Home / Romansa / Rahim Sang Mantan / Bab 4. Kehilangan

Share

Bab 4. Kehilangan

Author: Zhang Mila
last update Last Updated: 2023-12-28 21:12:34

Semua perkataan dokter Reno tidak ia percayai begitu saja. Jihan menganggapnya hanya angin belaka. Kenapa juga sang dokter harus mengatakan hal terburuk yang akan terjadi pada sang ibu. Seharusnya dia tidak mendahului takdir yang belum tentu terjadi.

Masih ada Tuhannya yang akan mengabulkan doanya. Memberikan hadiah terbaik untuk ibunya yang telah berjuang melawan penyakitnya yang sudah dideritanya sejak lama.

"Jihan."

"Iya." Jihan mengangkat wajahnya dan menatap dokter itu.

"Kamu mendengar apa yang saya katakan, kan?"

"Iya, dok. Jihan mendengar semuanya dengan jelas," jawab Jihan seraya tersenyum tipis. Ia bahkan mendengarkan dengan jelas setiap kalimat yang terlontar dari bibir dokter itu dengan pikiran yang sulit terlukiskan oleh kata-kata.

"Jihan." Dokter itu diam sesaat. Matanya menatap lekat Jihan. Jihan paham jika beban dokter Reno sangatlah besar.

Percayalah, Jihan juga takut jika ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, jika tidak dioperasi, ibunya akan terus merasakan kesakitan akibat penyakitnya itu. Dan Jihan tidak tega harus melihat ibunya kesakitan terus menerus.

"Kami akan melakukan yang terbaik untuk ibumu. Tapi dengan berat hati saya harus sampaikan hal ini," sambungnya lagi dengan suara pelan.

Jihan mendongak dan membalas tatapan dokter Reno.

"Iya, Dok. Jihan mengerti."

"Ok kalau begitu," dokter Fahri melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Saya akan memulai operasinya 5 menit lagi. Doakan semoga operasinya berjalan lancar dan ibumu kembali sehat seperti semula. Tentu kita tahu bahwa tidak akan ada yang bisa mengalahkan kedahsyatan sebuah doa yang sungguh-sungguh. Apalagi doa anak sholehah sepertimu." tukas Dokter Reno sambil tersenyum. Tangannya pun mengusap puncak kepala Jihan seperti adiknya sendiri.

"Iya, Dok," jawab Jihan dengan suara bergetar. Haru dan sedih menjadi satu. Apalagi dia hanya sendirian disini. Yudha yang seharusnya menemaninya saat ini malah pergi ke luar kota.

Jihan tahu siapa yang bisa mendengarkan keluh kesahnya saat ini. Siapa yang akan menjadi tempat bercurah dan memohon keajaiban untuk ibunya. Jihan tidak ingin menunggu dengan sia-sia. Jihan ingin mengeluarkan semua kesedihannya pada Tuhannya.

Jihan berdoa di mushola rumah sakit selama menunggu proses operasi ibunya. Dia juga melafalkan Alquran untuk menghilangkan kegundahan hatinya. Jihan bersujud meminta bantuan pada Tuhannya. Kali ini dalam sholatnya ia tidak meminta apapun, tapi meminta keajaiban untuk ibunya. Dan hanya penciptanyalah yang bisa menolongnya saat ini.

Sampai sore tiba, Jihan masih berada di sana. Dan apapun hasilnya Jihan akan menerimanya. Karena ia yakin jika itu adalah takdir yang telah digariskan dan mungkin itulah yang terbaik untuk semuanya.

Ia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya pada sang penciptanya. Karena sang penciptanya tahu apa yang dibutuhkannya, bukan yang diinginkannya.

Setelah puas menumpahkan segala keluhnya, Kinan memutuskan untuk kembali ke ruang operasi ibunya. Ia ingin segera mengetahui hasil operasi ibunya. Dan semoga semuanya baik-baik saja.

