dengan ibu, Dok. Biarkan Jihan masuk!!" teriak Jihan yang sudah mulai kehilangan kontrol dalam kesadarannya. "Sabar, Jihan. Kamu tunggu sebentar." Dokter Reno sudah mulai kewalahan menghadapi kebrutalan Jihan. Ia sangat memaklumi apa yang dilakukan Jihan sekarang. Pasti gadis itu sangat terpukul karena kehilangan sandaran dalam hidupnya. "Dokter, Jihan mau ibu. Jihan mau ikut ibu sekarang!!" Jihan mulai lost control. Berusaha berontak dan memukul segalanya. Hingga akhirnya tubuh Jihan terasa melemah dan tak lama kemudian ambruk dalam pelukan dokter Reno yang dengan sigap menangkapnya. *** Jika Tuhan menyayangi hambanya, kenapa Jihan sampai saat ini masih hidup? Kenapa dia tidak meninggal saja untuk berkumpul bersama ibu dan adiknya yang meninggalkannya terlebih dahulu. Kini siapa yang akan mendengar keluh kesahnya sepanjang hari? Tangisannya? Siapa yang akan menghapus air matanya jika semua orang yang menyayanginya dengan tega meninggalkannya begitu saja. Sendirian tanpa sandaran. Dokter Reno memeluk Jihan yang nampak terpukul itu, "Kamu yang sabar, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Ibumu sudah sembuh. Beliau tidak sakit lagi." Jihan menangis, meraung dalam pelukan dokter Reno. "Ibu!! Jangan tinggalin Jihan, Bu!! Ibu nggak boleh ninggalin Jihan. Ibu harus hidup bersama Jihan, Bu!!!" Teriaknya histeris. Wajar saja Jihan seperti itu, karena selama ini hanya ibunya yang dia punya. Dan sekarang ibunya telah tiada, lalu dengan siapa dia akan hidup sekarang? Sedangkan Yudha sama sekali belum pernah menanyakan keadaannya sejak pria itu meninggalkannya. Jihan masuk ke dalam ruangan sang ibu dengan di papah dokter Reno. Dengan perlahan dia membuka kain penutup yang menutupi wajah ibunya. "Ibu!!!! Jangan tinggalin Jihan, Bu. Jihan hidup sama siapa jika ibu ninggalin Jihan sendiri. Bangun Bu, bangun!!!" Pecah sudah air mata yang sedari dia tahan ketika akan melihat jenazah sang ibu. Jihan mengeluarkan semua emosinya ketika berada di hadapan jenazah sang ibu. Agar Ibunya tau jika Jihan sangat kehilangan dirinya. Dia terus menangis seraya memeluk jenazah sang Ibu yang nampak tersenyum cantik itu. Dia berharap ini hanya mimpi, dan ketika dia membuka mata dia melihat ibunya tersenyum indah menatap dirinya. Namun itu hanya angan semata, ibunya tetap terpejam kala dia membuka matanya. Dan saat itulah kesadarannya mulai pulih jika ibunya telah tiada. *** Jihan memandang gundukan tanah merah itu dengan tatapan kosong. Dia masih berat dan tak percaya dengan apa yang menimpanya kini. Ingin sekali dia ikut terkubur dengan sang ibu, agar dia tak menjalani hidup sendiri dan menjadi sebatang kara di dunia ini. Dia lebih memilih mati bersama sang ibu, dari pada harus hidup tanpa wanita yang selalu membuatnya kuat dalam menjalani liku-liku hidup di dunia ini. Wanita yang selalu memberinya semangat kala rasa lelah menerpa hidupnya. Dia sakit, dia sedih bahkan terpuruk ketika sang ibu meninggalkannya. Semangat hidupnya pun ikut terkubur dengan jenazah yang sudah di timbun dengan tanah itu. "Ibu, Jihan sama siapa, Bu? Kenapa Ibu tega ninggalin Jihan? Jihan mau ikut saja denganmu, Bu. Jihan nggak mau sendirian, Bu." Tangis pilu Jihan dengan memeluk gundukan tanah itu. Dia tak memperdulikan pakaiannya yang kotor dan basah. Karena yang dia butuhkan sekarang adalah pelukan hangat sang Ibu kembali dia rasakan. Jika bisa, dia ingin sang Ibu bisa hidup kembali, dan berharap sang Ibu hanya mati suri. Dia memejamkan matanya dan menikmati kesendiriannya. Dia tak ingin ditemani siapapun, karena dia hanya ingin bersama ibunya. Hingga sebuah tangan memegang pundaknya, mengelusnya pelan seolah memberi kekuatan.Jihan mengangkat kepalanya melihat siapa. "Dokter." Dokter Reno tersenyum lembut, menutupi rasa iba ketika melihat Jihan yang terpuruk seperti itu. Jihan menoleh sekilas, lalu kembali menatap gundukan tanah merah itu. Air matanya pun tumpah kembali. Dia tergugu ketika mengingat sosok ibunya. "Kamu harus kuat, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Dia sudah tak sakit lagi." Dokter Reno mencoba menguatkan. Memberi perasaan nyaman agar Jihan kembali tenang. "Ibu sudah sembuh kemarin, Dok. Ibu sudah sembuh!! Bahkan sebelum operasi masih bisa bercanda bersamaku. Tapi kenapa ibu sekarang pergi secepat ini?" "Iya, Ibumu sudah sembuh, Han. Jadi kamu harus senang, bukan bersedih seperti ini." Jihan menggeleng, "Percuma ibu sembuh jika dia ninggalin Jihan, dok," Tangis Jihan terdengar semakin pilu ketika mengingat pesan sang Ibu. Dia tak menyangka jika itu adalah pesan terakhirnya sebelum menemui ajalnya. Jika dia tau, pasti dia akan selalu menemani sang ibu tanpa beranjak sedikitpun