Semakin Jihan melangkah, semakin jantungnya berdetak lebih kencang. Apalagi melihat beberapa suster yang terlihat sedang sibuk. Sampai mata Jihan melihat dokter Reno yang berdiri menatapnya dengan tatapan sendu.

Jihan berusaha membuang pikiran buruk tentang ibunya. Ia percaya jika ibunya akan baik-baik saja dan bisa kembali sembuh seperti sedia kala.

Dokter Reno berdiri menatapnya, kemudian mendekat saat Jihan telah berhenti di depannya.

"Jihan, maaf. Saya sudah melakukan yang terbaik, tapi_"

Bagai tersambar petir rasanya.

"Tidak mungkin, Dok?" Jihan masih berusaha menyangkalnya. Ia yakin jika ini hanya prank semata. Tidak mungkin ibunya meninggalkannya begitu cepat.

"Maaf, Jihan. Saya sudah melakukan yang terbaik, tapi Tuhan berkehendak lain. Dia mempunyai rencana untuk kehidupanmu selanjutnya, jadi ikhlaskan semuanya, Jihan. Ini yang terbaik," ucap dokter itu dengan suara berat.

Jihan tidak bisa mengendalikan perasaannya saat ini. Dia masih berusaha menyangkal dan merangsek masuk ke dalam ruangannya. Tapi dengan sigap dokter Reno menahannya karena suster di dalam sedang melepas semua alat yang tertempel pada tubuh ibu Jihan.

"Dokter, Jihan ingin bertemu dengan ibu, Dok. Biarkan Jihan masuk!!" teriak Jihan yang sudah mulai kehilangan kontrol dalam kesadarannya.

"Sabar, Jihan. Kamu tunggu sebentar." Dokter Reno sudah mulai kewalahan menghadapi kebrutalan Jihan. Ia sangat memaklumi apa yang dilakukan Jihan sekarang. Pasti gadis itu sangat terpukul karena kehilangan sandaran dalam hidupnya.

"Dokter, Jihan mau ibu. Jihan mau ikut ibu sekarang!!" Jihan mulai lost control. Berusaha berontak dan memukul segalanya. Hingga akhirnya tubuh Jihan terasa melemah dan tak lama kemudian ambruk dalam pelukan dokter Reno yang dengan sigap menangkapnya.

***

Jika Tuhan menyayangi hambanya, kenapa Jihan sampai saat ini masih hidup? Kenapa dia tidak meninggal saja untuk berkumpul bersama ibu dan adiknya yang meninggalkannya terlebih dahulu.

Kini siapa yang akan mendengar keluh kesahnya sepanjang hari? Tangisannya? Siapa yang akan menghapus air matanya jika semua orang yang menyayanginya dengan tega meninggalkannya begitu saja. Sendirian tanpa sandaran.

Dokter Reno memeluk Jihan yang nampak terpukul itu, "Kamu yang sabar, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Ibumu sudah sembuh. Beliau tidak sakit lagi."

Jihan menangis, meraung dalam pelukan dokter Reno. "Ibu!! Jangan tinggalin Jihan, Bu!! Ibu nggak boleh ninggalin Jihan. Ibu harus hidup bersama Jihan, Bu!!!" Teriaknya histeris.

Wajar saja Jihan seperti itu, karena selama ini hanya ibunya yang dia punya. Dan sekarang ibunya telah tiada, lalu dengan siapa dia akan hidup sekarang?

Sedangkan Yudha sama sekali belum pernah menanyakan keadaannya sejak pria itu meninggalkannya.

Jihan masuk ke dalam ruangan sang ibu dengan di papah dokter Reno. Dengan perlahan dia membuka kain penutup yang menutupi wajah ibunya.

"Ibu!!!! Jangan tinggalin Jihan, Bu. Jihan hidup sama siapa jika ibu ninggalin Jihan sendiri. Bangun Bu, bangun!!!" Pecah sudah air mata yang sedari dia tahan ketika akan melihat jenazah sang ibu.

Jihan mengeluarkan semua emosinya ketika berada di hadapan jenazah sang ibu. Agar Ibunya tau jika Jihan sangat kehilangan dirinya.

Dia terus menangis seraya memeluk jenazah sang Ibu yang nampak tersenyum cantik itu. Dia berharap ini hanya mimpi, dan ketika dia membuka mata dia melihat ibunya tersenyum indah menatap dirinya.

Namun itu hanya angan semata, ibunya tetap terpejam kala dia membuka matanya. Dan saat itulah kesadarannya mulai pulih jika ibunya telah tiada.

***

Jihan memandang gundukan tanah merah itu dengan tatapan kosong. Dia masih berat dan tak percaya dengan apa yang menimpanya kini. Ingin sekali dia ikut terkubur dengan sang ibu, agar dia tak menjalani hidup sendiri dan menjadi sebatang kara di dunia ini.

Dia lebih memilih mati bersama sang ibu, dari pada harus hidup tanpa wanita yang selalu membuatnya kuat dalam menjalani liku-liku hidup di dunia ini. Wanita yang selalu memberinya semangat kala rasa lelah menerpa hidupnya.

Dia sakit, dia sedih bahkan terpuruk ketika sang ibu meninggalkannya. Semangat hidupnya pun ikut terkubur dengan jenazah yang sudah di timbun dengan tanah itu.

"Ibu, Jihan sama siapa, Bu? Kenapa Ibu tega ninggalin Jihan? Jihan mau ikut saja denganmu, Bu. Jihan nggak mau sendirian, Bu." Tangis pilu Jihan dengan memeluk gundukan tanah itu.

Dia tak memperdulikan pakaiannya yang kotor dan basah. Karena yang dia butuhkan sekarang adalah pelukan hangat sang Ibu kembali dia rasakan. Jika bisa, dia ingin sang Ibu bisa hidup kembali, dan berharap sang Ibu hanya mati suri.

Dia memejamkan matanya dan menikmati kesendiriannya. Dia tak ingin ditemani siapapun, karena dia hanya ingin bersama ibunya.

Hingga sebuah tangan memegang pundaknya, mengelusnya pelan seolah memberi kekuatan.

Related chapters

  • Rahim Sang Mantan   Bab 5. Membujuk Pulang

    Jihan mengangkat kepalanya melihat siapa. "Dokter." Dokter Reno tersenyum lembut, menutupi rasa iba ketika melihat Jihan yang terpuruk seperti itu. Jihan menoleh sekilas, lalu kembali menatap gundukan tanah merah itu. Air matanya pun tumpah kembali. Dia tergugu ketika mengingat sosok ibunya. "Kamu harus kuat, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Dia sudah tak sakit lagi." Dokter Reno mencoba menguatkan. Memberi perasaan nyaman agar Jihan kembali tenang. "Ibu sudah sembuh kemarin, Dok. Ibu sudah sembuh!! Bahkan sebelum operasi masih bisa bercanda bersamaku. Tapi kenapa ibu sekarang pergi secepat ini?" "Iya, Ibumu sudah sembuh, Han. Jadi kamu harus senang, bukan bersedih seperti ini." Jihan menggeleng, "Percuma ibu sembuh jika dia ninggalin Jihan, dok," Tangis Jihan terdengar semakin pilu ketika mengingat pesan sang Ibu. Dia tak menyangka jika itu adalah pesan terakhirnya sebelum menemui ajalnya. Jika dia tau, pasti dia akan selalu menemani sang ibu tanpa beranjak sedikitpun