"Iya, sebentar!!" seru Maura seraya melangkahkan kakinya. Seketika tubuh Maura menegang ketika melihat tamu spesial sore ini. Tamu yang sangat tak di harapkan kedatangannya untuk memperumit keadaannya yang tengah dirundung nestapa. Meskipun sang tamu tampak tersenyum cerah menatapnya, namun Maura merasa jika wanita di hadapannya ini ingin menyampaikan sesuatu kepadanya. "Ibu.." Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menyapa Maura dengan tak kalah ramahnya sehingga membuatnya merinding. "Assalamualaikum, selamat malam, Maura." "Wa_waalaikumsalam, Ibu." jawab Maura terbata. Mayra tetap mematung, tangannya menggenggam erat pada handel pintu yang sedari tadi di pegangnya. Sehingga dia lupa mempersilahkan mertuanya itu masuk ke dalam rumahnya. Dia terlalu shock menerima kedatangan sang mertua yang tiba-tiba tanpa kabar sebelumnya. Padahal dulu sang mertua sangat jarang berkunjung ke rumahnya jika tak ada hal penting yang ingin di sampaikan
Kata-kata sang mertua masih terngiang di kepalanya. Seolah dengungan suara itu tak mau hilang dari pikirannya dan terus berputar di sana. Membuat hatinya semakin kalut dan tak karuan. Apalagi Yudha sampai sekarang belum juga menghubunginya lagi setelah kepergiannya tadi siang. Semakin merana karena tiada Yudha di sampingnya. Monika memilih pergi karena Maura sama sekali tidak memberi jawaban atas pertanyaannya. Maura juga memilih diam karena itu bukanlah masalah yang bisa dijawab dengan cepat. Butuh pemikiran matang dan benar-benar dengan hati yang ikhlas. Setelah kepergian mertuanya, Maura merebahkan tubuhnya di kasur. Mencoba mengistirahatkan tubuhnya dan pikirannya dari pengaruh buruk sang mertua. Namun bukannya hilang, kalimat itu semakin jelas di pikiran dan hatinya. Membuatnya susah melupakan segalanya. Apalagi perlakuan ibu mertuanya yang tiada perubahan terhadapnya. Masih sama dan masih menganggapnya sebagai menantu pembawa sial. Maura membayangkan
Erangan memilukan terdengar di telinga Yudha saat miliknya mencoba menerobos pertahanan Jihan. Sempit, bahkan Yudha kesusahan menerobosnya. "Sakit, Mas," rintih Jihan dibalik kungkungan Yudha. Bahkan, rasanya ia ingin berteriak jika ia tidak melihat keadaannya sekarang. "Sabar, Jihan. Sebentar lagi pasti sudah tidak sakit." Yudha berusaha membujuk wanita yang berada dibawah kendalinya itu. Meski ia sendiri bingung kenapa susah sekali. Antara kasihan dan juga nikmat. Yudha juga pernah merasakan sebelumnya bersama Maura yang kala itu masih perawan. Tapi perasaan tidak sesulit ini. Apakah Jihan kurang rangsangan sehingga ia meringis kesakitan? Yudha mencoba menekan lebih dalam, tapi sebuah cengkeraman dan tancapan kuku membuat ia kembali menarik miliknya pelan. Sakit dan perih ia rasakan. Apakah Jihan juga masih perawan? Sempat tersemat pertanyaan seperti itu di benaknya. Tapi cepat-cepat Yudha menepis pikirannya sendiri. Karena Ia tau jika Jihan berstatus jan
"Hah.."Jihan masih belum mengerti arah pembicaraan Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" tanya Jihan pada akhirnya. Yudha menunjuk dengan dagunya sebuah noda di atas sprei yang sengaja belum ia bersihkan. Jihan pun mengikuti kemana arah pandangan Yudha. Seketika matanya membulat sempurna saat melihat noda merah diatas sprei itu. Dengan cepat Jihan melangkah dan menarik sprei itu sampai terlepas dari ranjang. Kemudian ya membawanya ke dalam kamar mandi dan merendamnya di sana. Yudha hanya diam melihat apa yang dilakukan oleh Jihan. Ia semakin yakin jika Jihan tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Saat Jihan melangkah di depannya, dengan cepat Yudha mencekal tangannya dan menariknya untuk duduk di sofa. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. "Coba kamu katakan yang sejujurnya padaku, Jihan. Jangan sampai aku mencari tahunya sendiri," ancam Yudha dengan tatapan mengerikan. Bahkan, Jihan sempat merasa takut melihat wajah itu. "Maksud kamu apa, Mas?