    Last Updated : 2023-12-28
  • Rahim Sang Mantan   Bab 6. Mandul

    "Iya, sebentar!!" seru Maura seraya melangkahkan kakinya. Seketika tubuh Maura menegang ketika melihat tamu spesial sore ini. Tamu yang sangat tak di harapkan kedatangannya untuk memperumit keadaannya yang tengah dirundung nestapa. Meskipun sang tamu tampak tersenyum cerah menatapnya, namun Maura merasa jika wanita di hadapannya ini ingin menyampaikan sesuatu kepadanya. "Ibu.." Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menyapa Maura dengan tak kalah ramahnya sehingga membuatnya merinding. "Assalamualaikum, selamat malam, Maura." "Wa_waalaikumsalam, Ibu." jawab Maura terbata. Mayra tetap mematung, tangannya menggenggam erat pada handel pintu yang sedari tadi di pegangnya. Sehingga dia lupa mempersilahkan mertuanya itu masuk ke dalam rumahnya. Dia terlalu shock menerima kedatangan sang mertua yang tiba-tiba tanpa kabar sebelumnya. Padahal dulu sang mertua sangat jarang berkunjung ke rumahnya jika tak ada hal penting yang ingin di sampaikan

    Last Updated : 2024-01-19
  • Rahim Sang Mantan   Bab 7. Dilema

    Kata-kata sang mertua masih terngiang di kepalanya. Seolah dengungan suara itu tak mau hilang dari pikirannya dan terus berputar di sana. Membuat hatinya semakin kalut dan tak karuan. Apalagi Yudha sampai sekarang belum juga menghubunginya lagi setelah kepergiannya tadi siang. Semakin merana karena tiada Yudha di sampingnya. Monika memilih pergi karena Maura sama sekali tidak memberi jawaban atas pertanyaannya. Maura juga memilih diam karena itu bukanlah masalah yang bisa dijawab dengan cepat. Butuh pemikiran matang dan benar-benar dengan hati yang ikhlas. Setelah kepergian mertuanya, Maura merebahkan tubuhnya di kasur. Mencoba mengistirahatkan tubuhnya dan pikirannya dari pengaruh buruk sang mertua. Namun bukannya hilang, kalimat itu semakin jelas di pikiran dan hatinya. Membuatnya susah melupakan segalanya. Apalagi perlakuan ibu mertuanya yang tiada perubahan terhadapnya. Masih sama dan masih menganggapnya sebagai menantu pembawa sial. Maura membayangkan

    Last Updated : 2024-01-19
  • Rahim Sang Mantan   Bab 8. Janda Tapi Perawan

    Erangan memilukan terdengar di telinga Yudha saat miliknya mencoba menerobos pertahanan Jihan. Sempit, bahkan Yudha kesusahan menerobosnya. "Sakit, Mas," rintih Jihan dibalik kungkungan Yudha. Bahkan, rasanya ia ingin berteriak jika ia tidak melihat keadaannya sekarang. "Sabar, Jihan. Sebentar lagi pasti sudah tidak sakit." Yudha berusaha membujuk wanita yang berada dibawah kendalinya itu. Meski ia sendiri bingung kenapa susah sekali. Antara kasihan dan juga nikmat. Yudha juga pernah merasakan sebelumnya bersama Maura yang kala itu masih perawan. Tapi perasaan tidak sesulit ini. Apakah Jihan kurang rangsangan sehingga ia meringis kesakitan? Yudha mencoba menekan lebih dalam, tapi sebuah cengkeraman dan tancapan kuku membuat ia kembali menarik miliknya pelan. Sakit dan perih ia rasakan. Apakah Jihan juga masih perawan? Sempat tersemat pertanyaan seperti itu di benaknya. Tapi cepat-cepat Yudha menepis pikirannya sendiri. Karena Ia tau jika Jihan berstatus jan

    Last Updated : 2024-01-24
  • Rahim Sang Mantan   Bab 9. Masa Lalu

    "Hah.."Jihan masih belum mengerti arah pembicaraan Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" tanya Jihan pada akhirnya. Yudha menunjuk dengan dagunya sebuah noda di atas sprei yang sengaja belum ia bersihkan. Jihan pun mengikuti kemana arah pandangan Yudha. Seketika matanya membulat sempurna saat melihat noda merah diatas sprei itu. Dengan cepat Jihan melangkah dan menarik sprei itu sampai terlepas dari ranjang. Kemudian ya membawanya ke dalam kamar mandi dan merendamnya di sana. Yudha hanya diam melihat apa yang dilakukan oleh Jihan. Ia semakin yakin jika Jihan tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Saat Jihan melangkah di depannya, dengan cepat Yudha mencekal tangannya dan menariknya untuk duduk di sofa. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. "Coba kamu katakan yang sejujurnya padaku, Jihan. Jangan sampai aku mencari tahunya sendiri," ancam Yudha dengan tatapan mengerikan. Bahkan, Jihan sempat merasa takut melihat wajah itu. "Maksud kamu apa, Mas?

    Last Updated : 2024-01-31
  • Rahim Sang Mantan   Baba 10. Harus Pulang

    Jihan menyambut paginya dengan senyuman lebar karena untuk pertama kalinya dia menjalankan tugasnya sebagai istri dari Yudha William. Ada beribu rasa yang membuncah dihatinya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia baru menyadari sesuatu jika Tuhan itu maha adil pada hambanya. Di saat Jihan terpuruk oleh kehilangan sang ibu, Tuhan menggantikan rasa kehilangan itu dengan kebahagiaan dengan kehadiran suami yang dikirimkan untuknya. Sungguh, jika dipikir dengan nalar, tentu itu sulit dicerna oleh otak manusia. Meski terdengar kejam, tapi dia juga tidak bisa lari dari takdir yang sudah tertulis. Jihan asyik berkutat di dapur, sampai tidak menyadari saat Yudha melangkah masuk ke dapur. "Kamu masak apa, Jihan?" Pertanyaan Yudha membuat Jihan terkejut. Sontak dia menoleh ke sumber suara. "Eh, mas Yudha. Bikin kaget saja," jawabnya. "Aku lagi masak nasi goreng untuk kita sarapan, Mas," sambungnya lagi seraya menggerakkan tangannya mengaduk nasi gore

    Last Updated : 2024-02-01
  • Rahim Sang Mantan    Bab 11. Menjadi Yang kedua

    "Pu_pulang??" tanya Jihan memastikan. Yudha mengangguk. "Iya. Siang ini aku pulang." Tiba-tiba hati Jihan merasa sedih atas kepergian Yudha pulang ke rumah istri pertamanya. Bukan ingin bersaing dan bersikap serakah, tapi apa salahnya jika dia juga ingin Yudha menemaninya lebih lama. Apalagi ia baru saja menikmati perannya sebagai istri Yudha, tapi kenapa hanya sebentar saja. Sejujurnya dia tak rela, namun dia akan berusaha memenuhi janji yang sudah di ikrarkan dalam hatinya untuk tak menjadi benalu pada hubungan orang lain. Lebih baik dia yang mengalah dari pada wanita lain yang tersakiti atas kehadirannya. Karena dia sangat menyadari jika dialah orang ketiga dalam hubungan suaminya. "Kenapa bersedih?" tanya Yudha seraya mendekat ke arah Jihan. Bahkan tangan kekar itu membelai lembut pipi Jihan. "Apakah aku pantas bersedih, Mas? Sedangkan aku hanya menjadi yang kedua untukmu," jawabnya dengan suara serak menahan sebah di dadan