Jihan menyambut paginya dengan senyuman lebar karena untuk pertama kalinya dia menjalankan tugasnya sebagai istri dari Yudha William. Ada beribu rasa yang membuncah dihatinya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia baru menyadari sesuatu jika Tuhan itu maha adil pada hambanya. Di saat Jihan terpuruk oleh kehilangan sang ibu, Tuhan menggantikan rasa kehilangan itu dengan kebahagiaan dengan kehadiran suami yang dikirimkan untuknya. Sungguh, jika dipikir dengan nalar, tentu itu sulit dicerna oleh otak manusia. Meski terdengar kejam, tapi dia juga tidak bisa lari dari takdir yang sudah tertulis. Jihan asyik berkutat di dapur, sampai tidak menyadari saat Yudha melangkah masuk ke dapur. "Kamu masak apa, Jihan?" Pertanyaan Yudha membuat Jihan terkejut. Sontak dia menoleh ke sumber suara. "Eh, mas Yudha. Bikin kaget saja," jawabnya. "Aku lagi masak nasi goreng untuk kita sarapan, Mas," sambungnya lagi seraya menggerakkan tangannya mengaduk nasi gore
"Pu_pulang??" tanya Jihan memastikan. Yudha mengangguk. "Iya. Siang ini aku pulang." Tiba-tiba hati Jihan merasa sedih atas kepergian Yudha pulang ke rumah istri pertamanya. Bukan ingin bersaing dan bersikap serakah, tapi apa salahnya jika dia juga ingin Yudha menemaninya lebih lama. Apalagi ia baru saja menikmati perannya sebagai istri Yudha, tapi kenapa hanya sebentar saja. Sejujurnya dia tak rela, namun dia akan berusaha memenuhi janji yang sudah di ikrarkan dalam hatinya untuk tak menjadi benalu pada hubungan orang lain. Lebih baik dia yang mengalah dari pada wanita lain yang tersakiti atas kehadirannya. Karena dia sangat menyadari jika dialah orang ketiga dalam hubungan suaminya. "Kenapa bersedih?" tanya Yudha seraya mendekat ke arah Jihan. Bahkan tangan kekar itu membelai lembut pipi Jihan. "Apakah aku pantas bersedih, Mas? Sedangkan aku hanya menjadi yang kedua untukmu," jawabnya dengan suara serak menahan sebah di dadan
Setelah memarkirkan mobilnya, Yudha melangkahkan kakinya dengan ringan. Hatinya sangat riang karena akan bertemu dengan sang pujaan. "Sayang, aku pulang!!!" seru Yudha ketika sampai di dalam rumah dan mengunci pintu rumahnya kembali. "Sayang!!! Aku pulang!!" ulang Yudha sekali lagi karena tidak mendapatkan sahutan dari Maura. Tapi ia berpikir positif, mungkin Maura sedang di kamar mandi sehingga istrinya tidak mendengarkan panggilannya. Sebelum menuju ke kamar, Yudha menyempatkan untuk belok ke dapur untuk membasahi tenggorokan yang kering kerontang. Karena selama perjalanan, Yudha sama sekali tak menghentikan mobilnya. Sebab, di pikirannya hanya ingin cepat sampai di rumah dan bertemu Maura. Rasa rindunya sudah memenuhi hatinya untuk segera tersalurkan. Setelah dahaganya hilang, dia segera melangkah ke kamarnya yang berada di lantai atas. Yudha berpikir jika Maura berada di kamar mereka sekarang. Sehingga dia mempercepat langkahnya untuk bisa