    Last Updated : 2024-02-04
  • Rahim Sang Mantan   Bab 12. Menutupi Sesuatu

    Setelah memarkirkan mobilnya, Yudha melangkahkan kakinya dengan ringan. Hatinya sangat riang karena akan bertemu dengan sang pujaan. "Sayang, aku pulang!!!" seru Yudha ketika sampai di dalam rumah dan mengunci pintu rumahnya kembali. "Sayang!!! Aku pulang!!" ulang Yudha sekali lagi karena tidak mendapatkan sahutan dari Maura. Tapi ia berpikir positif, mungkin Maura sedang di kamar mandi sehingga istrinya tidak mendengarkan panggilannya. Sebelum menuju ke kamar, Yudha menyempatkan untuk belok ke dapur untuk membasahi tenggorokan yang kering kerontang. Karena selama perjalanan, Yudha sama sekali tak menghentikan mobilnya. Sebab, di pikirannya hanya ingin cepat sampai di rumah dan bertemu Maura. Rasa rindunya sudah memenuhi hatinya untuk segera tersalurkan. Setelah dahaganya hilang, dia segera melangkah ke kamarnya yang berada di lantai atas. Yudha berpikir jika Maura berada di kamar mereka sekarang. Sehingga dia mempercepat langkahnya untuk bisa

    Last Updated : 2024-02-06

Latest chapter

  • Rahim Sang Mantan   Sedikit Cemburu

    Jihan memutar tubuhnya. Matanya melebar sempurna ketika melihat Yudha yang sedang bersandar di dinding di samping pintu kamar mandi dengan melipat tangannya di dadanya. Matanya menatap mesum, seolah menguliti tubuh Jihan tanpa sisa. Pria itu mendekati Jihan dengan senyum devil di bibirnya. "Apa kamu mau menggodaku, Sayang?" tanya Yudha berulang. Jihan menggeleng cepat. "Bukan, bukan seperti itu, Mas," ucap Jihan gugup. Perlahan ia melangkah mundur karena Yudha terus maju seperti ingin menjamahnya. Jihan juga merasa ngeri melihat tatapan Yudha yang seolah dengan mudah bisa melumpuhkan pertahanannya. "Bukan seperti itu, Mas." Jihan meracau sembari mencengkram erat handuk agar tak terlepas dari tubuhnya. "Lalu, apa? Kamu sengaja membuat singa ini lapar kembali, begitu?" Lagi-Jihan hanya menggeleng seraya terus melangkah mundur untuk mengindari Yudha. Kakinya saja masih terasa bergetar, tidak mungkin kan Yudha akan melampiaskan hasratnya lagi. Tap

  • Rahim Sang Mantan   Pasrah

    Keduanya terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Yudha kembali berucap. "Ini tidak adil bagi kita semua, kamu maupun Maura. Karena kita akan sama-sama patah dalam porsi yang berbeda." Jihan yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya untuk menatap Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" "Kamu tidak akan mengerti kenapa aku memilih menikah denganmu dan membuatmu mengandung. Ini semua demi Maura. Aku tidak ingin kehilangan Maura karena tuntutan orang tuaku yang menginginkan seorang cucu. Kamu tau apa yang di katakan oleh ibuku pada Maura?" Yudha menjeda kalimatnya. Terlihat matanya memerah menahan gejolak di dada. "Ibuku ingin aku berpisah dengan Maura yang diklaim mandul dan menyuruhku untuk menikah lagi dengan perempuan pilihannya. Aku menolaknya. Karena aku lebih memilih menikah dengan pilihanku sendiri dari pada harus melihat Maura yang harus tersisih dari perlakuan ibuku. Aku tidak tega, Jihan. Aku sakit saat melihatnya menangis. Meski aku juga tak menampik akan melihat air matan

  • Rahim Sang Mantan   Haruskah Berpisah?

    "Apakah kamu ingin segera berpisah denganku jika tujuanmu sudah tercapai, Mas?" Jihan tersenyum miris. Ia seolah lupa akan tujuan utama Yudha menikahinya. Bukan lagi karena cinta, melainkan menginginkan keturunan darinya agar rumah tangganya bersama Maura tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dan apa yang akan ia dapatkan kelak, hanya kehilangan yang akan ia rasakan. Kehilangan dalam penyesalan. Ia akan kehilangan cintanya dan buah hatinya. Apakah ia sanggup menerima takdirnya? Seketika air mata itu menetes dari pelupuk matanya. Jihan mata mengembun, ia menatap punggung lebar itu yang telah hilang di balik pintu kamar mandi. "Aku harus kuat. Aku tidak ingin terlihat lemah lagi. Sudah cukup kamu menangis, Jihan. Sekarang waktunya untuk bangkit menjalani hidup. Jihan pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah memakai kembali pakaiannya. Jihan berniat untuk membuat sarapan. Tapi ketika sampai di dapur, dia berhenti sejenak dan memilih duduk di meja ma

  • Rahim Sang Mantan   Bab 23. Posisi Bercinta

    Jihan tersenyum manis menatap Yudha yang masih terlelap itu. Semalaman Yudha terus menggauli dirinya tanpa ampun dan menumpahkan hasrat yang telah dia pendam beberapa hari karena tak bertemu. Yudha juga memperlakukan dia dengan baik layaknya istrinya yang sukses membuatnya melayang. Sungguh membuat hati Jihan berbunga ketika Yudha mengecup keningnya setelah pelepasan terakhirnya. Meskipun mereka bermandikan peluh, namun tiada mengurangi keromantisan keduanya. Dan sekarang dia patut bahagia menyambut indahnya pagi dengan menatap suaminya yang masih memeluk dirinya dengan erat. Mungkin kebahagiaan yang ia rasakan akan bertambah sempurna jika ia bukanlah yang kedua. Tapi mau bagaimana lagi jika takdir cintanya harus seperti ini. Mau berusaha melawan pun ia tidak akan mempu merubah takdirnya yang sudah tertulis di lauhul mahfud. Jari lentik Jihan menyusuri setiap inci wajah Yudha dengan teliti. Sejengkal demi sejengkal menyusuri dengan jari yang bergerak nakal. Menikmat

  • Rahim Sang Mantan   Bab 22

    Tubuhnya bergetar, dia hampir pingsan karena merasa dekapan seorang pria yang memeluk tubuhnya dari belakang. Dia ketakutan jika itu bukanlah manusia melainkan makhluk jadi-jadian yang mengincar dirinya. Apalagi nafasnya yang hangat menerpa tengkuk lehernya yang membuat Jihan semakin ketakutan. "Si_siapa kamu? Tolong jangan ganggu saya. Tolong lepaskan saya," ucapnya seraya tercekat ketakutan. Tak terasa air mata pun menggenang di pelupuk matanya yang terpejam. Jika bisa dia ingin pingsan saja agar tak melihat rupa mahkluk itu yang pasti menyeramkan. Jihan memang cerewet dan sedikit ugal, namun untuk masalah setan, dia sungguh penakut. Dia tak sekuat seperti yang terlihat. Bahkan dia bisa menangis kejer jika terkejut atau di prank dengan memakai pakaian kebanggaan kaum setan. Marah, tentu saja dia marah dengan kelakuan Dea dan yang lainnya karena sangat keterlaluan mengerjai dirinya dulu. Dan sejak saat itu Dea tidak berani lagi menjahili Jihan dengan memakai atribut apapun i

  • Rahim Sang Mantan   Bab 21.

    Keesokan harinya, Jihan menjadi bahan bulan-bulanan Dea karena ketampanan suaminya. Tak pelak, semuanya teman-temannya di toko pun nampak terkejut dan tidak menyangka jika Jihan sudah menikah beberapa minggu yang lalu. Karena yang mereka tau, Jihan tidak pernah dekat dengan pria manapun selama mereka bekerja bersama. Apalagi Dea yang dengan hebohnya memamerkan suami Jihan yang gantengnya bak artis cina yang tengah digandrungi kawulah emak-emak se-Indonesia. Tentu saja mereke berteriak penasaran dengan sosok suami Jihan yang bernama Yudha tersebut. "Han, apa benar yang di katakan sama Dea tentang suamimu? Aku jadi penasaran bagaimana wajah suami kamu, Han." "Han, kenalin donk sama suami kamu. Siapa tau aku bakal belok dari pacarku lalu daftar jadi pelakor untuk merebut suamimu." Sontak Jihan melotot mendengar penuturan sableng temannya tersebut. Dia tak habis pikir dengan pikiran aneh anak gadis jaman sekarang yang suka dengan peran pelakor. Jihan pun s

  • Rahim Sang Mantan   Bab 20. Asalkan Kamu Bahagia

    Yudha memandangi bayangan dirinya di depan cermin, tangannya pun dengan cekatan memasangkan setiap kancing di setiap lubang di kemejanya. Dia tersenyum lembut menatap bayangan Maura yang melangkah mendekat ke arahnya dengan pakaian laknat yang selalu menggoda imannya. Tak lupa senyum manis yang selalu menghiasi bibir merah muda istrinya. "Mau pergi sekarang, Mas?!" tanya Maura seraya melingkarkan tangannya di perut Yudha dan merabanya dengan gerakan menggoda. Ada sedikit rasa tak rela ketika pagi ini Yudha harus pamit untuk ke luar kota. Karena dia akan merasakan kesepian yang luar biasa lagi untuk kesekian kalinya. Apalagi jika kedatangan ibu mertuanya yang berusaha merusak moodnya untuk memicu pertengkaran dengan Yudha. Yudha tersenyum. Kemudian memutar tubuhnya agar bisa melihat langsung wajah Maura yang bersedih seperti biasanya jika Yudha akan pergi ke luar kota. Ada rasa tak tega, namun dia juga harus menjalankan kewajibannya sebagai suami yang adil bagi ke

  • Rahim Sang Mantan   Bab 19

    Dea makin tergelak melihat wajah Jihan yang seperti di kejar oleh dept colector. "Di angkat kenapa sih, Han? Suamimu itu, kenapa malah panik begitu?" Dea masih saja tertawa. Jihan mengerucutkan bibirnya. "Kamu sih resek. Pasti Yudha marahin aku karena ketahuan keluar malam. Awas kamu ya, Dea. Pasti aku balas kamu nanti." Jihan mengepalkan tangannya di depan wajah Dea seraya menahan kesal. Bisa-bisanya Dea mengirimkan sebuah poto pada Yudha. Pasti pria itu akan berpikir aneh-aneh tentangnya, pikirnya dalam hati. Matanya masih menatap layar yang masih menyala itu. Nama Yudha terpampang jelas di sana. Membuat perasaan ragu dan takut berbaur menjadi satu. Sampai akhirnya layar itu mati dengan sendirinya. Jihan bernafas lega karena panggilan dari Yudha sudah berhenti. Ia berniat untuk melangkah pulang sebelum Yudha marah besar. Ia menarik lengan Dea hendak beranjak pergi. Tapi terdengar nada dering ponsel membuat Dea mengurungkan niatnya dan melepaskan tangan J

  • Rahim Sang Mantan   Bab 18.

    Sempat terkejut mendengar penuturan Jihan tentang pernikahannya dan juga kematian ibunya yang hampir bersamaan itu. Dalam hati Dea mengakui kehebatan Jihan dan kesabarannya mendapat ujian yang bertubi seperti itu. Jika Dea berada di posisi Jihan, entah apa yang akan dia lakukan. Mungkin ia akan mengikuti ibunya ke liang lahat sekalian. Namun kini dia patut bernafas lega karena Jihan mulai bahagia dengan suaminya. Meski pikiran negatifnya masih saja menghantui pikirannya saat ini ketika mengetahui Jihan menjadi istri kedua. "Lalu, bagaimana jika istri pertama suamimu jika mengetahui keberadaanmu, Han?" tanya Dea seraya mengaduk jus jeruk yang berada di tangannya. Dea sengaja mengajak Jihan pergi ke warung langganannya saat mereka pulang bekerja. Dea ingin mengorek informasi lebih dalam tentang kehidupan rumah tangga yang dijalani sahabatnya tersebut. "Entahlah, Dea. Sejauh ini aku belum memikirkan sampai sejauh itu," jawab Jihan seraya mengedikkan bahunya. Terle

DMCA.com Protection Status